Enjoy reading 😘
"Ibu, aku boleh bawa Gendis sebentar?" tanya Sakti saat mengantarkan kedua orang tua Gendis, serta Bayu pulang ke rumah mereka. "Boleh, tapi jangan terlalu malam pulangnya," ujar Wati memberikan isyarat pada Gendis. "Siap, Bu. Pak, aku bawa Gendis sebentar ya," ujar Sakti lagi. "Iya, hati-hati jangan terlalu malam." Hendro menjawab agak datar. Jujur saja hati lelaki paruh baya itu masih belum bisa menerima perlakuan Satyo kemarin. "Aku ikut masuk dulu ke rumah mau ganti baju," kata Gendis yang mau ikut turun dari mobil. "Eh, nggak usah. Gitu aja, cantik ... cantik dengan kebaya itu," ujar Sakti menahan tangan Gendis. "Kita pergi dulu, Pak, Bu," pamit Sakti lalu melajukan mobilnya menembus panasnya kota Jakarta siang itu. "Mau kemana?" "Mau buat kenang-kenangan," ujar Sakti berhenti di sebuah studio foto terkenal di kota itu. "Kan tadi kita udah poto-poto," sungut Gendis. "Sekalian buat poto engagement. Pertunangan kita," ujar Sakti lalu membuka bagasi belakang mobilnya memba
"Barangnya hanya ini?" tanya Arya pada Hendro saat menerima barang bawaan dari kuli angkut. Stasiun Tugu Yogyakarta pagi itu masih gelap, tepat pukul empat pagi Gendis dan keluarganya sampai di sana. Gendis tersenyum tipis pada Arya, gadis itu selama perjalanan dari Jakarta hingga Yogyakarta hanya diam saja. "Kita langsung ke Gunung Kidul atau ke rumah saya untuk istirahat dulu, Pak?" Arya menghidupkan mesin mobilnya. "Kalo nggak merepotkan Nak Arya, Bapak sih mau nya langsung ke Gunung Kidul saja. Biar lebih leluasa istirahat," ujar Hendro. "Oh baik, kalo begitu kita langsung saja," kata Arya. Dua jam lebih jarak tempuh yang mereka lalui, hingga mobil Arya berhenti di sebuah rumah joglo dengan halaman yang luas. Beberapa orang menyambut kedatangan mereka, dialek Jawa kental begitu terasa. Sambil menurunkan barang-barang miliknya, Arya membantu Gendis membawakannya ke dalam. "Mas Arya," panggil Gendis. "Gimana?" Arya membalikkan tubuhnya. "Mau pulang sekarang?" "Iya ... kam
"Tari ... Tari!" panggil Sakti melangkah menuju dapur. "Tari!" "Ada sih, Sak ... kamu kayak orang kesetanan," ujar Hanna menuruni anak tangga, dia baru saja keluar dari kamarnya mendengar suara Sakti menggema di seisi rumah. "Tari mana, Ma?" "Ada mungkin di kamarnya," ujar Hanna bingung. "Kenapa?" "Sakti ada perlu sama dia," ujar Sakti lalu kembali memanggil Tari. Tari tergopoh-gopoh lari dari arah belakang mendengar seruan sang kakak angkat, gadis itu baru saja membantu menyiapkan makan malam. "Kenapa, Mas?" Tari melihat raut wajah Sakti yang tidak bersahabat. "Kamu tau Gendis kemana?" "Hah?" "Gendis pergi, kamu tau dia pergi kemana? Andi mungkin menyembunyikan sesuatu, dia tau soal kepergian Gendis." "Andi? Kepergian Mbak Gendis? Aku nggak ngerti, Mas." "Sakti, coba kamu cerita pelan-pelan, ada apa ini?" "Gendis pergi, Ma. Papa berulah ... aku nggak tau pasti apa yang Papa lakuin, tapi yang pasti aku yakin, Gendis mundur dan memilih pergi ninggalin aku," ujar Sakti kesal.
"Mas," panggil Tari saat Sakti baru saja melangkah ke pekarangan rumah mereka. "Kenapa, Tar?" "Tari cuma mau memastikan Mas Sakti baik-baik aja," ujar sang adik angkat yang sudah satu minggu ini memperhatikan wajah Sakti tak bersemangat. "Gue nggak apa-apa, tapi mulai hari ini gue nggak balik ke rumah ini Tar," kata Sakti menyandarkan tubuhnya di badan mobil. "Maksud Mas, balik ke rumah Mas Sakti." "Enggak ... aku bakal balik ke sana kalo Gendis sudah berhasil aku temukan." "Ke apartemen lagi?" tanya Tari yang khawatir Sakri akan kembali ke dunianya yang lama. "Lebih baik seperti itu." Sakti membuka pintu mobilnya. "Gue titip mama ya, tugas lo nemenin dia," kata Sakti yang masih kecewa atas perlakuan Satyo. "Mas," panggil Tari. "Ya?" "Maaf Tari nggak bisa bantu banyak," kata gadis itu yang sudah menganggap Sakti seperti saudara kandungnya sendiri. "Enggak apa-apa, lo nggak ada hubungannya dengan ini. Kalo ini yang Gendis mau, mungkin lebih baik sementara seperti ini. Tapi gu
Hanna pagi itu mengunjungi apartemen Sakti, semalam Tari baru memberitahukan padanya tentang kepergian Sakti dari rumah mereka. Hanna menggelengkan kepalanya saat memasuki apartemen yang porak-poranda itu. Setelah membuka pintu apartemen, Sakti berpindah tidur di sofa ruang tengah sambil mendengarkan ocehan Hanna yang membereskan barang-barangnya. "Setau Mama, ada yang suka bersih-bersih di apartemen kamu, Sak. Enggak kamu panggil? kalo begini yang mana baju kotor, yang mana baju bersih Mama nggak tau. Sakti, denger kan Mama bilang apa!" "Hhmm ...." "Kamu harusnya membenahi diri bukan malah kembali lagi kehidupan kamu sebelumnya. Mama bukannya nggak suka dengan kepergian Gendis tiba-tiba, tapi kalo gini kan yang susah kamu juga, kayak nggak ada semangat hidup." Sakti masih diam, matanya masih terpejam namun pendengarannya tetap tajam. "Kita boleh kecewa, tapi kamu juga harus buktikan kalo kamu bisa bangkit, kamu harus tetap semangat mencari dia kalo memang kamu masih cinta. Jika
Tangan Maya cepat melepas satu per kancing kemeja Sakti. Tubuhnya masih bergerak di atas pangkuan Sakti, sementara Sakti mulai terlena dengan gerakan Maya yang membuat miliknya semakin keras dan menegang. "Sakti," desah Maya menciumi leher Sakti dengan liar dan bergairah. Dengan satu kali gerakan, Sakti berhasil mengangkat tubuh Maya dan meletakkannya di atas meja kerjanya. Lupa segala hal, lupa dengan yang baru saja dia lakukan, me-resign-kan dirinya dari perusahaan, bahkan Sakti lupa dengan kata-kata yang dia ucapkan sebelumnya. Layaknya lelaki yang sudah di mabuk kepayang, Sakti berdiri di hadapan Maya, membuka lebar kedua kaki Maya bahkan rok sepan yang wanita itu gunakan sudah terangkat diatas lututnya. "Do it, Sakti ... I'm yours," ucap Maya manja sambil menarik lepas ikat pinggang Sakti. Sakti membalas ciuman liar Maya, bahkan tangannya tak lepas meremas dada Maya. Satu tangan lagi Maya arahkan pada organ intimnya, tubuh wanita itu menggelinjang tak tentu arah. Tangannya as
"Tari," sapa Sakti menghampiri Tari yang duduk di sudut kafe siang itu. "Mas," ujar Tari lalu berdiri dari tempat duduknya. "Duduk, Mas." Tari mempersilahkan kakak angkatnya itu duduk di sampingnya. "Makasih." Sakti menarik kursi di sebelah Tari, matanya mengedar mencari seseorang. "Andi?" "Dalam perjalanan, tadi dia harus pulang dulu." "Oh." "Mas ... Tari dengar dari ibu, Mas Sakti keluar dari perusahaan Pak Satyo? Kenapa?" "Aku sudah malas berhubungan dengan orang seperti mereka termasuk papa, Tar. Penat kepala aku, di pikiran papa hanya kekuasaan, kekayaan dan keegoisan saja." "Artinya, Mas Sakti menolak di jodohkan?" "Iya, apalagi itu ... mengada-ada. Memaksakan kehendak sendiri, belum lagi wanita yang di jodohkan ke aku ada aja ulahnya." "Ulah?" tanya Tari mengerutkan alisnya. "Biasalah, enggak harus aku jelasin kan." "Syukurlah kalo Mas Sakti menolak perjodohan itu. Tapi kasihan ibu, setiap hari ibu dan Pak Satyo selalu bersitegang. Di rumah sudah jarang sekali ibu dan
"Kenal Mas Arya dimana?" tanya Ami manager HRD tempat Gendis bekerja. Sore itu Ami menawarkan diri mengantarkan Gendis pulang ke kost nya. "Kami pernah satu tempat tinggal ... maksud aku tetangga sewaktu di Jakarta dulu," ujar Gendis. "Oh saat dia melanjutkan S2 ya?" "Iya, Mbak. Mbak Ami sendiri kenala dimana?" "Dikenalin teman, ketemu sewaktu gala dinner di perusahaan tempat Mas Arya kerja." "Oh." Gendis mengangguk-angguk. "Dis." "Ya, Mbak." Gendis menoleh ke arah Ami yang sedang mengemudikan mobilnya. "Mas Arya sudah punya pacar? Aku nggak berani nanya-nanya padahal kita udah dua bulan kenal." Ami tersenyum malu-malu. "Pacar?" Gendis merasa tak enak hati, seketika dia teringat saat dulu Arya menyatakan perasaannya dan sampai detik ini Arya masih menunggunya. "Iya, Mas Arya sudah punya pacar belum? Kamu kan dekat tuh sama dia, kali aja dia pernah cerita-cerita tentang seseorang spesial di hati dia." "Oh ... Em, setahu aku enggak ada Mbak," "Mau bantu aku?" tanya Ami kemb
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu