Saat Anggita dan Mahesa terhanyut dalam obrolan mereka. Tiba-tiba saja keduanya mencium aroma yang sangat menyengat. Pasangan itu mencoba menajamkan indra penciumannya mencari tahu bau menyengat itu berasal dari mana.
"Apa kamu mencium bau sesuatu?" tanya Mahesa."Ya, aku juga mencium baunya. Ini seperti ... bau gosong," sahut Anggita sembari mencari tahu benda apa yang terbakar di ruangan itu. "Apa tadi kamu masih memanggang roti?" tanya Anggita.Kedua bola mata Mahesa membulat. Dia lupa belum mengeluarkan roti terakhir yang ia panggang dari dalam oven."Astaga, aku lupa," pekiknya seraya bergegas mendekati pemanggang roti.Benar saja, roti itu sudah gosong saat Mahesa mengeluarkannya dari dalam oven. Anggita menutup mulutnya yang terbuka saat melihat penampakan roti gosong tersebut. Keduanya saling menatap satu sama lain dalam beberapa detik. Kemudian mereka terkekeh geli menertawakan dirinya sendiri yang ceroboh.Sesuai kesepakatan pagi tadi, Anggita bersedia ikut makan siang bersama Mahesa. Awalnya dia pikir laki-laki beralis tebal itu akan membawanya ke restoran atau kafe, tetapi tebakannya salah. Mahesa menepikan mobilnya di halaman sebuah bangunan rumah yang cukup luas.Mahesa turun dari mobilnya kemudian membantu Anggita memebukakan pintu mobil. Wanita itu ke luar dengan ekspresi bingung. Dia tidak tahu mereka sedang berada di mana sekarang."Kenapa kita ke sini? Bukannya kamu bilang mau makan siang?" Setelah cukup lama hanyut dalam kebingungannya, Anggita pun mengutarakan isi dalam pikirannnya."Ya, kita akan makan siang di rumahku," ucap Mahesa dengan tenang.Anggita mengejapkan matanya dua kali setelah mendengar perkataan laki-laki yang ada di hadapannya. "Ke–kenapa makan siangnya di rumahmu?" tanyanya gugup.Belum sempat Mahesa menjelaskan, seorang gadis kecil ke luar dari rumahnya dan berlari menghampiri mereka.
Sejak pertemuan dengan Sabiya saat makan siang pekan lalu. Hubungan Anggita dengan gadis kecil itu semakin dekat. Dia bahkan sering mampir main ke toko kue agar bisa bertemu dengan Anggita dan meminta wanita itu untuk sering berkunjung ke rumah.Seperti hari ini, Sabiya secara khusus meminta Anggita untuk menghadiri undangan dari sekolahnya. Ia tahu Mahesa sedang sangat sibuk dengan pekerjaan, sementara nenek dan kakeknya sudah cukup sering menghadiri acara sekolah. Sabiya ingin sekali-kali dia hadir dengan seorang wanita seusia papanya agar semua orang tahu bahwa dirinya juga memiliki seorang ibu.Memang, biasanya Aluna juga sering menghadiri acara di sekolahnya menggantikan Mahesa. Tetapi kali ini dia tidak ingin undangannya dihadiri oleh Aluna. Itu sebabnya Sabiya meminta Anggita untuk datang."Sabiya memintaku menghadiri undangan dari sekolahnya," ucap Anggita memberi tahu Mahesa tentang permintaan putrinya.
Seorang gadis kecil terlihat cemas menunggu kedatangan seseorang. Semua orang tua murid sudah berkumpul di kelas bersama anak-anak mereka. Hanya tinggal dirinya saja yang masih menunggu di luar kelas sendirian."Bia, apa papamu belum datang?" tanya wali kelas Sabiya. Wanita paruh baya itu ikut mengedarkan pandangannya ke luar menunggu wali murid gadis kecil di sampingnya. "Apa mungkin dia tidak akan datang?" gumamnya pelan.Sabiya menggelengkan pelan kepalanya. "Orang tuaku masih di jalan. Mungkin sebentar lagi akan datang," ujar Sabiya lirih.Wanita paruh baya itu tersenyum dan menganggukkan pelan kepalanya. "Ya sudah kalau gitu kamu tunggu di dalam. Ibu akan coba menghubungi papamu lagi," ujarnya yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh Sabiya.Wali kelas Sabiya langsung menghubungi Mahesa untuk bertanya apakah dia akan menghadiri acara disekolah putrinya atau tidak. Karena acara akan segera dimulai dalam beberapa menit lagi.
"Papa ...."Sabiya berlari menyambut kedatangan Mahesa yang hendak menjemputnya. Lelaki beralis tebal itu menyambut putrinya dengan pelukan hangat dan ciuman di pipi gembulnya."Apa acaranya sudah selesai? Maaf, Papa tidak bisa datang tepat waktu," ucap Mahesa dengan raut wajah menyesal di hadapan putrinya."Acaranya sudah selesai dari tadi, Pa. Tapi Bia senang karena Bibi Gita mau menemaniku. Kami mengikuti lomba bernyanyi dan menggambar tadi," jelas Sabiya dengan semangat. Nampak sekali raut bahagia di wajah gadis kecil iyu."Kamu sudah datang?" sapa Anggita kepada Mahesa."Ah, ya. Tapi acaranya sudah selesai. Maaf sudah merepotkanmu," ucap Mahesa yang disambut senyum hangat oleh Anggita.Seorang wanita paruh baya bersama putranya datang menghampiri mereka. Wanita itu menyapa Mahesa dan mengajaknya berbincang sebentar."Saya dengar papanya Sabiya sebentar lagi mau menikah? Kalau sudah ada ni
“Bia Sayang, Bibi pamit pulang dulu, ya.” Anggita berpamitan kepada Sabiya.Waktu menunjukkan sudah pukul 9 malam. Sudah waktunya Anggita pulang setelah seharian ia habiskan menemani Sabiya jalan-jalan.“Bibi kenapa gak nginep di sini aja? Temani Bia tidur malam ini. Lagian kan sebentar lagi Bibi Gita mau jadi mamanya Bia,” ucap Sabiya. Gadis itu merengek sambil mengayun-ayunkan tangan Anggita, manja.Anggita meringis menelan saliva yang terasa mengering di tenggorokannya. Dia melirik ke arah Mahesa meminta bantuan lelaki itu untuk membujuk Sabiya.Mahesa tersenyum tipis. Dia berjongkok untuk menyetarakan tinggi tubuhnya dengan putrinya. Satu tangan terangkat mencubit pipi gembul sang anak tercinta.“Bia serius mau Bibi Gita jadi mamanya Gia?” tanya Mahesa. Gadis kecil itu melihat wajah Anggita sesaat kemudian menganggukkan kepalanya dengan semangat.Anggita mengejapkan
Anggita keluar dari kamarnya untuk melihat keadaan di luar. Suara kegaduhan itu semakin jelas terdengar. Meski takut dia memberanikan diri untuk turun ke bawah melihat apa yang sedang terjadi.Alangkah terkejutnya Anggita ketika melihat kursi-kursi beserta benda-benda lainnya berantakan. Lebih tercengang lagi saat ia melihat dia orang pria berbadan besar mengenakan penutup wajah kini sedang melihat ke arahnya."Siapa kalian?" terur Anggita dengan suara bergetar.Dua pria itu tak menjawab. Mereka malah tertawa puas setelah melakukan pekerjaannya. Dan sekarang, mereka berjalan mendekat ke arah Anggita."Ja-jangan mendekat! Ka-kalian mau apa, hah?" ujar Anggita dengan suara bergetar ketakutan.Dia memundurkan langkahnya menghindari dua pria yang tidak terlihat wajahnya."Jangan takut, cantik. Kami tidak akan menyakitimu," ucap salah satu pria itu mencoba menenangkan Anggita.Wanita itu semakin ke
"Lepaskan! Tolong jangan sakiti aku!"Anggita memohon sambil menangis gemetar ketakutan. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan tali."Diam! Sudah kami katakan, kami tidak akan menyakitimu. Tugas kami hanya membawamu pergi sejauh mungkin dari kota ini," Pria bertopeng itu menyobek lakban kemudian menempelkannya di mulut Anggita.Kedua penjahat itu menutup kepala Anggita dengan kain berwarna hitam. Kemudian membawanya untuk segera pergi dari tempat itu sebelum ada orang yang memergoki mereka.Mereka berjalan dengan tergesa-gesa. Memasukkan tubuh Anggita yang tak berdaya ke dalam bagasi mobil. Baru saja penjahat itu akan menutup bagasi, seseorang dari belakang memukul pundaknya dengan benda tumpul."Aaaarrgh ...."Pria itu meraung kesakitan dan berbalik untuk melihat pelaku yang telah berani memukulnya dari belakang. Belum sempat dia membalas pukulan tersebut Mahesa kembali memukul pria itu hingga terhuyung
Anggita mengejapkan mata menyesuaikan penglihatannya dengan silau sinar matahari yang masuk lewat kaca jendela. Dia mendesah mengumpulkan puing-puing memori kemarin malam."Kamu sudah bangun? Bagaimana perasaanmu sekarang?"Anggita menoleh ke arah sumber suara. Mahesa baru saja masuk ke kamar membawakan nampan berisi makanan dan minum untuk Anggita."Aku ada di mana?" tanya Anggita lirih.Mahesa tersenyum lembut. "Kamu aman di rumahku," sahut Mahesa sambil mengusap rambut Anggita."Aku takut sekali. Entah apa yang akan mereka lakukan andai kamu tidak datang menolongku," ucap Anggita lirih. Air matanya terjatuh membasahi pipi putih dan mulus.Mahesa menarik pelan tubuh Anggita ke dalam dekapannya. Mengusap kepala wanita itu dengan lembut menyalurkan rasa aman untuknya."Jangan takut. Aku berjanji kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Mereka sudah dibawa ke kantor polisi untuk penyelidi
Kedua tangan Devan refleks mengepal erat. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain selama beberapa detik. Lalu kembali menatap wajah Anggita dengan sorot yang tajam.Sebelah bibirnya tertarik ke atas, mengulas senyum sinis."Wah, aku tidak percaya ini. Kau rela memohon kepada suamimu sendiri demi pria lain," ucap Devan sinis."Kenapa kau begitu yakin aku mau membantunya?" tanya Devan masih bernada sinis.Anggita mengangkat pandangannya dengan sorot yang berkaca-kaca. Jujur saja, dia merasa sangat bersalah telah melakukan semua ini kepada Devan.Namun, Mahesa saat ini tidak bersalah. Dia hanya sedang dijebak oleh seseorang yang tak lain ialah Radeya, papanya Devan.Dia tahu perbuatannya ini sangatlah tidak tahu malu. Anggita harus memohon kepada suaminya sendiri untuk pria lain."Karna dia hanya korban keserakahan papamu, Devan," ucap Anggita lirih tetapi serius. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail nya kepadamu, kau bisa mencari
Anggita berjalan tergesa menuju kantor polisi untuk menemui Mahesa yang masih ditahan karena sedang dalam proses penyidikkan. Hatinya berdenyut sakit, kilas bayangan masa lalu mulai memenuhi benaknya. Apa yang terjadi kepada Mahesa, hampir sama persis dengan yang dulu pernah dia lalui."Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau pasti tertekan dengan semua ini," ucap Anngita kepada Mahesa yang duduk di hadapannya tetapi terhalang pembatas kaca.Pria itu mendesah kasar. Sayu tatapan matanya menunjukkan bahwa dia sedang sangat lelah dan tertekan."Setelah mengalami semua ini, aku justru malah memikirkanmu," ucap Mahesa.Kedua alis Anngita mengernyit dalam, mencerna maksud perkataan pria di hadapannya."Dulu kau juga pasti sangat tertekan dan merasa ketakutan berada di sini. Orang-orang menginkan kau mengatakan hal yang jujur, tetapi tak ada yang memercayai perkataanmu," ucap Mahesa.Mata mereka saling beradu dan terkunci selama beberapa saat, seolah se
"Ada apa ini? Kenapa kalian masuk ke ruanganku tanpa izin?" tanya Mahesa kepada 5 Laki-laki yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa permisi."Kami dari kepolisian," ucap salah satu dari mereka kepada Zidane sambil memperlihatkan ID card-nya."Kami mendapat laporan ada kasus pencucian dana perusahaan dan kami akan memeriksa ruangan Anda," sambungnya lagi.Mahesa terkejut sekaligus bingung dengan yang terjadi saat ini. Dia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi kenapa ruangannya yang harus diperiksa oleh para polisi itu?"Tapi kenapa kalian menggeledah ruanganku?" tanya Mahesa."Karena Anda lah tertuduh yang dilaporkan."Kedua bola mata Mahesa membulat sempurna. Dia refleks menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan tersebut."Tunggu! Aku sama tidak mengerti apa maksud kalian. Tolong jangan bertindak sembarangan!” ujar Mahesa." Sebaiknya Anda bicarakan dan jelaskan semuanya di kantor polisi," ujar pria paruh
Keheningan tercipta di ruang keluarga yang menampakan seorang pria bersama ibunya. Mahesa baru saja memberi tahu Laras mengenai masa lalu mereka dan Radeya lah dalang di balik penderitaannya. Laras nampak terkejut antara percaya dan tidak dengan apa yang sudah dia dengar, karena Radeya tak lain ialah sahabat dari suaminya. "Ibu sungguh tidak menyangka Radeya tega melakukannya kepada ayahmu," ucap Laras lirih. Dia teringat pada kejadian di masa lalu, hubungan suaminya dengan Radeya saat itu baik-baik saja dan selalu rukun. Dia tidak tahu hal apa yang menjadi penyebab hubgan suaminya dengan Radeya memburuk sehingga Radeya berani berbuat nekad. Mahesa pun kemudian menceritakan penggalan ingatan masa kecilnya yang pernah melihat Radeya dengan ayahnya bertengkar. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu kecil untuk bisa mengerti permasalahan orang dewasa. Yang pasti, sebelum kejadian kebakaran tersebut, Mahesa sempat melihat Radeya membopong ayahnya
"Aku tidak akan behubungan lagi dengannya. Tapi tolong, jangan pernah melakukan apa pun kepadanya," ucap Anngita serius dengan sorot yang terlihat memelas.Semua itu terlihat sangat memuakkan bagi Devan. Wanita yang dia cintai sedang membela pria lain secara terang-terangan di hadapannya.Rahang Devan mengeras, kedua tangannya pun mengepal erat sambil menatap wajah sang istri dengan sorot yang tajam, penuh kekecewaan."Aku benci melihatmu seperti ini!" ujar Devan sambil membuang muka lalu bergegas membuka pintu mobil dan memaksa Anggita untuk segera masuk.Keheningan tercipta di antara Anggita dan Devan selama dalam perjalanan menuju ke rumah mereka. Sementara di sisi lain, Mahesa nampak bersedih akan kandasnya hubungan dengan wanita yang dia cintai.Dia ingin marah, ingin mengumpat kasar menyerukan kekecewaan dan rasa sakit yang sedang dia rasakan. Namun, semua hanya akan berakhir sia-sia.Tak ada yang bisa dia salahkan dalam masalah ini. B
"Aku ingin mengembalikan ini kepadamu, Mahesa." Anggita meraih tangan Mahesa, lalu memberikan cincin miliknya. "Aku tidak bisa menyimpannya lagi," ucap Anggita dengan suara lirih. Iris matanya berkaca-kaca menahan genangan cairan bening yang hendak tumpah."Kenapa kamu mengembalikan cincin ini?" tanya Mahesa.Jelas terlihat rasa keterkejutan terpampang pada raut wajah tampannya. Mahesa menatap dalam-dalam wajah sendu wanita yang paling dia cintai, meminta sebuah penjelasan."Apa kamu benar-benar akan kembali kepadanya?" tanya Mahesa lagi bernada lirih menahan perihnya sayatan luka yang menggores hati.Ingin rasanya dia marah dan berteriak mengungkapkan segala rasa kecewa dan kesakitan yang selama ini dia coba tahan. Berada dalam sebuah hubungan yang rumit, di mana saat ini dia lah yang menjadi orang ketiganya.Mahesa mendesah kasar dan mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak pernah memiliki niatan untuk mundur dan mau mengalah untuk tetap bersabar m
Anggita sedang menata toko rotinya ketika Devan datang menghampiri. Entah dari mata pria itu tahu tempat tinggalnya saat ini. Yang pasti, Anggita merasa sedikit terkejut akan kehadiran pria yang masih berstatus suaminya itu."Mas Devan?" gumam Anggita terkejut. "Mas sedang apa ada di sini? Bukannya seharusnya Mas masih di rumah sakit sekarang?" tanya Anggita penasaran.Bibit tebal dan pucat itu tersenyum tipis. Iris berwana hitam pekat itu menatap teduh bola mata Anggita tak berkedip."Mas merindukanmu. Mas memaksa dokter untuk mengizinkan Mas pulang," ujar Devan menjelaskan.Mulut Anggita terbuka tak bisa menahan keterkejutannya. Ia tahu kondisi Devan belum benar-benar stabil dan butuh perawatan dari ahlinya. Tapi pria itu mengacuhkan keselamatannya sendiri dengan alasan yang sungguh diluar dugaan. Devan merindukannya.Anggita melangkah untuk mendekati Devan. Kedua tangannya mencengkram kedua tangan Devan pelan."Mas masih sakit. Lihatlah!
Di rumah sakit, Devan mencabut paksa jarum infus di tangannya. Meski keadaannya belum benar-benar pulih, pria itu memaksa untuk pulang ke rumah.Dia merasa sudah tidak bisa tinggal terlalu lama di rumah sakit dan menyusahkan banyak orang. Devan ingin memulai kehidupan baru. Ingin menata kembali kehidupan yang sempat ia tinggalkan selama dua tahun."Tuan Devan, saya tidak bisa mengizinkan Anda keluar dari rumah sakit karena Anda masih membutuhkan perawatan," ucap dokter berusaha mencegah tindakan Devan yang memaksa ingin pulang."Aku tidak butuh dirawat di rumah sakit. Aku ingin segera pulang ke rumah dan melakukan semua tugasku!" tegas Devan kukuh dengan pendiriannya.Dokter yang menangani Devan itu menghela napas kasar. Ia baru saja menghubungi keluarga Devan agar segera datang ke rumah sakit untuk membujuk agar pasiennya itu tidak jadi ke luar.Kondisi Devan belum stabil. Jika pria itu memaksakan diri maka tidak menutup kemungkinan akan membuat p
"Apa?! Jadi Mahesa sudah mengetahui bahwa Laras adalah ibu kandungnya?"Radeya menggeram marah ketika asistennya memberi tahu bahwa Gunawan sudah mempertemukan mahesa dengan Laras.Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas meja."Iya, Tuan. Maafkan saya karena tidak bisa mencegah Tuan Gunawan," ucap sang asisten sembari tertunduk tak berani menatap atasannya.Radeya mendesahkan napas kasar di udara. Ia tak bisa mengubah takdir pertemuan ibu dan anak itu sekarang.Namun, ia tidak akan membiarkan mereka mengganggu semua yang telah ia capai selama ini.Otak pria paruh baya itu berpiutar memikirkan sebuah trik untuk bisa mencegah agar ia bisa menyingkirkan mahesa dari perusahaannya sebelum pemuda itu mengetahui rahasia yang disembunyikannya selama ini.Sebuah dering ponsel disertai getaran beradu dengan kaca meja sehingga menghasilkan bunyi yang cu