Hanna terkejut mendengar suara Haris. Ia segera turun dari tempat tidur, lalu mendorong suaminya untuk keluar dari kamarnya.
“Jangan bikin bad mood, keluar dari kamarku. Aku nggak mau ngeliat muka kamu.”
“Hanna, saya hanya ingin menemanimu nonton, bukannya kamu menyuruh saya untuk menonton drakor?” Haris terus memandang layar laptop Hanna, memerhatikan film yang sedang ditonton oleh istrinya.
Gadis itu terus mendorong suaminya keluar hingga depan pintu. Tidak ada perlawanan dari pria tampan itu.
“Jangan ganggu aku! Kalau sampai kamu bikin aku kesel lagi, aku akan berpikir lagi untuk tetap bersamamu atau nggak!"
Hanna menutup pintu kamarnya dengan kencang yang membuat Haris terkejut.
“Kenapa dia selalu marah-marah setiap saya bertanya? Saya hanya ingin tahu keinginannya supaya dia bisa nyaman hidup bersama saya kalau semua keinginannya terpenuhi.”
Haris masih saja berdiri di depan pintu kamar istrinya sambil memanggil Hann
Hanna dan Haris hanya saling pandang sambil tersenyum satu sama lain. Pasangan pengantin baru itu terlihat sangat serasi jika sedang akur.Haris memiringkan tubuhnya menghadap sang istri, lalu menarik selimut dan menutupi tubuh seksi istrinya. “Tidurlah!” titahnya sambil tersenyum manis.Walau gadis di hadapannya adalah orang yang sangat dia benci dulunya, tapi kini Haris harus membuang rasa benci itu karena Hanna sudah sah menjadi istrinya.Wanita yang harus dia hormati, dia sayangi, dan dia lindungi sampai ahir hayatnya. Wanita yang akan menjadi Ibu dari anak-anaknya. Ia yakin ada hikmah di balik semuanya.'Nih laki benar-benar baru keluar dari goa. Sama sekali nggak nafsu dia ngeliat tubuh cewek,’ batin Hanna sambil memejamkan matanya, berusaha untuk tidur.Sepertinya memang tidak usah berharap Haris bakal seromantis para pria di drakor. ‘Terimalah dia apa adanya Hanna, toh dia juga menerima siakpmu yang sudah sangat kete
Hanna membuka matanya setelah beberapa jam tertidur bersama dengan sang suami.Saat matanya terbuka, ia masih berada dalam pelukan suaminya. Berada dalam dekapan laki-laki yang dulu ia benci, ternyata membuatnya sangat nyaman, hingga ia tertidur begitu lama.'Aroma tubuhmu menenangkan hatiku.' Hanna membenamkan kembali wajahnya pada dada bidang sang suami. Ia tidak mau melepas kenyamanan itu.Haris membuka mata saat mendengar ketukan di pintu kamarnya.Laki-laki itu terkejut saat membuka mata. Tangannya merangkul gadis seksi itu dengan erat.Ia langsung melepas pelukannya, lalu bangun dan terduduk yang membuat Hanna terbangun juga."Ada apa?" tanya Hanna sambil mengucek matanya."Maafkan saya Hanna. Saya tidak bermaksud kurang ajar sama kamu."Hanna mengembuskan napasnya perlahan, lalu tersenyum. "Bukannya kamu bilang kita harus tidur bersama supaya terbiasa bersama?""Iya, tapi saya sudah terlalu lancang tadi."
Hanna segera turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar sang suami dan segera masuk ke kamar yang ada di sebelahnya.Wanita itu segera menutup pintunya dan langsung terkulai lemas sambil bersandar pada daun pintu."Astaga, jantungku." Hanna memegangi dadanya yang berdebar-debar. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan."Baru dicium kening aja, aku udah gemeteran kayak gini, gimana kalau dia mencium bibirku." Hanna memegangi bibirnya sambil membayangkan Haris menciumnya."Aargh ...!" Hanna berteriak tanpa suara. 'Aku terlihat seperti wanita bodoh.'Tidak jauh beda dengan istrinya, Haris merasakan ada yang berbeda pada dirinya. Akhir-akhir ini jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Selesai mandi dan berpakaian. Ia menelpon sang guru yang telah mengajarinya untuk bersikap manis pada Hanna sambil menunggu istrinya mandi.Sudah dipastikan Hanna bakal lama di kamar mandi. Sudah bukan rahasia lagi kalau
“Maksudnya, apa pun yang kamu ambilkan saya akan memakannya.“Aku pikir kamu ingin memakanku hidup-hidup.”“Maaf ya, saya kurang fokus. Kelamaan tidur kepala saya jadi pusing," kilahnya, padahal sejak tadi ia terus terbayang-bayang adegan yang ada di dalam ponselnya.“Nggak apa-apa.”Hanna pun mengambilkan lauk untuk suaminya. Mereka makan dengan lahap karena sejak siang belum makan apa-apa lagi.Selesai makan, Hanna bangun lebih dulu. “Aku ke kamar duluan ya.”“Iya,” jawab Haris sambil tersenyum.Sejak tadi ia hanya diam, padahal sudah selesai makan dari tadi. Haris bingung harus mulai percakapan dari mana.“Saya harus bagaimana? Apa saya harus memintanya kembali ke kamar atau saya yang ke kamar dia?” gumam laki-laki tampan itu sambil berjalan menapaki anak tangga.Haris terus menatap pintu kamar istrinya yang tertutup rapat sebelum memutar kenop pi
“Haris ….” Suara Hanna tercekat menahan rangsangan dari sang suami.Haris menghentikan aksinya, lalu bertanya. “Kenapa? Apa kamu tidak suka?”Hanna mengelengkan kepalanya. “Aku hanya takut mengecewakanmu.”‘Kenapa dia berbicara seperti itu? Apa dia sudah tidak perawan lagi? Tapi, saya tidak memedulikan semua itu. Dia istri saya, apa pun keadaannya sekarang saya harus menerimanya dengan tulus,’ ucapnya dalam hati.Pemuda itu sudah berpikir yang bukan-bukan, padahal Hanna takut mengecewakan karena ia tidak tahu harus berbuat apa untuk memuaskan suaminya.Pria tampan itu menangkup wajah istrinya sambil menatap dalam manik mata nan indah itu. “Jadilah istri saya seutuhnya. Mendampingi saya sampai akhir hayat nanti.”Gadis cantik itu melingkarkan tangannya di leher sang suami. Lalu mengangguk sambil tersenyum. “Apa kamu mau menerimaku dengan segala kekuranganku? Aku ini sang
“Dari mana kamu tahu?”“Tadi aku nggak sengaja denger suara desahan di kamar yang bersebelahan dengan kamar Mas Haris,” bisik Lura kepada pria jangkung yang duduk di sampingnya.Qenan memperhatikan kedua orang tuanya. “Mommy dan Daddy kenapa bisik-bisik?”“Mommy lagi meniup telinga daddy, dia kedinginan jadi sedikit tuli,” jawab Lura sambil tersenyum kepada calon anak sambungnya.“Apa nggak ada alasan lain selain itu?” Evans mengusap wajah Lura yang membuat wanita itu tertawa terbahak-bahak.“Mommy, aku ngantuk,” kata Qenan sambil menutup mulutnya karena menguap.Sekarang memang sudah lewat jam tidur anak laki-laki itu. Biasanya ia sudah tertidur di jam 8 malam.“Kamu tidur di kamar Mommy ya.” Lura hendak menggendong anak itu, namun Qenan menolaknya dengan keras."Aku udah gede, Mom."Ucapan Haris selalu diingatnya. Ia t
"Duh salah ngomong gue. Bisa kumat nih orang penyakit lamanya," gumam Lura."Hahaha ... bisa aja kalau ngomong." Evans menjawil dagu calon istrinya dengan gemas. "Makanya kamu tidur di dalam aja kalau takut aku kumat!" Evans membelai lembut rambut calon istrinya."Aku mau menemani kamu dulu sampai Mas Haris turun."Lura tidak enak hati jika meninggalkan calon suaminya sendirian di ruang tamu. Walaupun ia tertidur setidaknya Evans tidak sendiri di ruangan itu."Kalau Qenan bangun gimana?"Sebenarnya Evans senang ditemani Lura, tapi ia khawatir meninggalkan anaknya tidur sendiri di kamar."Ada bibi yang nungguin dia," jawab Lura. "Kamu tenang aja, Mas.""Ya sudah kamu tidur di pangkuanku aja! Nanti lehermu sakit kalau kayak gini terus." titah Evans sambil menepuk pahanya."Nggak mau ah, ntar kena si Otong, bahaya 'kan?""Sekarang dia udah jinak," jawab Evans sambil mengacak-acak rambut depan istrinya. "Jadi pen
"Maksudnya aku nggak mau mengganggu malam terakhir Mas Haris di rumah ini." Lura meralat ucapannya. "Tadi aku nemenin Mas Evans nunggu kamarnya dibersihkan, tapi kami ketiduran."Lura terpaksa berbohong kepada sang kakak, ia tidak mau sang kakak merasa malu kalau sebenarnya ia menunggu Haris selesai dengan ritualnya. Dan yang terpenting ia terhindar dari amarah kakaknya.'Apa dia tidak sedang berbohong? Tidak mungkin dia datang ke sini tidak mencari saya. Dia pasti tahu apa yang saya lakukan dengan Hanna. Makanya mereka hanya menunggu di ruang tamu. Lain kali saya akan membuat kamar menjadi kedap suara. Saya tidak menyangka Hanna akan seperti itu. Apa dia kesakitan atau keenakan ya?' Haris malah sibuk dengan pemikirannya sendiri."Kakakmu kenapa?" bisik Evans kepada gadis yang duduk di pangkuannya sambil memerhatikan calon kakak iparnya yang hanya diam mematung.Entah apa yang ada dalam pikirannya, yang pasti Evans khawatir pria itu marah padanya da
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te