Tak terhitung sudah berapa kali Ivy jatuh pingsan. Sepanjang ingatannya, ia hanya terus dipukuli tanpa ampun. Ivy ingat kalau kasurnya bahkan sudah merah karena darah yang mengalir dari tubuhnya. Beberapa kali ka terbangun dan mencium aroma anyir.Akan tetapi, kali ini terasa berbeda. Ivy tak mendapati ia tengah berada di kamarnya lagi. Kasur yang semula sudah penuh darah sudah tak ada.“Ini dimana?” Ivy bisa mendengar suaranya sendiri yang lirih dan serak. Tempat ini sangat gelap, juga lembap dan penuh debu hingga membuatnya terbatuk.Ketika Ivy ingin menutup mulutnya karena terus terbatuk, ia baru sadar kalau tangannya sudah dirantai. Dengan panik ia menggerakkan seluruh tubuhnya, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa.Kedua tangannya sudah dirantai dan kakinya pun dipasung. Ivy mulai menggeliat panik.“Tidak… tidak….” Air mata Ivy mulai berjatuhan karena menyadari kondisinya yang makin tak terselamatkan. Selama jni, tangannya terus melingkar di perut untuk melindungi janinnya.Ki
Napas Ivy selalu berat sejak penyiksaan itu terjadi. Akan tetapi, ia bisa mengela napas lega saat tongkat yang semula sudah diangkat tinggi oleh ayahnya, kembali turun.Kelegaan semakin menyeruak di dadanya ketika Evan sudah melempar tongkat itu ke samping. Evan sudah membuang senjatanya, bukankah itu sebuah kabar baik?“Ayah sudah membuang tongkat bisbol itu. Apa penyiksaan ini akan berakhir? Apa Ayah tersentuh karena aku hamil?”Ivy menduga-duga dalam benaknya. Ia berharap apa yang dipikirkan memang benar. Ia sangat berharap bahwa ayahnya luluh karena kehamilannya.“Iya, Ayah. Aku hamil… aku hamil cucumu. Cucu pertamamu,” ucap Ivy. Evan mengangguk-angguk. Ia memilih jongkok untuk menatap Ivy lebih jelas. Posisi wajah yang sejajar membuat Ivy bisa menatap ayahnya dengan jelas.Pada awalnya, Ivy merasa lega ketika Evan membuang tongkat bisbol itu. Ia mengira Evan sudah luluh dan tak akan menyiksanya lagi. Akan tetapi, ia tahu kalau pemikirannya salah.Ketika Ivy melihat wajah Evan ya
“Kau harus tetap sadar, Noah! Kita akan menemukan Ivy!”Ezra terus-menerus menggoyang tubuh Noah yang membeku. Ezra sudah sampai di rumah makan itu selama tiga puluh menit, tetapi Noah tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kewarasan. Akal sehat Noah seolah-olah sudah hilang. Ia terus memanggil-manggil Ivy dengan menangis hingga ia sukses menjadi tontonan banyak orang. Akhirnya, Ezra membawa ke mobilnya dengan bantuan petugas keamanan.“Sialan! Sadarlah, Noah!” bentak Ezra dengan memberi tamparan ke pipi kanan Noah. Noah akhirnya berjengit, lalu menatap Ezra. “Ezra, aku merasakan firasat buruk,” sahut Noah dengan tatapan kosongnya. “Aku merasa akan kehilangan Ivy untuk selamanya,” lanjutnya dengan lirih.Ezra memukul dashboard mobil dengan kesal. Ia sangat marah karena Noah tak bisa diajak kerja sama, tetapi di lain sisi ia pun paham dengan perasaannya. Jauh di dalam benaknya, ia pun juga merasakan hal yang sama.“Lalu apa kau akan tetap diam seperti orang bodoh di sini? Kau akan mera
