Setelah mandi dan kembali berpakaian lengkap, Xander duduk di kursi kerjanya, membaca beberapa berkas di atas meja, saat tiba-tiba seseorang menghubunginya lewat telepon memberitahu jika seorang tamu datang dan ingin menemuinya. Xander langsung memperbolehkanya masuk setelah mengetahui siapa yang datang. "Laura? Kenapa kau datang, bukankah sudah kuminta kau untuk beristirahat." Segera Xander hampiri Laura yang berjalan tertatih-tatih, membantunya memegang tangan wanita itu untuk duduk pada sofa. Keduanya duduk saling berhadapan. "Xander, aku ingin memberikan ponselmu," tutur Laura, seraya ia sodorkan ponsel pria itu yang tertinggal di apartmentnya. Sejak tadi Xander tak menyadari jika ia tak memegang ponselnya. Perhatianya terlalu lama teralihkan dengan permainan
Menatap tidak suka hidangan di atas meja, sejak tadi Leoni hanya membolak-balikan makanan tanpa menyentuhnya. Tingkahnya itu diperhatikan oleh seluruh anggota keluarga Miller. Malam ini, keluarga besar itu mengadakan makan malam bersama. Berkumpul putra serta cucu mereka. Sementara Leoni masih dalam kondisi sakit namun ia tetap datang untuk menghargai undangan mertuanya. "Wajahmu sangat pucat, Leoni," ungkap Pero kepada menantunya. "Kau sakit?" Deliana menatap cemas. Xander melirik istrinya yang lemas, memegang perut sejak tadi. Lantas ia rangkul tubuh wanita tercintanya itu, mengelus lembut pada lenganya. "Kau ingin beristirahat? Aku akan membawamu ke kamar." Wajah cantiknya memerah meringis lalu mengangguk sam
Ciuman-ciuman panas serta adegan vulgar yang bersemayam di dalam kepala Laura berakhir pudar saat Xander menyentuh bahunya. Langsung Laura palingkan wajahnya yang memerah, memegangi jantungnya yang berdegup kencang serta mengumpat dalam hati menyesali apa yang baru saja ia pikirkan. Entah kenapa pikiran vulgar itu selalu bermuculan saat Laura dihadapkan dengan pria ini. Membayangkan mereka berciuman, tidur bersama, serta melakukan hal-hal dosa lainya. Laura seperti sudah hilang akal. Andai saja ia tak bisa menahan diri mungkin itu sudah ia lakukan pada Xander. Tapi Laura masih sadar jika pria itu telah memiliki anak dan juga istri. Laura tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang lain. Tapi ... entah apa yang terjadi jika sampai ia tak bisa mengontrol perasaanya sendiri. "Hujanya sudah reda, aku pergi." Laura hendak membuka pintu mobil namu
"Leoni." Xander memelotot pada istrinya yang dengan sengaja berpakaian terbuka saat dirinya akan pergi kerja. wanita cantik itu tahu jika Xander tidak bisa menolak godaanya. Leoni terkekeh geli. Sudah mengambil tiga hari cuti dan di rumah berdua bersama Xander membuatnya tidak rela jika pria itu kembali bekerja. Leoni tidak ingin ditinggal sendirian. "Aku harus bekerja, Sayangku." Xander memeluk gemas tubuh istrinya, mencium puncak kepala Leoni dalam-dalam pun ia memejam mencoba tak menoleh punggung polos istrinya yang menggoda. "Aku harus pergi," ucap Xander. Melepaskan pelukanya pada tubuh Leoni tanpa melihat ke arahnya sedikitpun. Takut-takut tergoda dan ia tidak jadi pergi bekerja. Leoni menghempaskan tubuhnya ke atas peraduan yang nyaman. Jemari lentiknya ia mainkan di atas wajah Zeline yang dengan lucunya bayi kecil itu mencoba meraih jemarinya. "Hai Zeline, apa yang harus kita lakukan di rumah berdua? Daddy mu selalu sibuk dengan pekerjaanya, uh?" Ia angkat tubuh Z
Leoni menyesap beer di dalam kaleng miliknya. Wanita cantik itu kini berada di apartemen Kizzie. Menemui sahabatnya yang baru saja kembali dari acara bulan madunya. Kabar baik yang sangat mengejutkan jika sahabatnya itu kini sedang hamil muda. Sigap Leoni mengambil kaleng beer yang dipegang Kizzie, menyimpanya sejauh mungkin dari wanita hamil itu. “Sebenarnya aku tidak berencana untuk hamil secepat itu. Tapi ... Lucas tidak pernah memakai pengaman dan dia selalu mengeluarkannya di dalam.” Leoni berdeham. Hampir-hampir tersedak setelah mendengar ungkapan sahabatnya yang sedang gundah gulana sebab kehamilannya yang datang begitu cepat. “Berikan aku beer itu, aku hanya akan meminumnya satu kaleng saja,” pinta Kizzie seraya menyodorkan tanganya untuk meminta. Tentu saja tak Leoni beri, malah tatapan tajam yang ia berikan untuk sahabatnya. “Wanita gila mana yang meminum alkhohol saat hamil,” celetuknya. “Kau,” tujun Kizzie. “Itu kau Leoni, kau bahkan meminum whisky hingga mabuk
Leoni merapihkan rambutnya dan mencoba bersikap tenang. Ia berjalan menuju Xander yang baru saja keluar dari dalam lift bersama Laura. Pura-pura tidak melihat pria itu dan berjalan dengan santai sampai tiba-tiba .... “Oh hai,” sapa Leoni pada suaminya dan pada wanita 'itu'. “Kalian di sini? Hotel?” Leoni sengaja menekankan kata 'hotel' pada kalimatnya. Dapat dilihat raut wajah Xander yang terkejut, begitu pula Laura yang langsung melepaskan gandengan tanganya kepada pria ini. Tatapan Leoni menilik pada wajah tampan suaminya yang kontan memaku terdiam tak bersuara. Padahal ia sudah tersenyum semanis mungkin dan tidak marah. “Urusan bisnis, um?” tanya Leoni lagi. Benar-benar dua orang ini seperti pasangan selingkuh yang baru tertangkap basah. Sama-sama tidak mau menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. “Kebetulan aku makan siang di sini, dan melihat kalian bersama keluar dari pintu lift. Kalian menyewa kamar di sini?” “Babe ....” Xander mencoba meraih lengan Leoni, namun s
Waktu telah menunjukan larut malam. Hujan mengguyur deras ibukota, angin malam menerpa kencang pada dada bidang yang dibiarkan terbuka polos tanpa sehelai kainpun. Pria itu hampir membeku seperti perasaanya saat ini. Pikirannya mengingat bagaimana kecewanya Leoni padanya karena ulahnya. Merasa menjadi pria yang paling tidak berguna sebab selalu mengecewakan sang wanita tercinta. “Kau mengatakan jika Leoni akan mengerti? Buktinya dia tidak mengerti,” celetuk Theodore yang menuangkan redwine ke dalam gelas. “Bukan tidak mengerti, dia hanya tidak ingin mengerti.” Sama-sama menjadi pemimpin perusahaan, Theodore tahu betul hal apa yang Xander lakukan. Terlebih lagi untuk memikat investor gila seperti Barney yang memiliki putri berusia tiga puluhan yang belum menikah. Theodore menegak minumannya hingga tandas, kembali menuangkan cairan memabukan itu ke dalam gelasnya pun gelas Xander. Menemani minum kakak iparnya malam ini, serta mendengarkan keluh kesah pria itu setelah menikah de
"Aku akan bertemu Xavolas di bar, tidak mungkin untuk membawa Zeline pergi bersamaku." Xander tak habis pikir dengan itu. Ia sendiri rela rapat di penthousenya demi tidak meninggalkan Leoni, tapi istrinya malah seenaknya pergi meninggalkan Zeline dan dirinya untuk menemui pria lain di bar. "Tidak kuijinkan," lontar Xander, pun Leoni yang berwajah datar sama sekali tidak memperdulikanya. "Aku sama sekali tidak membutuhkan ijinmu, Mr. Miller." Wajah datarnya menyoroti Xander yang saat ini sedang menahan perasaan frustasinya. "Tentu kau membutuhkanya, kau istriku." Xander menekankan. "Oh suamiku? Bagaimana dengan pergi ke apartment wanita lain di belakang istrimu? Apa kau sudah meminta ijin?" ungkit Leoni, membuat Xander kembali merasa bersalah. "Aku minta maaf, untuk itu a