Ruangan yang gelap dan apek itu hanya dipenuhi dengan aroma anyir. Pandangan Ivy sudah buram karena air mata dan rasa sakit di kepalanya yang berdentum kian besar seolah-olah kepalanya akan pecah. Tubuhnya sudah sempurna lemas dan tak bisa bergerak lagi. Sekadar bergidik ngeri dan menggeliat sakit pun tak sanggup. Ivy yakin kalau kakinya sudah lumpuh karena ia tak bisa menggerakkan jari-jari kakinya. Kini, ia menduga kalau tangannya pun tak lama lagi akan kehilangan fungsinya karena Evan terus memukuli tangannya tanpa henti. “Tangan ini yang sudah menjadi petaka untukku. Tanganmu harus dilumpuhkan juga,” tegas Evan. Ketika Ivy memejamkan matanya untuk menahan sakit dari hantaman besi itu ke tangannya, sayup-sayup ia mendengar suara langkah kaki yang mendengar. Ivy sempat mengira itu hanya halusinasinya, tetapi tubuh Evan yang menegang membuatnya yakin kalau memang ada orang yang mendekat. “Sialan! Siapa itu?” desis Evan dengan geram. Suara langkah kaki itu kian mendekat. Dari su
Sesampainya di rumah sakit, baik Noah ataupun Ezra sama-sama hanya duduk diam dengan pandangan kosong. Mereka sudah berada di depan ruang operasi selama tiga puluh menit dengan diliputi keheningan.Hanya deru napas berat yang terdengar di lorong itu. Dalam benak Noah mulai menayangkan setiap memorinya dengan Ivy. Hingga tak sadar kalau satu per satu air matanya jatuh di pipinya. Namun, Noah tak berniat untuk menghapus air matanya. Seluruh tenaga Noah seolah ikut hilang bersama ketidakberdayaan Ivy di ruang operasi. Ia bahkan membiarkan tubuhnya masih dipenuhi dengan darah milik Ivy dan mengabaikan tatapan beberapa orang yang terkejut melihatnya. Di tengah lamunannya, Noah tersentak saat perempuan tua yang semula ikut bersamanya mengambil duduk di sampingnya. Pikiran Noah yang kacau balau bahkan membuatnya hampir melupakan eksistensi perempuan itu.“Ini.”Perempuan dengan rambut beruban yang digelung itu mendekat dengan menjulurkan sapu tangan basah. Rupanya ia baru dari kamar mandi
Hari pernikahan telah tiba. Ivy menatap dirinya di pantulan cermin dengan gugup. Gaun pengantin ini nampak begitu mewah. Kainnya memang dibuat sangat tertutup hingga tak menunjukkan punggung bahkan lengannya.Ivy tahu bahwa ayahnya telah mengatur desain gaun pengantin ini karena ingin menutup memar yang memenuhi punggung, lengan, dan kakinya. Memar dan bekas luka di tubuhnya tak akan bisa hilang karena telah menumpuk di kulitnya selama lima belas tahun lamanya.Ada ketakutan yang kini memenuhi hatinya. “Bagaimana malam pertamanya nanti? Apa aku harus mengatakan yang sejujurnya pada Noah?”“Jangan sampai Noah tahu.”Ivy tersentak saat suara ayahnya tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Tenggorokannya seketika tercekat dan ia merasa tercekik karena ketakutan.“Kau akan mati kalau ada orang yang tahu,” ancam Evan.“Ya—ya...,” jawab Ivy dengan terpatah-patah.“Sekarang tersenyumlah. Kita harus bergandengan tangan saat masuk ke aula pernikahan.” Evan mengulurkan tangannya, Ivy meraihnya den
"Stop!" Ivy berteriak lantang tepat ketika Noah nyaris saja menempelkan bibirnya ke bibir perempuan itu. "Aku akan keluar."Setelahnya, Ivy beranjak. Menyeret kakinya yang pincang dan kini terasa lemas karena sikap tega suaminya, ia pun keluar menuju kamar yang telah dipesankan Noah.“Harusnya… harusnya aku memang tidak boleh memiliki harapan.”Ivy duduk di tepian tempat tidur dengan kepala menunduk. Jari-jemarinya saling bertautan demi mengontrol tubuhnya yang gemetar semenjak keluar dari kamar yang seharusnya menjadi saksi malam pertamanya.Meski ia tidak menyaksikan bagaimana Noah dan perempuan murahannya itu melanjutkan adegan dewasa itu, tapi bayangan liar mengenai kemungkinan mereka memadu kasih kini terus mengganggu benak Ivy.Seharusnya, Ivy tidak lupa tentang takdirnya yang selalu terkurung dan dibatasi. Sikap Noah selama beberapa minggu terakhir membuatnya sangat terlena hingga ia bisa jatuh cinta dengan mudah.Sebelumnya, Noah memang melamar untuk Clara. Namun, ia berusaha
“Kalau Noah memang ingin mempermainkanku, maka aku tak boleh terlihat lemah. Akan kutunjukkan kalau aku bukan perempuan yang mudah disakiti.”Tangisan semalam seolah menjadi pertanda tangisan terakhirnya.Ia sudah banyak menangis… menangis karena ayahnya, keluarganya, sekarang suaminya. Ia tak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan menangis… tidak akan.Setelah mandi dan menyiapkan diri sebaik mungkin, Ivy mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia segera membukanya dan mendapati Noah yang sudah rapi dengan kemeja biru muda.“Selamat pagi,” sapa Ivy dengan seramah mungkin.Meski tenggorokannya terasa tercekat karena kepedihan dan kemarahan semalam, ia berusaha mengendalikan diri dengan sebaik mungkin.Noah sendiri hanya membalas dengan dengusan kasar, terlihat tak suka dengan basa-basi Ivy.“Dia… sudah pergi?” Mata Ivy menatap pintu di belakang Noah yang sudah tertutup rapat. Dalam diam, ia menanti kemunculan perempuan berambut pirang yang semalam datang secara tiba-tiba.“Siapa?” Satu alis
Ivy terpaku selama beberapa saat ketika perempuan bernama Bella itu menjulurkan tangan padanya.“Senang bertemu denganmu. Aku harap kita jadi teman yang akrab.” Bella berkata dengan senyum lebarnya.Ivy menoleh pada Noah yang tengah tersenyum mencemooh. Apa yang dilakukan Noah jelas telah merendahkannya.Bagaimana bisa ia pergi bulan madu dengan teman tidur suaminya?“Ya… ya… senang berkenalan denganmu.” Ivy membalas jabat tangan itu dengan kaku.Samar-samar ia bisa mendengar dengusan pelan Noah yang mengatainya bodoh. Dan ia sendiri juga mengakui kalau memang bodoh.“Harusnya kupatahkan saja tangan ini! Dia adalah selingkuhan suamiku!” batin Ivy meronta dan tanpa sadar mencengkram kuat-kuat tangan Bella yang masih di dalam genggamannya, tapi ia tetap tak bisa melakukan apa pun hingga Bella melepas sendiri jabatan tangan itu.“Kau cukup kuat juga ya,” ucap Bella.Di balik senyumnya yang lebar, ia menaruh kesal karena Ivy benar-benar membuat tangannya sakit.Selama perjalanan Jakarta k
Ivy berusaha menjaga jarak dari Samuel. Kejadian di bandara cukup membuatnya trauma hingga lebih baik ia di dekat Noah, meski sering mendapat lirikan tajam daripada disentuh oleh Samuel. “Kenapa pegang tangan terus?” protes Noah sambil berusaha melepaskan genggaman Ivy. “Kita masih di tempat umum. Siapa tahu ada orang Indonesia di sini dan mengenalmu,” balas Ivy. Setelah meletakkan barang-barang di hotel, mereka memang segera menuju restoran milik keluarga Samuel. Kata Noah, Samuel sedang liburan seminggu sekaligus menengok bisnis keluarganya. “Tapi kita mau makan. Aku tidak bisa makan kalau kau terus menggenggamnya.” “Saling menyuapi saja.” Ivy segera mengambil potongan tteokbokki dan menjulurkan ke mulut Noah. Jelas Noah ingin mengelak, tapi melihat ramainya tempat makan ini membuatnya tetap menerima. Samuel kembali ke meja dengan membawa sepiring gimbap yang dia buat secara spesial. “Wah. Ternyata kalian romantis juga,” godanya. Ivy membalas dengan buangan muka dan semakin
“Aku cuma ingin mengecek keadaanmu.”Samuel menyentuh pipi Ivy tapi ia menolak dengan berlari mundur. Samuel terus mengejar hingga Ivy terpojok di dinding.“Pe—pergi! Aku ingin keluar! Aku mau jalan-jalan dengan Bella!”“HAHAHA!”Samuel terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Ivy berusaha menggunakan kesempatan itu dengan melarikan diri, tapi Samuel tetap berhasil menarik tangannya bahkan mendorong tubuhnya hingga terjatuh di kasur.“Kenapa alasanmu sangat bodoh? Kenapa pula kau mendatangi perempuan yang tidur dengan suamimu sendiri?” tanya Samuel dengan tangan kanan yang menahan kedua tangan Ivy di atas kepala, sedangkan tangan lainnya sudah menjelajah ke tiap lekuk tubuh Ivy.“Le—lepas!”Ivy mulai menangis. Kakinya menendang-nendang udara, berharap bisa menumbangkan Samuel.“Pergi dari sini! Pergi!” pekiknya, putus asa.“Kau tak perlu mengusirku. Kita bisa bersenang-senang di sini. Jangan mau kalah dengan suamimu.”“Sam! Jangan!”Wajah Samuel tenggelam dalam lehernya. Ivy sontak m
Sesampainya di rumah sakit, baik Noah ataupun Ezra sama-sama hanya duduk diam dengan pandangan kosong. Mereka sudah berada di depan ruang operasi selama tiga puluh menit dengan diliputi keheningan.Hanya deru napas berat yang terdengar di lorong itu. Dalam benak Noah mulai menayangkan setiap memorinya dengan Ivy. Hingga tak sadar kalau satu per satu air matanya jatuh di pipinya. Namun, Noah tak berniat untuk menghapus air matanya. Seluruh tenaga Noah seolah ikut hilang bersama ketidakberdayaan Ivy di ruang operasi. Ia bahkan membiarkan tubuhnya masih dipenuhi dengan darah milik Ivy dan mengabaikan tatapan beberapa orang yang terkejut melihatnya. Di tengah lamunannya, Noah tersentak saat perempuan tua yang semula ikut bersamanya mengambil duduk di sampingnya. Pikiran Noah yang kacau balau bahkan membuatnya hampir melupakan eksistensi perempuan itu.“Ini.”Perempuan dengan rambut beruban yang digelung itu mendekat dengan menjulurkan sapu tangan basah. Rupanya ia baru dari kamar mandi
Ruangan yang gelap dan apek itu hanya dipenuhi dengan aroma anyir. Pandangan Ivy sudah buram karena air mata dan rasa sakit di kepalanya yang berdentum kian besar seolah-olah kepalanya akan pecah. Tubuhnya sudah sempurna lemas dan tak bisa bergerak lagi. Sekadar bergidik ngeri dan menggeliat sakit pun tak sanggup. Ivy yakin kalau kakinya sudah lumpuh karena ia tak bisa menggerakkan jari-jari kakinya. Kini, ia menduga kalau tangannya pun tak lama lagi akan kehilangan fungsinya karena Evan terus memukuli tangannya tanpa henti. “Tangan ini yang sudah menjadi petaka untukku. Tanganmu harus dilumpuhkan juga,” tegas Evan. Ketika Ivy memejamkan matanya untuk menahan sakit dari hantaman besi itu ke tangannya, sayup-sayup ia mendengar suara langkah kaki yang mendengar. Ivy sempat mengira itu hanya halusinasinya, tetapi tubuh Evan yang menegang membuatnya yakin kalau memang ada orang yang mendekat. “Sialan! Siapa itu?” desis Evan dengan geram. Suara langkah kaki itu kian mendekat. Dari su
Noah berdiri seperti orang linglung di ruang kamar Ivy. Pandangannya sudah kosong dan kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran buruk. Ivy menghilang. Ivy pergi. Hanya kalimat itu yang terus terngiang-ngiang di benaknya.“Ivy! Kau di mana?” tanya Noah dengan suara putus asa.Di dalam kamar itu, Noah tak bisa lagi menahan air matanya. Ia jatuh terduduk di lantai dengan tangisan putus asa. Mulutnya terus memanggil-manggil nama Ivy dengan lesu.“Ivy!!!!” “Dia tak akan menjawabmu karena dia memang tidak ada di sini!” Clara berseru dari luar kamar.Noah sudah tak memiliki tenaga lagi untuk berteriak kepada Clara. Sebagian nyawanya seolah sudah menghilang bersama raibnya tanda-tanda kehadiran Ivy.Ezra sendiri berusaha tetap was-was. Ia memang panik melihat Noah yang sudah sangat lemah. Belum lagi Clara yang masih mengompori dengan terus berteriak bahwa usahanya sia-sia untuk mencari Ivy di rumah ini.“Ivy memang tak di sini,” pikir Ezra.Ezra bisa menyimpulkan hal itu karena Clara terliha
“Kau mendapatkan kartu identitas sebagai polisi itu dari mana?” Noah bertanya dengan bingung ketika mereka berhasil menerobos ke pekarangan rumah Evan dengan mudah. Ezra hanya tersenyum tipis.“Aku membuatnya untuk jaga-jaga,” balasnya.“Jadi itu hanya cetakan palsu?” sahut Noah dengan melongo.Ezra mengangguk. “Tentu saja. Tak mungkin aku sungguhan polisi.”“Kau… benar-benar licik sekali,” tukas Noah. Untuk kesekian kalinya, ia terkejut dengan segala rencana dan akal bulus Ezra.“Itu namanya jenius, bukan licik,” koreksi Ezra. Lagi-lagi Ezra tersenyum sombong dan mengetuk-ngetuk pelipis kanannya saat menatap Noah.“Kau hanya perlu menggunakan otakmu dengan baik,” ucap Ezra.Wajah Ezra yang berlagak sombong sungguh membuat Noah naik pitam. Ia sangat ingin memukulnya, tetapi mereka harus bergerak cepat untuk masuk ke dalam rumah Evan.“Ayo masuk,” ucap Noah sembari mendorong pintu utama rumah Evan.“Ya.”Ketika pintu itu terbuka lebar, hanya sunyi yang menyambut Noah dan Ezra. Merek
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Evan, Noah lebih banyak diam semenjak mengetahui identitas Ivy yang tersembunyi. Ia masih tak menyangka kalau istrinya sudah menyembunyikan rahasia besar itu darinya.“Lalu kenapa kau tahu kalau Ivy juga peretas? Apa kalian sudah lama berteman?” tanya Noah, melanjutkan interogasinya kepada Ezra.“Kami memang berteman lama sebagai sesama peretas, tetapi sama-sama tak tahu identitas asli kami,” jawab Ezra.“Lalu sejak kapan kalian tahu?” tanya Noah. Ketertarikan Noah untuk mengulik informasi tentang hubungan Ezra dan Ivy semakin tinggi. Ia tidak menyangka kalau mereka ternyata lebih dekat daripada yang ia duga.“Mungkin beberapa saat setelah aku bertemu Ivy. Yang jelas, saat itu aku sudah berbuat licik dengan mengancam Ivy akan mengungkap identitasnya padamu,” ucap Ezra.“Apa?” Noah menyahut dengan kesal. “Berani-beraninya kau mengancam Ivy!” serunya dengan kesal.“Aku menggunakan cara itu karena aku sangat tertarik kepadanya. Aku sangat menyukai I
“Katamu kau menghubungi seorang profesional yang bisa melacak keberadaan Ivy, kan?” tanya Ezra kemudian. “Ya,” jawab Noah dengan mengangguk cepat. “Sebaiknya kuhubungi lagi saja untuk melacak keberadaan Clara,” lanjutnya. Ezra mendengus. “Akan membutuhkan waktu lama,” celetuknya.“Lalu bagaimana? Kita tak memiliki pilihan lain,” sahut Noah. “Masih ada,” balas Ezra dengan tegas. Noah memandangnya dengan bingung, sedangkan Ezra menoleh dan melemparkan senyuman penuh percaya diri. “Masih ada aku. Aku bisa melacaknya dalam hitungan detik,” tukas Ezra. “Kau?” Noah menunjuk Ezra dengan wajah tak percaya sehingga membuat Ezra mendengus kesal. Mobil yang semula melaju cepat akhirnya mulai berkurang kecepatannya. Ezra memilih membelokkan mobilnya ke sebuah gang sepi dan menghentikan mobilnya. Noah yang melihat hal itu jadi makin keheranan.“Kenapa berhenti? Bukannya kita harus ke rumah Evan secepatnya?” tanyanya dengan sedikit kesal karena keputusan Ezra yang memilih berhenti. “Sebent
