“Kamu sudah punya kekasih?” tanya Carlos membuat wajah Elisa semakin keruh. “Atau mungkin … suami?” Pertanyaan Carlos membuat Elisa tersenyum canggung. “Tuan, saya rasa hal seperti itu tidak penting untuk dibicarakan ….” Dalam hati, Elisa lebih khawatir dirinya salah menjawab dan malah merepotkan Stevan nantinya. Carlos mendengus mengejek dalam hati. Tampak wanita ini menyembunyikan sesuatu. Mungkin merasa takut dirinya tidak jadi tertarik kalau tahu Elisa sudah memiliki pria lain. Akan tetapi, mau Elisa sudah bersuami atau memiliki kekasih, Carlos sebenarnya tidak peduli! Malam ini, dia harus mencicipi tubuh wanita itu! “Benar, hal tersebut memang tidak penting.” Carlos mengerlingkan sebelah matanya, menatap Elisa dengan pandangan tidak senonoh. “Yang penting adalah kamu masih sangat muda, tapi cukup menarik dan sedikit menantang.” Ucapan Carlos membuat senyuman canggung di wajah Elisa menghilang. Pria itu … dengan terbuka sedang menggodanya! “Maaf, saya tidak tahu apa yang
Elisa pikir, Stevan tiba-tiba datang dan menahan tangan Carlos seperti yang terjadi saat makan malam dengan Clara. Namun, ternyata dia salah. Sosok Alex-lah yang berdiri di hadapannya sekarang. “El, kamu tidak apa-apa?” tanya Alex lagi saat menyadari Elisa terbengong di tempat. Elisa mengerjap, mengembalikan kesadarannya. Dia pun menertawakan ekspektasi konyolnya. ‘Tidak mungkin Stevan datang ke sini. Apa yang aku pikirkan?’ Saat tenang, Elisa secara refleks meraih lengan pakaian Alex dan langsung bersembunyi di balik tubuh pria itu. Sebenarnya, itu adalah bentuk pelarian karena harapannya tak menjadi kenyataan. Namun, Alex salah mengira Elisa meminta perlindungannya. “Siapa kamu?!” Carlos melotot, bersiap mengucapkan caci maki pada orang yang menahan tangannya. Namun, saat Alex menoleh ke arahnya, Carlos terkejut. “Alex?” panggil Carlos dengan alis bertaut. Dia jelas mengetahui sosok salah satu keturunan Keluarga Wijaya itu, mereka sempat menjadi teman satu lingkaran! “Ap
“Elisa sebenarnya bukan hanya kekasihku, tapi dia adalah calon istriku.” Mata Elisa mendelik mendengar ucapan Alex. Pria ini sudah gila! Akan tetapi, di sisi Alex, dia mengira bahwa ucapannya akan membuat Elisa bahagia. Sudah lama sejak wanita itu menikah dengan Stevan, dan entah kenapa, Alex khawatir Elisa mulai jatuh cinta dengan pamannya itu. Untuk menghindari hal tidak diinginkan, Alex harus pastikan Elisa merasa hubungan mereka masih bisa dipertahankan. Selagi dua orang itu sibuk dengan pikiran masing-masing, Carlos merasa sangat muak. Tidak heran Elisa begitu sombong dan berani bersikap kurang ajar padanya. Ternyata, wanita itu sudah dinobatkan sebagai calon nyonya muda Keluarga Wijaya! Ah … andai Carlos tahu yang sebenarnya …. Tidak ingin membuang waktu, Carlos mendecakkan lidah. “Waktuku habis. Aku harus pergi,” ucapnya seraya berjalan melewati Alex dan Elisa. Tepat saat melewati Elisa, mata Carlos menatap wanita itu bak elang menatap mangsa. Dia masih belum rela melepas
“Apa yang kamu lakukan sudah melewati batasanmu, Lex.” Elisa menatap Alex sesaat setelah berhasil menenangkan diri. “Apa yang orang-orang pikirkan tentang kita? Kamu harus ingat, aku istri pamanmu!”“Elisa ….”Elisa mengabaikan panggilan Alex, sibuk membereskan proposal di atas meja dan memasukkannya ke tas. Dia ingin segera pergi dari sana. “Apa maksudmu memperkenalkan diri sebagai kekasihku di depan orang penting seperti Tuan Carlos? Bagaimana jika dia berpikir macam-macam? Bukankah kita sudah sepakat untuk menjalani peran masing-masing?”“Tenanglah, El.” “Bagaimana aku bisa tenang—”Alex menarik tangan Elisa keluar dari ruangan VIP itu, bahkan keluar dari restoran dan mencari tempat yang sedikit tersembunyi. Dia tidak ingin orang lain mendengar pembicaraan mereka.“Lex!” Elisa menghempas tangan Alex, membuat langkah keduanya terhenti. “Kamu bisa mengatakan apa pun, tapi tidak seharusnya kamu mengaku sebagai kekasihku!”Alex meraup wajahnya, mulai merasa kesal karena Elisa sedikit
“Stevan, tanganmu terluka!” Elisa refleks meraih tangan Stevan dan melihat beberapa luka terbuka di sana. Bekas darah yang keluar terlihat dibiarkan mengering begitu saja. Tak ada perban maupun kain kasa yang membungkusnya. “Bukan urusanmu!” sergah Stevan kasar, menarik tangannya dan sedikit menjauh dari jangkauan gadis itu. “Apa-apaan itu? Bukan urusanmu. Bukan urusanmu,” cibir Elisa tanpa suara, menirukan ucapan Stevan barusan dengan bibir meleyot. Dia sebal menghadapi sikap Stevan. “Sudahlah, biarkan saja. Hidupnya bukan urusanku, hidupku bukan urusannya. Lagi pula, dia tidak kesakitan sama sekali. Mungkin dia memang sengaja melukai tangannya sendiri,” gumam Elisa sambil membalikkan badannya. Toh, kelihatannya Stevan tidak berniat untuk menjawab maupun berbicara lagi dengannya. “Selamat malam, Stevan. Selamat istirahat,” pamit Elisa tanpa menyadari kemarahan pria itu. Dia ingin segera berendam air hangat dalam bathtub setelah melewati hari yang cukup melelahkan. “Badanku pegal
“Kenapa dia belum keluar juga?” ucap Stevan sambil mondar-mandir di ruang kerja, berkali-kali menoleh ke ruang makan dan menantikan kemunculan Elisa. Rasa bersalah karena kekeliruannya semalam membuat pria itu tidak bisa tenang. Bahkan, Stevan terus gelisah dalam tidurnya, membuat lingkaran hitam terlihat samar-samar di sekitar matanya.Tepat saat arloji Stevan menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit, Elisa keluar dari kamar dan mulai menuruni anak tangga. Dress sepanjang lutut dengan aksen bunga-bunga kecil terlihat begitu pas di tubuhnya, berpadu dengan ankle boots warna krem yang membuat penampilannya terlihat sempurna.Diam-diam, Stevan bersyukur karena Elisa terlihat baik-baik saja setelah kejadian buruk yang dialaminya.“Selamat pagi, Nona,” sapa Maria pura-pura tidak tahu apa yang terjadi.“Hmm,” gumam Elisa lirih. Dia melewati wanita itu begitu saja dan langsung duduk di posisinya.“Apa Anda tidur dengan nyenyak semalam?”Bukannya menjawab, Elisa hanya melirik Maria se
“Nona, Tuan Stevan menunggu Anda.” Maria membimbing Elisa mendekati Stevan saat menyadari gadis itu tidak merespons. Dia pasti masih marah dan enggan berdekatan dengan sang suami setelah kejadian semalam. “Masuk,” titah Stevan dingin, berharap tak ada bantahan. “Apa kamu punya maksud tersendiri ingin mengantarku? Jangan-jangan kamu berniat menurunkanku di tengah jalan atau membuangku di satu tempat terpencil,” sarkas Elisa sambil menyilangkan tangan di depan badan. Penolakan Stevan tempo hari saat dirinya ingin menumpang ke kantor masih teringat jelas. Sayangnya, kalimat provokasi Elisa tak mendapat tanggapan sama sekali. Pria dengan setelan jas import itu sama sekali tidak terusik. Sebaliknya, dia beralih menatap kepala pelayan yang berdiri di belakang Elisa. “Maria, kau punya waktu lima detik untuk membuat wanita itu masuk ke mobilku.” “Hey—” Elisa hendak membantah, tapi Stevan sudah lebih dulu berlalu memutari mobilnya dan masuk melalui pintu lain. Tangannya dengan cekatan mem
“Sopir pribadi?” Sera melihat penampilan Stevan dari ujung kaki hingga kepala.Sepatu pantofel mengilat dari salah satu merek ternama itu tidak mungkin murah harganya. Juga setelan jas dan kemeja slim fit yang membalut tubuh Stevan, tak mungkin kurang dari ratusan dolar harganya. Belum lagi dasi limited edition dan penjepit yang tampak sederhana tapi tidak masuk akal jika dilihat labelnya. Sebagai mahasiswa jurusan fashion, Sera tahu beberapa brand ternama yang melengkapi penampilan ‘sopir’ itu.“Apa kamu ingin membodohiku, Elisa?” Sera menggeleng berkali-kali, tidak bisa memercayai sahabatnya. “Dia terlalu tampan dan keren untuk jadi seorang sopir. Pria ini bahkan lebih cocok menjadi perwujudan seorang CEO yang ada di novel, manga, dan manhwa yang kubaca.”&ldqu
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli