Ivy terbangun dengan rasa pusing yang luar biasa. Belum lagi mual yang sudah mengaduk-aduk perutnya. Ia sudah membaca-baca beberapa pengalaman dari ibu hamil, tetapi ia tetap terkejut dengan penderitaan yang ia alami karena kehamilan ini. Akan tetapi, ia juga merasa bersyukur karena diberi kesempatan untuk merasakan hal ini. Dikaruniai oleh buah hati dan menjaganya dengan sepenuh cinta adalah hal paling indah di dunia. Hanya saja, ia masih menyayangkan karena merayakan kehadiran janinnya seorang diri. “Seandainya semua baik-baik saja apa Noah akan bahagia saat mendengar kehamilanku?” gumam Ivy. Helaan napas berat memenuhi ruang kamarnya. Ia berusaha menekan habis kesedihannya. Hari masih terlalu pagi untuk tenggelam dalam rintihan sendu. Ketika Ivy membuka selimut dan turun dari dari tempat tidur, ponsel yang terletak di atas nakas berdering keras. Ia segera meraihnya dan menemukan nama Ezra terpampar di layar.“Halo? Kenapa, Ra?” Ivy bertanya dengan suara serak khas bangun tidur.
Ivy membereskan pakaiannya ke dalam koper dengan menahan air mata. Ia harus tetap terlihat tegas agar Noah tak menyadari kalau ia juga terluka atas perceraian mereka.“Apa perlu pergi sekarang? Kita bahkan belum sidang resmi di pengadilan,” ucap Noah.Sudah lima belas menit lamanya Noah berdiri di belakang Ivy yang terus sibuk dengan pakaiannya. Setelah pelukan terakhir mereka terlepas, Ivy langsung masuk dan membuka lemari untuk bergegas pergi.“Kenapa harus menunda lagi? Kita sudah bukan suami-istri, kan?” balas Ivy dengan tak berani menatap Noah. Ivy terus sibuk dengan merapikan pakaian-pakaiannya ke dalam koper. Ia ingin semuanya cepat berakhir. Jika semuanya berakhir, mungkin ia bisa bernapas lebih lega. “Ivy, kumohon. Tinggallah di sini dulu.” Noah menahan tangan Ivy yang masih memasukkan baju ke dalam koper. Ivy tersentak, tetapi menepis tangan Noah dnegan cepat.“Aku harus pergi,” putusnya, tanpa keraguan sedikit pun.“Apa kau semuak itu padaku hingga tak ingin melihatku la
Saat Ivy selesai membereskan semua pakaiannya ke dalam koper dan bersiap pergi dari rumah, Noah masih saja tak beranjak dari tempatnya berdiri.Noah masih tetap di sebelahnya, berdiri linglung dengan tatapan kosongnya. Noah sudah seperti patung jika saja dadanya terlihat tak bergerak naik turun, mengeluarkan helaan napas berat.“Minggir, Noah,” pinta Ivy.Noah maish tak menjawab. Ia tetap berdiri tegak sehingga Ivy hanya menghela napas lelah. Kemudian, Ivy mengambil langkah ke sebelah kanan untuk melewati Noah tetapi Noah tetap menghadang langkahnya.Ivy berjalan ke kiri dan Noah juga melakukan hal yang sama hingga beberapa kali. Ivy pun menyerah dan menatap Noah dengan kesal.“Minggir, Noah! Aku mau pergi,” ucap Ivy dengan suara tinggi“Tak bisakah kita rundingkan lagi keputusan ini, Ivy? Aku sungguh tak bisa berpisah darimu.”Noah sudah menahan air matanya sejak tadi, tetapi ia sudah tak sanggup lagi. Ia tak bisa melepaskan Ivy pergi begitu saja.“Noah, kau sudah menandatangani sura
“Kudengar kalian bercerai. Kenapa masih menggenggamnya seperti itu?” tanya Evan dengan suara beratnya.Ivy yang sembunyi di balik punggung Noah semakin menundukkan kepalanya. Ia tak sanggup untuk menatap ayahnya barang sedetik dan Noah bisa merasakan ketakutan Ivy dengan jelas.“Itu tak benar,” jawab Noah. Noah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi benteng yang bisa menahan serangan Evan kepada Ivy.Clara melotot tak suka. “Aku tahu kalian sudah menandatangani surat cerai!”Noah melirik sekilas kepada Clara. Sudah pasti Clara sudah membocorkan semuanya kepada Evan dan membubuhi dengan hasutan setannya untuk memperkeruh keadaan.“Itu tidak benar!” elak Noah.Noah kembali memperkuat ucapannya dengan lebih berteriak. Hal itu berhasil mematik amarah Clara dan Evan hingga membuatnya makin geram. Ivy sendiri hanya bisa membisu karena terlalu takut untuk mengeluarkan suaranya di depan sang Ayah. “Ayah! Dia sudah mengotoriku! Bukannya dia harus menikahiku? Bagaimana kalau aku hamil?” C
Ivy sadar kalau ia harus berhenti melangkah mendekati Evan, tetapi otaknya tak bisa memberi perintah pada kakinya. Tubuhnya berjalan dengan spontan hingga membuatnya makin ketakutan.“A–ayah…,” suaranya mencicit takut-takut.“Cepat kemari!”Evan langsung menarik Ivy dengan sekuatnya sampai-sampai Ivy hampir terjatuh. Hal itu membuat Noah makin marah dan tak rela Ivy kembali ke sisi Evan. Noah tahu bahwa Ivy akan kembali disiksa, apalagi setelah banyaknya yang terjadi. Bukan hal mustahil bagi Evan untuk membunuh Ivy. “Kau tak bisa membawanya pergi!” bentak Noah. Noah masih berusaha meraih Ivy, tetapi Evan sudah mengalungkan tangannya di bahu Ivy dan mengapitnya di lengan. Ivy bagaikan manekin menyedihkan di tangan ayahnya sendiri. “Mulai hari ini Ivy akan kembali padaku. Kalian akan bertemu di pengadilan saja,” tutur Evan secara mutlak. Noah menggeleng tak terima. “Tak bisa! Ivy tetap—”“Wow! Wow! Ada apa ini ramai sekali?”Untuk kesekian kalinya, ucapan Noah terpotong. Akan tetap
Ivy sudah berada di dalam mobil Ezra selama sepuluh menit. Selama itu, ia hanya menyendiri dan diam sambil mengatur pola napasnya agar kembali tenang. Ivy terus mengambil napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan dengan perlahan agar gemetar di tubuhnya reda. Sedangkan matanya terus terfokus kepada Noah dan Ezra yang berdiri di depan mobil.Mereka berdua nampak sangat serius. Tatapan mereka pun saling membunuh jika dilihat dari dalam mobil. Ivy tak tahu apa yang sedang mereka perdebatkan, tetapi ia yakin akan satu hal: mereka sedang membicarakannya. Dan itu bukan hal baik mengingat mereka selalu berakhir dengan adu jotos jika berdebat.“Semoga saja mereka tak memperumit masalah,” gumam Ivy. Akan tetapi, harapan Ivy tak pernah berhasil jika menyangkut Noah dan Ezra. Karena pada kenyataanya, mereka berdua masih berdebat alot di depan mobil. “Kenapa kau tahu aku dan Ivy bercerai?” seloroh Noah dengan kesal.“Ivy yang mengatakan langsung padaku,” balas Ezra. “Ivy? Kalian masih sering bert
Ivy masih membisu saat Clara terus memberikan tatapan tajam padanya. Sedangkan Noah juga memandangnya dengan sendu.“Ayo, Noah.” Clara berusaha membantu Noah bangun, tetapi Noah menepis tangannya dengan kasar. Ia lebih memilih berdiri sendiri dengan sempoyongan. Hal itu membuat Ezra tersenyum penuh ejekan pada Clara.“Bawalah Ivy. Jaga dia,” ucap Noah. Noah memandang Ivy selama beberapa detik dalam kebisuan, lalu berbalik dan pergi menjauh. Ivy merasa setengah jiwanya ikut pergi bersama Noah. “Kenapa masih di sini saja? Pergi sana!” usir Clara dengan dengusan kesal.Sebenarnya, Ivy cukup terkejut dengan perubahan Clara. Pasalnya, Clara masih bersikap lemah lembut padanya beberapa hari terakhir, tetapi kini dia tak segan-segan untuk menunjukkan taringnya. “Ayo, Ivy.”Ezra mengawal Ivy untuk berjalan memasuki mobil. Ivy menurut tanpa banyak penolakan. Sesekali ia masih menoleh ke arah Noah yang punggungnya kian menjauh hingga masuk ke dalam rumah. “Pakai sabuk pengamanmu,” peringat
Setelah keluar dari mobil, Ivy baru sadar kalau nuansa di sekitarnya terasa berbeda. Ia bisa merasakan kesejukan dari angin segar yang datang dari garasi yang masih terbuka lebar.“Kita ada di mana? Bukannya kau bilang akan ke hotel?” tanya Ivy.“Di vilaku. Di Bandung. Aku pikir Ayahmu akan mudah melacak keberadaanmu jika tinggal di salah satu hotelku di Jakarta,” balas Ezra.Ivy mendengarkan penjelasannya dengan hening. Ezra pun berdehem dan kembali membuka suara.“Kau tahu sendiri kan kalau perusahaanku masih di bawah kuasa ayahmu. Aku yakin jika dia bisa melacakmu dengan mudah,” lanjutnya kemudian.Ezra menanti reaksi Ivy dengan harap-harap cemas. Ia takut Ivy merasa risih dan tak nyaman dengan keputusan sepihaknya.“Aku ingin memberitahumu saat masuk mobil, tapi kau… kau langsung menangis dan tidur… jadi aku—”“Aku mengerti.”Penjelasan Ezra yang gagap akhirnya terpotong oleh ucapan Ivy. Ia merasa lega karena Ivy tak salah paham padanya.“Terima kasih atas semua bantuanmu, Ezra,”
Sudah satu minggu berlalu sejak siaran langsung yang dilakukan Ivy menggambarkan seluruh negeri. Sampai saat ini, banyak orang yang ikut mengawal kasusnya, bahkan ada beberapa pihak yang ikut angkat suara mengenai kelicikan dan kejahatan Evan.Akan tetapi, Ivy masih gundah karena tidak ada tanda-tanda kemunculan Evan. Ia tak tahu sembunyi dimana ayahnya sampai tak ada orang yang berhasil menemukannya.“Ivy! Ivy!” Ivy yang baru melamun di taman belakang, terkejut saat mendengar teriakan Noah. Ketika ia menoleh, Noah menatapnya dengan mata penuh keharuan.“Ada apa?” tanya Ivy.“Evan sudah ditemukan di bandara. Dia akan melakukan perjalanan ke Amerika. Beruntung pihak bandara sudah mengetahui wajah Evan yang tersebar luas dan segera melaporkan ke pihak berwajib,” jelas Ezra dengan helaan napas lega. Mendengar hal itu, Ivy tak kuasa untuk menangis bahagia. Perasaan gundah yang semula memenuhi dirinya telah sirna seutuhnya.“Kita berhasil, Ivy! Kita berhasil menangkapnya!” seru Noah deng
Clara mengerti dengan suasana tegang yang tiba-tiba memenuhi ruangan. Ia pun paham dengan tatapan tajam dari Noah dan Ezra yang belum percaya kepadanya, meskipun ia sudah sepenuhnya bertaubat.Ia sudah melakukan banyak kejahatan dan menghancurkan hidup Ivy, jadi ia paham dengan perasaan Noah dan Ezra. Oleh karena itu, ia tak tersinggung meski ditatap dengan tajam.“Clara….” Ivy menoleh ke arah Clara dengan mata merahnya.Clara ingin memeluk Ivy, tetapi ia tak bisa melakukannya karena kedua tangannya sudah diborgol. Maka, ia hanya memberikan seulas senyuman dan kembali fokus menatap kamera.“Mungkin kalian terkejut melihat borgol di tangan saya, jadi saya ingin mengungkap kalau saya memang akan ditangkap karena saya terlibat dalam penculikan kakak saya,” tukas Clara.Noah dan Ezra baru bisa bernapas lega setelah mendengar ucapan Clara. Kini, mereka bisa mempercayai Clara sepenuhnya karena perempuan itu benar-benar terlihat tulus dengan mengungkap kejahatannya sendiri.“Kalian mungkin t
Ivy duduk dengan tegak. Di depan wajahnya sudah terdapat kamera yang menyalah merah, sedangkan di belakang kamera terdapat Noah, Ezra, Bibi Puja, dan Clara.Mereka sudah memutuskan untuk melakukan siaran langsung di kediaman Ezra karena Ezra memiliki banyak alat perlengkapan di bidang teknologi. Tanpa waktu panjang, Ezra dan Ivy mencoba menyusun semuanya sampai siap diluncurkan.“Aku benar-benar takjub melihat kalian,” komentar Noah saat Ivy dan Ezra sibuk menyiapkan senjata.“Sekarang kau sadar kalau sudah menikah dengan perempuan hebat?” tanya Ezra.“Aku memang sudah sadar dari dulu karena buktinya hanya Ivy yang bisa menaklukkan hatiku,” jawab Noah.Ivy hanya tersenyum saat mendengar ucapan penuh rayuan dari Noah. Setidaknya hal itu mampu untuk menenangkan dirinya yang sedang dilanda kegugupan.“Kau siap, Ivy?” tanya Ezra.Ivy mengangguk. “Ya. Mulailah.”Sebelum Ezra menekan tombol merah di komputer yang nantinya akan meretas semua media di indonesia, tangannya sudah berkeringat di
Ivy menunggu kedatangan Ezra dengan gugup. Meskipun Clara dan Noah terus menanyakan perihal maksudnya, ia tetap tak bisa menjawab.“Tunggu Ezra datang,” balasnya secara berulang kali ketika Clara bertanya ada apa.Ezra juga memegang peran penting dalam rencananya. Ia dan Ezra harus bekerja sama agar semuanya rencana berjalan dengan baik.Setelah menunggu selama hampir tiga puluh menit, akhirnya Ezra datang bersama Bibi Puja. Mereka berdua masuk ke ruangan Clara dengan raut panik. “Bibi Puja?” tanya Clara.Bibi Puja yang sudah panik semakin gelagapan karena melihat Clara. Ia bahkan langsung bersembunyi di belakang tubuh Ezra karena takut berhadapan dengan Clara.“Jadi kau tiba-tiba hilang ternyata ikut dengan mereka?” tanya Clara, lagi.“Ya. Bibi Puja yang membantu Noah dan Ezra,” sahut Ivy.Bibi Puja masih berdiri di belakang Ezra dengan gemetar. Ia takut Clara akan memarahinya ataupun memukulnya. Akan tetapi, Clara tak bereaksi apa-apa selain mengangguk.“Oh.”Melihat reaksi Clara y
“Keadaanmu sudah sangat membaik. Kau minum obat secara teratur, melakukan terapi dan konsultasi rutin, juga mengerjakan semua tugas yang saya berikan.”Dokter Serlyn tersenyum manis saat mengungkap kemajuan keadaan Ivy. Akan tetapi, ia tahu kalau Ivy sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Meskipun ia melihat senyum Ivy sekarang, gurat wajahnya yang kaku tak bisa mengelabui matanya. “Jadi, apa ada yang mengganggumu lagi akhir-akhir ini?” tanyanya kemudian. Ivy mengangguk kaku, tetapi mulutnya tak kunjung bersuara hingga Dokter Serlyn mengulangi pertanyaannya.“Apa yang mengganggumu, Ivy? Kau bisa mengatakannya kepadaku,” ujarnya. Ivy memainkan jari-jemarinya ketika otaknya berusaha menyusun kalimat yang pas. Dokter Serlyn dengan sabar menanti sampai Ivy bersuara. “Dokter….” Ivy memanggil Dokter Serlyn dengan gugup.Dokter Serlyn mengangguk. “Ya?”“Menurut Dokter apa saya boleh balas dendam?” tanya Ivy dengan sangat lirih. “Kau ingin balas dendam?” tanya sang dokter, cukup terkejut
Clara sudah dirawat selama satu minggu lebih dan selama itu pula Ivy tak kunjung mendatanginya. Ia sempat terenyuh saat mendengar ucapan Ezra beberapa waktu yang lalu, tetapi semua itu sirna karena Ivy tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.“Ezra pasti hanya bermulut besar. Aku yakin Ivy senang melihatku tak berdaya seperti ini,” gumam Clara sambil menatap langit-langit rumah sakit. Ketika Clara hanyut dalam lamunannya, sayup-sayup ia mendengar suara Ivy. Ia melirik pintu ruang kamarnya dan yakin kalau Ivy yang baru saja berteriak di depan kamarnya. Ivy seperti sedang marah kepada Noah karena ia baru mengetahui keadaannya. Mereka terus berdebat alot sampai akhirnya masuk ke dalam ruangannya. Ia pun langsung menutup matanya dan berpura-pura tidur. Clara tak tahu kenapa ia harus berpura-pura di depan Ivy. Harusnya ia langsung berteriak marah kepadanya seperti biasa. Akan tetapi, ia lebih memilih diam dan terus berakting tak sadarkan diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Clara merasa hidupnya sudah di ambang batas. Ia sudah yakin kalau dirinya akan mati saat disiksa dengan begitu kejam oleh ayahnya karena Ivy berhasil melarikan diri. Ia disekap selama berhari-hari dan akhirnya dibawa pergi dari rumah dengan niatan ingin dibuang.Ayahnya pasti mengira ia sudah menjadi mayat karena diam saja dan terus menutup mata, padahal ia memang sengaja berpura-pura pingsan agar siksaan itu terhenti. Ia juga menahan napasnya saat ayahnya mengecek alur napas di hidungnya.Saat berada di dalam mobil, Clara mendengar desisan ayahnya yang akan melemparkan mayatnya ke dalam lautan. Maka, saat ayahnya berhenti di pemberhentian bensin, ia segera kabur.Ia terus berlari dan bersembunyi hingga akhirnya ia tak sanggup lagi. Ia jatuh pingsan di tepian jalan dekat sungai dan sudah menyerah akan kehidupan.“Sebentar lagi aku pasti mati,” pikirnya.Di detik-detik menyakitkan itu, ia mulai terbayang dengan berbagai memori. Tentang kebersaman dengan mendian ibunya yang menghangatka
Ivy melewati lorong rumah sakit dengan jantung yang terus berdebar kencang. Setelah mendengar apa yang Noah sembunyikan, Ivy tak bisa menahan diri untuk tetap bergelung di atas tempat tidur.“Antarkan aku ke rumah sakit sekarang juga!” seru Ivy dengan berlonjak bangun.Ivy bahkan hampir lupa dengan kecacatan kakinya hingga ia hampir terjatuh dari tepat tidur sewaktu ingin bangun. Noah sontak menahan dirinya dan membantunya bersiap-siap dengan cepat.“Kau harus tenang Ivy. Jaga napasmu,” peringat Noah untuk kesekian kalinya.Noah terus mengatakan hal yang sama sejak membantunya bersiap-siap di rumah, di perjalanan menuju rumah sakit, hingga saat ini. Jika dihitung, mungkin sudah dari seratus kali Noah mengatakannya.“Aku akan tenang seandainya kau tak menyembunyikan hal ini dariku!” seru Ivy.“Aku menyembunyikannya karena tahu kalau kau akan bereaksi seperti ini. Aku tak ingin membuatmu makin khawatir,” ucap Noah.“Siapa yang tidak khawatir kalau adikku ditemukan hampir tewas dan sekar
Setelah Noah lebih tenang, ia melepaskan pelukan secara perlahan. Ivy mengapus air mata di wajah Noah dan memberi kecupan di setiap lekuk wajahnya. Noah pun melakukan hal yang sama.Bibir Noah terhenti cukup lama di bibir Ivy. Ia mengulum lembut bibir itu sembari menggendong tubuh Ivy dengan sigap dan membaringkannya ke tempat tidur. Ciuman itu tak terlepas sama sekali sampai Ivy menepuk-nepuk dadanya karena kehabisan napas.Mereka tak pernah melakukannya sejak Ivy siuman dari komanya. Mungkin sudah satu bulan berlalu Noah menahannya.Noah tahu ia harus memendam seluruh hasratnya karena keadaan Ivy yang masih lemah, sama seperti sekarang. Hanya saja posisi mereka yang sudah sangat dekat dan intim seperti ini membuat Noah lebih sulit menguasai diri.Ivy menyadari suasana yang jadi lebih intens di antara mereka. Kedua tangannya melingkar di leher Noah hingga membuat wajah Noah yang berada di atasnya hampir menempel di wajahnya.“Lakukan saja. Tak apa,” lirih Ivy.Noah menelan ludahnya