Semua orang di ruangan itu tersenyum bahagia mendengar ucapan Naya. Mereka mengira gadis tomboy itu benar-benar menerima Gilang sebagai calon suaminya.
“Lang, kamu ajak Naya jalan-jalan sana! Ini ‘kan malam minggu, kalian rayakan sana hubungan kalian!” perintah Mami Tyas.
“Iya, Mi,” jawab Gilang dengan pasrah. Ia tidak bisa menolak perintah Nyonya besar Sebastian.
“Nay, udah sana kamu mandi dulu, biar cantik!” perintah sang bunda pada putri semata wayangnya.
“Tapi … aku belum pernah kencan. Apa aku harus dandan yang menor?” ucap Naya dengan jujur yang membuat semua orang tertawa mendengar ucapannya.
‘Apa dia benar sepolos itu? Itu artinya dia masih perawan dong,’ Pikiran Gilang berkelana ke mana-mana, yang ada di otak si CEO mesum itu tidak jauh dari selangkangan. Entah apa yang membuatnya terjerumus ke dalam pergaulan bebas itu. Sehingga ia menjadi laki-laki brengsek penikmat wanita.
“Nay, jadilah diri sendiri. Nggak usah pengin terlihat cantik seperti orang lain. Kamu udah cantik, sangat cantik,” ucap sang calon mertua. “Laki-laki yang mencintai seorang wanita karena kecantikannya, nanti kalau dia melihat wanita yang lebih cantik lagi dari kekasihnya, pasti dia akan berpaling,” lanjutnya sambil melirik dengan sinis ke arah putranya yang dikenal sebagai pecinta wanita.
‘Kenapa, Mami lihatin aku kayak gitu? Apa dia juga mau bilang kalau anaknya punya sertifikat penjajah wanita?’ ucap Gilang dalam hati. Ia sudah berjanji pada sang mami bahwa ia akan berhenti berpetualang kalau ada yang bisa membangkitkan hatinya bukan hanya membangkitkan nafsunya semata.
“Iya, Tante, Naya mengerti,” jawabnya sambil tersenyum. ‘Ya ampun, Nay, sekali berbohong pasti akan terus berbohong. Kenapa lo harus ngomong kayak gitu,’ gerutu Naya dalam hati, memarahi dirinya sendiri.
“Mulai sekarang jangan panggil Tante lagi! Kamu harus panggil Mami!” perintah sang calon mertua pada gadis tomboy calon istri anaknya. “Sama Om Rizky juga kamu harus panggil Papi,” lanjutnya sambil menoleh pada sang suami yang duduk di sampingnya.
“Betul. Kamu akan menjadi bagian keluarga kami, jadi kamu harus panggil Mami dan Papi seperti Gilang.” Kini Papi Rizky yang menimpali. Ia berharap, Naya bisa mengubah kelakuan buruk anak semata wayangnya.
“Iya, Mi, Pi,” ucap Naya pelan, ia masih merasa canggung memanggil calon mertuanya dengan sebutan itu. “Kalau gitu, aku mandi dulu ya.” Naya pun bangun dari duduknya, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan kedua otang tua dan calon mertuanya.
Naya memutar kenop pintu kamar, mendorong daun pintu itu dengan perlahan, langkahnya gontai menuju tempat tidur. Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur kesayangan dengan posisi tertelungkup.
Impiannya untuk berpacaran dengan orang yang ia cintai dan mencintainya lenyap sudah. Padahal ia membayangkan keromantisan sang pacar saat kencan pertamanya seperti adegan yang ada di drama korea yang sering ia tonton.
Naya membalikkan tubuhnya hingga ia telentang, matanya menatap langit-langit kamar yang penuh dengan bintang harapannya. “Terlalu banyak dosa kali, apes banget dapat pacar kayak dia,” gumamnya pelan.
“Kamu harus ikhlas menjalani ini semua Naya. Jodohmu cerminan dari dirimu.” Naya mencoba menguatkan dirinya sendiri. “Ya elah drama banget lo, Nay.” Naya mencibir dirinya sendiri.
Naya banggun dari tempat tidur, lalu berjalan menuju lemari pakaiannya untuk mengambil baju ganti. Ia mengambil celana jeans dan kaos oblong berwarna putih, kemudian bergegas menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur. Naya bukanlah anak orang kaya, dia hanya anak pedagang kain di pasar.
Setelah sepuluh menit Naya sudah selesai mandi, ia mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Setelah benar-benar kering, ia mengoles vitamin untuk rambut secara merata. Kemudian mengikatnya seperti kunciran kuda.
Naya segera keluar kamar untuk menemui orang tuanya dan calon mertua. “Mas Gilang, ayo! Naya udah siap.” Lagi dan lagi, Naya terus saja berbohong untuk menyenangkan hati kedua orang tuanya.
‘Dari tadi baru keluar, aku kira dia dandan seperti wanita cantik pada umumnya, tapi ternyata sama aja,’ cibir Gilang dalam hati kepada calon ibu dari anak-anaknya.
Gilang pun berdiri, lalu berpamitan kepada orang tuanya dan calon mertua. Setelah berpamitan, mereka segera pergi untuk berkencan.
“Ayo cepetan masuk!” perintah Gilang pada calon istrinya dengan nada yang sedikit meninggi.
Naya mendelikkan matanya kepada laki-laki yang baru saja resmi menjadi kekasihnya. Kemudian ia segera masuk ke dalam mobil mewah itu.
“Impian gue kencan romantis dengan laki-laki yang gue cintai, lenyap sudah,” gumamnya pelan, tapi masih terdengar oleh suaminya.
“Kamu pengin pergi ke mana?” tanya Gilang sambil menyetir mobil mewahnya. “Anggap aja aku laki-laki yang kamu cintai, beres ‘kan,” ucap Gilang dengan santainya.
“Mana bisa begitu,” balas Naya cepat. “Tapi, ya sudahlah kita lanjutkan aja kepura-puraan ini.” Naya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.
“Kita mau ke mana?” tanya Gilang sekali lagi. Ia sangat tidak suka berkencan dengan gadis seperti Naya yang tidak masuk kriteria wanita seksi. Tapi, demi kebahagiaan orang tuanya, ia mau menerima perjodohan itu.
“Ke pasar malam aja,” ucap Naya dengan semangat. “Udah lama aku nggak ke sana.”
“Baiklah,” balas Gilang dengan cepat. Mobil Gilang masuk ke dalam area gedung bertingkat itu.
“Loh kenapa kita ke apartemen? Apartemen siapa? Apa punyamu?” Naya memberondong pertanyaan pada kekasih barunya.
“Aku mau ganti baju dulu,” jawab Gilang sambil membuka pintu mobilnya.
Naya pun ikut keluar dari mobil dan mengekori kekasihnya. “Mas Gilang, pelan-pelan dong jalannya.” Naya berjalan cepat mengimbangi langkah panjang sang kekasih.
Gilang tidak mendengarkan ocehan Naya. Ia malah dengan sengaja berjalan lebih cepat lagi agar gadis kecil itu kesusahan mengejarnya.
“Mas Gilang!” teriak Naya yang sudah tertinggal jauh dari kekasihnya. Naya berlari untuk menyusul laki-laki berpengawakan tinggi itu. “Kok ada ya, laki-laki nyebelin kayak gini,” gumam Naya.
Gilang membuka pintu apartemennya dengan memencet password pada pintu. Setelah pintu terbuka Naya menerobos masuk ke dalam apatemen kekasihnya. “Mas Gilang, aku minta minum ya.” Naya pergi menuju dapur untuk mengambil air minum tanpa menunggu jawaban dari Gilang terlebih dulu.
Naya membuka pintu kulkas, mengambil botol kecil berisi air mineral dan meneguknya sampai habis.
Gilang hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan gadis kecil calon istrinya sembari melangkahkan kaki menuju kamar yang ada di lantai dua.
Sementara Naya duduk di ruang tamu menunggu kekasihnya yang sedang berganti pakaian. Matanya menyapu semua ruangan yang terlihat sangat rapi dan bersih.
Tidak lama kemudian Gilang menghampiri Naya.”Ayo kita pergi!”
Naya menoleh ke samping, di mana laki-laki berpengawakan tinggi itu berdiri. “Mas Gilang kok sebentar banget? Nggak mandi dulu ya!” tuduh Naya kepada kekasihnya.
“Nggak mandi pun aku sudah ganteng,” jawab Gilang sambil merapikan rambutnya.
“Sombong amat!”
“Malam minggu, malam panjang untuk para kekasih, tapi tidak untuk Naya dan Gilang. Harusnya malam ini Gilang berpesta dengan para wanita seksi yang biasa melayaninya sampai puas, tapi kali ini dia harus menemani kekasih kecilnya. “Mas Gilang … aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Naya ragu-ragu sambil meremas-remas jemarinya. “Kamu mau apa? Sebutin aja, nanti aku belikan,” balas Gilang tanpa menoleh pada kekasihnya yang duduk d samping kemudi. Kini Naya dan Gilang berada di mobil yang sama, mobil mewah milik CEO FaRiz Group. “Bukan itu,” sahut Naya cepat. “Mas Gilang mau nggak nurutin kemauan aku, kali ini aja deh.” Naya bergeser duduknya, ia memiringkan tubuhnya hingga dengan leluasa melihat wajah tampan calon imamnya. ‘Emang bener sih ya, dia emang ganteng banget, tapi sikapnya itu loh, angkuh pisan,’ gumam Naya dalam hatinya. “Terus apa mau ka
Semilir angin malam membelai rambut panjang Naya yang hitam dan lurus ketika ia membuka ikatan rambutnya. Surai indah itu membelai wajah tampan laki-laki yang duduk di sampingnya.Gilang memejamkan mata saat rambut kekasih kecilnya membelai wajah. Ia menghirup aroma yang menenangkan dari rambut Naya. Lalu ia menoleh ke samping menatap wajah cantik Naya di bawah sinar rembulan. ‘Ternyata gadis kecil ini sangat cantik,’ gumamnya dalam hati sembari tersenyum.Kini mereka ada di bukit kecil dekat pasar malam. Menikmati indahnya malam ditemani bintang-bintang dan rembulan yang memancarkan cahayanya menerangi malam.Naya menoleh pada laki-laki yang resmi menjadi pacarnya beberapa jam yang lalu. “Mas Gilang, aku boleh bersandar di bahumu nggak? Kayak mereka itu!” tunjuk Naya pada pasangan kekasih yang duduk tidak jauh dari mereka.Gilang mengarahkan pandanganya pada arah tangan Naya.
“Sama-sama, Calon istri,” balas Gilang sembari tersenyum.“Duh, Mas Gilang, lama-lama bisa jatuh cinta beneran ini,” ucap Naya sambil menutup wajah cantiknya dengan kedua telapak tangan.Saat ia membuka telapak tangannya, wajah Gilang sudah sangat dekat dengan wajahnya. Tangan Gilang menarik tengkuk Naya dengan lembut. Perlahan ia menempelkan bibirnya pada bibir ranum kekasihnya.Naya membuka matanya lebar-lebar, saat sang kekasih melumat bibirnya dengan lembut. Detak jantungnya terasa berhenti sesaat, darahnya mengalir hangat ke seluruh tubuh. Gilang memejamkan mata sambil menikmati bibir perawan sang kekasih. Si Pecinta wanita itu bisa merasakan kalau gadis kecil yang menjadi calon istrinya belum pernah berciuman sebelumnya.Gilang menggigit kecil bibir bawah Naya, sehingga gadis itu sedikit membuka mulutnya. Gilang dengan leluasa mengeksplor rongga mulut kekasihnya. T
Gilang langsung terpaku di tempatnya mendengar racauan Naya seperti maling yang tertangkap basah. Ia yakin kalau Bunda Maya mendengar racauan anak gadisnya.“Astaga Naya, malu-maluin aja,” ucap Bunda Maya yang membantu melepas tangan anak gadisnya di leher Gilang. “Maafin Naya ya, Nak,” ucap Bunda Maya dengan lembut. Ia merasa tidak enak hati kepada Gilang.Gilang hanya tersenyum menanggapi ucapan calon mertuanya. “Saya pamit pulang dulu!” ucap Gilang dengan sopan. Lalu segera keluar dari kamar Naya, setelah berpamitan dengan Bunda Maya dan suaminya, Gilang bergegas keluar dari rumah itu.“Apa dia akan memberitahukan tentang ciuman tadi kepada bundanya?” gumam Gilang saat ia sudah berada di dalam mobilnya.Ketika ia dalam perjalanan, ada pesan masuk dari sahabatnya, Evans. Sahabatnya itu mengajaknya untuk berpesta dengan para wanita yang haus belaian. N
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Kini Naya sudah berada di depan pintu apartemen laki-laki yang menjadi pacar pertamanya sambil menenteng kantung belanjaan berisi sayuran dan ikan.Naya merogoh ponsel yang ada di tas pinggangnya. Ia mencari nomor telepon sang kekasih, tapi nama Gilang tidak ada dalam daftar kontaknya.“Mana sih nomor Mas Gilang? Bukannya semalam dia udah menyimpannya di hape ini,” gumam Naya yang masih menggulir ke atas dan ke bawah untuk mencari nama Gilang. Namun, hanya password pintu apartemen yang bisa ditemukan di ponselnya.“Gimana ini ya? Masa langsung nyelonong aja, ntar dikiranya gue cewek apaan, masuk rumah orang tanpa permisi dulu,” gumam Naya di depan pintu masuk apartemen Gilang. “Ah gue masuk aja deh, Mas Gilang udah ngasih nomor pinnya berarti gue boleh masuk ‘kan ya?” Naya bertanya pada dirinya sendiri.Akhirnya Naya
Kedatangan Mami Tyas tidak disangka-sangka oleh putranya. Gilang dan Naya terbuai dengan indahnya kemesraan yang membuat mereka tidak menyadari kalau sang Mami memergoki aksi mereka.Ketika Gilang mulai menelusuri leher jenjang Naya dengan bibirnya, sang mami berdehem yang membuat kedua anak manusia itu kalang kabut. Naya segera turun dari pangkuan Gilang dan duduk di samping kekasihnya itu.‘Kenapa Mami bisa masuk?’ batin Gilang sembari melirik maminya dengan tatapan tidak suka.“Kamu kenapa ngelihatin Mami kayak gitu? Kamu nggak suka Mami datang?” tanya sang mami sembari menahan senyum karena sudah menggagalkan rencana mesum anaknya. “Mami cuma mau ngasih kejutan untukmu, Sayang,” ucap sang mami dengan nada bicara yang terkesan meledek putranya.“Dan aku sangat terkejut dengan kedatangan Mami,” balas Gilang sembari mendelikkan matanya pada sang mami.
Setelah selesai makan siang, mereka mengobrol di ruang tamu. Naya duduk di samping calon mertuanya. Sementara Gilang duduk di sofa depan sang kekasih. Ia terus memerhatikan gadis tomboy yang baru dua hari menjadi kekasihnya itu. Gilang semakin penasaran dengan Naya, menurutnya dia adalah gadis yang mudah dirayu, tapi CEO muda itu belum mempunyai kesempatan untuk melancarkan aksinya.“Mami tumben mau datang ke apartemenku?” tanya Gilang pada sang mami. Biasanya Mami Tyas tidak pernah mau berkunjung ke tempatnya. Ia merasa jijik karena Gilang selalu membawa wanita teman kencannya bermalam di apartemen.“Mami nelpon Naya mau ngajak dia ke salon, eh nggak tahunya dia lagi ada di kandang buaya.” Mami Tyas melirik dengan sinis kepada anaknya. Kecemasan mulai menyelimut wanita paruh baya itu, ia khawatir kalau Gilang merusak Naya. Ia akan merasa sangat bersalah kalau sampai itu terjadi. Demi anaknya ia mengorbankan kehormata
“Kenapa juga aku mengemis kepada gadis tomboy itu, masih banyak wanita seksi yang lebih menarik yang dengan suka rela menyerahkkan tubuhnya untukku sentuh,” gumam Gilang sembari menyeringai.Laki-laki dengan sejuta pesona itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi ia segera berpakaian. Apa pun yang dipakai CEO muda itu selalu terlihat pas di tubuhnya. Gilang segera menyambar kunci mobilnya, berjalan sambil bersiul keluar dari apartemennya.Mobil sport berwarna kuning itu melesat di jalanan menuju tempat sahabatnya berada. Tempat di mana ia menghabiskan waktu bersama para wanita seksi yang selalu menemani para lelaki tampan itu.Akhirnya mobil sport itu sampai di rumah mewah yang terlihat sangat asri. Banyak pohon-pohon rindang di sepanjang jalan menuju rumah itu setelah memasuki gerbang depan. Tidak ada lagi rumah di lingkungan itu, hanya ada satu istana kediaman keluarga Prasetyo.
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te