Waktu telah menunjukan larut malam. Hujan mengguyur deras ibukota, angin malam menerpa kencang pada dada bidang yang dibiarkan terbuka polos tanpa sehelai kainpun. Pria itu hampir membeku seperti perasaanya saat ini. Pikirannya mengingat bagaimana kecewanya Leoni padanya karena ulahnya. Merasa menjadi pria yang paling tidak berguna sebab selalu mengecewakan sang wanita tercinta. “Kau mengatakan jika Leoni akan mengerti? Buktinya dia tidak mengerti,” celetuk Theodore yang menuangkan redwine ke dalam gelas. “Bukan tidak mengerti, dia hanya tidak ingin mengerti.” Sama-sama menjadi pemimpin perusahaan, Theodore tahu betul hal apa yang Xander lakukan. Terlebih lagi untuk memikat investor gila seperti Barney yang memiliki putri berusia tiga puluhan yang belum menikah. Theodore menegak minumannya hingga tandas, kembali menuangkan cairan memabukan itu ke dalam gelasnya pun gelas Xander. Menemani minum kakak iparnya malam ini, serta mendengarkan keluh kesah pria itu setelah menikah de
"Aku akan bertemu Xavolas di bar, tidak mungkin untuk membawa Zeline pergi bersamaku." Xander tak habis pikir dengan itu. Ia sendiri rela rapat di penthousenya demi tidak meninggalkan Leoni, tapi istrinya malah seenaknya pergi meninggalkan Zeline dan dirinya untuk menemui pria lain di bar. "Tidak kuijinkan," lontar Xander, pun Leoni yang berwajah datar sama sekali tidak memperdulikanya. "Aku sama sekali tidak membutuhkan ijinmu, Mr. Miller." Wajah datarnya menyoroti Xander yang saat ini sedang menahan perasaan frustasinya. "Tentu kau membutuhkanya, kau istriku." Xander menekankan. "Oh suamiku? Bagaimana dengan pergi ke apartment wanita lain di belakang istrimu? Apa kau sudah meminta ijin?" ungkit Leoni, membuat Xander kembali merasa bersalah. "Aku minta maaf, untuk itu a
"Di atas ranjang tentunya." GPS nya menunjukan Leoni tengah berada di dalam sebuah apartment apartment asing, pun kini balasan di panggilan telepon mengatakan jika dirinya sedang berbarin di atas ranjang. "Ranjang siapa?" tanya Xander, menuntut. Tapi panggilan telepon itu diputuskan sepihak oleh Leoni sebelum Xander bisa mendengar jawaban atas pertanyaanya. Wanita cantik itu sengaja membuat Xander tidak tenang dengan memikirkannya. 'Aku sedang menidurkan Zeline, jangan menghubungiku lagi.' Leoni mengirimkan sebuah pesan disertai gambar dirinya bersama Zeline yang tengah berbarin di atas ranjang pun bayi kecil itu tengah meminum susu hampir terlelap. Sementara Leoni memakai pakaian tipis di dalam foto tersebut. 'Di mana itu aku akan datang.' 'Balas pesanku.' 'Aku akan datang ke sana.' 'Apartment siapa yang kau datangi?' 'Kenapa pakaianmu sangat seksi?' Puluhan pesan beserta panggilan tidak terjawab Xander memenuhi ponsel Leoni, pun ia biarkan begitu saja tersimpan
Sudah satu munggu Xander tetap tidak diperbolehkan untuk mendekati Leoni, menyentuh, dan juga berbicara banyak kepada istri cantiknya. Pun itu membuat Xander amat frustasi, apalagi kini Leoni yang semakin tidak ingin berdekatan dengan Xander, dan meminta Xander untuk tidur di kamar Zeline saja. "Sudahi amarahmu, Babe, kumohon." Pria ini duduk di samping istrinya pada ruang utama penthouse. Di samping, Leoni tak henti-hentinya menutup hidung hingga rasa mual langsung menjalar pada perutnya. Segera ia berlari menuju kamar mandi, memuntahkan isi perutnya yang hanya cairan sebab sejak tadi dirirnya belum makan apapun. Ia mengangkat tanganya ketika Xander mencoba untuk mendekat. "Tetap di sana." "Kau sakit? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Harap-harap Xander cemas. Tidak tahu kenapa sudah tiga hari Leoni tidak enak badan, dan ia akan muntah jika berada di dekat suaminya. Aroma maskulin pria itu yang biasanya membuat candu kini malah membuatnya ingin muntah. Inilah sebabnya
"Kau benar-benar gila, Leoni. Bagaimana bisa kau mengabaikanya seperti itu?" "Aku tidak tahu." Leoni juga gelisah sendiri. Tapi kehamilan kali ini sepertinya benar-benar tak ingin melibatkan Xander. Sebab Xander sedikit mendekatinya saja Leoni rasanya ingin muntah. Kadang-kadang Leoni merasa bersalah pada suaminya, tapi ya bagaimana lagi? Sedetik kemudian ia akan benci Xander juga jika melihat pria itu langsung. Lucas datang membawa beberapa potong daging BBQ yang telah matang dipanggang. Menyimpanya di atas meja diantara dua wanita cantik itu, kemudian ia duduk di samping Kizzie. Tanpa memikirkan jumlah makanan yang sudah dimakan, Leoni mengambil dua potong dagig ke dalam piringnya lalu ia makan dengan lahap. "
"Payudaraku bengkak." Dua orang itu saling menatap. Xander yang menatap Leoni bingung pun kosong, sementara Leoni yang menatap Xander penuh rasa malu. "Aku akan membuatkanmu kompres air hangat," kata Xander segera bergerak mencari benda untuk kompres. Leoni telah membuka bajunya dan menyisakan bra saja ketika Xander telah siap dengan kompresanya. Xander yang tahu harus berbuat apa langsung membuka bra istrinya dan meletakan handuk panas di sana. Keduanya duduk di sofa kini, duduk saling berdekatan dengan Xander yang terus menopang handuk di depan payudara istrinya. "Masih terasa sakit?" tanya Xander, dan Leoni mengangguk pelan. "Jangan menyentuh ujungnya, di sana juga sangat sakit." Xander berdeham samar. Pandanganya justru kabur sekarang, pening melihat dua benda menggoda di depana, benda kesayangan yang sudah lama ia lihat dan sayang-sayang. "Perutmu masih mual?" tanya Xander mencoba mengalihkan perhatian dengan bertanya hal-hal kondisi pada istrinya. "Tidak." "
Di dalam ruang kerjanya Xander tengah duduk fokus mengerjakan pekerjaan saat tiba-tiba telepon di atas meja berdering. Sekretarisnya menghubungi dari luar jika ada seorang tamu yang datang mengunjunginya. Tidak lama setelah itu pintu ruangan Xander terbuka. Menampilkan sang sekretaris bersama wanita cantik yang dia antar untuk masuk. Laura. Wanita cantik itu datang setelah sekian lama. "Hai Xander, bagaimana kabarmu?" tanya Laura pada Xander yang gontai melangkah mendekat padanya. Dua orang itu kemudian duduk bersama di sofa yang baling berhadapan. Laura memberikan sebuah papperbag kecil berisikan satu botol redwine di dalamnya. Keduanya sudah sangat jarang bertemu. Sesekali hanya untuk membicarakan masalah pekerjaan saja, tidak lebih. Tidak seintens beberapa bulan yang lalu ketika Xander sangat sering sekai datang berkunjung ke apartmentnya. "Aku membawakan ini untukmu, kutahu ini redwine kesukaanmu, Xander," tuturnya. "Terimakasih, Laura." "Sebenarnya aku datang untuk
Di pertemuan yoga pertama Leoni dan Kizzie. Semuanya berjalan sukses, terlebih lago pelatih yoga mereka masih muda dan sangat tampan. Dua wanita cantik itu terus membicarakan pria tersebut sepanjang jalan mereka kembali. Seolah s "Tapi aku lebih menyukai otot suamiku. Otot tubuhnya sangatlah terbentuk sempurna," lontar Leoni pada Kizzie yang tak berenti mengagumi tubuh pelatih baru mereka. Keduanya berada di dalam mobil kini, dan Kizzie yang menyetir. Sementara di samping kursi kemudi Leoni sibuk memakan ice cream yang sebelumnya ia beli. Padahal baru saja olahraga, tapi asupan kalorinya malah ia tambah dengan mudah. "Dia berwajah manis, berbeda dengan wajah tegas Xander yang garang," timpal Kizzie, dan di samping Leoni mengangguk pelan. "Tapi Lucas lebih manis," imbuh Kizzie tentu saja. Meskipun keduanya sama-sama mengagumi pria di luar, tapi tetap milik mereka yang terbaik pun tidak ada tandingannya. Mobil itu terhenti tepat di depan sebuah restoran jepang. Di mana Leoni
Tatapan Leoni begitu hangat pada Zenna yang telah terlelap di dalam ranjang tidurnya. Ia selimuti lalu ia kecup kening putri kecilnya sebelum keluar meninggalkan ruangan. Tepat di depan pintu dirinya berpapasan dengan Xander yang baru saja turun dari lantai dua. "Kau membutuhkan sesuatu?" tanya Leoni pada suaminya. Xander sedang bekerja sebelum Leoni tinggal untuk menidurkan Zenna dan Zeline. "Ya. Aku membutuhkanmu," jawabnya seraya ia rengkuh pinggang Leoni, memeluknya seductive. Tatapan serta senyuman nakal Xander menjelaskan segalanya. Segera Leoni tersenyum melihat ekspresi pria itu. Lantas ia kalungkan dua tangannya pada ceruk leher Xander. "Aku akan menemanimu bekerja malam ini," tutur Leoni. Sebelah alis Xander terangkat serta senyum nakanya memudar. "Hanya menemani?" Leoni mengangguk. "Ya. Kau lupa ini tanggal berapa?" Ia mendekatkan bibirnya tepat di depan telinga Xander. "Hari ini aku datang bulan." Xander mendesah, kekecewaan pada raut wajahnya begitu kentara
Hari-hari berlalu begitu cepat. Rasa sakit Xander akan rasa kehilangan masih begitu kentara di hatinya. Entah kenapa kejadian beberapa bbulan silam begitu membekas di mana ia hampir kehilangan istri tercintanya. Tubuhnya terbalut jas licin nan rapih berdii dengan gagah. Memegang satu gelas minuman di tangan lantas pandangannya tak alih dari menatap istri serta dua putrinya di depan sana tengah merayakan pesta ulang tahun Zenna yag ke satu tahun. Tidak terasa bayi kecil Xander yang cantik sudah beranjak menjadi batita. Ia menghampiri Leoni yang sedang menggendong Zenna, membawa bocah kecil itu berkeliling untuk diperkenalkan pada seluruh teman serta anggota keluarga. Semua orang begitu antusias bertemu putri kedua dari Leoni dan Xander. "Hallo, Babe." Xander merangkul pinggang istrinya. Saling mengecup satu sama lain. Kemudian atensinya beralih pada Zena yang langsung merentangkan kedu tangan, meminta ayahnya untuk segera menggendong tubuh kecil itu. Tak bisa menolak permintaan
Di bawah cahaya rembulan malam. Leoni dan Xander saling menguatkan satu sama lain. Cekatan Xander mengelus punggung Leoni kala wanita itu meringis kesakitan. Setiap saat Xander bertanya pada Leoni untuk kembali ke kamarnya. Namun, istrinya selalu menolak. Tiba-tiba atensi keduanya teralihkan oleh suara Isak tangis seorang pria yang baru saja tiba. Duduk di dekat kursi yang mereka tempati. Leoni pun Xander saling menatap. Bertanya-tanya apa yang membuat pria itu menangis begitu pilu. Pria itu merasa dirinya tengah diperhatikan. Lantas ia menyeka wajah yang dipenuhi oleh air mata. Dirinya meminta maaf pada Xander dan Leoni karena membuat suara berisik. “Maaf aku menganggu kalian,” katanya dengan suara serak. Dia dihampiri oleh seorang wanita paruh baya yang kontan memeluknya. Tangis mereka pecah kembali. Leoni dan Xander saling memperhatikan ditempat, ikut merasa iba sebab tangis yang begitu pilu mereka dengar. Rumah sakit memanglah tempat kesedihan. Tidak dipungkiri jika temp
Bulan-bulan berlalu begitu cepat. Kehamilan Leoni sudah menginjak trimester akhir dan tinggal menghitung hari untuk persalinannya. Hal ini cukup membuat Xander stres di mana ini kali pertama ia akan mendampingi wanita tercintanya berjuang untuk hidup dan mati bersama anak mereka. Pria ini tak focus dengan pekerjaan. Bayang-bayang akan wanita melahirkan yang setiap malam ia tonton di internet amat menghantui pikiran. Ketakutan akan rasa sakit yang akan diderita oleh Leoni hampir membuatnya hilang akal. Leoni datang dari dapur membawa satu piring berisikan potongan buah segar. Santai ia memakannya lantas duduk di samping Xander yang tengah terduduk seraya memijat pelipis. Pria ini terlihat seperti ini hampir setiap hari, pun Leoni tahu betul apa alasannya. Matanya melirik sang suami, tanpa mengatakan apapun sebab mulutnya penuh dengan buah segar. Xander mengangkat wajah menatap dalam penuh kasih pada istrinya. Wajah cantik yang terlihat santai itu sedikit membuat ketakutan Xander mem
Intercomnya berbunyi saat Leoni dan Xander tengah menyipkan makan malam. Segera Xander menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Itu Laura. Wanita cantik itu memang telah membuat janji untuk datang berkunjung. Xander bisa melihat wanita itu sedang berdiri di loby penthouse. Menunggu Xander mengijinkannya untuk naik ke lantai atas penthousenya. Laura di antar oleh seorang security untuk menuju lantai tujuan setelah Xander mengijinkannya masuk. "Selamat datang," sapa Leoni dengan senyuman. Datang untuk menyambut Laura di pintu masuk, lantas ia peluk ringan tubuh wanita cantik itu. Meintanya masuk dan duduk pada ruang utama. "Hai, Leoni, apa kabarmu?" "Aku baik." Laura mengangguk senyum. Ia sodorkan barang bawaanya kepada Leoni ber
Tertegun Leoni ketika melihat Xander yang datang dengan penampilan tak karuan. Kemeja putihnya yang telah kusut lusuh, rambut berantakan, serta beberapa luka memar diserta darah yng menghiasi wajah tampannya. Pria itu duduk lemas di atas sofa ruang kerja Leoni, terdiam hingga istrinya datang untuk menghampirinya. "Kau berkelahi?' tanya Xander, dan pria itu menatap istrinya intens pun dalam. Xander mengangguk tanpa kata-kata. Bukan rasa sakit yang bergulung di pikirannya, melainkan amarah yang memuncak. Xander diam karena tengah menahan dirinya untuk tidak pergi membuat keributan lainnya kepada Leonard. "Dengan siapa kau berkelahi?" tanya Leoni pelan. Menatap Xander cemas seraya ia sentuh ujung bibirnya yang pecah terluka. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Xander malah membawa tangan Leoni untuk dia cium, untuk ia rasakan kehangatan dari sana, mencari ketenangan dari sosok istrinya. Bagaimana caranya menjelaskan jika seorang pria gila menguntit istrinya, selalu memper
Waktu telah menunjukan pukul satu dini hari. Leoni telah terbaring di atas peraduannya selama lebih tiga jam dan ia terus membuka mata. Pikirannya tak kunung terlelap meskipun ia mencoba menutup matanya beberapa kali. Perutnya yang sudah besar membuat Leoni susah mendapatkan posisi nyaman untuk tidurnya. Sehingga dirinya terus terjaga. Berbeda dengan pria tampan di sisinya. Xander Miller telah terlelap dengan nyaman, terbuai amat dalam di alam bawah sadarnya. Pria itu bahkan tidur tanpa bergerak, sangat-sangat tenang sehingga Leoni tak tahan ingin mengganggunya. Leoni berbaring menyamping menatap suaminya yang memejam mata lelap. Telunjuknya bergerak nakal di atas dahi Xander, hingga turun menuju hidung mancungnya, pun turun lagi menuju bibir seksi pria itu. Ia menggesekan jemarinya di sana hingga Xander melenguh membuka mata. "Hai, Babe?" ucap pria itu seraya membuka matanya yang memerah. Ia peluk tubuh istrinya yang langsung menyingkirkan tangan Xander di sana. Mata Xander ya
Kehamilan Leoni telah memasuki usia tujuh bulan. Perutnya telah membulat besar dan dipastikan berat badanya bertambat dua kali lipat. Wanita cantik itu semakin berisi pun pipinya yang membulat terdapat double chin. Kini, dirinya sedang berada di rumah sakit. Menjenguk Kizzie yang baru saja melahirkan bayi laki-laki yang amat tampan dan lucu. Bayi kecil merah yang saat ini sedang terlelap di dalam baby box nya. Ditatap penuh oleh Leoni dan Xander, Kizzie dan juga Lucas. “Lucu sekali, dia yang selama ini berada di perutku?” Mendadak Kizzie mejadi melow, lingkar matanya memerah penuh haru. Ia dipeluk oleh suaminya di samping yang sama-sama terharu seperti dirinya. Satu lengan Kizzie terulur untuk menyentuh bayi kecilnya. Membuat bayi itu menggeliat kala merasakan sentuhan hangat dari tangan maminya. "Hah ... dia lucu," kata Leoni disertai mata yang berbinar. "Akhirnya kau menjadi ibu dari seorang bayi laki-laki," imbuh Leoni, memeluk sahabatnya. "Ahkhirnya." Pun, tangis Kizzi
Acara reuni diadakan pada aula besar unniversitas. Begitu besar pesta diadakan sebab beberapa angkatan turut hadir di dalamnya. Leoni dan Xander datang bergandengan tangan, bersama baby Zeline yang berada di dalam gendongan daddynya. Pandangan orang-orang tentu saja tertuju pada pasangan ini. Sensasional sebab mantan ipar yang saling menikah. Namun, Leoni dan Xander tak menghiraukan tatapan serta cibiran dari manusia-manusia yang hanya bisa mencibir orang, mereka hanya fokus pada diri masing-masing. Jauh di ujung ruangan Kizzie melambaikan tangan, meminta Leoni untuk datang duduk bersamanya dan Lucas. Sampai di mejanya, segera Lucas ambil alih badan mungil Baby Zeline dari gendongan daddynya. Leoni duduk di samping Kizzie, mendekatkan wajahnya pada sahabtanya itu lalu berbisik. "Sial! Kenapa kau mengirimkan fotonya, Xander telah melihatnya sekarang." Kizzie menahan tawanya. Menilik Xander yang pandanganya tengah mengedar mencari sesuatu, lalu tak lama pria itu bangkit dari