"Aaah Xander—”
Xander mengurut pangkal hidungnya pening. Di dalam pikiranya terus terngiang suara vulgar Leoni kemarin saat mereka menghabiskan waktu di kamar mandi. Sayangnya hari ini Xander memiliki perjalanan bisnis ke jepang selama satu pekan penuh, jika tidak ia akan terus membuat Leoni mendesah sepanjang hari. Pria itu baru saja kembali ke hotel dari makan malam bersama klien. Waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam, yang mana itu masih sore di Spanyol. Seteleh mandi, Xander hanya membelitkan handuk pada pinggangnya. Membiarkan dada bidangnya yang basah tetap terbuka. Duduk dirinya pada tepi ranjang, mengambil ponsel lalu melakukan panggilan video bersama Leoni. "Hai, Baby, masih bekerja?" lontar Xander, sebab Leoni terlihat masih di dalam ruang kerjanya. 'Ya, aku sibuk hari ini. Malam nanti, aku masih harus menghadiri pesta sBerita tentang keakraban putra walikota—Francesco Huxley— bersama Leoni Calis, tengah marak diperbincangkan. Tidak hanya orang-orang pada pesta waktu itu, melainkan seluruh Spanyol pun kini mendukung kedekatan keduanya. Sosok Huxley digadang-gadang memiliki kepribadian yang baik serta hangat. Pria itu juga bukan pemain wanita. Maka akan dipastikan Leoni bahagia jika bersamanya, Takan mengulang kenangan pahit seperti di masalalu, diselingkuhi suami sendiri. Wanita cantik itu tak peduli dengan kabar yang dibuat media mengenai dirinya. Sebab kabar kedekatannya bersama Francesco Huxley hanyalah sebatas rekan kerja, tak lebih seperti yang dibuat oleh media. Maka dari itu Leoni mengabaikannya, biarkan berita tentang dirinya berlalu terbawa angin lalu hilang setelah beberapa hari. Tapi, ketidakpedulian dirinya tak terjadi pada Xander yang sejak pagi tadi menelpon memastikan mengenai kabar tersebut. Xander takut L
"Jadi akhirnya kau memberitahunya?" bisik Theodore tepat di depan telinga Leoni. "Aku tidak memberitahunya, dia mencaritahu sendiri." Pasangan itu sengaja berkunjung pada kediaman Calis untuk makan malam bersama. Sengaja Leoni bawa Xander untuk menghadap pada kedua orang tuanya. KIni, keluarga itu bersama-sama berkumpul pada ruang makan. Tuan dan Nyonya Calis menatap Xander dengan penuh selidik. Isi kepala dua orang paruh baya itu terpenuhi dengan hubungan putrinya yang rumit. Meskipun telah Leoni jelaskan masalah awal kenapa dirinya sampai bisa berakhir dengan Xander, namun rasanya itu tak masuk akal bagi keduanya. Itu karena Leoni tak menjelaskan secara detail mengenai balas dendamnya, hanya sebatas bercerita pergi ke club malam karena marah.
Xander pergi keluar dari kamar setelah memastikan Leoni terlelap pulas. Pria ini pergi menuju taman mansion untuk menulut satu batang nikotin di sana. Dirinya bertemu Theodore yang juga tengah melakukan hal yang sama. Ia duduk di samping calon adik iparnya. "Kau bersungguh-sungguh ingin menikahinya?" tanya Theodore tiba-tiba, menghisap rokok lau menghembuskan asapnya menjauh. "Kau siap hidup bersama wanita tempramental seperti dirinya?" Xander terkekeh menahan tawanya. Ia pikir pernyataan apa yang akan terlontar dari Theodore. Ternyata, hanya ungkapan konyol yang tentu saja Xander ketahui. "Aku menyayanginya. Bagaimana pun sikapnya, akan kuterima dengan sepenuh hati." Theodore menghela napasnya. "Kutahu kau menyayanginya. Tak pernah kulihat pria sehancur dirimu ketika mencintai seorang wanita." Ya, Theodore menyinggung
Kini waktu telah menunjukan pukul setengah satu malam. Leoni baru kembali pulang ke penthouse setelah ia menyelesaikan beberapa pertemuan. Dalam keadaan penthousenya yang gelap, ia pikir jika orang yang tinggal di sana telah tertidur. tapi, Leoni salah saat tiba-tiba langkahnya tercekat kala ia lihat Xander duduk pada sofa tunggal di ruang utama. "Kau belum tidur? Kenapa tidak menyalakan lampu?" tanya Leoni, santai ia nyalakan lampu ruang utama, menatap Xander sekilas sebelum akhirnya ia melangkah menuju kamar. Tanpa beranjak dari duduknya Xander mengatakan, "Kau baru kembali larut malam seperti ini?" "Hm ya, aku sibuk dan memiliki banyak pertemuan," timpal Leoni. Beranjak Xander dari duduknya. Ia telah berada di sana dan menunggu
"Kau seharusnya berkaca, Jalang." Dua wanita itu saling menatap nyalang. Sama-sama menebarkan aura kebencian yang amat menyala. Tatapan keduanya diakhiri dengan Liza yang bedecih seraya mengalihkan pandangan terlebih dulu. "Mungkin kau benar. Xander memang mencintaimu sekarang, tapi sebelum dirimu, dia sangat-sangat mencintaiku dulu," papar Liza. Kembali ia tajamkan sorot matanya, namun kali ini agak meledek. Sesaat Leoni memutar bola matanya malas, sama sekali tidak peduli. "Kami bercinta setiap hari, setiap detik dan bahkan di mana pun dan kapan pun. Di kamar mandi, dapur, di atas meja. Mungkinkah dia melakukanya juga denganmu sekarang?" Liza terkekeh amat puas setelah membeberkan
Saat Xander mengatakan dirinya akan pulang larut malam karena menghadiri sebuah pertemuan, saat itulah waktu Leoni manfaatkan sebaik mungkin. Bertemu sahabatnya, Kizzie, dan menghabiskan waktu dengan minuman beralkohol bersama wanita itu hingga keduanya kini mabuk tersungkur. Beberapa kali Lucas menghubunginya, mengirimkan foto Leoni yang mabuk pun tak kunjung Xander buka pesan chat darinya. Pria itu pasti tengah sibuk pada pertemuanya. "Tidak perlu menghubunginya lagi, dia pasti sedang sibuk." Leoni mengangkat tanganya pada Lucas dengan gaya orang mabuk serta mata yang memerah. "Dua hari lagi adalah hari pernikahanya, pria itu sedang bersiap melakukan pemotretan mesra bersama calon istrinya." Di dalam pelukan Lucas, Kizzie terkekeh melihat tingkah Leoni. Wan
Leoni menggeliatkan tubuhnya di atas ranjang. Mengerjap beberapa kali menatap pada langit-langit kamar, merasakan kepalanya yang pening pusing akibat mabuk tadi malam. Ia beranjak dari tidurnya seraya mengucak kedua mata. Terhenyak seketika saat ia lihat Xander tengah duduk pads sofa tunggal dan menatap tajam ke arahnya. Pandangan Leoni bergerak menilik seisi kamar yang baru ia sadari jika dirinya berada di penthouse miliknya, dan bukan di penthouse Kizzie yang mana ia ingat terakhir kali ia mengajak Kizzie untuk mabuk. "Kau yang membawaku pulang?" tanya Leoni, tersenyum terpaksa. Lingkar hitam serta merah pada mata Xander menunjukan jika pria itu tak memiliki tidur yang nyenyak tadi malam. Bagaimana ia bisa tidur dengan nyenyak sementara Leoni yang mabuk terus saja menumbuki dirinya saat wanita itu melihat wajah Xander sedikit saja. Leoni terlampau kesal.
"Apa yang kau lakukan, Liza?" Tatapan Xander memicing pada wanita di hadapanya, penuh akan amarah yang menggebu-gebu pria itu seolah tak sabar ingin menghancurkan kepala wanita itu sekarang juga. Seorang bocah kecil berusia enam tahun tengah bergelayut di bawah kakinya. Ceria wajah bocah itu pun memanggil Xander dengan sebutan 'Papa'. Tiba-tiba seorang anak muncul satu hari sebelum hari pernikahan mereka. Bocah lelaki itu datang membawa bukti identitasnya yang menyertakan jika Xander lah ayah biologis bocah tersebut serta nama ibu yang tertera di sana ialah, Liza. Mungkin Xander tak menyangka jika hasil kerja kerasnya beberapa tahun yang lalu akan membuahkan hasil seorang bocah tampan yang saat ini berada bergelayut pada kakinya. "Aku ingin membawanya padamu setelah pernikahan nanti. Namun dia terus merengek tak sabar ingin bertemu papanya, Xander. Dia putramu, putra kandungmu yang kulahirkan beberapa tahun yang lalu." Perasaan tak menentu Xander bagai tertimpa bogem besar
Tatapan Leoni begitu hangat pada Zenna yang telah terlelap di dalam ranjang tidurnya. Ia selimuti lalu ia kecup kening putri kecilnya sebelum keluar meninggalkan ruangan. Tepat di depan pintu dirinya berpapasan dengan Xander yang baru saja turun dari lantai dua. "Kau membutuhkan sesuatu?" tanya Leoni pada suaminya. Xander sedang bekerja sebelum Leoni tinggal untuk menidurkan Zenna dan Zeline. "Ya. Aku membutuhkanmu," jawabnya seraya ia rengkuh pinggang Leoni, memeluknya seductive. Tatapan serta senyuman nakal Xander menjelaskan segalanya. Segera Leoni tersenyum melihat ekspresi pria itu. Lantas ia kalungkan dua tangannya pada ceruk leher Xander. "Aku akan menemanimu bekerja malam ini," tutur Leoni. Sebelah alis Xander terangkat serta senyum nakanya memudar. "Hanya menemani?" Leoni mengangguk. "Ya. Kau lupa ini tanggal berapa?" Ia mendekatkan bibirnya tepat di depan telinga Xander. "Hari ini aku datang bulan." Xander mendesah, kekecewaan pada raut wajahnya begitu kentara
Hari-hari berlalu begitu cepat. Rasa sakit Xander akan rasa kehilangan masih begitu kentara di hatinya. Entah kenapa kejadian beberapa bbulan silam begitu membekas di mana ia hampir kehilangan istri tercintanya. Tubuhnya terbalut jas licin nan rapih berdii dengan gagah. Memegang satu gelas minuman di tangan lantas pandangannya tak alih dari menatap istri serta dua putrinya di depan sana tengah merayakan pesta ulang tahun Zenna yag ke satu tahun. Tidak terasa bayi kecil Xander yang cantik sudah beranjak menjadi batita. Ia menghampiri Leoni yang sedang menggendong Zenna, membawa bocah kecil itu berkeliling untuk diperkenalkan pada seluruh teman serta anggota keluarga. Semua orang begitu antusias bertemu putri kedua dari Leoni dan Xander. "Hallo, Babe." Xander merangkul pinggang istrinya. Saling mengecup satu sama lain. Kemudian atensinya beralih pada Zena yang langsung merentangkan kedu tangan, meminta ayahnya untuk segera menggendong tubuh kecil itu. Tak bisa menolak permintaan
Di bawah cahaya rembulan malam. Leoni dan Xander saling menguatkan satu sama lain. Cekatan Xander mengelus punggung Leoni kala wanita itu meringis kesakitan. Setiap saat Xander bertanya pada Leoni untuk kembali ke kamarnya. Namun, istrinya selalu menolak. Tiba-tiba atensi keduanya teralihkan oleh suara Isak tangis seorang pria yang baru saja tiba. Duduk di dekat kursi yang mereka tempati. Leoni pun Xander saling menatap. Bertanya-tanya apa yang membuat pria itu menangis begitu pilu. Pria itu merasa dirinya tengah diperhatikan. Lantas ia menyeka wajah yang dipenuhi oleh air mata. Dirinya meminta maaf pada Xander dan Leoni karena membuat suara berisik. “Maaf aku menganggu kalian,” katanya dengan suara serak. Dia dihampiri oleh seorang wanita paruh baya yang kontan memeluknya. Tangis mereka pecah kembali. Leoni dan Xander saling memperhatikan ditempat, ikut merasa iba sebab tangis yang begitu pilu mereka dengar. Rumah sakit memanglah tempat kesedihan. Tidak dipungkiri jika temp
Bulan-bulan berlalu begitu cepat. Kehamilan Leoni sudah menginjak trimester akhir dan tinggal menghitung hari untuk persalinannya. Hal ini cukup membuat Xander stres di mana ini kali pertama ia akan mendampingi wanita tercintanya berjuang untuk hidup dan mati bersama anak mereka. Pria ini tak focus dengan pekerjaan. Bayang-bayang akan wanita melahirkan yang setiap malam ia tonton di internet amat menghantui pikiran. Ketakutan akan rasa sakit yang akan diderita oleh Leoni hampir membuatnya hilang akal. Leoni datang dari dapur membawa satu piring berisikan potongan buah segar. Santai ia memakannya lantas duduk di samping Xander yang tengah terduduk seraya memijat pelipis. Pria ini terlihat seperti ini hampir setiap hari, pun Leoni tahu betul apa alasannya. Matanya melirik sang suami, tanpa mengatakan apapun sebab mulutnya penuh dengan buah segar. Xander mengangkat wajah menatap dalam penuh kasih pada istrinya. Wajah cantik yang terlihat santai itu sedikit membuat ketakutan Xander mem
Intercomnya berbunyi saat Leoni dan Xander tengah menyipkan makan malam. Segera Xander menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Itu Laura. Wanita cantik itu memang telah membuat janji untuk datang berkunjung. Xander bisa melihat wanita itu sedang berdiri di loby penthouse. Menunggu Xander mengijinkannya untuk naik ke lantai atas penthousenya. Laura di antar oleh seorang security untuk menuju lantai tujuan setelah Xander mengijinkannya masuk. "Selamat datang," sapa Leoni dengan senyuman. Datang untuk menyambut Laura di pintu masuk, lantas ia peluk ringan tubuh wanita cantik itu. Meintanya masuk dan duduk pada ruang utama. "Hai, Leoni, apa kabarmu?" "Aku baik." Laura mengangguk senyum. Ia sodorkan barang bawaanya kepada Leoni ber
Tertegun Leoni ketika melihat Xander yang datang dengan penampilan tak karuan. Kemeja putihnya yang telah kusut lusuh, rambut berantakan, serta beberapa luka memar diserta darah yng menghiasi wajah tampannya. Pria itu duduk lemas di atas sofa ruang kerja Leoni, terdiam hingga istrinya datang untuk menghampirinya. "Kau berkelahi?' tanya Xander, dan pria itu menatap istrinya intens pun dalam. Xander mengangguk tanpa kata-kata. Bukan rasa sakit yang bergulung di pikirannya, melainkan amarah yang memuncak. Xander diam karena tengah menahan dirinya untuk tidak pergi membuat keributan lainnya kepada Leonard. "Dengan siapa kau berkelahi?" tanya Leoni pelan. Menatap Xander cemas seraya ia sentuh ujung bibirnya yang pecah terluka. Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Xander malah membawa tangan Leoni untuk dia cium, untuk ia rasakan kehangatan dari sana, mencari ketenangan dari sosok istrinya. Bagaimana caranya menjelaskan jika seorang pria gila menguntit istrinya, selalu memper
Waktu telah menunjukan pukul satu dini hari. Leoni telah terbaring di atas peraduannya selama lebih tiga jam dan ia terus membuka mata. Pikirannya tak kunung terlelap meskipun ia mencoba menutup matanya beberapa kali. Perutnya yang sudah besar membuat Leoni susah mendapatkan posisi nyaman untuk tidurnya. Sehingga dirinya terus terjaga. Berbeda dengan pria tampan di sisinya. Xander Miller telah terlelap dengan nyaman, terbuai amat dalam di alam bawah sadarnya. Pria itu bahkan tidur tanpa bergerak, sangat-sangat tenang sehingga Leoni tak tahan ingin mengganggunya. Leoni berbaring menyamping menatap suaminya yang memejam mata lelap. Telunjuknya bergerak nakal di atas dahi Xander, hingga turun menuju hidung mancungnya, pun turun lagi menuju bibir seksi pria itu. Ia menggesekan jemarinya di sana hingga Xander melenguh membuka mata. "Hai, Babe?" ucap pria itu seraya membuka matanya yang memerah. Ia peluk tubuh istrinya yang langsung menyingkirkan tangan Xander di sana. Mata Xander ya
Kehamilan Leoni telah memasuki usia tujuh bulan. Perutnya telah membulat besar dan dipastikan berat badanya bertambat dua kali lipat. Wanita cantik itu semakin berisi pun pipinya yang membulat terdapat double chin. Kini, dirinya sedang berada di rumah sakit. Menjenguk Kizzie yang baru saja melahirkan bayi laki-laki yang amat tampan dan lucu. Bayi kecil merah yang saat ini sedang terlelap di dalam baby box nya. Ditatap penuh oleh Leoni dan Xander, Kizzie dan juga Lucas. “Lucu sekali, dia yang selama ini berada di perutku?” Mendadak Kizzie mejadi melow, lingkar matanya memerah penuh haru. Ia dipeluk oleh suaminya di samping yang sama-sama terharu seperti dirinya. Satu lengan Kizzie terulur untuk menyentuh bayi kecilnya. Membuat bayi itu menggeliat kala merasakan sentuhan hangat dari tangan maminya. "Hah ... dia lucu," kata Leoni disertai mata yang berbinar. "Akhirnya kau menjadi ibu dari seorang bayi laki-laki," imbuh Leoni, memeluk sahabatnya. "Ahkhirnya." Pun, tangis Kizzi
Acara reuni diadakan pada aula besar unniversitas. Begitu besar pesta diadakan sebab beberapa angkatan turut hadir di dalamnya. Leoni dan Xander datang bergandengan tangan, bersama baby Zeline yang berada di dalam gendongan daddynya. Pandangan orang-orang tentu saja tertuju pada pasangan ini. Sensasional sebab mantan ipar yang saling menikah. Namun, Leoni dan Xander tak menghiraukan tatapan serta cibiran dari manusia-manusia yang hanya bisa mencibir orang, mereka hanya fokus pada diri masing-masing. Jauh di ujung ruangan Kizzie melambaikan tangan, meminta Leoni untuk datang duduk bersamanya dan Lucas. Sampai di mejanya, segera Lucas ambil alih badan mungil Baby Zeline dari gendongan daddynya. Leoni duduk di samping Kizzie, mendekatkan wajahnya pada sahabtanya itu lalu berbisik. "Sial! Kenapa kau mengirimkan fotonya, Xander telah melihatnya sekarang." Kizzie menahan tawanya. Menilik Xander yang pandanganya tengah mengedar mencari sesuatu, lalu tak lama pria itu bangkit dari