Hanna berjalan cepat sambil membawa air hangat untuk adik iparnya.
"Ini air hangatnya." Hanna mengulurkan tangannya memberikan segelas air hangat. "Minumnya pelan-pelan! Ini agak sedikit panas."
"Iya, Mbak, makasih ya." Lura mengambil gelas itu, lalu meminumnya sedikit demi sedikit. "Terima kasih, Kakak ipar," ucap Lura setelah minum hampir setengahnya.
"Sama-sama," jawab Hanna sambil mengambil gelas dari tangan Lura. "Ini hapemu." Tangan kanannya terulur memberikan benda pipih dari Bi Darmi.
"Terima kasih banyak, Mbak."
"Iya." Hanna memegangi tangan adik iparnya. "Kamu bisa jalan sendiri nggak?"
"Bisa kok," jawab Lura sembari tersenyum menyembunyikan rasa sakitnya supaya sang kakak tidak terlalu mengkhawatirkannya.
"Aku taruh gelas dulu ya."
"Iya, Mbak. Maaf ya aku ngerepotin terus." Lura merasa tidak enak hati selalu merepotkan kakak iparnya.
"Jangan ngomong kayak gitu, aku ini kakakmu!"&n
"Baik, Kakak ipar. Aku pulang dulu ya.""Hati-hati!" seru Hanna pada laki-laki yang terlihat buru-buru mengejar calon istrinya."Iya!" jawab Evans tanpa menoleh pada kakak iparnya.Evans berjalan cepat menyusul Lura yang sudah lebih dulu keluar dari rumah Gilang.Setelah Evans pergi Hanna segera menelepon mertuanya, memberitahukan kalau Lura sedang sakit perut dan tidak mau pergi ke dokter."Ma, aku khawatir sama Lura, dia nggak mau diajak ke dokter." Hanna menceritakan keadaan Lura kepada mertuanya."Iya, Sayang. Kamu jangan khawatir lagi ya, Mama telepon dokter sekarang juga," kata Mama Riska."Ya udah, Ma, aku tutup ya teleponnya," kata Hanna."Iya, Sayang. Kamu juga jangan lupa makan ya," balas sang mama kepada menantunya."Iya, Ma."Hanna segera menutup teleponnya supaya sang mama segera menelepon dokter. Kemudian ia pergi ke dapur, mencari Bi Darmi untuk bertanya di mana kamar suaminya.Se
Laki-laki tampan itu langsung melajukan kendaraannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Evans tidak ingin kekasihnya tambah kesal jika ia banyak bicara.'Aku biarkan saja dulu, kalau aku terus-terusan meminta maaf padanya, dia pasti akan tambah badmood,' gumam Evans dalam hati. Sesekali ia melirik wanita yang sangat ia cintai itu.Evans harus bisa mengerti kalau usia calon istrinya itu jauh di bawahnya. Ia akan mengusahakan untuk mengalah supaya tidak memperkeruh suasana.Rasa sakit di perutnya tidak bisa ia tahan, hingga akhirnya Lura memejamkan mata karena tidak bisa menahannya lagi.Mobil sport berwarna merah itu berhenti di depan kediaman orang tua Lura. “Sayang, kita sudah sampai.” Evans membelai rambut hitam kekasihnya.Melihat Lura diam saja, akhirnya Evans memutuskan untuk menggendong kekasihnya. Ia pikir calon istrinya tertidur.Evans langsung masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam. Kebetulan pintu utama rumah it
“Nggak apa-apa, Nak. Lura memang seperti itu, dia tidak mau menyusahkan orang lain. Selama masih bisa ditahannya, dia nggak akan meminta bantuan orang lain, bahkan dengan kakak iparnya saja dia masih sungkan.”Mama Riska mencoba menenangkan calon menantunya yang merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Lura.“Bagaimana keadaan cucu saya, Dok?” tanya wanita tua yang terlihat sangat khawatir.“Saya sudah memberikan obat melalui suntikan, kita tunggu perkembangannya, kalau dia masih merasakan nyeri yang tak tertahankan, Nona Lura harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” kata dokter muda bernama Irwan itu. “Saya akan tetap di sini untuk memantau keadaannya.”“Terima kasih, Dok.”Dokter Irwan keluar dari kamar Lura bersama dengan sang nenek.Evans mendekati Lura dan duduk di pinggiran tempat tidur. “Sayang, bangunlah!” ucapnya sambil mengusap-usap tang
“Sayang, lain kali jangan seperti ini lagi! Aku laki-laki bodoh yang nggak peka, aku nggak tahu kalau kamu sedang kesakitan, aku pikir kamu marah padaku karena pergi gitu aja.” Evans mencium lengan wanita yang masih terlihat lemah itu. “Tolong, maafkanlah aku!”“Aku buru-buru pergi karena perutku sakit,” jawab Lura pelan. "Kamu sendiri yang salah, kenapa nggak tanya sama aku kenapa aku pergi tanpa pamit."“Waktu di mobil kenapa kamu nggak bilang kalau perutmu sakit?” balas Evans. “Kalau kamu bilang aku bisa mengantarmu ke dokter." Evans marah karena Lura menyepelekan sakitnya."Aku emang sengaja nggak bilang sama kamu," balasnya dengan suara yang pelan. "Aku nggak mau ke rumah sakit.""Lura, lain kali jangan seperti ini lagi, kalau sampai terjadi sesuatu padamu, aku bagaimana? Aku bisa mati berdiri kalau itu terjadi.”Tak henti-hentinya Evans menciumi tangan kekasihnya. Ia merasa bersyukur
“Maaf.” Evans menutup mulutnya rapat-rapat.Ia tidak bisa untuk tidak protes kepada calon istrinya karena sudah mengabaikan kesehatannya, tapi melihat Lura marah, ia tidak bisa berkutik.Mama Riska, Nenek, dan Dokter Irwan masuk ke kamar Lura setelah diberitahu kalau gadis itu sudah sadar.“Vans, biarkan Dokter Irwan memeriksa Lura terlebih dulu.” Mama Riska terpaksa mengusir calon menantunya dengan halus karena laki-laki itu tidak mau menyingkir, walaupun Dokter Irwan hendak memeriksa Lura.“Iya, Ma.”Evans bangun dari duduknya, lalu berdiri di belakang sang nenek yang duduk di sofa, sedikit jauh dari tempat Lura berbaring.Dokter muda itu mulai memeriksa detak jantung dan denyut nadi Lura. Ia memegang tangan Lura dengan sangat lama, hingga Evans tidak suka melihatnya.“Dasar Dokter mesum, kenapa dia pegang tangan calon istriku dengan sangat lama. Memeriksa begitu saja kan cukup dengan
Dokter itu hanya tersenyum melihat perdebatan pasangan muda itu. “Kalau begitu saya permisi dulu, kalau nanti malam kambuh lagi segera bawa ke rumah sakit.”“Iya, Dok, terima kasih banyak,” ucap Mama Riska.Dokter muda itu keluar dari kamar Lura diantar oleh Mama Riska. Sedangkan Evans dan sang nenek masih berada di dalam kamar Lura.Sang nenek bangun dan berjalan pelan mendekati Lura, lalu duduk di pinggiran tempat tidur cucunya. “Nak, jaga cucu Nenek! Saya percayakan dia sama kamu.”“Siap, Nek.”“Pernikahanmu tinggal beberapa hari lagi, memang banyak rintangan bagi orang yang mau beribadah. Jadi, kalian harus bisa saling menjaga hati,” ucap wanita tua yang duduk sambil menggenggam tangan Lura.“Baik, Nek.”“Lura, kamu hargai dia sebagai calon suamimu. Kamu harus menghormatinya, jangan hanya memanggilnya dengan sebutan nama saja, Dia juga lebih tua dari kam
“Kenapa? Apa kamu berubah pikiran karena aku tua dan tidak pantas bersanding denganmu?”Evans mengira Lura berubah pikiran karena ia sudah tua jika dibandingkan dengan mantan terindahnya.“Bukan kayak gitu, Pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi, tapi aku belum memesan baju pengantin. Aku ingin memakai gaun yang indah di hari bahagiaku. Aku ingin menikah sekali seumur hidupku."Lura memerhatikan raut wajah calon suaminya. Ia mengerti kalau laki-laki itu akan kecewa mendengarnya."Aku juga ingin menikah sekali dalam hidupku, aku ingin kita menua bersama ... ehm ... maksudku aku ingin kita hidup bersama sampai ajal memisahkan."Evans meralat ucapannya karena tidak mau Lura membahas perbedaan usianya lagi."Aku ingin memakai gaun yang istimewa di pernikahanku, tapi dengan waktu yang hanya tinggal beberapa hari aja, apa gaun itu bisa selesai dalam waktu singkat? Aku belum memesannya, belum memilih bahan dan yang lainnya. Ak
“Apa besarnya cinta hanya diukur dari seberapa lama kita mencintai? Aku nggak tahu bagaimana caranya membuktikan kalau aku sangat mencintaimu, tapi kamu bisa melakukan apa pun untuk membuktikan seberapa besar cintaku padamu. Aku rela mati untukmu."Laki-laki itu kembali meraih tangan calon istrinya. "Beritahu aku bagaimana caranya membuktikan cintaku padamu? Apa aku harus mati dulu supaya kamu percaya seberapa besar cintaku padamu?”“Enak aja mau mati segampang itu. Apa kamu mau menjadikan aku janda sebelum menikah? Kalau ngomong seenaknya aja, apa di kepalamu itu tidak ada isinya?”Lura marah ketika Evans berbicara tentang kematian. Bukan itu yang diinginkan Lura, ia hanya berpikir kalau Evans hanya menginginkan dia sebagai ibu anak-anaknya saja, bukan sebagai pengisi hatinya.Evans mencomot bibir calon istrinya sambil tertawa. “Bagaimana aku nggak tergila-gila padamu kalau kamu segila ini. Aku sudah menjadi gila karena menc
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te