"Bukan Lura yang berat, tapi Evans," sahut sang mama.
"Kenapa Evans? Yang digendong 'kan Lura?" tanya Pak Hartono dengan alis yang tertaut.
"Berat untuk melepaskan Lura." Mama Riska tertawa sambil berjalan lebih dulu menuju kamarnya.
"Mama bisa saja," balas suaminya sambil tertawa.
Laki-laki tua itu pun segera menyusul sang istri meninggalkan Evans yang berjalan sepeti siput saat menggendong Lura.
Ia ingin memberikan kesempatan kepada anaknya untuk lebih dekat lagi dengan laki-laki yang berniat meminangnya.
"Jadi, Mas Evans bohongin aku?" tanya Lura setelah orang tuanya berada sedikit jauh darinya.
“Bohong apa? Aku nggak bohong. Kamu memang berat … berat untuk dilepaskan," ucapnya yang membuat Lura cemberut.
Evans tertawa melihat bibir Lura yang mengerucut. Ingin sekali ia mencium bibir mungil itu, tapi Evans mencoba untuk menahannya.
Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih meng
Mama Riska terlambat memberitahukan pemuda itu untuk berhati-hati karena Evans sudah terlanjur menabrak tiang pintu.Wanita yang sudah tidak muda lagi itu meringis saat benturan kepala Evans dan tiang pintu terdengar olehnya. "Pasti sakit," gumamnya.Evans mengusap kepala bagian belakangnya sambil tersenyum canggung.Ia merasa malu dengan Lura yang sedang menatapnya. Gadis itu terlihat seperti sedang menahan tawa."Hati-hati, Nak!" kata Mama Riska."Iya, Bu," balasnya sembari tersenyum. 'Telat, Bu. Udah nabrak baru bilang hati-hati,' ucapnya dalam hati.Walau terasa sangat pusing, tapi Evans menahannya. Tidak mungkin ia mengeluh sakit di depan Lura, hanya karena terbentur tiang pintu."Memangnya Mas Evans punya mata di belakang kepala?" tanya Lura sembari tertawa. "Aku baru tahu Mas Evans bisa jalan mundur, walau akhirnya nabrak."Lura mengacungkan jempolnya pada laki-laki itu. "Kamu hebat, Mas."Ia tidak bis
"Mama ...!" Lura menarik selimut hingga menutupi wajahnya yang merona, sejak tadi ia terjebak dengan ucapannya sendiri.Ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia ketika melihat Evans, bahkan dengan membicarakan namanya saja sudah membuat Lura merona.Mama Riska berbisik di telinga Lura yang tertutup selimut. “Mimpi yang indah ya, Sayang.”***Evans mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Ia masuk ke dalam kamar setelah ada sahutan dari dalam. Pak Hartono dan sopirnya sedang asyik menonton televisi.Pak Hartono menoleh pada Evans yang muncul dari balik pintu. “Bagaimana Lura, apa dia sudah tidur?”“Nggak tahu,” jawab Evans ragu. ‘Kenapa Pak Hartono bertanya seperti itu?’ ucapnya dalam hati.“Saya pikir kamu menunggu Lura tidur dulu baru ke sini,” jawab Pak Hartono sembari terkekeh.“Nggak kok, Pak.” Evans tersenyum tipis.“Ya su
“Nggak ada, Pak, lagi kepikiran anak aja,” jawab Evans.Pak Hartono mendekati Evans, lalu duduk di sampingnya. “Kamu sudah punya anak?”“Sudah, Pak,” jawab Evans. “Sudah lima bulan terakhir dia tinggal bersama saya.”“Ibunya di mana?”Pak Hartono tidak mau kelak jika anaknya menikah dengan Evans, ada wanita lain yang menjadi orang ketiga di antara mereka. Terlebih lagi sudah ada anak.“Ayah dan ibunya sudah meninggal satu tahun lalu,” jawab Evans.“Anak adopsi?”“Iya, Pak, tapi dia begitu berarti bagi saya.” Evans menoleh pada laki-laki tua yang duduk di sampingnya. “Apa Lura mau menerima saya kalau tahu saya sudah mempunyai anak?”Pak Hartono mengangkat bahunya. “Mana saya tahu,” jawabnya sambil bangun dan berdiri. “Sebaiknya kamu bicarakan dulu dengan Lura. Saya akan selalu mendukungmu yang terpe
"Ngapain nanya? Kamu juga udah masuk," balas Mama Riska sembari berjalan mendekati meja.Wanita itu mengambil sarapan Lura dan memberikannya kepada Evans."Saya udah makan, Bu," jawab Evans sambil menatap wajah calon mertuanya dengan bingung, tapi tangannya terulur mengambil piring itu."Bukan buat kamu, tapi untuk Lura," jawab Mama Riska. "Dia nggak mau makan, coba kamu suapi dia, mungkin nafsu makannya bertambah kalau dekat kamu.""Ah Ibu bisa aja," ucap Evans sembari tersenyum.Tangan kirinya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sementara tangan kanannya memegangi piring makanan Lura.Kemudian laki-laki itu berjalan mendekati Lura dan duduk di samping gadis itu. "Sayang, kamu makan ya! Jangan memikirkan aku terus, aku nggak akan jauh-jauh dari kamu. Calon suamimu ini akan selalu mendampingimu."Mama Riska menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Evans. "Baru tahu kalau Tuan muda keluarga Prasetyo pintar melawak.""Aku bukan
Evans memejamkan matanya saat Lura menyemburkan makanan dari mulutnya."Maaf, Mas."Lura segera meraih tisu yang ada di meja, kemudian mengelap wajah dan baju Evans yang terkena semburan makanan."Nggak apa-apa, Calon istri," jawab Evans sembari menaruh piring kosong itu di meja."Mas Evans cuci muka dulu sana!" titah Lura setelah membersihkan makanan dari tubuh laki-laki yang duduk di hadapannya."Cuciin dong!""Nggak ah!""Kan kamu yang nyembur aku. Udah kayak Mbah dukun aja.""Aku nggak sengaja. Udah sana pergi."Lura mendorong Evans supaya ia segera pergi ke kamar mandi."Iya iya."Evans bangun dan berdiri, mengayunkan langkahnya menuju kamar mandi. Ia segera mencuci wajahnya dengan sabun milik Lura."Wanginya."Ia memejamkan mata menghirup aroma sabun itu sambil membayangkan mandi bersama dengan wanita yang ingin dia nikahi.Ketukan pintu dari luar kamar mandi membuyarkan lam
“Pengganggu? Tanya Evans sambil menahan senyumnya. “Aku melamarmu sebagai istri pertamaku, Ibu dari anak-anakku, bukan sebagai istri kedua atau ketiga.”“Bagaimana dengan ibunya Qenan?” Lura menatap wajah Evans, ia berharap jawaban dari laki-laki itu tidak membuatnya kecewa.“Ibu dan ayahnya sudah meningal satu tahun lalu,” jawab Evans sembari tersenyum.Gadis itu membuka matanya lebar-lebar, lalu mencecar Evans dengan beberapa pertanyaan. “Meninggal? Ibu dan Ayah? Itu artinya dia bukan anakmu?”Evans menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Lalu bertanya, “Memangnya kalau dia darah dagingku kamu nggak mau menyayanginya?”“Bukannya nggak mau, tapi aku takut istrimu mengambil Qenan di saat aku sudah menyayanginya.”“Aku belum punya istri, tapi udah punya calon istri. Aku hanya akan menikah dengan Mia Allura, calon Ibu dari anak-anakku.” Evans menatap m
Evans berlari cepat menghampiri Lura yang terjatuh, gadis itu menangis sambil memegangi kakinya.“Sayang, apa kaki kamu sakit?” Pemuda itu berjongkok di depan gadisnya.Kemudian ia memeriksa kaki Lura, ternyata kakinya berdarah karena tergores ranting. Darah segar menetes terus dari luka itu.“Kakimu terluka,” ucap Evans sambil meniupi luka itu.“Mas, kakiku sakit bukan karena luka itu. Kakiku lemas nggak bisa berdiri.”"Apa sangat sakit?" Evans sangat khawatir kalau kaki calon istrinya kembali lumpuh."Nggak, Mas, cuma lemas aja," jawab Lura sambil terisak.Evans mengusap air mata gadis itu, lalu bangun sambil membopong Lura dan berjalan menghampiri Pak Hartono.“Mas, turunkan aku!” pinta Lura.“Apa kamu bisa berdiri?” Evans khawatir kaki Lura masih belum bisa menopang tubuhnya.“Bisa, Mas," jawab Lura dengan yakin.Terpaksa ia menurunkan Lu
Evans membulatkan matanya. "Lura, kamu jangan bercanda! Tadi kamu bilang setuju kita pacarannya setelah menikah.""Apa mereka bukan sepasang kekasih?" tanya sang paman pelan kepada Pak Hartono setelah mendengar ucapan calon suami keponakannya.Laki-laki tua yang menjadi orang tua angkat keponakannya itu menggelengkan kepalanya."Sebelumnya mereka sudah saling kenal, tapi tidak berpacaran ataupun berteman dekat. Namun, tiba-tiba pemuda itu melamarnya.""Kelihatannya pemuda itu benar-benar serius," ucap sang paman yang berdiri sedikit jauh dari mereka."Semoga dia benar-benar jodoh yang tepat untuk Lura," sahut Mama Riska sambil memandangi Evans yang sudah datang membawa kebahagiaan di saat anaknya sedang berduka.Ketiga orang tua itu berdoa untuk kebahagian Lura. Mereka sangat bersyukur ada kebahagiaan di kala ia berada dalam kesedihan.CEO tampan itu menggenggam jemari gadis yang ada di hadapannya. Matanya sudah berkaca-kaca, lalu ber
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te