Gilang menarik tangan Naya keluar. Ia cepat-cepat keluar dari ruangan itu karena rasa kecewanya kepada sang mami.
"Mas, kok kamu gitu ngomong sama Mami? Mungkin Mami hanya bercanda," kata Naya setelah mereka berada di dalam mobil menuju rumah sang nenek.
"Mami tidak pernah percaya sama aku," balas Gilang.
Laki-laki itu menatap ke depan dengan tatapan yang tidak biasa. Naya bisa merasakan jika orang yang paling dekat dengan kita tidak memercayai.
Naya merangkul pada lengan kekar kekasihnya. "Jangan pernah berhenti untuk menjadi lebih baik hanya karena semua orang nggak percaya sama kamu. Berubahlah demi dirimu sendiri, jangan berubah demi orang lain!"
Gilang melepas tangan Naya yang melingkar di lengannya. Ia berganti merangkul tubuh gadis itu, dan mendekapnya dengan mesra.
"Aku sangat beruntung bisa mencintai kamu." Gilang mencium kening Naya dengan mesra.
Setiap ucapan yang keluar dari mulut Naya, hatinya selalu tenang. Walau usianya
"Melambai dong!" seru Naya sembari tertawa geli.Gilang mengedikkan bahunya membayangkan laki-laki setengah matang. Ia pun menarik tangan kekasihnya. "Sudahlah! Ayo kita belanja.""Bunny, aku udah capek. Kita cari baju masing-masing aja biar cepat. Jangan barengan kayak gini!" kata Naya berpura-pura lemas.Naya terpaksa berbicara seperti itu supaya Gilang mau mendengarkan ucapannya. Ia malu kalau kekasihnya itu harus ikut saat memilih pakaian dalam."Baiklah, kita ketemu di kasir ya." Gilang membelai lembut pipi Naya sebelum meninggalkannya.Naya segera pergi untuk mencari pakaian dalam, dan beberapa setel pakaian santai.Ia gadis yang sederhana, tidak lama memilih pakaian seperti gadis pada umumnya. Hanya kaus dan celana panjang, pakaian ternyamannya."Hunny, kamu sudah selesai?" tanya Gilang saat Naya menghampirinya."Udah," jawabnya."Kamu belanjanya cepat sekali, ada yang kelupaan nggak?" tanya Gilang memastika
"Supaya dapat ciuman dari aku ya, Hunhun?" Gilang menjawil dagu gadis cantik itu."Aku mau banyak tanya, kenapa di otak kamu isinya permesuman?" Naya mengetuk kening kekasihnya dengan jari telunjuk."Wah, songong nih Calon istri." Gilang meraih tangan sang kekasih, lalu menggelitik pinggangnya."Ampun!" Naya tidak bisa menahan tawanya. Padahal itu di tempat umum.Namun, Gilang masih saja menggelitik kekasihnya, hingga menjadi pusat perhatian para pelayan toko, dan beberapa pengunjung."Gilang! Lepas!" Naya sudah sangat kesal dengan kekasihnya itu.Gilang terkejut saat mendengar kekasihnya memanggil dengan sebutan nama saja. Melihat raut wajah calon istrinya, ia tahu kalau gadis itu sedang marah.Naya pergi meninggalkan Gilang tanpa mengucapkan satu patah kata pun."Gimana ini? Apa dia marah beneran?" tanya Gilang pada asistennya."Maaf, Bos saya tidak tahu harus bagaimana?" sahut Haris sembari menunduk.
Naya tidak jadi masuk ke dalam mobil karena terkejut dengan keberadaan badut di dalamnya. "Kenapa ada badut?"Alis pengawal itu bertaut, terlihat beberapa lapis kerutan di keningnya. Ia tidak mengerti maksud sang nona, tapi ia juga tidak berani bertanya-tanya."Saya periksa dulu, Nona." Sang pengawal yang hendak melihat ke dalam mobil di kejutkan dengan laki-laki yang ada di dalam badut."Maafkan saya Tuan," ucapnya dengan tulus saat tahu kalau sang tuan lah yang memakai kostum badut itu.Gilang pun keluar dengan kostum badut, tapi kepalanya sudah terbuka. "Hunny, ayo masuk!" Gilang menarik tangan kekasihnya supaya mau masuk ke dalam mobil, tapi gadis itu menepisnya dengan kasar.Sebenarnya ia ingin membuat kekasihhnya senang dengan memakai kostum badut dengan karakter yang Naya sukai, tapi ternyata gadis tomboy itu malah tambah marah."Buka bajumu!" titah Naya pada Gilang. "Kamu ngapain sih pake kostum kayak gitu?""Aku ingin merayu
"I-iya, aku mau dikerok," jawab Gilang dengan cepat.'Apa aku nggak salah dengar?' Nenek Marisa bertanya-tanya dalam hatinya. 'Cucuku bisa ditaklukan sama gadis tomboy ini,' batinnya."Nek, apa ada minyak zaitun?" tanya Naya pada sang Nenek."Ada, Nak," jawab Nenek Marisa sembari tersenyum."Bi, cepat ambilkan minyak zaitun, lalu cepat kerok cucuku!" titah sang nenek kepada pelayan di rumahnya."Nggak! Aku cuma mau dikerok sama Naya," sahut Gilang."Saya minta minyaknya aja, Bi," pinta Naya kepada pelayan di rumah itu."Baik, Non." Pelayan itu bergegas mengambil minyak zaitun, dan koin perak untuk mengerok tuan mudanya."Ya udah ayo kita masuk!" Naya mengajak masuk kekasihnya ke dalam kamar. Gilang, dan Nenek Marisa masuk, sang kakek juga mengikutinya."Nak, apa kepalamu masih pusing?" tanya wanita tua itu saat melihat ada benjolan kebiruan di kening calon cucu mantunya."Nggak, Nek," jawab Naya sambil tersenyum.
Naya menghentikan langkah kakinya ketika mendengar ucapan sang kekasih. Ia kembali menghampiri laki-laki yang terlelap sambil tengkurap."Bunny!" Naya membangunkan kekasihnya karena laki-laki itu mengeluarkan banyak keringat di dahinya. Napasnya memburu seolah sedang menahan amarah.Gilang mengerjapkan mata, lalu membalikkan tubuhnya. Ia bangun, dan terduduk saat melihat Naya. Tangannya melingkar di tubuh calon istrinya itu."Hunny, jangan tinggalkan aku!" Gilang semakin erat memeluk Naya. Bibirnya berkali-kali mendarat di puncak kepala kekasihnya. "Aku sangat mencintaimu, percayalah padaku!""Iya. Aku percaya sama kamu." Naya berusaha melepas pelukannya, tapi tangan kekar itu tidak mau terlepas dari tubuhnya.Gilang baru melepas pelukannya setelah ia mulai merasa tenang. Ia mengembuskan napasnya pelan, lalu tersenyum pada wanita yang sangat dicintainya."Aku rela kehilangan apa pun, asalkan bukan kehilangan kamu," kata Gilang dengan y
"Aku akan menikahi Naya kalau dia sudah siap untuk menikah denganku. Usianya baru sembilan belas tahun, aku nggak mau memaksanya kalau dia belum siap."Jawaban Gilang menyentuh hati Naya. Ia bersyukur calon suaminya tidak menuntut supaya cepat-cepat menikah walau usianya sudah matang untuk membina rumah tangga."Bagus, Nak!" sahut sang nenek. "Walaupun usiamu sudah cukup tua, bukan berarti harus memaksa calon istrimu. Dia masih sangat muda untuk mengarungi bahtera pernikahan. Kalau dia belum siap, tidak akan mudah untuk menjalaninya."Walaupun wanita tua itu ingin segera melihat cucunya menikah sebelum pergi untuk selamanya. Ia tidak mau memaksa anak gadis orang untuk segera menikah kalau belum siap."Nenek! Aku masih muda, usiaku baru dua puluh tujuh tahun bukan tujuh puluh dua tahun!" protes Gilang.Ia tidak mau dibilang tua, menurutnya usia segitu belum terlalu tua untuk laki-laki lajang sepertinya."Maafkan aku, Nek," kata Naya men
"Deg-degan kenapa?" Gilang menatap lekat wajah kekasihnya. "Jangan bilang kamu lagi membayangkan malam pertama?" tukas laki-laki yang sudah berpengalaman dalam urusan pergulatan di ranjang."Bunny, kita nikah sekarang aja yuk! Aku penasaran pengin nyobain." Naya merangkul tangan kekasihnya. "Gatel 'kan aku jadinya.""Apanya yang gatel?" Gilang menoleh pada calon istrinya."Ya ... nganu," jawab Naya sembari tersenyum.Gilang menyentil kening Naya dengan keras. "Kita menikah bukan untuk sehari atau dua hari saja. Tapi, kita akan menyatukan dua kepala yang berbeda pemikiran. Kita harus berusaha melengkapi kekurangan masing-masing. Kalau menikah hanya karena penasaran ingin merasakan hubungan intim, kamu pasti akan bosan dan menyesal menikah muda karena niatmu bukan untuk ibadah, tapi karena nafsu belaka."Gilang berbicara panjang lebar. Ia ingin menikah sekali seumur hidup, tidak mau ada penyesalan di antara keduanya setelah menikah."Widih Aba
"Apa yang kamu siapkan untuk malam pertama kita?" tanya Gilang yang membuat Naya bingung."Memangnya ada persiapan khusus, selain ngelakuin anu?" Naya serius bertanya karena yang ia tahu hanya tinggal buka baju, dan melakukan adegan yang pernah ia tonton bersama sahabatnya."Anu itu apa?" Gilang menahan tawa, ia pura-pura tidak tahu dengan maksud kekasihnya."Nggak usah pura-pura bego! Udah pakarnya juga," cibir Naya sambil memencet hidung kekasihnya.Gilang tergelak mendengar ucapan gadis yang ada di gendongannya. "Nanti aku ajari biar ahli.""Kalau belajar dari sekarang bisa nggak ya?" canda Naya sembari menahan tawanya."Nggak bisa!" tegas Gilang. "Aku sudah tobat, jangan dipancing-pancing lagi!"Gilang harus bisa menyembuhkan penyakitnya. Ia harus bisa menahan hasrat birahinya untuk tidak melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan."Aku belajar sama yang lain aja deh," sahutnya yang membuat Gilang marah.
Terima kasih untuk semua pembacaku yang sudah membaca karya-karya Nyi Ratu. Mohon maaf banget atas segala kekurangan di setiap karya-karyaku.Follow instag*am @nyi.ratu_gesrek untuk info novel terbaru.Sekali lagi terima kasih banyak untuk semua pembacaku tanpa terkecuali.Dan ... untuk nama-nama yang aku sebutkan di bawah ini, tolong hubungi aku di instag*am untuk klaim hadiah. Ada kenang-kenangan dari Nyi Ratu untuk kalian.1. Husna Amri Jihan Alfathunissa2. Pacet Ke Ceupet3. Joko Lelono4. Mythasary5. Lay Kwe Tjoe6. Iah OlehBaru 3 orang yang sudah klaim hadiah, yang belum, aku tunggu sampai ahir bulan ini.Sampai jumpa lagi di karya terbaruku selanjutnya. Salam sayang dari Nyi Ratu untuk kalian semua.
"Bu Naya sudah pembukaan empat." Ucapan sang dokter membuat Gilang dan Mami Tyas terkejut."Benarkah?" Mami Tyas tidak percaya. "Menantu saya mau melahirkan?" Ia kembali memastikan."Iya, Bu," jawab sang dokter. "Dalam beberapa jam lagi dia akan segera melahirkan.""Ya ampun, kalau gitu Mami pulang ya, Lang. Kamu tungguin Naya di sini, Mami mau pulang dulu, menyiapkan keperluan dia," kata sang mami yang terlihat sangat panik. "Dokter, saya permisi dulu ya."Sebelum pergi, Mami Tyas memeluk menantunya. "Sayang, kamu jangan panik ya, tetap berprasangka baik. Semangat! Semangat ya, Cantik." Mami Tyas memberikan semangat pada menantunya, padahal dia sendiri yang panik."Iya, Mi," jawab Naya sambil tersenyum.Naya bertanya kepada dokter setelah mertuanya keluar dari ruangan. "Dokter, apa bayi saya sehat-sehat aja?" Naya takut terjadi sesuatu dengan bayinya karena HPL-nya masih dua minggu lagi dan ia pernah mengalami keguguranNaya terbayang lagi saat kehilangan bayinya membuatnya merasa k
Jam berjalan begitu cepat, Lura semakin sering merasakan tanda-tanda melahirkan. Ia mengelus-elus perutnya yang terasa mulas.“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Evans saat istrinya turun dari ranjang.Aku mau olahraga, Sayang, biar melahirkannya gampang,” jawab Lura sambil berjongkok, lalu berdiri dan berjongkok lagi, begitu terus yang ia lakukan sesuai arahan dokter.“Jangan olahraga! Mau melahirkan kenapa malah olahraga?”“Tidak apa-apa, Pak, memang disarankan seperti itu biar gampang melahirkannya,” kata sang suster.Evans memegang tangan istrinya dan menemani Lura untuk berjongkok dan berdiri. “Sayang udah ya, kamu kelihatan kesakitan gitu, mending tiduran aja,” kata Evans.“Bentar lagi, Mas,” ucap Lura sambil menahan mulas.Keringat sudah bercucuran di pelipis Lura membuat Evans was-was. “Sayang, kamu sakit banget ya?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahi Lura. “Udah ya, aku takut bayi kita ngeberojol.”“Iya, Mas.”Evans membantu Lura untuk naik kembali ke ranjang rumah sak
"Bayi Anda sehat, Bu," jawab sang dokter."Syukurlah." Lura merasa lega mendengarnya."Tante mau menghubungi keluarga kamu dulu ya, nanti biar Tante yang nemenin kamu sebelum mama kamu datang.“Loh aku mau dirawat nggak ngelahirin sekarang?"“Tunggu dulu Lura, kamu tunggu di ruang pertama atau ruang observasi untuk tahap pertama, nanti kalau udah waktunya mau melahirkan pindah ke ruang bersalin.”“Iya, Tante, makasih ya, maaf udah ngerepotin.”“Lura, kamu itu sahabatnya menantu Tante, kamu jangan sungkan.”"Iya, Tante," jawab Lura, lalu wanita hamil itu menoleh kepada Dokter Silvi. “Dokter, aku boleh tanya-tanya lagi?”“Boleh, Bu.”“Tante keluar dulu ya.” Mami Tyas keluar untuk menemui menantunya supaya Naya menghubungi keluarga Evans.Mami Tyas lupa memberitahukan kepada Naya kalau ia tidak perlu menghubungi Evans. Naya menghubungi Evans, tapi ponselnya tidak aktif. “Duh Mas Evans ke mana sih? Jadi mules kan gue.” Naya terlihat panik mendengar sahabatnya sudah mau melahirkan. “Gue t
"Gue takut, Nay," jawab Lura pelan sambil menunduk. Lura benar-benar waswas dengan kehamilannya."Takut kenapa?" Naya memiringkan duduknya supaya menghadap Lura."Gue takut bayi gue kenapa-napa kemarin Mbak Hanna melahirkan jauh dari HPL, lah gue udah waktunya belum lahir juga.""Ya ampun Lura, jangan dipikirkan nanti kamu stres. Itu bayi kamu masih terasa nendang-nendang kan? Itu artinya dia baik-baik aja." Naya berusaha menenangkan Lura, padahal dirinya sendiri merasa waswas.Mami Tyas yang duduk di bangku samping kemudi menoleh ke belakang."Lura, jangan dipikirin terus, kamu harus tenang," kata Mami Tyas. "Ayo kita turun, Tante yakin bayi kamu baik-baik aja.""Iya, Tante, aku juga berharap kayak gitu."Naya dan Lura turun dari mobil lalu segera masuk ke dalam rumah sakit."Minggu kemarin, dokter bilang apa?" tanya Tante Tyas kepada sahabat menantunya."Aku nggak kontrol, Tante, minggu kemarin Mas Evans sibuk banget sama kerjaannya. Qenan juga lagi kurang sehat, jadi aku sama Mami
Keesokan paginya Lura bangun pagi-pagi sekali, ia tidak mau Naya mengomel lagi karena terlambat datang ke rumahnya untuk senam hamil."Mas, anterin aku dulu ke rumah Naya ya. Pulangnya sama Mas Bayu sekalian dia jemput Qenan." "Iya, Sayang," jawabnya sambil mencubit pipi istrinya yang semakin berisi. "Kamu jangan capek-capek ya.""Iya," jawab Lura sambil merapikan dasi dan jas suaminya. "Sudah siap, ayo kita sarapan.""Kalau makanan aja nggak ketinggalan." Evans tersenyum melihat istrinya yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari kamar.Mereka sarapan terlebih dulu sebelum pergi, setelah sarapan selesai, Evans mengantar Lura ke rumah Gilang, lalu pergi ke kantor."Nay, gue nggak telat kan?" tanya Lura kepada sahabatnya."Instrukturnya juga belum datang," kata Naya.Lura dan Naya duduk di teras depan menunggu sang instruktur senam hamil sambil mengobrol santai."Nay, HPL lo kapan?" tanya Lura."Perkiraan enam minggu lagi, tapi melihat Hanna melahirkan lebih cepat dari HPL, gue jadi w
"Aku mau ke toilet, Mas," jawab Lura. "Ayo buruan, aku udah nggak tahan ini.""Aku kira kamu mau melahirkan," kata Evans sambil terkekeh. "Ya udah kita balik lagi ke kamar Kakak ipar aja lebih dekat.""Ya udah yuk!" Lura dan Evans kembali ke ruang perawatan Hanna.Lura masuk tanpa mengetuk pintu membuat kaget semua yang ada di dalam ruangan. Wanita hamil itu langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan satu patah kata pun."Pelan-pelan, Lura!" teriak sang nenek melihat cucunya yang sedang hamil tua berjalan cepat menuju toilet."Lura kenapa?" tanya Mama Riska pada menantunya."Kebelet, Ma.""Anak itu pasti makan sambal terus deh. Udah dibilangin Jangan makan pedas dulu." Mama Riska menggerutu sambil menunggu anaknya keluar dari toilet.Beberapa menit kemudian Lura keluar dari kamar mandi. "Ah leganya.""Lura, kamu jangan kebanyakan makan pedes, kasihan anakmu. Makan makanan yang bergizi biar anak kamu sehat." Mama Riska langsung mengomel kepada anaknya."Aku nggak makan pedas kok,"
"Nenek gendongnya sambil duduk ya," kata Haris sambil melangkah menuju sofa."Baiklah, Nenek duduk." Sang nenek mengikuti Haris dan duduk di sofa, lalu Haris menyerahkan anaknya kepada sang nenek."Masa Nenek aja dikasih gendong adik bayi, tapi aku nggak. Aku kan lebih kuat dari Nenek." Lura mendekati sang nenek dan duduk di sampingnya."Kamu nggak sadar, perutmu membuncit kayak gitu, nanti anak saya mau ditaruh di mana, kamu sendiri aja susah duduknya." Lagi-lagi Haris mengejek adiknya.Lura mendelikkan matanya dengan sinis kepada kakaknya. "Dasar pelit," gumamnya."Sayang, kita juga kan bakalan punya anak. Kayak anak kita lebih banyak, perutmu gede banget." Evans mengusap-usap perut istrinya sambil tersenyum. "Nanti kakakmu jangan diizinin gendong anak kita," ucapnya setengah berbisik."Kamu juga sama aja meledekku terus. Kita kan udah pernah USG, bayi kita cuman satu." Lura memukul lengan suaminya."Aku cuma bercanda." Evans mengacak-acak rambut istrinya."Lura sebaiknya kamu pulan
"Kalian di mana?" tanya Pak Hartono kepada menantunya."Di jalan mau ke rumah sakit, Pa," jawab Evans."Di jalan? Memangnya kalian dari mana? Kenapa lama sekali sampainya? Mama dan Papa udah sejak tadi di rumah sakit." "Iya, Pa, bentar lagi kita sampai. Ini kan kita bawa ibu hamil dua orang, jadi bawa mobilnya pelan-pelan.""Ya sudah hati-hati!" Pak Hartono menutup teleponnya dan memberitahukan kepada sang istri kalau anak dan menantunya masih dalam perjalanan."Syukurlah kalau mereka baik-baik aja." Mama Riska sedikit merasa lega Lura dan suaminya dalam keadaan baik-baik saja.Beberapa detik kemudian Bayu menghampiri keluarga majikannya. "Maaf, Tuan, saya abis beli kopi dulu di kantin. Apa Anda udah dari tadi?" tanya Bayu sambil membawa cup berisi minuman hangat. "Nggak apa-apa, Bayu," jawab Mama Riska. "Apa Haris di dalam ruangan bersalin?" "Iya, Nyonya. Bos ikut ke dalam," jawab Bayu. "Oh ya Tuan, apa Anda ingin minum kopi?" Bayu tidak enak hati minum kopi sendirian."Tidak, te