“Katamu kau menghubungi seorang profesional yang bisa melacak keberadaan Ivy, kan?” tanya Ezra kemudian. “Ya,” jawab Noah dengan mengangguk cepat. “Sebaiknya kuhubungi lagi saja untuk melacak keberadaan Clara,” lanjutnya. Ezra mendengus. “Akan membutuhkan waktu lama,” celetuknya.“Lalu bagaimana? Kita tak memiliki pilihan lain,” sahut Noah. “Masih ada,” balas Ezra dengan tegas. Noah memandangnya dengan bingung, sedangkan Ezra menoleh dan melemparkan senyuman penuh percaya diri. “Masih ada aku. Aku bisa melacaknya dalam hitungan detik,” tukas Ezra. “Kau?” Noah menunjuk Ezra dengan wajah tak percaya sehingga membuat Ezra mendengus kesal. Mobil yang semula melaju cepat akhirnya mulai berkurang kecepatannya. Ezra memilih membelokkan mobilnya ke sebuah gang sepi dan menghentikan mobilnya. Noah yang melihat hal itu jadi makin keheranan.“Kenapa berhenti? Bukannya kita harus ke rumah Evan secepatnya?” tanyanya dengan sedikit kesal karena keputusan Ezra yang memilih berhenti. “Sebent
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Evan, Noah lebih banyak diam semenjak mengetahui identitas Ivy yang tersembunyi. Ia masih tak menyangka kalau istrinya sudah menyembunyikan rahasia besar itu darinya.“Lalu kenapa kau tahu kalau Ivy juga peretas? Apa kalian sudah lama berteman?” tanya Noah, melanjutkan interogasinya kepada Ezra.“Kami memang berteman lama sebagai sesama peretas, tetapi sama-sama tak tahu identitas asli kami,” jawab Ezra.“Lalu sejak kapan kalian tahu?” tanya Noah. Ketertarikan Noah untuk mengulik informasi tentang hubungan Ezra dan Ivy semakin tinggi. Ia tidak menyangka kalau mereka ternyata lebih dekat daripada yang ia duga.“Mungkin beberapa saat setelah aku bertemu Ivy. Yang jelas, saat itu aku sudah berbuat licik dengan mengancam Ivy akan mengungkap identitasnya padamu,” ucap Ezra.“Apa?” Noah menyahut dengan kesal. “Berani-beraninya kau mengancam Ivy!” serunya dengan kesal.“Aku menggunakan cara itu karena aku sangat tertarik kepadanya. Aku sangat menyukai I
“Kau mendapatkan kartu identitas sebagai polisi itu dari mana?” Noah bertanya dengan bingung ketika mereka berhasil menerobos ke pekarangan rumah Evan dengan mudah. Ezra hanya tersenyum tipis.“Aku membuatnya untuk jaga-jaga,” balasnya.“Jadi itu hanya cetakan palsu?” sahut Noah dengan melongo.Ezra mengangguk. “Tentu saja. Tak mungkin aku sungguhan polisi.”“Kau… benar-benar licik sekali,” tukas Noah. Untuk kesekian kalinya, ia terkejut dengan segala rencana dan akal bulus Ezra.“Itu namanya jenius, bukan licik,” koreksi Ezra. Lagi-lagi Ezra tersenyum sombong dan mengetuk-ngetuk pelipis kanannya saat menatap Noah.“Kau hanya perlu menggunakan otakmu dengan baik,” ucap Ezra.Wajah Ezra yang berlagak sombong sungguh membuat Noah naik pitam. Ia sangat ingin memukulnya, tetapi mereka harus bergerak cepat untuk masuk ke dalam rumah Evan.“Ayo masuk,” ucap Noah sembari mendorong pintu utama rumah Evan.“Ya.”Ketika pintu itu terbuka lebar, hanya sunyi yang menyambut Noah dan Ezra. Merek
Noah berdiri seperti orang linglung di ruang kamar Ivy. Pandangannya sudah kosong dan kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran buruk. Ivy menghilang. Ivy pergi. Hanya kalimat itu yang terus terngiang-ngiang di benaknya.“Ivy! Kau di mana?” tanya Noah dengan suara putus asa.Di dalam kamar itu, Noah tak bisa lagi menahan air matanya. Ia jatuh terduduk di lantai dengan tangisan putus asa. Mulutnya terus memanggil-manggil nama Ivy dengan lesu.“Ivy!!!!” “Dia tak akan menjawabmu karena dia memang tidak ada di sini!” Clara berseru dari luar kamar.Noah sudah tak memiliki tenaga lagi untuk berteriak kepada Clara. Sebagian nyawanya seolah sudah menghilang bersama raibnya tanda-tanda kehadiran Ivy.Ezra sendiri berusaha tetap was-was. Ia memang panik melihat Noah yang sudah sangat lemah. Belum lagi Clara yang masih mengompori dengan terus berteriak bahwa usahanya sia-sia untuk mencari Ivy di rumah ini.“Ivy memang tak di sini,” pikir Ezra.Ezra bisa menyimpulkan hal itu karena Clara terliha
Ruangan yang gelap dan apek itu hanya dipenuhi dengan aroma anyir. Pandangan Ivy sudah buram karena air mata dan rasa sakit di kepalanya yang berdentum kian besar seolah-olah kepalanya akan pecah. Tubuhnya sudah sempurna lemas dan tak bisa bergerak lagi. Sekadar bergidik ngeri dan menggeliat sakit pun tak sanggup. Ivy yakin kalau kakinya sudah lumpuh karena ia tak bisa menggerakkan jari-jari kakinya. Kini, ia menduga kalau tangannya pun tak lama lagi akan kehilangan fungsinya karena Evan terus memukuli tangannya tanpa henti. “Tangan ini yang sudah menjadi petaka untukku. Tanganmu harus dilumpuhkan juga,” tegas Evan. Ketika Ivy memejamkan matanya untuk menahan sakit dari hantaman besi itu ke tangannya, sayup-sayup ia mendengar suara langkah kaki yang mendengar. Ivy sempat mengira itu hanya halusinasinya, tetapi tubuh Evan yang menegang membuatnya yakin kalau memang ada orang yang mendekat. “Sialan! Siapa itu?” desis Evan dengan geram. Suara langkah kaki itu kian mendekat. Dari su
Sesampainya di rumah sakit, baik Noah ataupun Ezra sama-sama hanya duduk diam dengan pandangan kosong. Mereka sudah berada di depan ruang operasi selama tiga puluh menit dengan diliputi keheningan.Hanya deru napas berat yang terdengar di lorong itu. Dalam benak Noah mulai menayangkan setiap memorinya dengan Ivy. Hingga tak sadar kalau satu per satu air matanya jatuh di pipinya. Namun, Noah tak berniat untuk menghapus air matanya. Seluruh tenaga Noah seolah ikut hilang bersama ketidakberdayaan Ivy di ruang operasi. Ia bahkan membiarkan tubuhnya masih dipenuhi dengan darah milik Ivy dan mengabaikan tatapan beberapa orang yang terkejut melihatnya. Di tengah lamunannya, Noah tersentak saat perempuan tua yang semula ikut bersamanya mengambil duduk di sampingnya. Pikiran Noah yang kacau balau bahkan membuatnya hampir melupakan eksistensi perempuan itu.“Ini.”Perempuan dengan rambut beruban yang digelung itu mendekat dengan menjulurkan sapu tangan basah. Rupanya ia baru dari kamar mandi
Ruangan yang gelap dan apek itu hanya dipenuhi dengan aroma anyir. Pandangan Ivy sudah buram karena air mata dan rasa sakit di kepalanya yang berdentum kian besar seolah-olah kepalanya akan pecah. Tubuhnya sudah sempurna lemas dan tak bisa bergerak lagi. Sekadar bergidik ngeri dan menggeliat sakit pun tak sanggup. Ivy yakin kalau kakinya sudah lumpuh karena ia tak bisa menggerakkan jari-jari kakinya. Kini, ia menduga kalau tangannya pun tak lama lagi akan kehilangan fungsinya karena Evan terus memukuli tangannya tanpa henti. “Tangan ini yang sudah menjadi petaka untukku. Tanganmu harus dilumpuhkan juga,” tegas Evan. Ketika Ivy memejamkan matanya untuk menahan sakit dari hantaman besi itu ke tangannya, sayup-sayup ia mendengar suara langkah kaki yang mendengar. Ivy sempat mengira itu hanya halusinasinya, tetapi tubuh Evan yang menegang membuatnya yakin kalau memang ada orang yang mendekat. “Sialan! Siapa itu?” desis Evan dengan geram. Suara langkah kaki itu kian mendekat. Dari su
Noah berdiri seperti orang linglung di ruang kamar Ivy. Pandangannya sudah kosong dan kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran buruk. Ivy menghilang. Ivy pergi. Hanya kalimat itu yang terus terngiang-ngiang di benaknya.“Ivy! Kau di mana?” tanya Noah dengan suara putus asa.Di dalam kamar itu, Noah tak bisa lagi menahan air matanya. Ia jatuh terduduk di lantai dengan tangisan putus asa. Mulutnya terus memanggil-manggil nama Ivy dengan lesu.“Ivy!!!!” “Dia tak akan menjawabmu karena dia memang tidak ada di sini!” Clara berseru dari luar kamar.Noah sudah tak memiliki tenaga lagi untuk berteriak kepada Clara. Sebagian nyawanya seolah sudah menghilang bersama raibnya tanda-tanda kehadiran Ivy.Ezra sendiri berusaha tetap was-was. Ia memang panik melihat Noah yang sudah sangat lemah. Belum lagi Clara yang masih mengompori dengan terus berteriak bahwa usahanya sia-sia untuk mencari Ivy di rumah ini.“Ivy memang tak di sini,” pikir Ezra.Ezra bisa menyimpulkan hal itu karena Clara terliha
“Kau mendapatkan kartu identitas sebagai polisi itu dari mana?” Noah bertanya dengan bingung ketika mereka berhasil menerobos ke pekarangan rumah Evan dengan mudah. Ezra hanya tersenyum tipis.“Aku membuatnya untuk jaga-jaga,” balasnya.“Jadi itu hanya cetakan palsu?” sahut Noah dengan melongo.Ezra mengangguk. “Tentu saja. Tak mungkin aku sungguhan polisi.”“Kau… benar-benar licik sekali,” tukas Noah. Untuk kesekian kalinya, ia terkejut dengan segala rencana dan akal bulus Ezra.“Itu namanya jenius, bukan licik,” koreksi Ezra. Lagi-lagi Ezra tersenyum sombong dan mengetuk-ngetuk pelipis kanannya saat menatap Noah.“Kau hanya perlu menggunakan otakmu dengan baik,” ucap Ezra.Wajah Ezra yang berlagak sombong sungguh membuat Noah naik pitam. Ia sangat ingin memukulnya, tetapi mereka harus bergerak cepat untuk masuk ke dalam rumah Evan.“Ayo masuk,” ucap Noah sembari mendorong pintu utama rumah Evan.“Ya.”Ketika pintu itu terbuka lebar, hanya sunyi yang menyambut Noah dan Ezra. Merek
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Evan, Noah lebih banyak diam semenjak mengetahui identitas Ivy yang tersembunyi. Ia masih tak menyangka kalau istrinya sudah menyembunyikan rahasia besar itu darinya.“Lalu kenapa kau tahu kalau Ivy juga peretas? Apa kalian sudah lama berteman?” tanya Noah, melanjutkan interogasinya kepada Ezra.“Kami memang berteman lama sebagai sesama peretas, tetapi sama-sama tak tahu identitas asli kami,” jawab Ezra.“Lalu sejak kapan kalian tahu?” tanya Noah. Ketertarikan Noah untuk mengulik informasi tentang hubungan Ezra dan Ivy semakin tinggi. Ia tidak menyangka kalau mereka ternyata lebih dekat daripada yang ia duga.“Mungkin beberapa saat setelah aku bertemu Ivy. Yang jelas, saat itu aku sudah berbuat licik dengan mengancam Ivy akan mengungkap identitasnya padamu,” ucap Ezra.“Apa?” Noah menyahut dengan kesal. “Berani-beraninya kau mengancam Ivy!” serunya dengan kesal.“Aku menggunakan cara itu karena aku sangat tertarik kepadanya. Aku sangat menyukai I
“Katamu kau menghubungi seorang profesional yang bisa melacak keberadaan Ivy, kan?” tanya Ezra kemudian. “Ya,” jawab Noah dengan mengangguk cepat. “Sebaiknya kuhubungi lagi saja untuk melacak keberadaan Clara,” lanjutnya. Ezra mendengus. “Akan membutuhkan waktu lama,” celetuknya.“Lalu bagaimana? Kita tak memiliki pilihan lain,” sahut Noah. “Masih ada,” balas Ezra dengan tegas. Noah memandangnya dengan bingung, sedangkan Ezra menoleh dan melemparkan senyuman penuh percaya diri. “Masih ada aku. Aku bisa melacaknya dalam hitungan detik,” tukas Ezra. “Kau?” Noah menunjuk Ezra dengan wajah tak percaya sehingga membuat Ezra mendengus kesal. Mobil yang semula melaju cepat akhirnya mulai berkurang kecepatannya. Ezra memilih membelokkan mobilnya ke sebuah gang sepi dan menghentikan mobilnya. Noah yang melihat hal itu jadi makin keheranan.“Kenapa berhenti? Bukannya kita harus ke rumah Evan secepatnya?” tanyanya dengan sedikit kesal karena keputusan Ezra yang memilih berhenti. “Sebent
“Kau harus tetap sadar, Noah! Kita akan menemukan Ivy!”Ezra terus-menerus menggoyang tubuh Noah yang membeku. Ezra sudah sampai di rumah makan itu selama tiga puluh menit, tetapi Noah tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kewarasan. Akal sehat Noah seolah-olah sudah hilang. Ia terus memanggil-manggil Ivy dengan menangis hingga ia sukses menjadi tontonan banyak orang. Akhirnya, Ezra membawa ke mobilnya dengan bantuan petugas keamanan.“Sialan! Sadarlah, Noah!” bentak Ezra dengan memberi tamparan ke pipi kanan Noah. Noah akhirnya berjengit, lalu menatap Ezra. “Ezra, aku merasakan firasat buruk,” sahut Noah dengan tatapan kosongnya. “Aku merasa akan kehilangan Ivy untuk selamanya,” lanjutnya dengan lirih.Ezra memukul dashboard mobil dengan kesal. Ia sangat marah karena Noah tak bisa diajak kerja sama, tetapi di lain sisi ia pun paham dengan perasaannya. Jauh di dalam benaknya, ia pun juga merasakan hal yang sama.“Lalu apa kau akan tetap diam seperti orang bodoh di sini? Kau akan mera
Napas Ivy selalu berat sejak penyiksaan itu terjadi. Akan tetapi, ia bisa mengela napas lega saat tongkat yang semula sudah diangkat tinggi oleh ayahnya, kembali turun.Kelegaan semakin menyeruak di dadanya ketika Evan sudah melempar tongkat itu ke samping. Evan sudah membuang senjatanya, bukankah itu sebuah kabar baik?“Ayah sudah membuang tongkat bisbol itu. Apa penyiksaan ini akan berakhir? Apa Ayah tersentuh karena aku hamil?”Ivy menduga-duga dalam benaknya. Ia berharap apa yang dipikirkan memang benar. Ia sangat berharap bahwa ayahnya luluh karena kehamilannya.“Iya, Ayah. Aku hamil… aku hamil cucumu. Cucu pertamamu,” ucap Ivy. Evan mengangguk-angguk. Ia memilih jongkok untuk menatap Ivy lebih jelas. Posisi wajah yang sejajar membuat Ivy bisa menatap ayahnya dengan jelas.Pada awalnya, Ivy merasa lega ketika Evan membuang tongkat bisbol itu. Ia mengira Evan sudah luluh dan tak akan menyiksanya lagi. Akan tetapi, ia tahu kalau pemikirannya salah.Ketika Ivy melihat wajah Evan ya
Tak terhitung sudah berapa kali Ivy jatuh pingsan. Sepanjang ingatannya, ia hanya terus dipukuli tanpa ampun. Ivy ingat kalau kasurnya bahkan sudah merah karena darah yang mengalir dari tubuhnya. Beberapa kali ka terbangun dan mencium aroma anyir.Akan tetapi, kali ini terasa berbeda. Ivy tak mendapati ia tengah berada di kamarnya lagi. Kasur yang semula sudah penuh darah sudah tak ada.“Ini dimana?” Ivy bisa mendengar suaranya sendiri yang lirih dan serak. Tempat ini sangat gelap, juga lembap dan penuh debu hingga membuatnya terbatuk.Ketika Ivy ingin menutup mulutnya karena terus terbatuk, ia baru sadar kalau tangannya sudah dirantai. Dengan panik ia menggerakkan seluruh tubuhnya, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa.Kedua tangannya sudah dirantai dan kakinya pun dipasung. Ivy mulai menggeliat panik.“Tidak… tidak….” Air mata Ivy mulai berjatuhan karena menyadari kondisinya yang makin tak terselamatkan. Selama jni, tangannya terus melingkar di perut untuk melindungi janinnya.Ki