Wah... Stevan mau ngapain yaa kira-kira? Siapin kipas untuk bab berikutnya yaaa hehehe sampai jumpa besok! >__<
“Pelajari ini.”Stevan meletakkan lima buah buku tebal dengan sedikit kasar ke atas meja, membuat Elisa terlonjak dan menengadahkan wajahnya yang terkantuk-kantuk sejak tadi. Matanya terasa berat dan lelah karena terlalu banyak membaca.“Kau bisa membawanya ke kamar. Baca sebelum tidur.”“Hah? Kenapa banyak sekali?!” protes Elisa dengan bibir mengerucut. “Banyak? Kau mau yang lainnya juga?” Stevan pura-pura menoleh ke arah rak yang penuh berisi buku-buku bisnis. “Aku bisa menambahkan beberapa yang lainnya.”“Sudah cukup!” teriak Elisa, terdengar seperti rengekan penuh derita. “Buku-buku yang kamu berikan siang tadi, aku belum selesai membaca semuanya.”“Itu karena kau yang terlalu lambat!” Stevan beralih ke belakang kursi Elisa, mengamati buku ketiga yang kini ada di hadapan gadis itu. Baru dibaca setengah bagian. Itu pun tidak yakin apakah Elisa bisa memahami isinya atau tidak.“Aku sudah mewarnai poin-poin penting dan menambah catatan di setiap buku yang kau baca. Apa kau tidak men
“Aku tidak boleh membuat Stevan curiga,” ucap Elisa sambil melilitkan stagen dan mengaitkannya dengan peniti. Itu semacam korset berbentuk kain panjang yang dililitkan di perut untuk menyembunyikan kehamilannya yang mulai tampak. “Fokusku saat ini adalah memastikan kerja sama dengan Thomas and Co. berjalan dengan lancar. Urusan lain, pikirkan nanti saja!” Elisa menurunkan sweater rajut lengan panjang menutupi perutnya, merapikan penampilannya sebelum keluar kamar dengan buku catatan di tangan. Tak lupa, dua buku tentang bisnis ikut ada dalam genggaman. “Nona, Tuan sudah menunggu Anda di ruang kerja.” Maria menyambut Elisa di samping tangga, tahu gadis itu akan menghabiskan waktu dengan tuannya hari itu. Elisa mengangguk, menilik jam tangan. Masih ada lima menit sebelum jam tujuh. Dia tidak akan terlambat. “Maria, coba lihat. Apa penampilanku terlihat aneh?” Elisa memutar tubuhnya sebelum kembali memperhatikan wanita yang pantas dia panggil Nenek. “Tidak. Anda cantik, Nona.” “Buk
“Aku tidak mengerti!” cetus Elisa sambil menggigit ujung bolpoin, menggeleng dan berusaha memasang wajah bodoh.“Apa?” Stevan terkejut, menatap lekat-lekat gadis yang duduk di depannya. “Bagian mana yang tidak kamu mengerti?”“Semua.”“Hah?!”“Tadi kamu menjelaskannya terlalu cepat, lompat dari topik yang satu ke yang lainnya. Sedang membahas profit share, kemudian kamu menyebutkan arus kas. Aku belum memahaminya, kamu sudah membuka lembar berikutnya dan menjelaskan proses produksi.”“Elisa ….”“Ah, Ini juga,” tunjuk gadis itu di lembar ke sekian. “Pelaksana utama tertulis Miracle Company, tapi kenapa produksi di-handle oleh anak perusahaan Thomas and Co.? Bukankah mereka hanya sponsor? Eh … investor? Eh … apa ya?”Elisa sengaja memasang wajah bingung sambil menggaruk kepala.“Kau bahkan tidak tahu perbedaan sponsor dan investor?”“Tidak tahu,” jawab Elisa mengangkat bahunya, “Lalu ini apa? Kenapa diagramnya dibuat seperti ini?”“Jangan katakan kau tidak bisa membaca diagram lingkaran
WARNING! ADULT CONTENT Lewat tengah malam, Stevan masih berdiri di beranda lantai dua. Pikirannya tak bisa tenang, menghubungkan semua kejadian dalam hidupnya. Percakapan dengan Mario kembali terngiang-ngiang di telinga. “Nona Elisa sama sekali tidak mengenal Nyonya Renata sebelumnya. Setelah Tuan Andara menikah lagi, Nona memilih keluar dari rumahnya dan tinggal di asrama. Bisa dipastikan, kehidupannya benar-benar tertutup dari dunia luar.” Ucapan itu memupus kecurigaan Stevan. “Dari rumor yang saya dengar, Tuan Alex mendekati Nona Elisa sejak pertama masuk kuliah. Namun, tidak ada yang tahu kepastian hubungan mereka karena Tuan Alex sering keluar masuk kelab malam dengan gadis lain, tapi tidak pernah sekali pun bersama Nona.” “Kau yakin informasi itu valid?” “Yakin, Tuan. Semua terekam dalam CCTV jika Anda ingin memeriksanya sendiri.” Stevan mendengkus, tidak memiliki waktu sebanyak itu. “Bagaimana dengan pernikahanku?” Mario tampak menghela napas sejenak, membuka catatan di
“Apa kau sakit?”Elisa menggeleng, menyingkirkan tangan Stevan yang masih ada di kepalanya dengan hati-hati. Namun, tetap terlihat raut terkejut dari pria itu.“Boleh aku lihat? Hanya melihatnya sebentar—”Lagi-lagi Elisa menggeleng, bergerak menjauh dari jangkauan Stevan. Dia baru berhenti karena sudah sampai di ujung ranjang.“Elisa….”“Aku tidak apa-apa.”“Kalau kau merasa tidak nyaman dengan perutmu, aku akan memanggil Maria. Atau kau ingin memeriksakannya ke dokter atau rumah sakit?”“Tidak!” tegas Elisa sambil berdiri, benar-benar tidak terjangkau oleh tangan Stevan. Raut wajahnya terlihat ketakutan, menyembunyikan sesuatu.Stevan tampak semakin tidak bisa memahami Elisa. Inti tubuhnya di bawah sana terasa sakit karena tidak mendapatkan tempat pelampiasan yang seharusnya, ditambah lagi sikap wanita itu yang membuat berbagai tanya memenuhi kepala.“Apa yang terjadi sebenarnya, huh?” Stevan membuang muka, mengepalkan tangan erat-erat.“Aku tidak apa-apa. Bi … bisakah kamu tinggalk
“Hah…” Stevan menghela nafas panjang. Ia melirik tubuh Elisa yang menyerupai buntalan anak kucing. Dia marah, kesal, geram, tapi juga gemas dan terhibur dengan wajah maupun tingkah konyolnya yang tidak biasa. Dia sulit menerima alasan Elisa karena sudah terlanjur terpancing hasratnya, tapi dia juga tidak sampai hati memaksakan kehendak karena Elisa mengaku sudah lelah. “Benar-benar tidak bisa dipercaya,” Stevan menggumam sambil berdiri dari posisinya. Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuat Elisa mengintip dari balik selimutnya. “Apa dia marah?” gumam Elisa lirih sambil terduduk. Dia mulai memunguti pakaian miliknya yang berserak dan segera memakainya. “Hampir saja kami melakukannya,” komentar Elisa saat mengedarkan tatapannya ke sekeliling ranjang. Kemeja milik Stevan tergeletak bersama celana panjang milik pria itu. “Bagaimana kalau Stevan marah? Pada siapa aku meminta bantuan?” Elisa memukul-mukul kepalanya sendiri, merasa bodoh karena sudah memancing murka pria yang s
Elisa membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya matahari pagi yang terasa membasuh wajah. “Selamat pagi,” sapa Stevan tepat saat Elisa tersadar sepenuhnya, mendapatkan kembali nyawa yang sempat meninggalkan raga karena tidur lelapnya. Jari telunjuk Stevan memainkan alis sang istri, menyusurinya dari pangkal ke ujung dengan gerakan berulang. Senyum simpul terukir di bibirnya, menyambut wanita yang sudah berhasil membuat dunianya terasa jungkir balik seperti menaiki wahana roller coaster. “Kau tidur nyenyak semalam?” Elisa hanya bisa mengangguk lemah sambil membenahi posisi kepalanya, menarik tangan kiri Stevan yang entah sejak kapan terselip di bawah lehernya. Beberapa detik berlalu dalam hening, Elisa masih menikmati wajah tampan yang juga tak mengalihkan pandangan darinya. Mereka sibuk menyelami perasaan satu sama lain. Perlahan, tangan Elisa terulur menyentuh wajah Stevan dan mengelus pipinya penuh perasaan. Dia masih tidak percaya bahwa hubungan mereka membaik dan akan ada
Mata indah Elisa terbelalak selebar-lebarnya. Ia segera menarik tangan, masih dengan degup jantung seperti ingin melompat dari tempatnya. Wajahnya merah padam, malu, terkejut, teringat kembali dengan kedekatan mereka semalam. Di sisi lain, Stevan sangat menikmati pemandangan di depannya. Terlihat jelas sikap canggung Elisa yang membuat hatinya berbunga-bunga. Melihat gadis itu salah tingkah, Stevan tidak bisa menahan senyumnya. Hatinya terasa hangat. Sungguh perasaan yang asing, tetapi juga menyenangkan. Stevan menggelengkan kepala. Seperti remaja kasmaran saja, pikirnya. “Habiskan makananmu. Aku akan bersiap dan mengantarmu ke Miracle. Tunjukkan pada mereka semua kalau kamu pantas menjadi pemimpin Miracle menggantikan Papa!” Stevan mengelus kepala Elisa sebelum pergi dari sana, kembali ke kamarnya sendiri. Napas kasar terembus dari mulut Elisa. Euforia atas perlakuan romantis Stevan tergantikan rasa gugup mengingat agenda yang telah menunggu mereka hari ini. *** “Selamat da
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli