Alex mengetuk kaca mobil, menatap gadisnya dengan pandangan mengiba. Perasaannya terhadap Clara tulus, bahkan lebih kuat dibandingkan apa pun juga.Butuh lima menit sampai Clara akhirnya mau menurunkan egonya. Alih-alih menurunkan kaca, dia justru membuka pintu mobil di sisi lain yang menunjukkan bahwa dia meminta Alex untuk masuk. Mereka harus mencari tempat untuk bicara.“Syukurlah. Setidaknya dia masih memberiku kesempatan,” bisik Alex, berlarian memutari mobil dan segera memasang sabuk pengaman setelah duduk dengan nyaman.Sepanjang perjalanan, Alex tidak membuka suara. Dia hanya menatap wajah Clara dari samping, berusaha mengerti situasi canggung di antara mereka. Mobil mewah itu baru terhenti di sebuah kafe yang terlihat sepi. Clara masuk dan memilih tempat duduk di sudut, menghadap jalanan di samping jendela kaca tembus pandang. Alex kembali mengikuti di belakang, masih tanpa suara.Seorang pramusaji mendekat dan mencatat pesanan keduanya. Alex yang memesan karena Clara sama se
“Di mana kamu? Cepat kembali!”Suara Harris menggelegar, menghubungi Alex yang tak juga kembali ke kantor meski satu jam sudah berlalu.Tak ada jawaban dari pria yang saat ini baru keluar dari kafe dengan wajah masam. Dia tidak mau bertemu dengan ayahnya karena terlalu marah. Jika bukan karena Harris yang kelepasan bicara, hubungannya dengan Clara tidak akan memburuk seperti sekarang.Alex mematikan sambungan telepon, enggan mendengar apa pun dari Harris dan memilih menonaktifkan ponselnya. Lebih baik mencari udara segar, alih-alih menghadapi apa yang terjadi.“Sebenarnya apa yang aku perjuangkan selama ini? Kesuksesan perusahaan ayahku yang licik itu atau pengakuan atas kemampuanku? Untuk apa aku berdiri di kapal yang sama jika pada akhirnya aku sama sekali tidak mendapat apa-apa?”Alex merebahkan tubuhnya begitu sampai di apartemen. Hari ini dia memilih untuk tidak pulang ke kediaman utama. Langit yang mulai gelap tidak serta merta membuat pria itu menghidupkan penerangan. Sebalikn
“Aku sudah mengambil keputusan!” Dengan kecepatan tinggi, Alex mengendarai mobil sportnya ke kantor Clara. Dia berbohong pada resepsionis bahwa dirinya sudah memiliki janji temu dengan atasan mereka. Namun, hanya kekecewaan yang didapatkan. Clara benar-benar menolak bertemu dengannya.“Ra, biarkan aku bicara!” teriak Alex saat melihat Clara keluar dari kantor. Namun, dua orang pengawal bayaran segera menarik Alex untuk menjauh dari nona mereka.Sekali lagi Alex kehilangan kesempatan untuk bicara. Pesan yang dia kirimkan pun tak ada satu pun yang terbaca. Clara sakit hati dan benar-benar mengabaikannya. Ada dinding tak kasat mata yang sekarang memisahkan mereka.Alex frustrasi dan kembali ke rumah. Namun, ibunya justru menginterogasi Alex dan memberikan nasihat dari A sampai Z yang intinya meminta agar dia mengikuti semua perintah ayahnya.Sama seperti sang ibu, Harris marah-marah dan menuntutnya untuk memperbaiki hubungan dengan Clara. Pria itu tidak mau tahu karena dirinya gagal mem
“Di mana Ayah?” tanya Alex begitu menjumpai asisten pribadi Harris, orang yang menghubunginya dan sang ibu sesaat lalu.Belum sempat pria itu menjawab, Alex sudah dikejutkan oleh dua orang perawat yang memasuki ruang ICU dengan tergesa. Seketika itu juga, dia mengikuti orang-orang itu.“Maaf, Tuan. Anda tidak boleh masuk,” cegah seorang perawat, menghadang tubuh Alex dan menutup pintu ruang khusus itu bahkan sebelum Alex mengucap satu tanya pun padanya.Alex segera berlari ke sisi lain, menatap bagian dalam ruangan dari jendela kaca lebar. Detik itu juga dirinya merasa terguncang melihat ayahnya ada di dalam sana, tergeletak tak berdaya dan sedang mendapat pertolongan pertama.Tak berselang lama, Shana muncul bersama salah satu asisten rumah tangga yang menopang tubuhnya. Dia hampir tidak bisa menopang tubuhnya sendiri begitu mendengar apa yang telah terjadi.“Alex,” panggilnya lemah dengan napas tercekat di tenggorokan.Alex tersadar dari keterkejutannya dan memapah sang ibu untuk du
Alex ingin sekali berteriak mencaci maki ayahnya. Namun, percuma saja karena pria itu tidak akan bisa mendengarnya. Bahkan boleh jadi, nyawanya sudah ada di ujung tanduk.“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa yang bisa kita lakukan?”Leo menggeleng, “Tidak ada yang bisa kita lakukan, Tuan Muda. Nama Anda tidak tercantum dalam satu pun pertanggung jawaban. Pun saya yang baru bekerja untuk beliau dua tahun terakhir. Kita sama sekali tidak tahu menahu akan hal itu.”Satu sisi Alex merasa lega karena dirinya tidak ikut terseret dalam arus yang menenggelamkan ayahnya, tapi di sisi lain, dia tidak tega membiarkan pria itu menanggung semuanya seorang diri.“Pihak berwajib akan memeriksa Tuan Harris setelah kondisinya membaik karena perkara ini sudah dilimpahkan ke jalur hukum. Tidak ada yang bisa saya ataupun Anda lakukan kecuali menunggu.”Alex menjambak rambutnya sendiri, merasa kepalanya seperti hampir pecah. Berbagai masalah itu menghantamnya secara bersamaan. Butuh waktu lama untukny
“Ini gila!” Thomas menggelengkan kepala, menatap Mario dengan ekspresi terkejut dan tidak percaya.Segera setelah mendengar berita kebakaran di gudang penyimpanan perusahaan Harris, pria itu mendatangi kantor Stevan di gedung utama Wijaya Group. Dia harus memastikan semuanya dengan jelas dari sumber terpercaya.Tak cukup membuat mereka rugi besar, harga saham anjlok, dan tuntutan dari Thomas and Co yang membuat Harris terkena serangan jantung. Bahkan, kabar terbaru Alex digelandang oleh pihak berwajib karena diduga terlibat dalam usaha pembunuhan berencana terhadap pamannya sendiri. Thomas yakin, Stevan adalah dalangnya.“Itu benar, Tuan. Tuan Harris masih belum keluar dari kondisinya yang kritis dan Tuan Alex masih diperiksa oleh pihak kepolisian. Pengacara yang mereka tunjuk mencoba menemuinya, tapi pihak berwajib belum mengizinkan.” “Lantas, di mana Stevan sekarang? Apa aku bisa berbicara dengannya?”“Tuan masih ada dalam perjalanan. Dia mengambil waktu libur khusus untuk Nona Eli
Mario tak lagi membahas perihal Clara. Dia melaporkan kesuksesan acara konferensi pers di mana opini publik sekarang sedang ramai mengelu-elukan nama Thomas sebagai pimpinan Thomas and Co yang menjadi penyelamat ribuan orang.Stevan tampak bangga sambil menatap rekaman Thomas yang sedang diliput oleh wartawan. Satu ekspresi yang membuat Mario heran dan hanya bisa menggelengkan kepala.“Semua sudah selesai, bukan? Aku bisa kembali sekarang?” tanya Stevan mengonfirmasi pada Mario yang hanya bisa mengangguk. Semua berjalan sesuai rencana.Mario berbalik, siap meninggalkan ruangan Stevan.“Ah, tunggu.”“Ya, Tuan?”“Pesankan satu buket bunga mawar kuning untuk istriku.”“Mawar kuning?” beo Mario sedikit heran. “Maaf, Tuan. Bunga mawar kuning selain sebagai lambang romantisme, juga bisa melambangkan suka cita. Namun, biasanya itu diberikan untuk sahabat ataupun orang yang peduli pada kita, bukan untuk pasangan.”Stevan tersenyum, mendekat ke arah Mario dan menepuk bahunya.“Selain sebagai i
“Apa maksudmu? Alex tidak mungkin memiliki pemikiran sepicik itu sampai ingin membunuhmu!” sengit Clara sambil menatap Stevan dengan mata dipenuhi kilat kemarahan.“Hmm?” Satu alis pria itu naik dengan senyum tertahan di ujung bibir. “Kau punya bukti kenapa tidak mungkin?”Clara sudah membuka mulutnya, tapi tidak ada satu pun alasan kuat yang bisa ia sampaikan. Dirinya baru dekat dengan Alex sebulan terakhir. Itu pun karena ketidaksengajaan saat bertemu di kelab saat mabuk dan berakhir dengan menghabiskan malam bersama.“Clara Gunawan, kau cerdas dan berpendidikan. Sejak kapan kau membiarkan dirimu tenggelam dalam kebodohan?”Mulut Clara terkatup rapat, sama sekali tidak bisa menyangkal tuduhan itu. Sejak memusatkan perhatian pada Alex dan memberikan perhatian lebih padanya, dia memang seringkali berbuat bodoh dan di luar akal sehat.“Berpikirlah dengan kepala dingin. Kau akan mendapatkan jawabannya.”Mengabaikan Clara yang tampak linglung, Stevan meraih jas miliknya dan melenggang beb
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli