Khandra menatap ayahnya sangsi. Matanya kemudian beralih pada hadirin yang mengisi meeting room itu. Ada banyak reaksi tergambar di wajah mereka. Ada yang terlihat tenang, terkejut, bahkan ada yang menatap tak percaya.Akhirnya Khandra menganggukkan kepalanya perlahan. Khandra harus menunjukkan kepada semua bahwa ia memang layak memangku jabatan itu. Ia kemudian menatap ayahnya dengan keyakinan yang mulai tumbuh di matanya.”Terima kasih, Pa. Aku berjanji tidak akan mengecewakan kepercayaan yang Papa berikan kepadaku.”Suasana di ruang rapat itu menjadi hening sejenak. Para eksekutif senior Imperium Holding Company menatap putra mahkota mereka dengan rasa penuh hormat. Mereka tahu, di balik sikap tenangnya, Khandra menyimpan ambisi dan determinasi yang tinggi untuk membawa perusahaan mencapai puncak kesuksesan.Benny kemudian berdiri dari kursinya. Meskipun terlihat sedikit kepayahan, tapi ada rasa bangga terpancar di matanya.”Baiklah, saudara-saudara sekalian. Hari ini menandai dimu
Rakha terduduk kaku di kursinya. Dunianya terasa berhenti berputar. Ucapan maminya kemarin ternyata bukan omong kosong. Pagi ini Rakha mendengar sendiri ucapan papinya yang mengangkat Khandra sebagai CEO Imperium.Musnah sudah harapan Rakha untuk mengungguli Khandra. Angannya untuk menguasai Imperium hanya tinggal mimpi.Ponsel Rakha berdering nyaring. Nama maminya tertera di layar ponselnya. Dengan setengah berteriak Rakha langsung menyemburkan amarahnya.”Mami tahu apa yang papi lakukan pagi ini? Dia mengumumkan pada semua orang bahwa mulai saat ini Khandra diangkat sebagai CEO. Apa Mami benar-benar tak bisa mencari tahu alasan utama di balik keputusan papi ini?” sembur Rakha pada Nisya, maminya, sesaat setelah rapat berakhir.”Mami masih belum bisa mencari tahu. Orang kepercayaan Mami juga tak tahu alasannya,” jawab Nisya yang hatinya juga merasa hancur dengan masa depan Rakha.”Mami 24 jam penuh bersama papi dan Mami benar-benar tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya?” sembur Ra
Ruang rapat Imperium Holding Company sudah dipenuhi jajaran direksi dan eksekutif perusahaan. Di ujung meja, duduk Khandra dengan penuh wibawa. Hari ini adalah tugas pertamnya sebagai CEO baru menggantikan sang ayah.Wajahnya tegas, namun juga terpancar kekhawatiran di balik sorot matanya. Ia tahu tidak semua direksi perusahaan menyetujui pengangkatannya yang mendadak.Hari ini ia memimpin rapat pertamanya sebagai CEO. Meskipun bukan kali pertama ia memimpin rapat, tapi suasana pagi ini sangat berbeda.Khandra harus mampu menunjukkan kepemimpinannya di hadapan para bawahan yang sebagian besar lebih senior dan berpengalaman darinya. Banyak di antara mereka yang meragukan masa depan Imperium di tangan Khandra.Rakha, Manager Marketing sekaligus adik tiri Khandra, duduk dengan santai di jejeran kursi membelakangi jendela kaca besar.Sorot matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit sinis. Ia sangat menentang pengangakatan Khandra sebagai pemimpin perusahaan sebesar Imperium.”Terima
Nisya mengempaskan ponselnya ke atas sofa. Ia kesal bukan main. Benny sudah tidak bisa disetirnya lagi. Bahkan Nisya merasa suaminya itu mulai menjaga jarak dengannya.Dan siang ini ia kembali menerima telepon dari orang kepercayaannya bahwa Rakha terlibat perselisihan dengan Khandra saat rapat. Anaknya itu bahkan walkout dari ruangan rapat.Tindakan yang sangat ceroboh menurut Nisya. Ia sudah berulang kali memperingatkan anaknya itu untuk bersikap hati-hati, tapi nyatanya Rakha malah terbawa emosi.Nisya tak ingin rasa emosi membuat Rakha gelap mata. Kalau hal itu sampai terjadi, Nisya khawatir semua yang sudah ia lakukan selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.Nisya mengembuskan nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah. Justru, ia harus bertindak hati-hati menghadapi situasi ini.Ia harus segera menemukan jalan keluar dari situasi ini sebelum segalanya semakin memburuk. Rakha adalah segalanya baginya, dan ia tidak akan membiar
Evanna terperangah menatap perempuan yang datang bersama Rakha. Seorang wanita muda dengan penampilan yang sangat mencolok di pesta itu. Gaun ketat berwarna emas dengan belahan rendah memamerkan lekuk tubuhnya yang semampai.Perempuan itu adalah Diva, kakak tirinya. Evanna tak pernah tahu kalau Rakha dan Diva sedekat itu. Pandangan Evanna langsung terpaku pada Diva dan Rakha yang berjalan bergandengan tangan menghampiri mereka. Ia tak menyangka Rakha akan mengajak Diva ke pesta ini.Evanna melirik Khandra yang duduk di sampingnya. Raut muka suaminya itu tak menunjukkan emosi apa-apa. Ia tampak duduk dengan tenang di kursinya.”Selamat malam semua.”Rakha menyapa mereka dengan senyum lebar. Ia menatap kedua orang tuanya juga Khandra yang tampak tak acuh dengan kehadirannya.”Selamat malam, Evanna,” sapa Diva dengan senyum manisnya, namun terlihat dibuat-buat.”Malam, Diva. Aku tak menyangka kau akan datang ke pesta ini,” balas Evanna, masih terkejut.”Tentu saja aku datang. Rakha yang
Lampu kristal berkilauan menyinari ballroom mewah Imperium Building yang terletak di jantung kota. Malam itu, perusahaan keluarga Alcantara mengadakan pesta untuk menyambut CEO baru mereka, Khandra Anantara. Khandra adalah putra sulung Benny Alcantara dan juga suami Evanna.Evanna, dengan gaun malam elegan yang melekat di tubuhnya, melangkah mendekati meja bar. Ia merasakan tatapan kagum dari para tamu undangan saat Khandra memperkenalkannya pada mereka. Namun, Evanna juga mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya tidak nyaman.Setelah berbasa-basi dengan para tamu yang tak Evanna kenal, Evanna berpamitan dan melangkah menuju meja bartender. Kakinya terasa sedikit pegal dan kerongkongannya kering.”Satu mocktail lavender,” pesan Evanna pada bartender.Ia menyandarkan tubuhnya pada barstool, menikmati alunan musik jazz yang memainkan lagu lembut. Evanna kembali menatap Khandra yang tengah berbincang dengan beberapa investor.Evanna tengah menunggu minuman yang dipesannya saat Diva—kaka
”Kau menyebut nama laki-laki lain saat aku menyentuhmu?” seru Khandra geram.Evanna menggeleng cepat menyadari kesalahannya. Sial, tanpa sadar ia malah mengucapkan nama Rakha saat mereka bercumbu.”Apa hubunganmu dengan Rakha?” tanya Khandra geram. Gairahnya hilang seketika.Khandra mencekal lengan Evanna dan menariknya memasuki kamar. Khandra meradang karena apa yang diucapkan Evanna membuatnya mengingat lagi kejadian tiga tahun yang lalu.”Ma, maaf, aku tak sengaja. Aku tadi melihat Rakha di dekat kolam renang. Aku malu dia melihat apa yang kita lakukan di balkon. Makanya aku tak sengaja berucap seperti itu,” ujar Evanna memberi alasan.Khandra menatap Evanna dengan tatapan menusuk. Dia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Evanna.Amarahnya memuncak, dibakar oleh kecemburuan yang membara dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mendorong Evanna ke dinding, menguncinya dengan tubuhnya yang kekar.”Jangan berbohong padaku, Evanna!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.Eva
Evanna menguap lebar dan membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Tak terasa ia tertidur dengan pikiran berkecamik memenuhi otaknya. Evanna melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat pagi.Pagi itu, Evanna bangun lebih awal daripada biasanya. Sambil menunggu Khandra bangun, Evanna memutuskan untuk menyiapkan makan pagi.Evanna tahu Khandra marah padanya. Mencoba sedikit mengobati kekecewaan suaminya itu, Evanna memasak makanan kesukaan Khandra.Evanna menata hasil karyanya pagi ini di meja bundar yang ada di ruang kerja Khandra di lantai tiga. Mereka biasa menghabiskan sarapan mereka di sana. Khandra seringkali malas bertemu muka dengan ibu tirinya saat sarapan.Khandra keluar dari kamar dengan wajah lebih segar. Sepertinya berendam di dalam bak air hangat sedikit meredakan emosinya.Ia memasuki ruang kerjanya dengan kemeja putih membungkus tubuh tegapnya dan dasi biru tua melingkari lehernya. Tampaknya ia ingin berangkat kerja lebih pagi."Maafkan aku," kata Evanna me
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Nisya memejamkan matanya, mencoba menetralisir emosinya. Tangan kanannya mencengkeram erat dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak menggila. Khandra dan istrinya itu sudah sangat keterlaluan. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai nyonya rumah ini.Pandangan Nisya menerawang, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Nisya berdiri terpaku di tengah kamar. Pikirannya kembali melayang pada percakapan singkat namun menegangkan beberapa saat lalu.Suara Evanna, istri Khandra sekaligus anak tirinya yang kini memimpin perusahaan, terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhan itu terasa begitu berat, menghantam tepat di titik terlemahnya - Rakha, putra kandungnya yang selama ini ia banggakan."Khandra curiga bahwa Rakha mungkin telah meretas komputer perusahaan.”Ucapan Evanna tadi kembali terngiang di benak Nisya. Tubuh wanita paruh baya itu menggigil. Kalau sampai Rakha berbuat seperti itu, alangkah bodohnya. Rakha sudah menggali lubang kuburnya sendiri.Tuduhan Khandra terhadap
Suara benturan pintu yang dibuka paksa membuat Evanna terlonjak kaget. Evanna yang memasuki kamar Rakha tanpa izin sampai terlonjak kaget ketika sosok Nisya muncul dengan wajah merah padam. Mata wanita paruh baya itu menyala-nyala, penuh amarah yang siap meledak."Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Nisya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.Evanna tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat. "Mama... saya...saya…""Jangan panggil aku Mama.! Aku bukan ibumu," potong Nisya tajam."Menjadi menantuku saja kau tidak pantas. Sekarang jawab, apa yang kau lakukan di kamar anakku?" sembur Nisya.Evanna menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa apapun yang dikatakannya, Nisya pasti akan menyalahartikannya. Wanita itu sudah terlanjur membencinya sejak awal pernikahannya dengan Khandra."Saya mencari Rakha, Ma," akhirnya Evanna berhasil menjawab, suaranya bergetar. "Khandra meminta saya untuk—""Khandra?" Nisya mend
Wajah Khandra berubah tegang saat melihat nama Rendra, asistennya, tertera di layar ponselnya. Tak biasanya Rendra meneleponnya sepagi ini, kecuali ada hal yang sangat penting dan mendesak.”Ada apa, Rend?” tanya Khandra cemas.”Ada masalah penting di kantor. Sebaiknya kau segera kemari!” seru Rendra dari balik telepon. Suaranya terdengar cemas.Khandra langsung melompat dari tempat duduknya dan meraih jas yang terletak di punggung kursi dan.”Apa yang terjadi? Jelaskan!””Sistem keamanan komputer diretas dan sistem komputer di kantor menjadi kacau. Para karyawan panik dan tidak bisa bekerja,” lapor Rendra.Darah Khandra berdesir panas. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sistem komputer perusahaannya termasuk canggih dan dilengkapi sistem keamanan yang ketat. Tak mungkin ada yang dengan begitu mudah meretas sistem komputer perusahaan, kecuali ….”Segera hubungi tim IT dan lakukan apa pun untuk memulihkan data tersebut!” perintah Khandra dengan suara menggelegar.Tanpa menunggu jawaban Re
Evanna menguap lebar dan membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Tak terasa ia tertidur dengan pikiran berkecamik memenuhi otaknya. Evanna melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat pagi.Pagi itu, Evanna bangun lebih awal daripada biasanya. Sambil menunggu Khandra bangun, Evanna memutuskan untuk menyiapkan makan pagi.Evanna tahu Khandra marah padanya. Mencoba sedikit mengobati kekecewaan suaminya itu, Evanna memasak makanan kesukaan Khandra.Evanna menata hasil karyanya pagi ini di meja bundar yang ada di ruang kerja Khandra di lantai tiga. Mereka biasa menghabiskan sarapan mereka di sana. Khandra seringkali malas bertemu muka dengan ibu tirinya saat sarapan.Khandra keluar dari kamar dengan wajah lebih segar. Sepertinya berendam di dalam bak air hangat sedikit meredakan emosinya.Ia memasuki ruang kerjanya dengan kemeja putih membungkus tubuh tegapnya dan dasi biru tua melingkari lehernya. Tampaknya ia ingin berangkat kerja lebih pagi."Maafkan aku," kata Evanna me
”Kau menyebut nama laki-laki lain saat aku menyentuhmu?” seru Khandra geram.Evanna menggeleng cepat menyadari kesalahannya. Sial, tanpa sadar ia malah mengucapkan nama Rakha saat mereka bercumbu.”Apa hubunganmu dengan Rakha?” tanya Khandra geram. Gairahnya hilang seketika.Khandra mencekal lengan Evanna dan menariknya memasuki kamar. Khandra meradang karena apa yang diucapkan Evanna membuatnya mengingat lagi kejadian tiga tahun yang lalu.”Ma, maaf, aku tak sengaja. Aku tadi melihat Rakha di dekat kolam renang. Aku malu dia melihat apa yang kita lakukan di balkon. Makanya aku tak sengaja berucap seperti itu,” ujar Evanna memberi alasan.Khandra menatap Evanna dengan tatapan menusuk. Dia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Evanna.Amarahnya memuncak, dibakar oleh kecemburuan yang membara dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mendorong Evanna ke dinding, menguncinya dengan tubuhnya yang kekar.”Jangan berbohong padaku, Evanna!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.Eva
Lampu kristal berkilauan menyinari ballroom mewah Imperium Building yang terletak di jantung kota. Malam itu, perusahaan keluarga Alcantara mengadakan pesta untuk menyambut CEO baru mereka, Khandra Anantara. Khandra adalah putra sulung Benny Alcantara dan juga suami Evanna.Evanna, dengan gaun malam elegan yang melekat di tubuhnya, melangkah mendekati meja bar. Ia merasakan tatapan kagum dari para tamu undangan saat Khandra memperkenalkannya pada mereka. Namun, Evanna juga mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya tidak nyaman.Setelah berbasa-basi dengan para tamu yang tak Evanna kenal, Evanna berpamitan dan melangkah menuju meja bartender. Kakinya terasa sedikit pegal dan kerongkongannya kering.”Satu mocktail lavender,” pesan Evanna pada bartender.Ia menyandarkan tubuhnya pada barstool, menikmati alunan musik jazz yang memainkan lagu lembut. Evanna kembali menatap Khandra yang tengah berbincang dengan beberapa investor.Evanna tengah menunggu minuman yang dipesannya saat Diva—kaka
Evanna terperangah menatap perempuan yang datang bersama Rakha. Seorang wanita muda dengan penampilan yang sangat mencolok di pesta itu. Gaun ketat berwarna emas dengan belahan rendah memamerkan lekuk tubuhnya yang semampai.Perempuan itu adalah Diva, kakak tirinya. Evanna tak pernah tahu kalau Rakha dan Diva sedekat itu. Pandangan Evanna langsung terpaku pada Diva dan Rakha yang berjalan bergandengan tangan menghampiri mereka. Ia tak menyangka Rakha akan mengajak Diva ke pesta ini.Evanna melirik Khandra yang duduk di sampingnya. Raut muka suaminya itu tak menunjukkan emosi apa-apa. Ia tampak duduk dengan tenang di kursinya.”Selamat malam semua.”Rakha menyapa mereka dengan senyum lebar. Ia menatap kedua orang tuanya juga Khandra yang tampak tak acuh dengan kehadirannya.”Selamat malam, Evanna,” sapa Diva dengan senyum manisnya, namun terlihat dibuat-buat.”Malam, Diva. Aku tak menyangka kau akan datang ke pesta ini,” balas Evanna, masih terkejut.”Tentu saja aku datang. Rakha yang