Halo semuanya. Maaf banget dua hari ini Author cuma bisa update satu bab ya huhu please jangan marah >.< Author usahakan besok bisa update lebih banyak. Mohon pengertiannya yaaa, terima kasih banyak sudah membaca dan menyukai cerita ini. Love you all<3
“Apa kau sakit?”Elisa menggeleng, menyingkirkan tangan Stevan yang masih ada di kepalanya dengan hati-hati. Namun, tetap terlihat raut terkejut dari pria itu.“Boleh aku lihat? Hanya melihatnya sebentar—”Lagi-lagi Elisa menggeleng, bergerak menjauh dari jangkauan Stevan. Dia baru berhenti karena sudah sampai di ujung ranjang.“Elisa….”“Aku tidak apa-apa.”“Kalau kau merasa tidak nyaman dengan perutmu, aku akan memanggil Maria. Atau kau ingin memeriksakannya ke dokter atau rumah sakit?”“Tidak!” tegas Elisa sambil berdiri, benar-benar tidak terjangkau oleh tangan Stevan. Raut wajahnya terlihat ketakutan, menyembunyikan sesuatu.Stevan tampak semakin tidak bisa memahami Elisa. Inti tubuhnya di bawah sana terasa sakit karena tidak mendapatkan tempat pelampiasan yang seharusnya, ditambah lagi sikap wanita itu yang membuat berbagai tanya memenuhi kepala.“Apa yang terjadi sebenarnya, huh?” Stevan membuang muka, mengepalkan tangan erat-erat.“Aku tidak apa-apa. Bi … bisakah kamu tinggalk
“Hah…” Stevan menghela nafas panjang. Ia melirik tubuh Elisa yang menyerupai buntalan anak kucing. Dia marah, kesal, geram, tapi juga gemas dan terhibur dengan wajah maupun tingkah konyolnya yang tidak biasa. Dia sulit menerima alasan Elisa karena sudah terlanjur terpancing hasratnya, tapi dia juga tidak sampai hati memaksakan kehendak karena Elisa mengaku sudah lelah. “Benar-benar tidak bisa dipercaya,” Stevan menggumam sambil berdiri dari posisinya. Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuat Elisa mengintip dari balik selimutnya. “Apa dia marah?” gumam Elisa lirih sambil terduduk. Dia mulai memunguti pakaian miliknya yang berserak dan segera memakainya. “Hampir saja kami melakukannya,” komentar Elisa saat mengedarkan tatapannya ke sekeliling ranjang. Kemeja milik Stevan tergeletak bersama celana panjang milik pria itu. “Bagaimana kalau Stevan marah? Pada siapa aku meminta bantuan?” Elisa memukul-mukul kepalanya sendiri, merasa bodoh karena sudah memancing murka pria yang s
Elisa membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya matahari pagi yang terasa membasuh wajah. “Selamat pagi,” sapa Stevan tepat saat Elisa tersadar sepenuhnya, mendapatkan kembali nyawa yang sempat meninggalkan raga karena tidur lelapnya. Jari telunjuk Stevan memainkan alis sang istri, menyusurinya dari pangkal ke ujung dengan gerakan berulang. Senyum simpul terukir di bibirnya, menyambut wanita yang sudah berhasil membuat dunianya terasa jungkir balik seperti menaiki wahana roller coaster. “Kau tidur nyenyak semalam?” Elisa hanya bisa mengangguk lemah sambil membenahi posisi kepalanya, menarik tangan kiri Stevan yang entah sejak kapan terselip di bawah lehernya. Beberapa detik berlalu dalam hening, Elisa masih menikmati wajah tampan yang juga tak mengalihkan pandangan darinya. Mereka sibuk menyelami perasaan satu sama lain. Perlahan, tangan Elisa terulur menyentuh wajah Stevan dan mengelus pipinya penuh perasaan. Dia masih tidak percaya bahwa hubungan mereka membaik dan akan ada
Mata indah Elisa terbelalak selebar-lebarnya. Ia segera menarik tangan, masih dengan degup jantung seperti ingin melompat dari tempatnya. Wajahnya merah padam, malu, terkejut, teringat kembali dengan kedekatan mereka semalam. Di sisi lain, Stevan sangat menikmati pemandangan di depannya. Terlihat jelas sikap canggung Elisa yang membuat hatinya berbunga-bunga. Melihat gadis itu salah tingkah, Stevan tidak bisa menahan senyumnya. Hatinya terasa hangat. Sungguh perasaan yang asing, tetapi juga menyenangkan. Stevan menggelengkan kepala. Seperti remaja kasmaran saja, pikirnya. “Habiskan makananmu. Aku akan bersiap dan mengantarmu ke Miracle. Tunjukkan pada mereka semua kalau kamu pantas menjadi pemimpin Miracle menggantikan Papa!” Stevan mengelus kepala Elisa sebelum pergi dari sana, kembali ke kamarnya sendiri. Napas kasar terembus dari mulut Elisa. Euforia atas perlakuan romantis Stevan tergantikan rasa gugup mengingat agenda yang telah menunggu mereka hari ini. *** “Selamat da
“Wajahmu terlihat begitu bahagia. Kau senang bertemu denganku?” tanya Stevan saat Elisa memasuki mobilnya dengan binar ceria tampak di mata indahnya.“Apa?”“Kamu bahkan tidak berhenti tersenyum sejak aku meneleponmu.”Elisa tersipu mendengar ucapan itu, bahkan pipinya terasa hangat. Dia yakin wajahnya bersemu merah seperti kepiting rebus.“Sungguh menggemaskan,” lirih Stevan yang semakin membuat Elisa salah tingkah. Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa selain menggigit bibir bawahnya.“Aku baru tahu kalau kamu pria yang pandai menggoda,” balas Elisa setelah berhasil mengatur napas, juga meredam degup jantung yang sedari tadi berdisko di dalam dada.“Aku hanya melontarkan godaan pada wanita yang benar-benar kusuka.”Elisa menoleh wajahnya seketika, menghadap Stevan yang fokus memperhatikan ke depan. Bersamaan dengan itu, kakinya menginjak pedal gas dan membawa kendaraan mewahnya keluar dari kawasan Miracle.“Bisakah kamu mengulanginya?” pinta Elisa dengan wajah penuh harap. Dia masi
“Elisa …” Lamunan singkat gadis itu langsung buyar begitu mendengar panggilan lembut Stevan. Ia tersenyum dan mengangguk. “Jangan pikirkan itu lagi.” Elisa menarik tangannya dan menggandeng lengan Stevan. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Stevan tak lantas menjawab. Perasaannya belum benar-benar nyaman, tetapi senyum di wajah Elisa membuatnya sedikit tenang. Gadis itu benar-benar memiliki hati yang baik, tidak mendendam untuk semua kesakitan yang pernah dia rasakan. Langkah keduanya terarah memasuki sebuah outlet yang menampilkan gaun mewah dari sebuah merek ternama. Seketika Elisa menghentikan langkah dan menarik tangan sang suami. “Stevan, untuk apa ke sini?” Belum sempat Stevan menjawab, tiga orang pegawai outlet menundukkan kepala setelah menyunggingkan senyum kepada pelanggan VVIP mereka. “Selamat datang, Tuan, Nona,” sapa ketiganya berbarengan, membuat Elisa menoleh ke samping seketika. “Kamu sering ke sini?” Stevan hanya tersenyum, tidak berniat menjawab per
WARNING! ADULT CONTENT! “Stevan, apa yang kamu lakukan?!” Elisa tidak bisa mengabaikan alarm dalam dirinya yang mengatakan bahwa pria itu menginginkan dirinya. Terlihat jelas dari setiap gerak-gerik dan tatap mata yang menunjukkan sisi liar. Elisa sudah dua kali melihatnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Elisa, pria itu kembali menunjukkan senyum miring dan menarik tubuh gadis itu sampai menabrak dada bidangnya. Tak ada lagi jarak di antara mereka kecuali kain di tubuh masing-masing. “Steve—” Ucapan Elisa tak pernah berlanjut karena Stevan sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan bibir. Satu tangannya menahan tengkuk, sedang tangan yang lain mencengkeram pinggang yang membuat si gadis cantik tidak bisa berkutik. ‘Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba jadi begini?’ Elisa mencoba mendorong dada bidang Stevan, tapi itu justru berimbas pada ciuman mereka yang semakin panas. Meski tidak tahu apa sebabnya, tapi dia merasa perlakuan Stevan itu menunjukkan suatu kemarahan. Tidak ada perlakuan
“Kita pulang?” tanya Stevan sambil meraih tangan Elisa yang masih mengamati gelang infinity yang membuat hatinya berbunga-bunga. Bukan karena harganya yang mahal, tetapi Elisa merasa Stevan begitu perhatian padanya. Itu benar-benar berkat tersendiri untuknya.Elisa mengangguk mantap karena kakinya sudah lelah. Namun, perutnya yang keroncongan tak serta merta setuju dengan rencana itu. Karena terlalu sibuk bekerja, Elisa melewatkan makan siang dan sekarang kelaparan.“Perutmu berbunyi. Kau lapar?” Stevan tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya saat melihat Elisa salah tingkah. Wajahnya bersemu merah dan menggigit bibir secara bersamaan. Euforia perhiasan baru di pergelangan tangan kirinya tergantikan oleh rasa malu dan canggung.“Itu … mungkin bukan suara perutku,” sangkal Elisa, melepaskan tautan tangannya di jari Stevan dan berusaha meninggalkan pria itu. Dia tidak tahan mendapat tatapan pria yang terlihat jelas menahan tawa.“Kalau lapar mengaku saja. Biarkan aku mentraktirmu.”“
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli