Leoni merapihkan rambutnya dan mencoba bersikap tenang. Ia berjalan menuju Xander yang baru saja keluar dari dalam lift bersama Laura. Pura-pura tidak melihat pria itu dan berjalan dengan santai sampai tiba-tiba .... “Oh hai,” sapa Leoni pada suaminya dan pada wanita 'itu'. “Kalian di sini? Hotel?” Leoni sengaja menekankan kata 'hotel' pada kalimatnya. Dapat dilihat raut wajah Xander yang terkejut, begitu pula Laura yang langsung melepaskan gandengan tanganya kepada pria ini. Tatapan Leoni menilik pada wajah tampan suaminya yang kontan memaku terdiam tak bersuara. Padahal ia sudah tersenyum semanis mungkin dan tidak marah. “Urusan bisnis, um?” tanya Leoni lagi. Benar-benar dua orang ini seperti pasangan selingkuh yang baru tertangkap basah. Sama-sama tidak mau menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. “Kebetulan aku makan siang di sini, dan melihat kalian bersama keluar dari pintu lift. Kalian menyewa kamar di sini?” “Babe ....” Xander mencoba meraih lengan Leoni, namun s
Waktu telah menunjukan larut malam. Hujan mengguyur deras ibukota, angin malam menerpa kencang pada dada bidang yang dibiarkan terbuka polos tanpa sehelai kainpun. Pria itu hampir membeku seperti perasaanya saat ini. Pikirannya mengingat bagaimana kecewanya Leoni padanya karena ulahnya. Merasa menjadi pria yang paling tidak berguna sebab selalu mengecewakan sang wanita tercinta. “Kau mengatakan jika Leoni akan mengerti? Buktinya dia tidak mengerti,” celetuk Theodore yang menuangkan redwine ke dalam gelas. “Bukan tidak mengerti, dia hanya tidak ingin mengerti.” Sama-sama menjadi pemimpin perusahaan, Theodore tahu betul hal apa yang Xander lakukan. Terlebih lagi untuk memikat investor gila seperti Barney yang memiliki putri berusia tiga puluhan yang belum menikah. Theodore menegak minumannya hingga tandas, kembali menuangkan cairan memabukan itu ke dalam gelasnya pun gelas Xander. Menemani minum kakak iparnya malam ini, serta mendengarkan keluh kesah pria itu setelah menikah de
"Aku akan bertemu Xavolas di bar, tidak mungkin untuk membawa Zeline pergi bersamaku." Xander tak habis pikir dengan itu. Ia sendiri rela rapat di penthousenya demi tidak meninggalkan Leoni, tapi istrinya malah seenaknya pergi meninggalkan Zeline dan dirinya untuk menemui pria lain di bar. "Tidak kuijinkan," lontar Xander, pun Leoni yang berwajah datar sama sekali tidak memperdulikanya. "Aku sama sekali tidak membutuhkan ijinmu, Mr. Miller." Wajah datarnya menyoroti Xander yang saat ini sedang menahan perasaan frustasinya. "Tentu kau membutuhkanya, kau istriku." Xander menekankan. "Oh suamiku? Bagaimana dengan pergi ke apartment wanita lain di belakang istrimu? Apa kau sudah meminta ijin?" ungkit Leoni, membuat Xander kembali merasa bersalah. "Aku minta maaf, untuk itu a
"Di atas ranjang tentunya." GPS nya menunjukan Leoni tengah berada di dalam sebuah apartment apartment asing, pun kini balasan di panggilan telepon mengatakan jika dirinya sedang berbarin di atas ranjang. "Ranjang siapa?" tanya Xander, menuntut. Tapi panggilan telepon itu diputuskan sepihak oleh Leoni sebelum Xander bisa mendengar jawaban atas pertanyaanya. Wanita cantik itu sengaja membuat Xander tidak tenang dengan memikirkannya. 'Aku sedang menidurkan Zeline, jangan menghubungiku lagi.' Leoni mengirimkan sebuah pesan disertai gambar dirinya bersama Zeline yang tengah berbarin di atas ranjang pun bayi kecil itu tengah meminum susu hampir terlelap. Sementara Leoni memakai pakaian tipis di dalam foto tersebut. 'Di mana itu aku akan datang.' 'Balas pesanku.' 'Aku akan datang ke sana.' 'Apartment siapa yang kau datangi?' 'Kenapa pakaianmu sangat seksi?' Puluhan pesan beserta panggilan tidak terjawab Xander memenuhi ponsel Leoni, pun ia biarkan begitu saja tersimpan
Sudah satu munggu Xander tetap tidak diperbolehkan untuk mendekati Leoni, menyentuh, dan juga berbicara banyak kepada istri cantiknya. Pun itu membuat Xander amat frustasi, apalagi kini Leoni yang semakin tidak ingin berdekatan dengan Xander, dan meminta Xander untuk tidur di kamar Zeline saja. "Sudahi amarahmu, Babe, kumohon." Pria ini duduk di samping istrinya pada ruang utama penthouse. Di samping, Leoni tak henti-hentinya menutup hidung hingga rasa mual langsung menjalar pada perutnya. Segera ia berlari menuju kamar mandi, memuntahkan isi perutnya yang hanya cairan sebab sejak tadi dirirnya belum makan apapun. Ia mengangkat tanganya ketika Xander mencoba untuk mendekat. "Tetap di sana." "Kau sakit? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Harap-harap Xander cemas. Tidak tahu kenapa sudah tiga hari Leoni tidak enak badan, dan ia akan muntah jika berada di dekat suaminya. Aroma maskulin pria itu yang biasanya membuat candu kini malah membuatnya ingin muntah. Inilah sebabnya
"Kau benar-benar gila, Leoni. Bagaimana bisa kau mengabaikanya seperti itu?" "Aku tidak tahu." Leoni juga gelisah sendiri. Tapi kehamilan kali ini sepertinya benar-benar tak ingin melibatkan Xander. Sebab Xander sedikit mendekatinya saja Leoni rasanya ingin muntah. Kadang-kadang Leoni merasa bersalah pada suaminya, tapi ya bagaimana lagi? Sedetik kemudian ia akan benci Xander juga jika melihat pria itu langsung. Lucas datang membawa beberapa potong daging BBQ yang telah matang dipanggang. Menyimpanya di atas meja diantara dua wanita cantik itu, kemudian ia duduk di samping Kizzie. Tanpa memikirkan jumlah makanan yang sudah dimakan, Leoni mengambil dua potong dagig ke dalam piringnya lalu ia makan dengan lahap. "
"Payudaraku bengkak." Dua orang itu saling menatap. Xander yang menatap Leoni bingung pun kosong, sementara Leoni yang menatap Xander penuh rasa malu. "Aku akan membuatkanmu kompres air hangat," kata Xander segera bergerak mencari benda untuk kompres. Leoni telah membuka bajunya dan menyisakan bra saja ketika Xander telah siap dengan kompresanya. Xander yang tahu harus berbuat apa langsung membuka bra istrinya dan meletakan handuk panas di sana. Keduanya duduk di sofa kini, duduk saling berdekatan dengan Xander yang terus menopang handuk di depan payudara istrinya. "Masih terasa sakit?" tanya Xander, dan Leoni mengangguk pelan. "Jangan menyentuh ujungnya, di sana juga sangat sakit." Xander berdeham samar. Pandanganya justru kabur sekarang, pening melihat dua benda menggoda di depana, benda kesayangan yang sudah lama ia lihat dan sayang-sayang. "Perutmu masih mual?" tanya Xander mencoba mengalihkan perhatian dengan bertanya hal-hal kondisi pada istrinya. "Tidak." "
Di dalam ruang kerjanya Xander tengah duduk fokus mengerjakan pekerjaan saat tiba-tiba telepon di atas meja berdering. Sekretarisnya menghubungi dari luar jika ada seorang tamu yang datang mengunjunginya. Tidak lama setelah itu pintu ruangan Xander terbuka. Menampilkan sang sekretaris bersama wanita cantik yang dia antar untuk masuk. Laura. Wanita cantik itu datang setelah sekian lama. "Hai Xander, bagaimana kabarmu?" tanya Laura pada Xander yang gontai melangkah mendekat padanya. Dua orang itu kemudian duduk bersama di sofa yang baling berhadapan. Laura memberikan sebuah papperbag kecil berisikan satu botol redwine di dalamnya. Keduanya sudah sangat jarang bertemu. Sesekali hanya untuk membicarakan masalah pekerjaan saja, tidak lebih. Tidak seintens beberapa bulan yang lalu ketika Xander sangat sering sekai datang berkunjung ke apartmentnya. "Aku membawakan ini untukmu, kutahu ini redwine kesukaanmu, Xander," tuturnya. "Terimakasih, Laura." "Sebenarnya aku datang untuk