”Papa sudah merasa baikan?” Evanna melirik takut pada ayah mertuanya. Wajahnya masih tampak pucat. Beberapa bagian kulitnya masih terlihat ruam kemerahan.”Aku sudah sehat, Nak. Jangan terlalu khawatir begitu,” jawab Benny sambil tersenyum lembut.Evanna mengembuskan napas lega melihat ayah mertuanya yang tampaknya tak marah atau menaruh dendam padanya. Evanna melirik ibu mertuanya yang wajahnya masih tampak menyeramkan. Sorot matanya seakan ingin menguliti Evanna hidup-hidup.”Ayo, kita sarapan saja! Sudah cukup basa-basinya.”Nisya memgambil piring Benny dan mengisinya dengan nasi goreng yang ada di meja makan. Diletakkannya juga sepotong telur dadar di atas nasi goreng itu.”Kalau makanan ini pasti aman buat Papi.”Perkataan Nisya membuat Evanna kembali menundukkan kepalanya. Nampaknya Nisya masih sulit memafkan kesalahn Evanna.Suasana hening menyelimuti ruang makan itu. Hanya terdengar dentingan piring dan sendok yang beradu. Evanna hanya berani melirik ayah dan ibu mertuanya se
”Mami mau aku melakukan apa?” tanya Rakha.”Carilah cara! Cari cara apa saja untuk merusak hubungan Khandra dan Evanna! Mereka tak boleh dibiarkan terlalu lama bersama.”Rakha menyandarkan punggungnya. Keningnya berkerut memikirkan cara apa lagi yag bisa ia gunakan.Rakha memiliki cara paling licik dan kotor dalam otaknya. Tapi, entah ibunya itu akan setuju atau tidak.”Mami tahu kalau Evanna punya saudara tiri?” tanya Rakha.Nisya menggelengkan kepalanya. Ia tak sampai sedetail itu mengorek keluarga Evanna.”Diva nama kakak tiri Evanna. Ia dan ibunya sangat membenci Evanna. Bagaimana kalau kita manfaatkan mereka untuk merecoki rumah tangga Evanna?””Merecoki bagaimana maksudmu?” tanya Nisya tak mengerti.”Aku belum bisa bilang ke Mami rencana detailnya. Aku harus menemui Diva terlebih dahulu,” Rakha menyeringai licik.”Kita bisa mendekati Diva dan ibunya, mengatakan bahwa kita juga tidak menyukai Evanna dan ingin membalaskan dendam atas perlakuannya pada kita. Dengan memancing kebenc
”Kalau begitu, apa yang bisa aku bantu?” tanya Diva sambil mendekatkan tubuhnya ke arah Rakha. ”Memang itu yang sebenarnya aku minta darimu, bantuan. Terus terang aku belum begitu mengenal Evanna. Selain ia licik dan serakah, aku tak tahu bagaimana sifat aslinya.” Rakha melipat kedua tangannya di atas meja lalu menopangkan kepalanya. Ia butuh bantuan dari Diva supaya rencananya berhasil. ”Aku pernah ingin menjebaknya dengan laki-laki iseng kenalanku, tapi gagal. Bahkan Khandra dengan cepat tahu dan menghajar laki-laki itu tanpa ampun,” keluh Rakha. Diva tersenyum simpul mendengar ucapan Rakha barusan. Memang Evanna itu sulit ditebak orangnya. ”Kau menyuruh laki-laki random menggoda Evanna? Tentu saja gagal total. Laki-laki, apalagi kalau ia bukan orang berada, tak akan pernah dilirik Evanna. Aku sudah bilang kalau ia licik dan materialistis. Evanna pasti tahu untung dan ruginya kalau ia termakan rayuan gombal laki-laki seperti itu,” jawab Diva. Diva menyesap juice-nya dan mengusa
”Itu tadi siapa?” tanya Rakha yang tampak penasaran.Rakha juga semakin merasa penasaran setelah ia merasa ekspresi wajah Evanna berubah setelah bertemu Dandi.”Hanya kenalan lama,” jawab Evanna singkat.Rakha menaikkan sebelah alisnya. Namun, kemudian kepalanya manggut-manggut meski dalam hatinya masih penuh tanda tanya. Ada sesuatu yang Evanna sembunyikan darinya.”Apa masih ada yang ingin kau bicarakan denganku? Aku lelah. Aku ingin pulang,” ujar Evanna.”Bukan hal yang penting sih. Aku cuma ingin mengobrol biasa. Aku merasa hubungan presaudaraan kita akhir-akhir ini mulai renggang. Aku antar kau pulang kalau begitu,” jawab Rakha.Evanna mengambil tas yang ada di sandarang kursinya. Ia melangkah keluar kafe menuju mobil Rakha yang diparkir di depan kafe.Sepanjang perjalanan ia hanya berdiam diri dan menatap keluar kaca mobil. Evanna memandang kosong ke arah jalanan yang penuh lalu lalang kendaraan.Keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Matanya menerawang jauh, seolah hanyut
Pagi itu Evanna menerima sebuah pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal. Isinya membuat jantungnya serasa berhenti berdetak.Jadi kau mencampakkan aku demi laki-laki kaya. Tapi, percayalah, kau tak akan pernah bahagia bersamanya.Meskipun tanpa nama, Evanna tahu betul siapa pengirim pesan itu. Dandi, mantan kekasihnya yang dulu begitu dicintainya. Orang yang beberapa hari yang lalu ditemuinya tanpa sengaja di kafe.Mereka berpisah karena Evanna harus menikahi Khandra, pria kaya yang bisa melepaskan keluarganya dari utang. Dandi tak pernah memaafkan Evanna atas keputusannya itu.Evanna gemetar, berusaha menepis ketakutan yang mulai menjalari hatinya. Bagaimana mungkin Dandi bisa mendapatkan nomor barunya? Evanna tak pernah memberi tahu Dandi nomor ponsel barunya.Pesan-pesan lain terus berdatangan, semakin mengancam dan menakutkan. Evanna mencoba mengabaikannya, tapi bayangan Dandi yang marah dan terluka terus menghantuinya.Kau akan menyesal, Evanna. Aku tak akan membiarkanmu baha
Sore itu, Evanna menuju alamat yang dikirimkan Dandi padanya. Evanna berdiri di lobi sebuah apartemen yang cukup mewah.Tempatnya jauh dari rumahnya. Apartemen itu terletak di pinggiran kota dan cukup jauh dari keramaian.Evanna tak tahu alasan Dandi menginginkan mereka bertemu di sini. Karena setahu Evanna, Dandi tidak tinggal di apartemen ini.Evanna sadar bahwa ia seharusnya waspada dengan permintaan Dandi itu. Namun, karena ia ingin masalah ini cepat selesai, maka Evanna setuju menemui Dandi.Evanna menuju lift dan menekan tombol yang menunjukkan lantai di mana Dandi menunggunya. Dadanya berdegup kencang dan langkah kakinya terasa berat. Tangan yang digunakannya untuk menekan bel pintu apartemen pun juga gemetaran.”Hai, Evanna. Akhirnya ku datang juga.”Evanna tersenyum kaku saat sosok yang sudah sangat dikenalnya membuka pintu apartemen yang terletak di ujung lorong. Suara itu, dulu sangat lembut di telinga Evanna. Namun, sekarang terdengar dingin.”Masuklah!” ajak Dandi saat Ev
Evanna semakin meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Tubuhnya terhimpit di antara dinding dan rak besi.Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah vas bunga besar di dekatnya. Tanpa berpikir panjang, Evanna meraih vas itu dan melemparkannya ke arah Dandi dengan sekuat tenaga.Vas itu menghantam Dandi tepat di kepalanya. Membuat Dandi terhuyung dan jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Evanna segera bangkit dan berlari menuju pintu. Ia berusaha membukanya sekuat tenaga, tetapi sia-sia.Evanna kembali ke tempat Dandi yang masih tergeletak tak berdaya. Nampak tetesan cairan berwarna merah pekat membasahi dahi dan sebagian rambutnya. Evanna bergidik ngeri. Namun, dikuatkannya hatinya.Evanna merogoh kantong celana dan pakaian yang dikenakan Dandi. Ia menemukan anak kunci terselip di saku bagian belakang celana laki-laki itu.Evanna tidak membuang kesempatan itu. Dimasukkannya anak kunci itu ke lubangnya dan sekejap kemudian, pintu apartemen terbuka. Ia segera berlari keluar dari apartemen mengerik
Evanna terisak keras sambil memeluk kedua lututnya. Dia begitu takut. Evanna merasa ngeri menghadapi Dandi yang sepertinya benar-benar sudah kehilangan kendali.Dandi tahu di mana Evanna sekarang berada. Pria itu tahu segalanya. Ia menguntitnya seperti bayangan malaikan maut. Tidak ada lagi tempat yang aman bagi Evanna.Apartemen Khandra yang semula terasa seperti istana yang nyaman, berubah seperti penjara mencekam tanpa jalan keluar.Dandi bisa menemukannya dengan mudah, kapan saja dia mau. Evanna seakan tak punya pilihan lain kecuali menyerahkan diri pada obsesi tak sehat Dandi, atau…Atau apa? Membayangkan ancaman Dandi membuat Evanna gemetar ketakutan dari ujung kaki hingga ujung rambut.Pikirannya terlampau mengerikan. Menghadapi obsesi Dandi yang tak masuk akal bukanlah hal yang menyenangkan.Evanna terus diselimuti ketakutan menghadapi kemungkinan terburuk. Setiap waktunya dipenuhi ketakutan. Dan semua itu merenggut ketenangan hidupnya.Evanna seperti terjebak dalam kungkungan
Diva menatap jam di dinding lobi apartemen yang tak kunjung bergerak sesuai harapannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, dan semakin lama perasaan resahnya tak bisa dikendalikan.Kursi tempat dia duduk terasa panas, dan lantai marmer yang dingin bahkan tak lagi memberi ketenangan saat ia kembali berjalan mondar-mandir.Lobi yang dingin dan luas itu terasa semakin sempit, seakan menjerat tubuhnya dalam kesunyian yang tak nyaman. Deru mesin pendingin udara yang berdengung pelan hanya menambah rasa jengkel yang bergulung di dadanya. Dia mengembuskan napas panjang, berusaha meredakan detak jantung yang berpacu.Laki-laki muda di front office menatapnya sejak tadi, pandangannya tajam seolah dia sedang menilai sesuatu yang bukan urusannya. Diva mengabaikan tatapan itu, walau perasaannya bergejolak. Bagi Diva, manusia macam dia tak perlu diperhatikan. Sekadar pengurus lobi, apa yang pantas ia pikirkan? "Masa bodoh dengan manusia rendahan macam itu," gumam Diva dalam hati, sambil menegakkan
Rakha mengusap wajahnya kasar. Setelah mendapat telepon yang tidak mengenakkan dari ibunya, kini ia kembali mendapatkan telepon. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal.Meskipun begitu, Rakha tahu siapa yang meneleponnya kali ini. Selama beberapa hari terakhir ia mengabaikan si penelepon. Bahkan ini nomor kesekian yang akan menghiasi daftar blokirnya.Namun, tampaknya manusia satu ini tak kenal istilah menyerah dalam kamusnya. Sehari bisa belasan kali ia menghubunginya dengan nomor yang berbeda. Tingkahnya sudah seperti kolektor nomor perdana saja.Rakha menggeram kesal. Ponsel pintarnya bergetar hebat sekali lagi, layar menampilkan nomor tak dikenal yang berkedip-kedip. Sudah berapa kali sih perempuan itu menghubunginya? Jari-jarinya dengan malas meraih ponsel, matanya melirik jam dinding. Hari sudah semakin siang tampaknya.Sejak beberapa hari terakhir, Diva seakan tidak pernah lelah meneleponnya. Setiap kali Rakha memblokir satu nomor, muncul nomor baru yang menghubunginya. Perempu
Nisya memejamkan matanya, mencoba menetralisir emosinya. Tangan kanannya mencengkeram erat dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak menggila. Khandra dan istrinya itu sudah sangat keterlaluan. Mereka tak lagi menganggapnya sebagai nyonya rumah ini.Pandangan Nisya menerawang, menyiratkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Nisya berdiri terpaku di tengah kamar. Pikirannya kembali melayang pada percakapan singkat namun menegangkan beberapa saat lalu.Suara Evanna, istri Khandra sekaligus anak tirinya yang kini memimpin perusahaan, terngiang-ngiang di telinganya. Tuduhan itu terasa begitu berat, menghantam tepat di titik terlemahnya - Rakha, putra kandungnya yang selama ini ia banggakan."Khandra curiga bahwa Rakha mungkin telah meretas komputer perusahaan.”Ucapan Evanna tadi kembali terngiang di benak Nisya. Tubuh wanita paruh baya itu menggigil. Kalau sampai Rakha berbuat seperti itu, alangkah bodohnya. Rakha sudah menggali lubang kuburnya sendiri.Tuduhan Khandra terhadap
Suara benturan pintu yang dibuka paksa membuat Evanna terlonjak kaget. Evanna yang memasuki kamar Rakha tanpa izin sampai terlonjak kaget ketika sosok Nisya muncul dengan wajah merah padam. Mata wanita paruh baya itu menyala-nyala, penuh amarah yang siap meledak."Apa yang kau lakukan di sini?" bentak Nisya, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu.Evanna tergagap, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berpacu cepat. "Mama... saya...saya…""Jangan panggil aku Mama.! Aku bukan ibumu," potong Nisya tajam."Menjadi menantuku saja kau tidak pantas. Sekarang jawab, apa yang kau lakukan di kamar anakku?" sembur Nisya.Evanna menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang tepat. Ia tahu bahwa apapun yang dikatakannya, Nisya pasti akan menyalahartikannya. Wanita itu sudah terlanjur membencinya sejak awal pernikahannya dengan Khandra."Saya mencari Rakha, Ma," akhirnya Evanna berhasil menjawab, suaranya bergetar. "Khandra meminta saya untuk—""Khandra?" Nisya mend
Wajah Khandra berubah tegang saat melihat nama Rendra, asistennya, tertera di layar ponselnya. Tak biasanya Rendra meneleponnya sepagi ini, kecuali ada hal yang sangat penting dan mendesak.”Ada apa, Rend?” tanya Khandra cemas.”Ada masalah penting di kantor. Sebaiknya kau segera kemari!” seru Rendra dari balik telepon. Suaranya terdengar cemas.Khandra langsung melompat dari tempat duduknya dan meraih jas yang terletak di punggung kursi dan.”Apa yang terjadi? Jelaskan!””Sistem keamanan komputer diretas dan sistem komputer di kantor menjadi kacau. Para karyawan panik dan tidak bisa bekerja,” lapor Rendra.Darah Khandra berdesir panas. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Sistem komputer perusahaannya termasuk canggih dan dilengkapi sistem keamanan yang ketat. Tak mungkin ada yang dengan begitu mudah meretas sistem komputer perusahaan, kecuali ….”Segera hubungi tim IT dan lakukan apa pun untuk memulihkan data tersebut!” perintah Khandra dengan suara menggelegar.Tanpa menunggu jawaban Re
Evanna menguap lebar dan membuka matanya yang masih sangat mengantuk. Tak terasa ia tertidur dengan pikiran berkecamik memenuhi otaknya. Evanna melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul empat pagi.Pagi itu, Evanna bangun lebih awal daripada biasanya. Sambil menunggu Khandra bangun, Evanna memutuskan untuk menyiapkan makan pagi.Evanna tahu Khandra marah padanya. Mencoba sedikit mengobati kekecewaan suaminya itu, Evanna memasak makanan kesukaan Khandra.Evanna menata hasil karyanya pagi ini di meja bundar yang ada di ruang kerja Khandra di lantai tiga. Mereka biasa menghabiskan sarapan mereka di sana. Khandra seringkali malas bertemu muka dengan ibu tirinya saat sarapan.Khandra keluar dari kamar dengan wajah lebih segar. Sepertinya berendam di dalam bak air hangat sedikit meredakan emosinya.Ia memasuki ruang kerjanya dengan kemeja putih membungkus tubuh tegapnya dan dasi biru tua melingkari lehernya. Tampaknya ia ingin berangkat kerja lebih pagi."Maafkan aku," kata Evanna me
”Kau menyebut nama laki-laki lain saat aku menyentuhmu?” seru Khandra geram.Evanna menggeleng cepat menyadari kesalahannya. Sial, tanpa sadar ia malah mengucapkan nama Rakha saat mereka bercumbu.”Apa hubunganmu dengan Rakha?” tanya Khandra geram. Gairahnya hilang seketika.Khandra mencekal lengan Evanna dan menariknya memasuki kamar. Khandra meradang karena apa yang diucapkan Evanna membuatnya mengingat lagi kejadian tiga tahun yang lalu.”Ma, maaf, aku tak sengaja. Aku tadi melihat Rakha di dekat kolam renang. Aku malu dia melihat apa yang kita lakukan di balkon. Makanya aku tak sengaja berucap seperti itu,” ujar Evanna memberi alasan.Khandra menatap Evanna dengan tatapan menusuk. Dia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Evanna.Amarahnya memuncak, dibakar oleh kecemburuan yang membara dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mendorong Evanna ke dinding, menguncinya dengan tubuhnya yang kekar.”Jangan berbohong padaku, Evanna!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.Eva
Lampu kristal berkilauan menyinari ballroom mewah Imperium Building yang terletak di jantung kota. Malam itu, perusahaan keluarga Alcantara mengadakan pesta untuk menyambut CEO baru mereka, Khandra Anantara. Khandra adalah putra sulung Benny Alcantara dan juga suami Evanna.Evanna, dengan gaun malam elegan yang melekat di tubuhnya, melangkah mendekati meja bar. Ia merasakan tatapan kagum dari para tamu undangan saat Khandra memperkenalkannya pada mereka. Namun, Evanna juga mendengar bisikan-bisikan yang membuatnya tidak nyaman.Setelah berbasa-basi dengan para tamu yang tak Evanna kenal, Evanna berpamitan dan melangkah menuju meja bartender. Kakinya terasa sedikit pegal dan kerongkongannya kering.”Satu mocktail lavender,” pesan Evanna pada bartender.Ia menyandarkan tubuhnya pada barstool, menikmati alunan musik jazz yang memainkan lagu lembut. Evanna kembali menatap Khandra yang tengah berbincang dengan beberapa investor.Evanna tengah menunggu minuman yang dipesannya saat Diva—kaka
Evanna terperangah menatap perempuan yang datang bersama Rakha. Seorang wanita muda dengan penampilan yang sangat mencolok di pesta itu. Gaun ketat berwarna emas dengan belahan rendah memamerkan lekuk tubuhnya yang semampai.Perempuan itu adalah Diva, kakak tirinya. Evanna tak pernah tahu kalau Rakha dan Diva sedekat itu. Pandangan Evanna langsung terpaku pada Diva dan Rakha yang berjalan bergandengan tangan menghampiri mereka. Ia tak menyangka Rakha akan mengajak Diva ke pesta ini.Evanna melirik Khandra yang duduk di sampingnya. Raut muka suaminya itu tak menunjukkan emosi apa-apa. Ia tampak duduk dengan tenang di kursinya.”Selamat malam semua.”Rakha menyapa mereka dengan senyum lebar. Ia menatap kedua orang tuanya juga Khandra yang tampak tak acuh dengan kehadirannya.”Selamat malam, Evanna,” sapa Diva dengan senyum manisnya, namun terlihat dibuat-buat.”Malam, Diva. Aku tak menyangka kau akan datang ke pesta ini,” balas Evanna, masih terkejut.”Tentu saja aku datang. Rakha yang