Hari pernikahan telah tiba. Ivy menatap dirinya di pantulan cermin dengan gugup. Gaun pengantin ini nampak begitu mewah. Kainnya memang dibuat sangat tertutup hingga tak menunjukkan punggung bahkan lengannya.Ivy tahu bahwa ayahnya telah mengatur desain gaun pengantin ini karena ingin menutup memar yang memenuhi punggung, lengan, dan kakinya. Memar dan bekas luka di tubuhnya tak akan bisa hilang karena telah menumpuk di kulitnya selama lima belas tahun lamanya.Ada ketakutan yang kini memenuhi hatinya. “Bagaimana malam pertamanya nanti? Apa aku harus mengatakan yang sejujurnya pada Noah?”“Jangan sampai Noah tahu.”Ivy tersentak saat suara ayahnya tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Tenggorokannya seketika tercekat dan ia merasa tercekik karena ketakutan.“Kau akan mati kalau ada orang yang tahu,” ancam Evan.“Ya—ya...,” jawab Ivy dengan terpatah-patah.“Sekarang tersenyumlah. Kita harus bergandengan tangan saat masuk ke aula pernikahan.” Evan mengulurkan tangannya, Ivy meraihnya den
"Stop!" Ivy berteriak lantang tepat ketika Noah nyaris saja menempelkan bibirnya ke bibir perempuan itu. "Aku akan keluar."Setelahnya, Ivy beranjak. Menyeret kakinya yang pincang dan kini terasa lemas karena sikap tega suaminya, ia pun keluar menuju kamar yang telah dipesankan Noah.“Harusnya… harusnya aku memang tidak boleh memiliki harapan.”Ivy duduk di tepian tempat tidur dengan kepala menunduk. Jari-jemarinya saling bertautan demi mengontrol tubuhnya yang gemetar semenjak keluar dari kamar yang seharusnya menjadi saksi malam pertamanya.Meski ia tidak menyaksikan bagaimana Noah dan perempuan murahannya itu melanjutkan adegan dewasa itu, tapi bayangan liar mengenai kemungkinan mereka memadu kasih kini terus mengganggu benak Ivy.Seharusnya, Ivy tidak lupa tentang takdirnya yang selalu terkurung dan dibatasi. Sikap Noah selama beberapa minggu terakhir membuatnya sangat terlena hingga ia bisa jatuh cinta dengan mudah.Sebelumnya, Noah memang melamar untuk Clara. Namun, ia berusaha
“Kalau Noah memang ingin mempermainkanku, maka aku tak boleh terlihat lemah. Akan kutunjukkan kalau aku bukan perempuan yang mudah disakiti.”Tangisan semalam seolah menjadi pertanda tangisan terakhirnya.Ia sudah banyak menangis… menangis karena ayahnya, keluarganya, sekarang suaminya. Ia tak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan menangis… tidak akan.Setelah mandi dan menyiapkan diri sebaik mungkin, Ivy mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia segera membukanya dan mendapati Noah yang sudah rapi dengan kemeja biru muda.“Selamat pagi,” sapa Ivy dengan seramah mungkin.Meski tenggorokannya terasa tercekat karena kepedihan dan kemarahan semalam, ia berusaha mengendalikan diri dengan sebaik mungkin.Noah sendiri hanya membalas dengan dengusan kasar, terlihat tak suka dengan basa-basi Ivy.“Dia… sudah pergi?” Mata Ivy menatap pintu di belakang Noah yang sudah tertutup rapat. Dalam diam, ia menanti kemunculan perempuan berambut pirang yang semalam datang secara tiba-tiba.“Siapa?” Satu alis
Ivy terpaku selama beberapa saat ketika perempuan bernama Bella itu menjulurkan tangan padanya.“Senang bertemu denganmu. Aku harap kita jadi teman yang akrab.” Bella berkata dengan senyum lebarnya.Ivy menoleh pada Noah yang tengah tersenyum mencemooh. Apa yang dilakukan Noah jelas telah merendahkannya.Bagaimana bisa ia pergi bulan madu dengan teman tidur suaminya?“Ya… ya… senang berkenalan denganmu.” Ivy membalas jabat tangan itu dengan kaku.Samar-samar ia bisa mendengar dengusan pelan Noah yang mengatainya bodoh. Dan ia sendiri juga mengakui kalau memang bodoh.“Harusnya kupatahkan saja tangan ini! Dia adalah selingkuhan suamiku!” batin Ivy meronta dan tanpa sadar mencengkram kuat-kuat tangan Bella yang masih di dalam genggamannya, tapi ia tetap tak bisa melakukan apa pun hingga Bella melepas sendiri jabatan tangan itu.“Kau cukup kuat juga ya,” ucap Bella.Di balik senyumnya yang lebar, ia menaruh kesal karena Ivy benar-benar membuat tangannya sakit.Selama perjalanan Jakarta k
Ivy berusaha menjaga jarak dari Samuel. Kejadian di bandara cukup membuatnya trauma hingga lebih baik ia di dekat Noah, meski sering mendapat lirikan tajam daripada disentuh oleh Samuel. “Kenapa pegang tangan terus?” protes Noah sambil berusaha melepaskan genggaman Ivy. “Kita masih di tempat umum. Siapa tahu ada orang Indonesia di sini dan mengenalmu,” balas Ivy. Setelah meletakkan barang-barang di hotel, mereka memang segera menuju restoran milik keluarga Samuel. Kata Noah, Samuel sedang liburan seminggu sekaligus menengok bisnis keluarganya. “Tapi kita mau makan. Aku tidak bisa makan kalau kau terus menggenggamnya.” “Saling menyuapi saja.” Ivy segera mengambil potongan tteokbokki dan menjulurkan ke mulut Noah. Jelas Noah ingin mengelak, tapi melihat ramainya tempat makan ini membuatnya tetap menerima. Samuel kembali ke meja dengan membawa sepiring gimbap yang dia buat secara spesial. “Wah. Ternyata kalian romantis juga,” godanya. Ivy membalas dengan buangan muka dan semakin
“Aku cuma ingin mengecek keadaanmu.”Samuel menyentuh pipi Ivy tapi ia menolak dengan berlari mundur. Samuel terus mengejar hingga Ivy terpojok di dinding.“Pe—pergi! Aku ingin keluar! Aku mau jalan-jalan dengan Bella!”“HAHAHA!”Samuel terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Ivy berusaha menggunakan kesempatan itu dengan melarikan diri, tapi Samuel tetap berhasil menarik tangannya bahkan mendorong tubuhnya hingga terjatuh di kasur.“Kenapa alasanmu sangat bodoh? Kenapa pula kau mendatangi perempuan yang tidur dengan suamimu sendiri?” tanya Samuel dengan tangan kanan yang menahan kedua tangan Ivy di atas kepala, sedangkan tangan lainnya sudah menjelajah ke tiap lekuk tubuh Ivy.“Le—lepas!”Ivy mulai menangis. Kakinya menendang-nendang udara, berharap bisa menumbangkan Samuel.“Pergi dari sini! Pergi!” pekiknya, putus asa.“Kau tak perlu mengusirku. Kita bisa bersenang-senang di sini. Jangan mau kalah dengan suamimu.”“Sam! Jangan!”Wajah Samuel tenggelam dalam lehernya. Ivy sontak m
Ivy mencengkram ujung selimut dengan gemetar. Noah berjalan semakin dekat dengan sabuk yang masih di tangan kanannya. Seketika bayangan saat ayahnya memukulinya dengan sabuk muncul di kepalanya.“No—ah... Noah... aku bersumpah... aku berani bersumpah bukan aku yang menggoda Sam. Dia yang hampir memperkosaku.” Ivy berusaha menjelaskan bersama gemetar tubuhnya.Namun, penjelasan itu tampak sia-sia karena bara di mata Noah tetap tak padam.“Selain murahan, kau juga pembohong ulung,” desis Noah.Ivy menggeleng. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Pelecehan Sam sudah membuatnya ketakutan setengah mati, tapi kini ia harus berhadapan dengan Noah yang sedang kesetanan.“Aku tak berbohong. Aku—”Noah berseru nyaring, tak membiarkan Ivy menyempurnakan kalimatnya. “Diam. Aku muak dengar semua alasanmu.”“Noah....”Noah melempar sabuk di tangannya. Sesaat hal itu membuat Ivy merasa lega, tetapi napasnya tertahan ketika Noah mendekat dan mencengkram dagunya.Dari jarak sedekat ini, Ivy bisa meli
“Noah, aku memasak pasta kesukaanmu. Jangan lupa dimakan.”Ivy menatap Noah yang masih sibuk dengan berkas-berkas kerjanya. Noah sama sekali tak melirik padanya dan ia sudah biasa dengan hal itu. Maka, ia hanya meletakkan sepiring Fettuccine Alfredo dan jus anggur di meja seperti yang sudah-sudah.Sudah terhitung enam bulan sejak pernikahan mereka, tapi Noah tetap terasa jauh… bahkan semakin jauh darinya. Noah bahkan jarang sekali berbicara padanya sejak pulang dari bulan madu.“Sebenarnya apa salahku?”Dan setiap hari ia juga menanyakan hal yang sama. Semua perkataan Noah padanya terasa abu-abu dan membingungkan. Dia tak pernah berkata secara gamblang alasan yang sesungguhnya kenapa dia menikahinya.Ting! Tong!Suara bel yang ditekan berkali-kali membuat Ivy menuruni tangga dengan tergopoh. Saat di tangga terakhir, ia melihat Bi Wina sudah membuka pintu. Sosok Samuel langsung masuk dengan raut marah.Tubuh Ivy bergetar takut. Sontak ia segera berlari untuk bersembunyi di balik tiang
“Eh? Ini bukannya jam tangan Noah?” Ivy mengambil jam tangan yang tergeletak di meja makan dengan bingung. “Bagaimana bisa Noah melupakan jam tangannya dan pergi begitu saja?” gumamnya kemudian.Ia segera mengantongi jam tangan Noah dan melupakan niatnya untuk membantu Bi Dina membersihkan meja.“Maaf ya, Bi. Saya harus menyusul Noah ke depan secepatnya,” pamit Ivy.“Iya, tak masalah, Nyonya. Saya memang tak enak dan sungkan kalau Nyonya selalu membantu saya,” balas Bi Dina.Ivy tersenyum. “Tenang saja. Tak merepotkan kok.”Ivy menggerakkan kruknya dengan lebih cepat agar masih sempat menahan Noah yang akan berangkat kerja. Namun, langkahnya dihentikan oleh seorang staf keamanan saat ia akan memasuki garasi.“Kenapa?” tanya Ivy dengan bingung.Pegawai bernama Beni itu tampak canggung dan gugup.“Tuan Noah masih sibuk di dalam,” jawabnya.Tentu jawaban itu sangat aneh bagi Ivy. Apa yang Noah lakukan sampai dia sibuk di garasi? Jangan-jangan ayahnya membuat ulah lagi hingga Noah samp
Clara segera mengembalikan botol yang sudah kosong ke saku celananya setelah usai melaksanakan rencana besarnya. Ia pun mengaduk kopi Noah, lalu memasukkan satu gula lagi di kopinya agar ia terlihat sibuk di depan nampan. “Kopi datang!”Clara tersenyum riang saat meletakkan kopi Noah di sebelah piringnya dan kopinya sendiri di depannya. “Terima kasih,” ucap Noah dengan acuh. “Sama-sama,” balas Clara, masih dengan senyuman lima jarinya. “Dan kurasa kau harus makan dulu sebelum minum kopi demi kebaikan lambungmu,” lanjutnya kemudian. Ivy mengangguk-angguk. “Benar kata Clara. Kau ini memang memiliki kebiasaan buruk dengan minum kopi saat perut kosong.”Cangkir yang sudah di depan bibir kembali Noah letakkan di atas meja. Ia tak bisa mengelak ketika istrinya sudah bersabda. Clara sendiri merasa cukup lega, karena efek cairan cinta yang ia letakkan di kopi Noah cukup banyak sehingga pasti langsung berefek. Ia tak ingin ada Ivy saat efek dari minuman itu mulai bereaksi. Ia harus menci
Clara membanting pintu kamarnya dengan penuh emosi. Semua ini karena Ivy yang sudah berbuat sesukanya.“Kurang ajar. Dia sudah mulai berani,” gumamnya dengan napas pendek-pendek, menahan amarah.Wajah Ivy yang menyebalkan membuatnya makin geram. Bantal di dekatnya menjadi pelampiasan emosi. Ia meninju-ninju bantal itu dengan kekuatan penuh selagi membayangkan wajah Ivy.“Awas saja. Akan kubuat kau menyesal,” geram Clara.Ada sebuah ide yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Mengundang senyuman kecil yang penuh kelicikan.“Aku hampir melupakan ide itu.”Clara segera membuka laci mejanya, lalu meraih botol kecil yang baru ia beli melalui daring beberapa hari yang lalu.“Aku tahu kalau kau akan bermanfaat, tapi aku tak tahu kalau akan kugunakan secepat ini,” ucap Clara dengan tertawa girang sambil menatap botol berisi cairan cinta itu.Clara segera memasukkannya ke dalam saku, lalu buru-buru kembali keluar dari kamar untuk melancarkan aksi.Sebentar lagi Noah akan berangkat kerja dan biasan
Sudah satu minggu terakhir Clara telihat berbeda. Bukan hanya Ivy yang merasakan perubahan sikap Clara, tapi juga Noah.“Aku merasa ada hal busuk yang sedang dia rencanakan,” ungkap Noah.Ivy memberengut. “Kau terlalu berpikir buruk. Bagaimana kalau dia memang sudah menyadari kesalahannya dan ingin memperbaiki semuanya.”“Itu lebih tak mungkin lagi.”Ivy tak bisa menahan helaan napas panjangnya saat ia dan Noah kembali berbeda pandangan. Noah masih berjalan kesana-kemari dengan wajah bingung.Tanpa bicara pun, Ivy bisa menebak bagaimana isi kepalanya.“Cobalah untuk tak terlalu mencurigainya,” pesan Ivy, yang langsung mendapat lirikan tajam dari Noah.Langkah Noah yang tak menentu itu bahkan sudah berakhir. Kini, ia berdiri di depan Ivy dengan tangan yang menyilang di depan dada.“Dan kau juga cobalah untuk tak selalu berprasangka baik. Aku tahu kalau pada dasarnya kau memang baik sehingga menyangsikan setiap kejahatan orang lain. Tapi… ayolah, Sayang.”Noah mengelus pipi Ivy. Berhara
“Iya. Aku sudah mengirim beberapa berkas yang kudapatkan ke email. Kau sudah mengeceknya?”Ivy mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu kanan karena tangannya sibuk membereskan beberapa lembar catatan yang ia buat semalaman.Di balik telepon, terdengar suara Ezra yang berat dan lelah.“Ya, aku sudah mengeceknya. Akan kubaca sekarang. Hacim!”Dahi Ivy berkerut. Ia memindahkan ponselnya ke telinga kiri setelah berkas-berkas di tangannya sudah dimasukkan ke dalam laci.“Kau sakit?” tanyanya.“Ya. Sedikit flu. Sepertinya terlalu lelah. Pekerjaanku agak berat akhir-akhir ini.”Seketika perasaan bersalah menyeruak ke seluruh relung hati Ivy. Tanpa bertanya pun, ia tahu kalau semua kesusahan Ezra juga disebabkan oleh ayahnya.“Kalau begitu istirahatlah dulu. Baca data dariku nanti saja,” ucap Ivy sungguh-sungguh.Ia sudah cukup merasa bersalah pada Ezra dan ia akan makin tak enak hati jika membuatnya semakin kerepotan.“Tak apa. Kita juga harus bertindak cepat agar semuanya kembali sepe
Ivy berdiri diam di depan pintu kamar tamu yang akan ditempati Noah dengan cukup lama. Tangannya ragu saat ingin memutar knop pintu. Namun, ia harus memastikan kebenaran ucapan Clara.“Ivy?”Ivy tersentak saat pintu itu terbuka dari dalam. Noah berdiri di depannya dengan bingung.“Kenapa hanya berdiri di sini? Tak masuk?” tanyanya.“Ini mau masuk,” balas Ivy.Noah memundurkan langkahnya agar Ivy bisa berjalan maju dan masuk ke kamar tamu. Ia membiarkan Ivy memandang kamar yang masih berantakan itu dengan keheranan.“Pasti ada yang ingin kau bicarakan padaku, kan?” tebak Noah.Ivy yang sedang memperhatikan koper Noah hanya berdehem. Ia berjalan mendekati koper itu dan merapikan sisa pakaian yang belum diletakkan di lemari.“Mau bicara apa?” Noah kembali bertanya dengan berjalan mendekati Ivy.Noah lupa dengan niatnya untuk keluar kamar mencari minuman. Baginya, Ivy memang bagai magnet yang selalu menariknya.“Ada sesuatu….”Ivy menundukkan kepalanya. Ia tak berani memandang mata Noah k
“Aku sedih sekali melihat Noah yang menurut saja pada Ivy. Dia selalu dimanipulasi olehnya, jadi aku ingin membebaskan Noah.”Clara berusaha memancing emosional Kyla agar berada di pihaknya, tetapi menghadapi Kyla sepertinya hal yang cukup sulit saat melihat tatapan oenuh selidiknya.“Dan apa hubungannya membebaskan Noah dengan alasanmu pura-pura pingsan?” tanya Kyla dengan mata menyipit.Clara gelagapan, tetapi ia segera memutar otaknya untuk terus berbohong.“Ivy tak berani menyakitiku kalau aku masih terlihat lemah dan Noah pun jadi iba padaku, jadi saat aku masih terlihat sakit Noah bisa lebih peduli padaku. Di saat itu aku akan membuatnya sadar secara perlahan dan menjauhkannya dari kakakku.”Kyla tetap diam. Ia tak menunjukkan reaksi apapun setelah mendengar semua penjelasan Clara. “Tolong aku. Katakan saja pada mereka kalau aku harus diperlakukan hati-hati. Itu saja,” pinta Clara dengan menangkupkan kedua tangannya, memohon dengan raut memelas.Kyla menghela napas panjang. Sem
Kyla baru saja turun dari mobilnya saat mendapatkan telepon dari Noah. Yang mana hal itu membuatnya terkejut karena Noah tak pernah menghubunginya semenjak mereka lulus.Mereka hanya bertemu sesekali di reuni, itu pun tak pernah lebi dari lima kali sejak kelulusan mereka bertahun-tahun yang lalu. Selama ini, ia hanya mengetahui kabar Noah melalui media massa. Termasuk kabar jatuhnya perusahaannya di tangan ayah mertuanya.“Kenapa ini?” gumamnya sambil menatap layar ponselnya yang masih menunjukkan nama Noah besar-besar.Kyla berdehem keras sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. Bohong jika ia merasa biasa dan tenang saat mendengar suara Noah, orang yang dulu ia sukai.“Halo? Ada apa, Noah?” tanyanya.“Kyla, apa kau masih di rumah sakit?” Noah balik menjawab dengan pertanyaan..Kyla mengerutkan dahinya. Ia tak mengira kalau Noah akan menanyakan keberadaannya. Sebenarnya apa yang dia inginkan?“Aku baru pulang. Kenapa?”“Oh, syukurlah. Apa kau bisa ke rumah? Adik iparku jatuh pingsa
“Sudah kukatakan padamu berulang kali kalau kau harus menjaga ucapanmu di depan Clara! Lihatlah apa yang terjadi karena perbuatanmu!”Ivy menatap Noah dengan penuh kekecewaan, sedangkan Noah hanya berdiri di depannya dengan berkali-kali menghela napas panjang.“Dan sudah kukatakan juga kalau Clara yang memulai duluan,” balas Noah.Mereka sudah berdebat alot sejak Clara jatuh pingsan. Namun, perdebatan itu sama seperti yang sudah-sudah. Mereka hanya terus meluapkan emosi tanpa hasil yang berarti."Walau Clara memancingmu, harusnya kau bisa menahan diri. Clara baru sembuh, Noah...," ucap Ivy dengan memelas.Noah tahu kalau Ivy sudah putus asa, tapi ia pun juga merasakan hal yang sama."Dia nanti akan semakin kurang ajar kalau dibiarkan saja. Dia bahkan sudah semena-mena di rumah ini dengan merampas kamar kita!" ucap Noah."Setidaknya beri Clara waktu untuk beradaptasi. Dia mungkin suntuk karena menghabiskan banyak waktu di rumah sakit,” pinta Ivy dengan suara yang lebih rendah.Noah mer