Waduh Stevan mau ngapain tuh yaaa >:) Teman-teman terima kasih sudah membaca kisah Stevan dan Elisa sampai sejauh ini. Maaf kalau Author belum bisa update banyak-banyak. Semoga kalian mau bersabar menunggu dan mengikuti kisah mereka sampai akhir yaa hehe sampai jumpa besok! ^^
WARNING! ADULT CONTENT! “Stevan, apa yang kamu lakukan?!” Elisa tidak bisa mengabaikan alarm dalam dirinya yang mengatakan bahwa pria itu menginginkan dirinya. Terlihat jelas dari setiap gerak-gerik dan tatap mata yang menunjukkan sisi liar. Elisa sudah dua kali melihatnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Elisa, pria itu kembali menunjukkan senyum miring dan menarik tubuh gadis itu sampai menabrak dada bidangnya. Tak ada lagi jarak di antara mereka kecuali kain di tubuh masing-masing. “Steve—” Ucapan Elisa tak pernah berlanjut karena Stevan sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan bibir. Satu tangannya menahan tengkuk, sedang tangan yang lain mencengkeram pinggang yang membuat si gadis cantik tidak bisa berkutik. ‘Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba jadi begini?’ Elisa mencoba mendorong dada bidang Stevan, tapi itu justru berimbas pada ciuman mereka yang semakin panas. Meski tidak tahu apa sebabnya, tapi dia merasa perlakuan Stevan itu menunjukkan suatu kemarahan. Tidak ada perlakuan
“Kita pulang?” tanya Stevan sambil meraih tangan Elisa yang masih mengamati gelang infinity yang membuat hatinya berbunga-bunga. Bukan karena harganya yang mahal, tetapi Elisa merasa Stevan begitu perhatian padanya. Itu benar-benar berkat tersendiri untuknya.Elisa mengangguk mantap karena kakinya sudah lelah. Namun, perutnya yang keroncongan tak serta merta setuju dengan rencana itu. Karena terlalu sibuk bekerja, Elisa melewatkan makan siang dan sekarang kelaparan.“Perutmu berbunyi. Kau lapar?” Stevan tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya saat melihat Elisa salah tingkah. Wajahnya bersemu merah dan menggigit bibir secara bersamaan. Euforia perhiasan baru di pergelangan tangan kirinya tergantikan oleh rasa malu dan canggung.“Itu … mungkin bukan suara perutku,” sangkal Elisa, melepaskan tautan tangannya di jari Stevan dan berusaha meninggalkan pria itu. Dia tidak tahan mendapat tatapan pria yang terlihat jelas menahan tawa.“Kalau lapar mengaku saja. Biarkan aku mentraktirmu.”“
“Anda akan memasak lagi hari ini, Nona?” tanya Maria saat mendapati Elisa berdiri di hadapannya padahal masih pukul lima pagi.“Hmm. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang istri?”Senyum hangat terukir di wajah Maria. Meskipun masih tinggal di kamar yang terpisah, tetapi hubungan Elisa dan Stevan benar-benar banyak mengalami perkembangan.“Apa yang akan kita masak hari ini?”Elisa menatap sekeliling meja dapur sambil menerima apron dari salah satu pelayan. Gadis 22 tahun itu memakainya sendiri.“Apa yang kamu lakukan? Bantu Nona memakai apronnya, bukan diserahkan begitu saja!” tegur Maria saat menyadari Elisa sibuk mengikat tali di belakang tubuhnya seorang diri, tidak dipakai
Elisa segera menggelengkan kepala, berusaha mengesampingkan berbagai pemikiran yang ada di kepala. Dia tahu Stevan senang menggodanya.Meski masih deg-degan karena godaan itu, ia pun lantas fokus dengan santap paginya dan naik ke lantai dua setelahnya.Hari ini mereka ada agenda untuk mengunjungi pabrik, dan Elisa ingin fokus ke sana daripada memikirkan hal lain.Dua puluh menit kemudian, dia berlarian menuruni anak tangga dan masuk ke mobil Stevan yang sudah dihidupkan mesinnya.“Kau terlambat satu menit dua puluh detik, Elisa,” ucap Stevan sambil memakaikan sabuk pengaman pada wanita yang masih terengah-engah itu. “Lain kali tidak ada toleransi. Kau mengerti?”Elisa mengangguk. Disi
Stevan maupun Elisa banyak diam setelah pertemuan tidak disengaja dengan Alex dan Harris. Keduanya sibuk dengan isi kepala masing-masing yang memicu keheranan dari Maria. Wanita itu penasaran yang terjadi dengan keduanya, tetapi tidak memiliki hak untuk bertanya.Hingga pagi berikutnya, interaksi keduanya masih terasa dingin. Menghabiskan hidangan masing-masing dan naik ke mobil seperti biasa.“Stevan ….”“Elisa ….”Stevan dan Elisa berbarengan memanggil lawan bicaranya saat mobil mewah Stevan berhenti di pelataran Miracle Company. Keheningan menyelimuti keduanya, memberikan yang lain kesempatan untuk bicara terlebih dahulu.“Ladies first,” ucap Stevan pada akhirnya karena satu-dua menit berlalu tapi tidak ada pembicaraan di antara mereka.Tampak Elisa menarik napas dalam, memikirkan kembali kalimat tanya yang tidak akan membuat Stevan tersinggung. Dia harus hati-hati, menjaga jangan sampai Stevan murka atau tidak ada yang bisa dia dengar dari pria itu.“Ini tentang apa yang Papa Alex
Keempat gadis itu tadinya bersiap mengamuk dan membalas orang yang berani-beraninya telah menyiram dan merusak penampilan mereka! Tapi seketika mereka saling pandang, tertegun menatap wanita dengan raut wajah anggun tapi juga bengis yang menandakan dia memiliki kekuasaan luar biasa. Bukan hal mustahil untuk meluluhlantakkan perusahaan kecil milik keluarga mereka.Mereka menelan ludah. Wanita ini ….“Kenapa diam? Bukankah kalian begitu vokal sebelumnya?”Elisa tertegun, merasa tidak asing dengan suara wanita yang berhasil membalaskan sakit hatinya. Bahkan, membuat gadis-gadis itu lari tunggang langgang dari sana.“Mama? Apa aku salah dengar?!”Setelah memastikan orang-orang itu tidak lagi ada di sana, Elisa membuka pintu bilik. “Mama?!”Elisa terlihat begitu bahagia mendapati wanita enam puluhan yang sekarang merentangkan tangan, bersiap memberikan pelukan hangat kepada menantu kesayangannya.“Bagaimana keadaanmu, Sayang? Maaf sekali Mama tidak bisa hadir di fashion show-mu hari itu.
Terlihat raut kekecewaan di wajah Elisa, tampak dari bibir yang digigit olehnya. Sepasang matanya tidak lagi berbinar. “Mama tahu kamu pasti sangat ingin melihat reaksi Stevan.” Elisa mengangguk lemah, menatap ke arah tautan tangannya dengan Renata di mana wanita itu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. “Kita tunggu waktu yang tepat, Sayang. Saat ini, kalian baru saling mengenal satu sama lain. Bukan tidak mungkin jika Stevan kembali mendesak untuk menggugurkan kandunganmu. Jika itu terjadi, kamu tidak akan bisa bersembunyi. Mengertilah, Nak.” Elisa tak merespons, tapi hatinya mengiyakan ucapan Renata. Dia tidak ingin kehilangan bayi yang ada di dalam rahimnya. Bahkan, jika harus berkorban nyawa untuk mempertahankannya, dia juga rela. “Sekarang, kamu fokus saja jaga kesehatanmu. Jangan memikirkan hal yang lain. Kamu harus bahagia, Elisa!” Senyum simpul berhasil Elisa tarik di sudut bibirnya, mengabaikan berbagai ketidaknyamanan yang harus ditahan. “Kamu sudah pergi terlalu la
“Selamat datang kembali, Paman. Benar-benar pencapaian yang mengejutkan. Kami semua bangga padamu,” ucap Alex sambil menghampiri Stevan dan memberikan pelukan hangat.“Aku benar-benar bahagia kamu muncul kembali di tempat ini,” imbuhnya sambil mengurai pelukan, menatap Stevan dengan mata berbinar bahagia.“Menjauhlah dariku!” geram Stevan dengan suara lirih, tetapi rahangnya mengeras, jelas-jelas tidak suka dengan sikap sok akrab keponakan liciknya.Alih-alih terpengaruh dengan perintah Stevan, Alex justru berdiri di samping Stevan dan merangkul pundaknya seperti seorang kawan dekat. Satu hal yang memicu bisik-bisik rekan bisnis di masing-masing meja.“Bukankah itu Alex Wijaya?”“Putra Harris yang terkenal suka bermain dengan banyak wanita?”“Kudengar dia pulang dari luar negeri padahal belum menyelesaikan pendidikan S2-nya. Apa itu benar?”“Dia kembali demi mendekati seorang mahasiswa baru di kampusnya terdahulu.”Berbagai komentar miring tak lepas dari telinga Elisa. Semua orang ber
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli