Pagi itu Evanna menerima sebuah pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal. Isinya membuat jantungnya serasa berhenti berdetak.Jadi kau mencampakkan aku demi laki-laki kaya. Tapi, percayalah, kau tak akan pernah bahagia bersamanya.Meskipun tanpa nama, Evanna tahu betul siapa pengirim pesan itu. Dandi, mantan kekasihnya yang dulu begitu dicintainya. Orang yang beberapa hari yang lalu ditemuinya tanpa sengaja di kafe.Mereka berpisah karena Evanna harus menikahi Khandra, pria kaya yang bisa melepaskan keluarganya dari utang. Dandi tak pernah memaafkan Evanna atas keputusannya itu.Evanna gemetar, berusaha menepis ketakutan yang mulai menjalari hatinya. Bagaimana mungkin Dandi bisa mendapatkan nomor barunya? Evanna tak pernah memberi tahu Dandi nomor ponsel barunya.Pesan-pesan lain terus berdatangan, semakin mengancam dan menakutkan. Evanna mencoba mengabaikannya, tapi bayangan Dandi yang marah dan terluka terus menghantuinya.Kau akan menyesal, Evanna. Aku tak akan membiarkanmu baha
Sore itu, Evanna menuju alamat yang dikirimkan Dandi padanya. Evanna berdiri di lobi sebuah apartemen yang cukup mewah.Tempatnya jauh dari rumahnya. Apartemen itu terletak di pinggiran kota dan cukup jauh dari keramaian.Evanna tak tahu alasan Dandi menginginkan mereka bertemu di sini. Karena setahu Evanna, Dandi tidak tinggal di apartemen ini.Evanna sadar bahwa ia seharusnya waspada dengan permintaan Dandi itu. Namun, karena ia ingin masalah ini cepat selesai, maka Evanna setuju menemui Dandi.Evanna menuju lift dan menekan tombol yang menunjukkan lantai di mana Dandi menunggunya. Dadanya berdegup kencang dan langkah kakinya terasa berat. Tangan yang digunakannya untuk menekan bel pintu apartemen pun juga gemetaran.”Hai, Evanna. Akhirnya ku datang juga.”Evanna tersenyum kaku saat sosok yang sudah sangat dikenalnya membuka pintu apartemen yang terletak di ujung lorong. Suara itu, dulu sangat lembut di telinga Evanna. Namun, sekarang terdengar dingin.”Masuklah!” ajak Dandi saat Ev
Evanna semakin meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tubuhnya terhimpit di antara dinding dan rak besi.Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah vas bunga besar di dekatnya. Tanpa berpikir panjang, Evanna meraih vas itu dan melemparkannya ke arah Dandi dengan sekuat tenaga.Vas itu menghantam Dandi tepat di kepalanya. Membuat Dandi terhuyung dan jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Evanna segera bangkit dan berlari menuju pintu. Ia berusaha membukanya sekuat tenaga, tetapi sia-sia.Evanna kembali ke tempat Dandi yang masih tergeletak tak berdaya. Nampak tetesan cairan berwarna merah pekat membasahi dahi dan sebagian rambutnya. Evanna bergidik ngeri. Namun, dikuatkannya hatinya.Evanna merogoh kantong celana dan pakaian yang dikenakan Dandi. Ia menemukan anak kunci terselip di saku bagian belakang celana laki-laki itu.Evanna tidak membuang kesempatan itu. Dimasukkannya anak kunci itu ke lubangnya dan sekejap kemudian, pintu apartemen terbuka. Ia segera berlari keluar dari apartemen mengerik
Evanna terisak keras sambil memeluk kedua lututnya. Dia begitu takut. Evanna merasa ngeri menghadapi Dandi yang sepertinya benar-benar sudah kehilangan kendali.Dandi tahu di mana Evanna sekarang berada. Pria itu tahu segalanya. Ia menguntitnya seperti bayangan malaikan maut. Tidak ada lagi tempat yang aman bagi Evanna.Apartemen Khandra yang semula terasa seperti istana yang nyaman, berubah seperti penjara mencekam tanpa jalan keluar.Dandi bisa menemukannya dengan mudah, kapan saja dia mau. Evanna seakan tak punya pilihan lain kecuali menyerahkan diri pada obsesi tak sehat Dandi, atau…Atau apa? Membayangkan ancaman Dandi membuat Evanna gemetar ketakutan dari ujung kaki hingga ujung rambut.Pikirannya terlampau mengerikan. Menghadapi obsesi Dandi yang tak masuk akal bukanlah hal yang menyenangkan.Evanna terus diselimuti ketakutan menghadapi kemungkinan terburuk. Setiap waktunya dipenuhi ketakutan. Dan semua itu merenggut ketenangan hidupnya.Evanna seperti terjebak dalam kungkungan
”Bersiap-siaplah atas apa yang akan kau terima.”Evanna membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya berdegup kencang. Rasa takut yang tidak pernah hilang sejak peristiwa mengerikan itu kembali menyergapnya.”A-apa maksudmu?” Hanya itu yang bisa dilontarkannya, dengan suara bergetar hebat.Terdengar kikikan mengerikan dari Dandi. ”Tentu saja, aku akan mengirim sesuatu yang spesial. Tunggu saja, tidak lama lagi kau akan menerimanya di apartemenmu.”Panggilan pun diputus secara sepihak, meninggalkan Evanna yang gemetar ketakutan.Evanna duduk meringkuk dengan tubuh gemetar. Keringat dingin membasahi pe;ipisnya.Evanna mencengkeram ponselnya erat-erat. Dia sudah tidak tahan dengan teror Dandi yang tidak berkesudahan ini.Dandi sepertinya benar-benar kehilangan akal sehatnya. Evanna tidak tahu lagi harus berbuat apa selain menunggu dengan pasrah dan ketakutan setipa saat.Satu hal yang pasti, teror dari Dandi entah sampai kapan akan berakhir. Laki-laki itu sepertinya akan terus berlanjut men
”Ehm… sebenarnya aku pernah menemui Dandi,” jawab Evanna takut.”Apa? Buat apa kau menemuinya? Itu namanya cari mati, Evanna,” gerung Khandra murka.Evanna hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Baru sekarang ia menyadari kebodohannya. Sepertinya ia memang sangat bodoh dan tidak bisa menggunakan logikanya dengan baik.”Maaf, semula aku kira bisa menyelesaikan masalah kami saat itu. Tapi, tampaknya Dandi masih ingin meluapkan sakit hatinya padaku,” sesal Evanna.Evanna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahunya terguncang saat isakan meluncur dari bibirnya yang bergetar.Khanda membuang napasnya kasar. Ia kesal pada Evanna yang terlalu lugu. Khandra pernah menghadapi Maira yang dendam dengan motif yang serupa. Jadi, ia juga tahu bagaimana perasaan istrinya itu dengan masalah Dandi saat ini.Khandra geram dengan orang-orang yang ingin menghancurkan hidupnya juga hidup istrinya. Tapi malam ini ia lebih geram dengan Evanna yang menyembunyikan sesuatu yang sangat penting
Hal yang paling meyebalkan bagi Rakha adalah saat apa yang sudah dirancangnya tidak memberikan hasil seperti yang dia inginkan.Menghancurkan pernikahan Khandra adalah tujuannya. Rakha tahu kalau pernikahan kakak tirinya itu hancur, maka ayahnya akan marah besar. Salah satu tujuan pernikahan itu adalah untuk menutupi aib Khandra.Rakha menduga rencananya kali ini akan berjalan mulus. Namun, tampaknya sama saja dengan rencananya yang lain. Semuanya berantakan.Rakha mengembuskan napasnya kasar. Ia meraih gelas bening yang ada di atas meja kecil di samping ranjangnya. Dalam sekejap seluruh isinya telah pindah ke dalam perutnya.”Kau masih kesal dengan rencana kita yang gagal?” tanya Diva.Malam itu Diva menginap di apartemen Rakha. Ia sudah seringkali menginap di sana. Membuat rencana keji bersama Rakha atau menghabiskan malam dengan berasyik masyuk. Bertukar gairah dan peluh.”Dandi sudah pergi ke luar negeri?” tanya Rakha memastikan.Akan sangat berbahaya baginya jika laki-laki itu ta
Rakha menjangkau ponselnya dengan malas. Suara deringnya luar biasa mengganggu kesenangannya malam itu. Namun, saat melihat nama yang tertera, Rakha segera menggeser tombol hijaunya.”Ada apa, Mi?” tanya Rakha.”Kau ke mana saja? Kau tak pulang ke rumah?” tanya Nisya gusar.Dua hari terakhir Nisya tak bertemu dengan anak laki-lakinya itu. Ia sudah sangat khawatir dengan Rakha. Tapi dari suaranya, anak itu terdengar baik-baik saja.”Aku di apartemen. Kenapa mami meneleponku? Apa ada sesuatu yang penting?” tanya Rakha.”Sangat. Sangat penting. Aku baru saja menerima kabar buruk. Aku bahkan mendengarnya dari orang lain, bukan dari papimu,” ujar Nisya berang.”Kabar buruk apa, Mi?”Rakha menegakkan posisi tubuhnya. Hatinya cemas mendengar kabar apa yang didapat ibunya itu. ”Papimu akan mempercepat pengangkatan Khandra sebagai CEO. Belum banyak orang yang tahu hanya beberapa orang kepercayaan papimu yang tahu. Kabarnya besok pagi papimu akan memimpin sendiri rapat umum di kantor. Salah sa
Pria berjaket hitam itu diam-diam mengikuti Diva ketika ia keluar dari kafe. Jalanan sudah mulai gelap, dan Diva berjalan sendirian menuju parkiran mobilnya. Ia sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari langkah kaki yang semakin mendekat di belakangnya.Saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan kuat tiba-tiba menutup mulutnya. Diva memberontak, mencoba berteriak, namun suara teredam oleh sapu tangan yang menempel di wajahnya. Bau tajam menyerang hidungnya, dan perlahan, kesadarannya mulai memudar.Ketika Diva terjatuh tak berdaya, pria berjaket hitam itu mengangkatnya ke dalam sebuah van hitam yang telah menunggu. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu melaju perlahan meninggalkan parkiran.Selang beberapa jam kemudian, Diva terbangun dalam keadaan terikat di sebuah ruangan gelap dan lembap. Jantungnya berdebar kencang, dan kepalanya terasa pusing. Ia mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap lakban.Suara langkah kaki mendekat, dan pintu berderit terbuka. Dalam kegelapan, ia
Diva mulai menjalankan niatnya untuk meneror Rakha. Setiap hari, ia mengirimkan pesan dan menelepon Rakha tanpa henti. Ia mengancam akan menyebarkan berita ke media, menghubungi keluarganya, bahkan mendatangi rumah Rakha jika pria itu terus mengabaikannya. Rakha yang awalnya mencoba menghindari konflik, mulai merasa terdesak."Perempuan gila ini makin tak tahu diri," gumam Rakha dalam hati.Ia tidak mungkin membiarkan hidupnya hancur karena seorang wanita yang seharusnya hanya menjadi kesenangan sesaatnya.Ponsel Rakha kembali berbunyi. Benar digaannya, Diva semakin gila. Ia mengirimkan foto hasil USG ke nomor Rakha, menulis pesan panjang penuh kemarahan dan ancaman."Kamu pikir bisa lolos dari ini? Aku akan membuatmu membayar mahal, Rakha!"Rakha meremas ponselnya dengan marah. "Perempuan brengsek. Kau benar-benar menyulitkanku, Diva."Otak Rakha berpikir keras. Ia tak bisa membiarkan Diva menerornya seperti ini. Mungkin sudah saatnya Rakha melenyapkan Diva, seperti Maira dulu.Rakha
Diva menyusut air mata yang menganak sungai di pipinya dengan kasar. Tak mudah bagi Diva untuk menerima kenyataan dirinya sekarang. Ego dan harga dirinya yang tinggi membuatnya enggan menerima apa pun perkataan Evanna.Diva yang selalu menjadi yang pertama dan utama tak bisa menerima begitu saja nasibnya yang malang. Ia tak mau terlihat tak berdaya di depan Evanna.Diva menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya mengepal di atas pahanya. Ia menatap Evanna dengan mata yang penuh dengan bara kemarahan dan tekad yang menyla-nyala. Bibirnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena menahan emosi yang nyaris meluap tak terkendali."Aku tidak akan membiarkan Rakha lolos begitu saja," gumamnya, suaranya bergetar. "Dia pikir aku akan menerima begitu saja perlakuannya? Aku bukan perempuan bodoh yang bisa dipermainkan, Evanna!"Evanna menarik napas dalam. Ia sudah menduga reaksi ini, tapi melihat langsung betapa Diva diliputi oleh amarah dan kekecewaan membuatnya sadar bahwa kakak tirinya benar-ben
Khandra pulang kantor menjelang malam. Mood-nya sangat buruk hari itu. Lebih-lebih dengan kekacauan yang terjadi akibat ulah Rakha, adik tiri sialannya itu.Khandra melihat Evanna tengah duduk di ruang santai lantai dua. Khnadra mengempaskan tubuh penatnya di sofa dengan wajah gelap. Membuat Evanna yang tengah menonton acara televisi berjengit kaget.."Ada apa?" tanya Evanna, menyadari ekspresi suaminya yang jelas-jelas sedang kesal.Khandra menghela napas panjang, meraih cangkir teh Evanna yang masih mengepulkan uap dan menyeruput isinya."Kakak tirimu, Diva, datang ke kantorku tadi pagi."Evanna tertegun, ia menatap wajah Khandra lekat-lekat, "Oh? Untuk apa dia ke sana?"Khandra menatap istrinya seolah mencari informasi yang Evanna ketahui tentang Diva. Nada suaranya tegas saat menjawab pertanyaan Evanna."Dia datang dengan membawa masalah pribadinya. Tentang Rakha. Dia pikir aku bisa menyelesaikan kekacauan yang mereka buat."Evanna mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi it
Pagi itu, Diva melangkah memasuki gedung kantor Khandra. Sekarang atau tidak sama sekali. Diva tak mau hanya meratapi nasib dan merasa kalah telak dari Evanna.Gaun hitam di atas lutut yang ia kenakan tampak rapi, meski raut wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang entah mengapa kini semakin merayapi hatinya.Memasuki lobi kantor, ia melihat para pegawai yang berlalu-lalang. Tak ada yang meliriknya. Mereka hanya berlalu dan memasuki pintu lift yang akan membawa mereka ke ruangan yang dituju.Diva melangkah menuju meja front office untuk menyampaikan maksud tujuannya. Dan berbekal hubungan keluarga yang ditegaskannya berulang kali, akhirnya Diva dapat sampai di depan pintu ruangan Khandra. Sekretaris yang seusia dengannya mempersilakan ia masuk setelah memperoleh persetujaun Khandra.Diva menyiapkan senyum paling manis yang selalu dapat memikat kaum Adam. Dilihatnya, Khandra yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya mendongak dengan alis terangkat, jelas tidak menyangka d
Diva masih terduduk di lantai di depan pintu apartemen Rakha. Tangisnya tak kunjung reda, namun ia tahu ia tak bisa terus seperti ini. Napasnya terengah-engah saat ia bangkit berdiri dengan kaki gemetar. Dengan langkah terseok, ia menuju lift di ujung lorong. Air matanya mengalir deras, meskipun ia mencoba menyekanya.Tiba di depan lift, Diva memencet tombolnya dan menunggu. Suasana sunyi lorong hanya dihiasi suara isakannya yang tertahan. Pintu lift terbuka perlahan, dan saat itu juga dunia Diva serasa runtuh untuk kedua kalinya hari itu.Di dalam lift, berdiri seorang wanita dengan gaun elegan berwarna merah tua. Wajahnya cantik, bersih, dan bercahaya seperti biasanya. Evanna, adik tirinya.Diva menelan ludah, tubuhnya seketika tegang. Ia buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, meskipun jejak tangis masih jelas terlihat di wajahnya. Evanna memandangnya, awalnya dengan kebingungan, tapi kemudian matanya menyipit, seolah ia ingin tahu apa yang sedang terjadi."Diva?" p
Wajah Diva berubah sendu. Apalagi saat ditatapnya wajah Rakha yang terlihat masam. Laki-laki itu tak terlihat bahagia saat bertemu dengannya. Rakha malah terlihat muak.Diva mengembuskan napas berat, seolah setiap pijakan adalah hukuman yang tak terhindarkan. Diva merasa aliran udara di kafe itu terasa seperti racun. Napasnya terasa semakin pendek dan dadanya terasa sesak."Aku nggak punya banyak waktu. Cepat katakan apa maumu," ucap Rakha dingin, suaranya datar, namun tajam.Senyum samar yang coba ditunjukkan Diva memudar sedikit, tapi ia tetap berusaha tenang meki batinyya bergemuruh."Kamu selalu buru-buru. Apa kita nggak bisa duduk santai sebentar? Aku mau bicara sesuatu yang penting.""Aku bilang cepat," potong Rakha tegas, membuat Diva tersentak. Matanya mengerjap beberapa kali, tapi ia menelan semua protes yang hampir keluar dari mulutnya."Aku... aku butuh tempat yang lebih tenang. Ini penting banget, Rakha."Rakha mendesah panjang. Kesabarannya hampir habis. "Di sini cukup t
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu