Di dalam penthouse Lucas. Dua sejoli tengah bersama pada ruang utama. Lucas membiarkan Kizzie untuk berbaring di atas pahanya sementara ia sibuk menonton saluran televisi.
"Kenapa kau dekat sekali dengan perempuan itu? Mungkinkah dia benar-benar selingkuhanmu?" lontar Kizzie. Terus ia pandangi foto Lucas bersama seorang wanita yang sengaja pra itu buat untuk membuat berita palsu. Tentunya atas ijin dari Kizzie. "Professional job, Baby." Lucas menimpali. Dua orang ini bekerja sama untuk mengelabui Leoni, kembali mendekatkan wanita itu pada Xander untuk memperjuangkan ayah bagi Zeline. Sama-sama tak rela jika Xander yang akan berakhir menikah dengan seorang jalang ibukota. "Kau sudah mengatakanya pada Xander mengenai Zeline?" tanya Kizzie, mendongak menatap pada Lucas. Telapak tangan besar pria itu mengelus lembut pipi kekasihnya. TanpaBerdiri Xander di depan pintu kamar hotel Leoni. Memegang ponsel wanita itu yang ia pesan untuk meminta pelayan mengantarkanya. Namun, xander lebih memilih untuk mengantarakanya sendiri. Ponsel di dalam genggamanya seketika bertering. Menyala layar ponsel menampilkan sebuah pesan chat yang tak sengaja Xander baca. 'Putrimu yang nakal ingin berbicara denganmu.' itu sebuah pesan dari Theodore. Disertai gambang yang bayi kecil yang tengah merengek menangis hingga wajahnya memerah. Belum sempat Xander mengetuk pintu, tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka. Menampilkan Leoni yang sudah tampil cantik dengan balutan dress pendek slim fit pada tubuh sintalnya. Leoni terkejut melihat Xandr berdiri di depan pintu kamar hotel. Menilik pria itu lalu turun melihat ponselnya yang sedang Xander p
"Kau baik-baik saja? Bagaimana kondisimu, astaga. Aku sangat terkejut." Kizzie memeluk Leoni, melepaskanya lagi untuk memastikan, lalu memeluknya lagi. Terus seperti itu beberapa kali. Ia begitu khawatir saat mendengar kabar Leoni yang hampir tertabrak pengendara mabuk di depan hotel. "Ahh~ Seharusnya aku tak meninggalkanmu sendirian," keluhnya. Merasa sangat bersalah. "Aku baik-baik saja. Hanya kakiku yang sedikit terluka," kata Leoni mencoba menenangkan sahabatnya itu. KIzzie meihat luka pada lutut Leoni yang telah terbalut rapih. "Kau membuatku khawatir." "Ayolah, aku baik-baik saja," ungkap Leoni. Meminta Kizzie untuk menghilangkan ke khawatiranya. Sementara itu Lucas berada di kamar hotel Xander. Sama-sama keduanya menyulut batang nikotin lalu menyesap whisky disertai batu es di dalam gelas. Sal
Leoni menatap keluar jendela dari dalam mobil yang telah terparkir pada basement penthouse sejak dua puluh menit yang lalu. Bersama Xander yang terus mencoba membujuknya. Mereka tidak bisa berjalan keluar sebab pangkal paha pria itu yang terus tegak menonjol. Gila. Dan itu membuat Xander terus membujuk Leoni untuk melakukanya di dalam mobil. "Aku tidak mau," tolak Leoni. Menghempas menyingkirkan tangan Xander yang merayap pada tubuhnya. "Jangan berharap aku mau melakukanya di sini." Xander memeluknya dari belakang, mencium tengkuk Leoni beberapa kali. "Bantu aku, Babe, please." Mencebik kesal wajah cantiknya. Menyesal Leoni berada di atas pangkuan Xander sepanjang jalan tadi sehingga membuatnya terlibat dalam masalah seperti ini. "Hah Zeline!" Leoni berteriak serta menunjuk ke arah luar, menyingkikan tangan Xander dari tubuhnya lantas
"Aaah Xander—” Xander mengurut pangkal hidungnya pening. Di dalam pikiranya terus terngiang suara vulgar Leoni kemarin saat mereka menghabiskan waktu di kamar mandi. Sayangnya hari ini Xander memiliki perjalanan bisnis ke jepang selama satu pekan penuh, jika tidak ia akan terus membuat Leoni mendesah sepanjang hari. Pria itu baru saja kembali ke hotel dari makan malam bersama klien. Waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam, yang mana itu masih sore di Spanyol. Seteleh mandi, Xander hanya membelitkan handuk pada pinggangnya. Membiarkan dada bidangnya yang basah tetap terbuka. Duduk dirinya pada tepi ranjang, mengambil ponsel lalu melakukan panggilan video bersama Leoni. "Hai, Baby, masih bekerja?" lontar Xander, sebab Leoni terlihat masih di dalam ruang kerjanya. 'Ya, aku sibuk hari ini. Malam nanti, aku masih harus menghadiri pesta s
Berita tentang keakraban putra walikota—Francesco Huxley— bersama Leoni Calis, tengah marak diperbincangkan. Tidak hanya orang-orang pada pesta waktu itu, melainkan seluruh Spanyol pun kini mendukung kedekatan keduanya. Sosok Huxley digadang-gadang memiliki kepribadian yang baik serta hangat. Pria itu juga bukan pemain wanita. Maka akan dipastikan Leoni bahagia jika bersamanya, Takan mengulang kenangan pahit seperti di masalalu, diselingkuhi suami sendiri. Wanita cantik itu tak peduli dengan kabar yang dibuat media mengenai dirinya. Sebab kabar kedekatannya bersama Francesco Huxley hanyalah sebatas rekan kerja, tak lebih seperti yang dibuat oleh media. Maka dari itu Leoni mengabaikannya, biarkan berita tentang dirinya berlalu terbawa angin lalu hilang setelah beberapa hari. Tapi, ketidakpedulian dirinya tak terjadi pada Xander yang sejak pagi tadi menelpon memastikan mengenai kabar tersebut. Xander takut L
"Jadi akhirnya kau memberitahunya?" bisik Theodore tepat di depan telinga Leoni. "Aku tidak memberitahunya, dia mencaritahu sendiri." Pasangan itu sengaja berkunjung pada kediaman Calis untuk makan malam bersama. Sengaja Leoni bawa Xander untuk menghadap pada kedua orang tuanya. KIni, keluarga itu bersama-sama berkumpul pada ruang makan. Tuan dan Nyonya Calis menatap Xander dengan penuh selidik. Isi kepala dua orang paruh baya itu terpenuhi dengan hubungan putrinya yang rumit. Meskipun telah Leoni jelaskan masalah awal kenapa dirinya sampai bisa berakhir dengan Xander, namun rasanya itu tak masuk akal bagi keduanya. Itu karena Leoni tak menjelaskan secara detail mengenai balas dendamnya, hanya sebatas bercerita pergi ke club malam karena marah.
Xander pergi keluar dari kamar setelah memastikan Leoni terlelap pulas. Pria ini pergi menuju taman mansion untuk menulut satu batang nikotin di sana. Dirinya bertemu Theodore yang juga tengah melakukan hal yang sama. Ia duduk di samping calon adik iparnya. "Kau bersungguh-sungguh ingin menikahinya?" tanya Theodore tiba-tiba, menghisap rokok lau menghembuskan asapnya menjauh. "Kau siap hidup bersama wanita tempramental seperti dirinya?" Xander terkekeh menahan tawanya. Ia pikir pernyataan apa yang akan terlontar dari Theodore. Ternyata, hanya ungkapan konyol yang tentu saja Xander ketahui. "Aku menyayanginya. Bagaimana pun sikapnya, akan kuterima dengan sepenuh hati." Theodore menghela napasnya. "Kutahu kau menyayanginya. Tak pernah kulihat pria sehancur dirimu ketika mencintai seorang wanita." Ya, Theodore menyinggung
Kini waktu telah menunjukan pukul setengah satu malam. Leoni baru kembali pulang ke penthouse setelah ia menyelesaikan beberapa pertemuan. Dalam keadaan penthousenya yang gelap, ia pikir jika orang yang tinggal di sana telah tertidur. tapi, Leoni salah saat tiba-tiba langkahnya tercekat kala ia lihat Xander duduk pada sofa tunggal di ruang utama. "Kau belum tidur? Kenapa tidak menyalakan lampu?" tanya Leoni, santai ia nyalakan lampu ruang utama, menatap Xander sekilas sebelum akhirnya ia melangkah menuju kamar. Tanpa beranjak dari duduknya Xander mengatakan, "Kau baru kembali larut malam seperti ini?" "Hm ya, aku sibuk dan memiliki banyak pertemuan," timpal Leoni. Beranjak Xander dari duduknya. Ia telah berada di sana dan menunggu
“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si
Xander masih terbaring di atas peraduannya. Posisi tubuh telungkup memperlihatkan punggungnya yang besar nan berotot, pria ini tak memakai kaos atas, sengaja tak menutupi bentuk tubuhnya yang panas nan menggoda. Sudah tiga hari ini Xander menghabiskan waktunya menginap di kamar hotel tanpa pulang, tanpa memberi kabar pada Leoni, dan juga tak ia aktifkan nomor ponselnya. Ia memberi jarak untuk wanita itu agar berpikir jika kebohongan besar akan sangat berdampa buruk pun mampu mengubah segalanya. "Selamat pagi, Darling." Suara manja nan manis itu membuat matanya terbuka. Serta sinar mentari yang menyilaukan menyeruak masuk dari gorden yang baru saja ditarik oleh seseorang yang menyapanya tadi, membuat Xander enggan untuk membuka matanya. Bibir seksi pria ini tertarik membentuk sebuah senyuman kala ia menatap wajah cantik wanita yang amat ia cintai. Berjalan dia menuj Xander, duduk pada tepi ranjang memeluk serta mencium pipinya. "Selamat pagi, Sweetheart," sapa Xander padanya.
"Biar kujelaskan ...." Leoni meminta pada Xander yang terus menerus mengabaikannya. Telah berpakaian rapi pria itu kini pun siap untuk pergi. Leoni menahan Xander, tak membiarkan suaminya pergi ke mana pun dalam keadaanya yang marah. Rahang Xander mengetat menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam, berusaha ia tahan agar tak mengatakan apapun pada istrinya meski ia kecewa, Xander takut kata-kata amarahnya akan melukai Leoni jadi ia hanya diam, bersiap untuk pergi agar amarahnya tak ia luapkan kepada sang istri. Tidak, Leoni sedikit pun tak mengijinkan Xander pergi dalam keadaan pria itu marah, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya, dan Leoni menginginkan hal itu terjadi. "Kumohon, biar kujelaskan padamu." Memejam mata Xander untuk sesaat menahan amarahnya, ia tarik dalam-dalam napas lalu menatap Leoni, tatapannya yang tajam pun mengintimidasi penuh amarah. "Xander ... aku tak bermaksud membohongimu, aku ingin memberitahu segalanya, hanya saja aku belum menemukan wakt
Leoni berdiri di depan cermin, memperhatikan bentuk tubuhnya yang lumayan berisi serta perutnya yang mulai menonjol. Usia kehamilannya kini telah menginjak lima belas minggu. Ia mengangkat kaos yang dikenakan lalu mengelus perutnya. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang, membayangkan perutnya beberapa bulan lagi akan seperti apa. "Bagaimana nanti aku menutupinya?" gumam Leoni. Ya! Sampai saat ini ia belum memberitahu Xandr, entah bila suaminya itu akan diberitahu. Leoni sedikit gila, bahkan Savalza dan Kizzie terus memperingati tapi dirinya selalu meminta waktu lebih lama untuk jujur. "Babe?" Suara Xander berasal dari dalam kamar. Segera Leoni benarkan posisi kaosnya yang terangkat lalu tak lama Xander datang, memeluknya dari belakang membuat bagian belakang tubuh Leoni basah sebab pria itu baru saja selesai berenang. "Um, kau basah," ujarnya. Namun tak ia lepaskan pelukan Xander atau membuat suaminya menjauh, Leoni malah nyaman Xander terus memeluknya. "Aku berniat