Bi Darmi terkejut saat melihat Naya memakai pakaian serba tebal. “Nona, apa anda sedang sakit?”
“Nggak, Bi,” jawab Naya sambil tersenyum. “Tadi pagi saya kedinginan karena mandi kelamaan, terus saya masuk ke dalam selimut, eh jadi ketiduran.” Naya berbohong supaya pelayan di rumahnya percaya.“Syukurlah, Nona,” sahut Bi Darmi. “Nona makan dulu ya. Sekarang Bibi nggak masak yang banyak bumbu lagi, sayurnya cuma direbus, semoga Nona suka.”Bi Darmi memberikan nampan itu kepada majikannya. “Apa Nona ingin makan di meja makan?”Naya tersenyum sambil mengambil nampan makanan itu. “Mulai saat ini aku makan di kamar aja, Bi. Maaf ya aku ngerepotin Bibi karena harus memasak menu yang berbeda dengan Mas Gilang.”Naya tidak mau makan bersama suaminya karena Bi Darmi pasti tahu kalau Gilang mendiamkannya.“Ya ampun Nona, kenapa harus minta maaf. Ini sudah menjadi tugas saya melayani anda dan Tuan.”“Terima kasih ya, Bi.”"Kenapa?""Gua lagi sakit mata, nanti lo ketularan." Naya berbohong pada sahabatnya.Padahal ia tidak mau video call karena tidak mau Lura mengetahui kalau dirinya habis menangis."Yaelah, Nay. Kita kan nggak bertatap langsung," balas Lura. "Lebay banget lo ah!""Mataku perih, Mi," jawab Naya memelas."Ya udah deh, lo istirahat aja jangan kebanyakan nonton film dewasa," kata Lura sambil terkekeh. "Jadi sakit mata deh lo.""Itu 'kan kerjaan lo! Gue mah langsung praktek aja kalau lagi pengin." Naya tertawa terbahak-bahak, melupakan masalahnya sejenak."Kampret lo!" umpat Lura sebelum menutup panggilan teleponnya."Jangankan praktek, disapa aja nggak," gumam Naya sambil menaruh ponselnya di atas nakas.Ketika ia hendak membaringkan tubuhnya kembali. Terdengar suara sang mami sambil mengetuk pintu kamarnya."Apa aku nggak salah denger? Itu suara mami," gumamnya sambil turun dari tempat tidur.Naya terkejut saat
“Mi, Mas Gilang lagi sibuk, biarin aja dia kerja, lagian aku juga nggak apa-apa kok.”“Naya, kamu lagi hamil. Kamu harus memikirkan anak yang ada dalam kandunganmu juga. Kalau kamu sakit dia pasti ikut merasakannya," kata sang mami. "Ini anak kalian berdua, jangan cuma kamu yang merasakan kesusahan ini. Gilang harus lebih perhatian padamu."“Iya, Mi.”Naya tidak bisa berkata-kata lagi, memang benar apa yang diucapkan mertuanya, tapi dengan memarahi Gilang seperti itu sudah pasti suaminya akan tambah marah padanya.“Mami, samperin papi dulu ya, kamu istirahat.” Mami Tyas menyelimuti tubuh Naya, lalu keluar dari kamar anaknya.Setelah mertuanya pergi, Naya segera mengirim pesan kepada suaminya. Ia mengabarkan kalau dirinya baik-baik saja, jadi tidak perlu pulang kantor di siang hari.Namun, apa yang ada di pikiran Gilang berbeda, ia mengira Naya menyuruhnya untuk tidak pulang supaya ia disalahkan lagi oleh sang mami.Di ke
“Teman kamu dan Haris belum ada yang tahu kalau kalian sudah menikah. Orang tuamu juga pasti ingin mengadakan pesta untuk anak satu-satunya," kata Mama Riska kepada menantunya.“Aku udah bicarain ini sama suamiku, kami mau ngadain syukuran di rumah, mau ngundang teman-teman dekat aja,” jawab Hanna. “Kami nggak mau yang mewah-mewah, yang terpenting doa dari kalian semua untuk pernikahan kami.”“Sayang ….” Mama Riska membelai pipi menantunya. “Kamu nggak mau resepsi bukan karena kamu nggak suka jadi menantu Mama 'kan?”"Astaga, Ma.” Hanna memegang tangan mertuanya, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. “Aku bersyukur berada di antara kalian, tapi sungguh bukan itu maksud kami tidak ingin mengadakan resepsi. Mas Haris juga udah tanya sama aku, tapi akunya nggak mau, yang terpenting keluarga dan teman kami tahu kalau kami sudah menikah.”“Haris, memang anak yang baik, sejak kecil tidak pernah mau menyusahkan Mama dan papa karena itu dia mendapatk
“Kayaknya sih gitu,” sahut Lura. “Sama Qenan aja dia sayang banget.”“Ya sudah, Mama keluar dulu, mau nyiapin makan siang, katanya Haris mau makan siang di rumah.”“Iya, sekalian nganter Mas Gilang pulang katanya,” sahut Hanna.“Mama keluar dulu ya," Mama Riska bangun dari duduknya, lalu keluar dari kamar anaknya.“Lura, apa kamu ingin langsung punya anak setelah menikah?” tanya Hanna pada adik iparnya setelah sang mama keluar dari kamar.“Sedikasihnya aja deh sama yang di atas?” jawab Lura.“Maksudnya Evans yang di atas kamu?” tanya Hanna sambil tertawa.“Dih Mbak Hanna ….” Lura mendorong pelan lengan kakak iparnya. “Pasti ketularan mesum Mas Haris nih.”“Hahaha ….” Hanna selalu ingin tertawa jika mengingat saat mereka berdebat ketika berhubungan intim karena Haris tidak mengizinkannya berada di atas. Menurut Haris itu bukan posisi yang baik untuk pasangan yang sedang menanti momongan.“
Hanna dan Lura langsung menghentikan tawanya, lalu menoleh pada laki-laki yang sedang bersandar pada tiang pintu sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.‘Robot mesumku udah pulang, nanti kita lanjutkan setelah dia pergi lagi ke kantor,” bisik Hanna di telinga adik iparnya.“Siap Kakak ipar.” Lura mengacungkan jempolnya pada Hanna.“Benarkan, kalian menjadikan saya bahan lelucon,” tukas Haris.“Kamu tuh buruk sangka terus,” sahut Hanna sambil menahan senyumnya.“Tahu ih, orang aku dan Mbak Hanna lagi ngetawain Mas Evans,” kata Lura sambil turun dari tempat tidur. “Jadi cowok kok sensitif banget."Evans muncul dari belakang Haris. “Memangnya apa yang kalian tertawakan?”Aku nggak ikut-ikutan ah.” Hanna berjalan mendekati suaminya sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu. “Ayo, Yang, kita makan siang!” ajak Hanna pada suaminya.Lura tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya. Ia berj
Hampir setengah jam Gilang duduk di samping Naya sambil menggenggam tangan wanita yang sedang tertidur itu. “Jagalah anakku! Dia akan tetap mendapat kasih sayang kedua orang tuanya walau kita sudah nggak hidup bersama.” Ketukan di pintu kamar membuat Naya membuka matanya. "Mas ...," ucapnya.Gilang langsung melepas genggaman tangannya, lalu bangun dan berdiri untuk membukakan pintu kamar.Seorang dokter perempuan masuk bersama sang mami. Dokter cantik itu langsung memeriksa keadaan Naya.“Apa yang anda rasakan sekarang, Nona?” tanya sang dokter setelah memeriksa istri dari CEO muda itu.“Cuma sedikit pusing aja, Dok," jawab Naya pelan.“Kehamilan di trimester pertama sangat rentan. Nona Naya harus banyak istirahat dan jangan banyak pikiran!""Baik, Dok,” jawab Naya sambil tersenyum.'Ini semua gara-gara aku,' batin Gilang.“Saya sudah meresepkan obatnya, nanti dihabiskan ya," kata sang dokter
Padahal tidak ada meeting, ia hanya ingin menghindari Naya supaya terbiasa jauh dari wanita yang dicintainya itu.“Apa pekerjaanmu lebih penting dari istrimu?” tanya sang mami."Mi … tolonglah aku! Naya paling penting dalam hidupku, tapi perusahaan ini juga penting untuk masa depan anakku.” Gilang beralasan.“Pergilah, Nak, biar Papi dan Mami yang menjaga istrimu,” kata sang papi.“Terima kasih, Pi.”Gilang menelepon Haris untuk segera menjemputnya. Laki-laki itu duduk di teras depan sambil menunggu sang asisten. ‘Apa keputusanku sudah benar? Bagaimana kalau aku sendiri yang tersiksa dengan keputusan ini? Pasti itu akan sangat menyakitkan, tapi akan lebih menyakitkan lagi jika wanita yang aku cintai terluka karena aku.’Laki-laki itu duduk melamun sambil menunggu sang asisten, sementara di dalam kamar, Naya sedang mencuci mukanya supaya tidak terlihat seperti habis menangis. Walau dadanya terasa sesak setelah
“Ya udah, Mami siapin dulu ya, Sayang. Kamu tunggu aja di sana!” Sang mami menunjuk kursi santai di balkon kamar anaknya, lalu pergi untuk mengambil asinan buah yang dibawanya dari rumah. Naya berjalan menuju balkon. Ia duduk santai sambil memandang lurus ke depan. ‘Aku harus kuat. Aku akan memperbaiki hubunganku dengan Mas Gilang, aku yakin dia nggak sungguh-sungguh mengatakan itu,’ batin Naya. 'Dia sangat mencintaiku, begitu pun denganku.'Ia mencoba untuk selalu tersenyum menghadapi masalah dalam rumah tangganya. Naya pun melakukan panggilan video kepada sahabatnya.“Naya …! Akhirnya gue bisa ngeliat wajah jelek lo!” teriak Lura yang terlihat sangat senang saat melihat wajah sahabatnya yang nampak dari layar ponsel. “Lo udah sehat kan?”“Udah,” jawab Naya tak kalah kencang berteriak.“Mata lo masih sedikit merah, Nay,” kata Lura.Naya hanya tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya. “Mi, gue punya asinan buah, lo mau nggak?” Na
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te