“Kau harus tetap sadar, Noah! Kita akan menemukan Ivy!”Ezra terus-menerus menggoyang tubuh Noah yang membeku. Ezra sudah sampai di rumah makan itu selama tiga puluh menit, tetapi Noah tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kewarasan. Akal sehat Noah seolah-olah sudah hilang. Ia terus memanggil-manggil Ivy dengan menangis hingga ia sukses menjadi tontonan banyak orang. Akhirnya, Ezra membawa ke mobilnya dengan bantuan petugas keamanan.“Sialan! Sadarlah, Noah!” bentak Ezra dengan memberi tamparan ke pipi kanan Noah. Noah akhirnya berjengit, lalu menatap Ezra. “Ezra, aku merasakan firasat buruk,” sahut Noah dengan tatapan kosongnya. “Aku merasa akan kehilangan Ivy untuk selamanya,” lanjutnya dengan lirih.Ezra memukul dashboard mobil dengan kesal. Ia sangat marah karena Noah tak bisa diajak kerja sama, tetapi di lain sisi ia pun paham dengan perasaannya. Jauh di dalam benaknya, ia pun juga merasakan hal yang sama.“Lalu apa kau akan tetap diam seperti orang bodoh di sini? Kau akan mera
Napas Ivy selalu berat sejak penyiksaan itu terjadi. Akan tetapi, ia bisa mengela napas lega saat tongkat yang semula sudah diangkat tinggi oleh ayahnya, kembali turun.Kelegaan semakin menyeruak di dadanya ketika Evan sudah melempar tongkat itu ke samping. Evan sudah membuang senjatanya, bukankah itu sebuah kabar baik?“Ayah sudah membuang tongkat bisbol itu. Apa penyiksaan ini akan berakhir? Apa Ayah tersentuh karena aku hamil?”Ivy menduga-duga dalam benaknya. Ia berharap apa yang dipikirkan memang benar. Ia sangat berharap bahwa ayahnya luluh karena kehamilannya.“Iya, Ayah. Aku hamil… aku hamil cucumu. Cucu pertamamu,” ucap Ivy. Evan mengangguk-angguk. Ia memilih jongkok untuk menatap Ivy lebih jelas. Posisi wajah yang sejajar membuat Ivy bisa menatap ayahnya dengan jelas.Pada awalnya, Ivy merasa lega ketika Evan membuang tongkat bisbol itu. Ia mengira Evan sudah luluh dan tak akan menyiksanya lagi. Akan tetapi, ia tahu kalau pemikirannya salah.Ketika Ivy melihat wajah Evan ya
Tak terhitung sudah berapa kali Ivy jatuh pingsan. Sepanjang ingatannya, ia hanya terus dipukuli tanpa ampun. Ivy ingat kalau kasurnya bahkan sudah merah karena darah yang mengalir dari tubuhnya. Beberapa kali ka terbangun dan mencium aroma anyir.Akan tetapi, kali ini terasa berbeda. Ivy tak mendapati ia tengah berada di kamarnya lagi. Kasur yang semula sudah penuh darah sudah tak ada.“Ini dimana?” Ivy bisa mendengar suaranya sendiri yang lirih dan serak. Tempat ini sangat gelap, juga lembap dan penuh debu hingga membuatnya terbatuk.Ketika Ivy ingin menutup mulutnya karena terus terbatuk, ia baru sadar kalau tangannya sudah dirantai. Dengan panik ia menggerakkan seluruh tubuhnya, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa.Kedua tangannya sudah dirantai dan kakinya pun dipasung. Ivy mulai menggeliat panik.“Tidak… tidak….” Air mata Ivy mulai berjatuhan karena menyadari kondisinya yang makin tak terselamatkan. Selama jni, tangannya terus melingkar di perut untuk melindungi janinnya.Ki