Harris mengulas sebuah senyum simpul, lalu menatap semua orang yang kini memperhatikannya. Mereka tampak penasaran dengan apa yang akan ia katakan berikutnya.Sebaliknya, Stevan semakin tidak nyaman dan ingin menghentikan drama ayah dan anak yang berpura-pura sangat peduli padanya. Padahal, hubungan mereka tidak sebaik itu!“Ada kriteria tertentu yang seharusnya gadis itu miliki, salah satunya latar belakang keluarga yang setara dengan kami. Bukan benalu yang hanya akan memberatkan Stevan di masa depan. Itu tidak boleh terjadi,” imbuh Harris dengan percaya diri.Meski tak sekali pun Harris menyebut nama Elisa, tetapi gadis itu tahu dirinyalah yang sedang dibicarakan. Dialah benalu yang menyusahkan.“Kebahagiaan Stevan adalah prioritas kami sebagai keluarga. Setelah kecelakaan yang terjadi tempo hari, tidak ada satu pun yang mengizinkan Stevan kami menderita. Gadis tidak tahu diri itu tidak akan kami izinkan menggerogoti Stevan maupun perusahaan!”Harris berujar dengan berapi-api. Dia
“Apa kamu menungguku, Steve?” bisik lirih seorang wanita, sedikit menarik diri setelah tanpa aba-aba mendaratkan kecupan mesra di sudut bibir pria yang menjadi obsesinya selama ini. “Clara?!” geram Stevan dengan emosi tertahan. “Yuhuu. It’s me, Baby. Do you miss me?” Stevan mengeratkan rahangnya, melepaskan diri dari tangan Clara yang masih bersemayam memeluk tengkuknya. “Apa kau gila?!” Stevan mendorong tubuh Clara. Ia usap bibirnya kasar, berusaha menghilangkan jejak bibir yang tak diinginkan itu dari bibirnya. Stevan juga segera mundur dua langkah untuk menciptakan jarak agar orang-orang tidak curiga. Clara masih ingin mendekat ke arah Stevan saat tiba-tiba lampu menyala. Semua pasang mata menatap Stevan dan Clara yang saat ini sedang berdiri saling berhadap-hadapan. “Surprise!” ucap Clara, menyodorkan buket bunga di balik tubuhnya ke arah Stevan. Dia pura-pura tidak melihat kemarahan di mata Stevan. Semurka apa pun pria itu, Clara yakin dirinya tidak akan dipersalahkan at
Sakit hati Elisa semakin menjadi-jadi. Semua yang diucapkan Clara benar adanya. “Tunggu apa lagi?” usir Clara sambil menendang ujung kaki Elisa bersama tatapan jijik yang amat kentara. Sejak awal bertemu malam itu, dia benar-benar membenci Elisa. Terlebih, sekarang Stevan terlihat semakin memanjakannya. Menahan sakit di fisik dan batinnya, Elisa pergi dari sana. Hatinya hancur, cemburu, marah, kesal, tetapi tidak berdaya diinjak-injak harga dirinya oleh Clara. Dibandingkan wanita itu, dia jelas tidak memiliki kuasa apa-apa. Statusnya sebagai istri Stevan, seolah tidak ada gunanya. Elisa berlari ke sembarang arah, melalui koridor pendek yang sepi dengan pencahayaan yang sedikit remang. Rasa gugup di awal menginjakkan kaki di gedung ini, penghinaan di toilet, hingga penindasan Clara benar-benar menguras tenaganya. “Ma … Mama Renata,” panggil Elisa putus asa, berusaha mencari ruang pemantau CCTV yang satu jam lalu menjadi tempat pertemuannya dengan Renata. Namun, semua pintu terlihat
Mata Alex terbelalak selebar-lebarnya saat menyadari sosok pria yang saat ini memangku tubuh Elisa, juga menepuk-nepuk pipinya untuk mengembalikan kesadaran gadis itu.“Elisa … El, kau bisa mendengarku?”Elisa membuka matanya, menatap wajah tampan yang saat ini memeluknya dengan penuh cinta. Aroma lavender yang menenangkan membuat Elisa langsung tahu identitas pria itu. Air matanya mengalir deras, takut Stevan salah paham karena dia dan Alex tadi hampir berciuman.Alex yang masih dikuasai emosi karena kesenangannya terganggu, bergerak cepat ingin menyingkirkan Stevan. Dia tidak mau mangsa empuknya menjadi santapan sang paman. Namun, seorang pria dengan pakaian serba hitam menahan bahunya.“Tetap di sana, Tuan,” ucapnya memperingatkan.Bukannya menurut, Alex justru berusaha melawan. Hal itu memicu sebuah tendangan bersarang di tulang keringnya, membuatnya tersungkur beralas lutut. Sumpah serapah keluar dari mulutnya. Dia ingin berontak, tapi dua orang pria menahan kedua bahunya.Dengan
Tidak perlu diminta dua kali, Sasha segera bergerak dari sana bersama ketiga pengawal yang mengambil jarak dengan tuan dan nonanya. Mereka paham, pasangan suami istri itu harus bicara empat mata. Bahu Elisa masih berguncang sesekali. Tangisnya memang sudah reda, tapi sedu-sedannya masih tersisa satu-dua. Malam itu benar-benar menjadi malam kelabu yang tak akan terlupakan untuknya. Pantas saja Harris memintanya bersiap-siap. Ternyata, ini yang terjadi. Cukup lama Stevan dan Elisa terdiam, sama-sama bungkam. Stevan sudah tampak lebih tenang sekarang. Pria itu mengambil posisi duduk di samping Elisa, berjarak dua jengkal saja. Hanya tangannya yang meraih botol air mineral di dekat kaki istrinya dan memainkannya. “Apa dia marah?” batin Elisa yang mulai merasa tidak karuan. Suara botol yang diremas dengan tangan terasa meremukkan tulang-tulang dan persendian Elisa, membuat tubuhnya menegang seketika. Sejujurnya, dia takut pria itu akan melampiaskan amarah padanya. “Apa kau terluka?”
“Elisa, jangan dengarkan apa pun yang—”“Tolong turunkan aku.”“Apa?”Stevan mengerutkan kening, merasa heran dengan permintaan Elisa. Terlebih, pergelangan kaki gadis itu terluka.“Aku mau turun,” pinta Elisa dengan suara dingin, tak melepaskan tatapannya dari sosok Clara yang semakin mendekat ke arah mereka.Meskipun belum yakin dengan apa yang terjadi, tetapi pria dengan kemeja putih yang tertutup vest tanpa lengan itu menurut. Stevan menundukkan badannya, membantu Elisa turun dari gendongannya.“Kau yakin kakimu baik-baik saja?”Alih-alih menjawab pertanyaan Stevan, Elisa justru mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lobi hotel yang cukup sepi membuat satu sudut bibirnya tertarik ke atas.“Elisa,” panggil Stevan, menggenggam jari Elisa karena merasa ada yang berbeda dengan pembawaan gadis itu. Stevan khawatir.Di sisi lain, Clara semakin mendekat, hanya menyisakan jarak tak lebih dari lima meter. Gemeletuk sepatu hak tingginya terdengar nyaring. Raut wajah gadis itu tampak tidak
Di saat yang sama, Stevan membantu Elisa naik ke dalam mobil dengan hati-hati. Satu tangannya sigap menggenggam erat lengan Elisa, sedang yang lain berusaha melindungi kepala gadis itu agar tidak terbentur bagian atas pintu mobil.Hanya dalam hitungan menit, pasangan suami istri itu meninggalkan hotel bintang lima yang berada dalam kekuasaan Wijaya Group. Cukup lama keduanya bungkam, sibuk dengan isi kepala masing-masing. Sibuk menatap keluar jendela sambil mengatur emosi masing-masing.“Terima kasih,” ucap Elisa saat mobil mereka terhenti karena lampu lalu lintas menyala merah.Sopir pribadi Stevan segera menutup partisi kaca di belakang kursi kemudi, mencegah dirinya mendengar percakapan mereka.Stevan tersenyum simpul. Satu, untuk sikap sopirnya. Dua, untuk ucapan terima kasih Elisa yang membuat hatinya menghangat.“Tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan yang seharusnya.”Elisa menarik satu sudut bibirnya, tapi terlihat jelas bahwa dia tidak benar-benar ingin tersenyum. W
“Di mana kau sekarang?” tanya Stevan begitu sambungan telepon diangkat oleh Maria. Terlihat jelas pria itu menahan emosi, harus sedikit menjauh dari Elisa yang tertidur di ranjangnya.“Saya masih ada di hotel, Tuan. Nona Clara membuat keributan dengan merusak barang-barang di lobi.”Rahang Stevan mengerat. Dia tidak menyangka Clara akan segila itu. Harga dirinya pasti begitu terluka sampai kehilangan kewarasannya.“Bereskan dan tutup mulut orang-orang. Jangan sampai kabar itu tersebar ke luar apalagi ke media.”“Baik, Tuan.”“Jangan lupa panggil pengacara. Pastikan kamu menuntut ganti rugi padanya.”Mario sedikit terkejut, tapi mengiyakan perintah atasannya.“Ada lagi yang harus saya lakukan, Tuan?”Gumam lirih terdengar, “Pergi ke ruang kendali CCTV dan kirimkan salinannya padaku. Elisa terluka. Aku harus tahu siapa yang sudah menyakitinya selain Alex.”“Saya akan segera mendapatkannya,” jawab Mario yang saat ini mulai melangkah menjauhi lobi hotel, meninggalkan beberapa pekerja yang
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli