Enjoy reading 😘
"Kenal Mas Arya dimana?" tanya Ami manager HRD tempat Gendis bekerja. Sore itu Ami menawarkan diri mengantarkan Gendis pulang ke kost nya. "Kami pernah satu tempat tinggal ... maksud aku tetangga sewaktu di Jakarta dulu," ujar Gendis. "Oh saat dia melanjutkan S2 ya?" "Iya, Mbak. Mbak Ami sendiri kenala dimana?" "Dikenalin teman, ketemu sewaktu gala dinner di perusahaan tempat Mas Arya kerja." "Oh." Gendis mengangguk-angguk. "Dis." "Ya, Mbak." Gendis menoleh ke arah Ami yang sedang mengemudikan mobilnya. "Mas Arya sudah punya pacar? Aku nggak berani nanya-nanya padahal kita udah dua bulan kenal." Ami tersenyum malu-malu. "Pacar?" Gendis merasa tak enak hati, seketika dia teringat saat dulu Arya menyatakan perasaannya dan sampai detik ini Arya masih menunggunya. "Iya, Mas Arya sudah punya pacar belum? Kamu kan dekat tuh sama dia, kali aja dia pernah cerita-cerita tentang seseorang spesial di hati dia." "Oh ... Em, setahu aku enggak ada Mbak," "Mau bantu aku?" tanya Ami kemb
"Man, cari tau tentang suami Ibu Soraya tadi, barangkali suatu saat kita membutuhkan dia," ujar Sakti. "Baik, Pak. Ini kita langsung ke bandara dua jam lagi adik Pak Sakti akan take off." Sakti mengangguk tanda setuju. Perjalanan menuju bandara di selingi kemacetan kota Jakarta siang itu memang cukup membosankan untungnya Sakti tepat waktu bertemu dengan Tari sebelum mereka masuk ke dalam. "Jadi, seperti yang aku bilang kemarin-kemarin, sekeci apapun informasi yang kalian temukan laporkan aja sama aku. Dan jika nanti di sana kalian menemukan Gendis jangan langsung kalian temui tapi lebih dulu kabari aku, aku usahakan untuk langsung terbang ke Jogja, paham kan maksud aku." Sakti menatap Andi dan Tari secara bergantian. "Iya, Mas ... kita pastikan Mas Sakti lebih dulu yang mendapatkan kabar dari kita." "Akomodasi dan fasilitas kalian selama di sana sudha semua kan di urus oleh Norman?" "Sudah, Mas. Terimakasih," kata Andi. "Jaga adik gue, jangan lo macem-macem in," tegas Sakti p
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah celah tirai berwarna abu-abu yang menutupi jendela kaca kamar kecil milik Gendis. Hari ini hari Minggu, sebenarnya Gendis mempunyai jadwal bahwa setiap dua minggu sekali Gendis akan menyempatkan pulang ke rumah orang tuanya di Gunung Kidul, dan seharusnya minggu ini Gendis akan pulang namun Gendis urungkan niatnya. Gadis itu merasa capek, selama lebih dari dua minggu bekerja dia merasa pekerjaannya selalu membutuhkan tenaga dan pikiran yang ekstra. Gendis meraih gawainya, mengirimkan pesan pada Bayu agar datang ke kost nya siang nanti. Sudah lama rasanya tidak bertemu adik satu-satunya itu. Setelah mendapatkan balasan Ok dari Bayu, Gendis bergerak membereskan kamarnya serta bersiap pergi mengajak Bayu sekedar menikmati waktu libur bersama. "Kamu pesan apa, Bay?" tanya Gendis memberikan daftar menu restoran cepat saji pada Bayu. "Chicken Cordon Blue itu yang kayak gimana, Mbak?" tanya Bayu penasaran. "Haha, mana Mbak tau. Pesen aja,
"Siapa sangka kita bertemu di sini," ujar Sakti tersenyum sinis namun dia tetap mengulurkan tangannya pada Arya. "Iya, siapa sangka," jawab Arya. "Apa kabar?" "Seperti yang kamu lihat, enggak ada yang berubah ...." Arya mengangguk angguk. "Betul tidak ada yang berubah, masih sama ... penuh kharisma." Arya tersenyum kecil. "Seperti itulah ... mungkin kita bisa makan siang bersama?" tanya Sakti. Sepertinya Arya harus bersiap dengan berbagai kemungkinan, alih-alih pertanyaan menjebak Sakti bisa mengacaukan semuanya. "Dengan senang hati, tapi sepertinya kamu harus menunggu beberapa waktu karena ada yang harus saya selesaikan terlebih dahulu." "Silahkan ... aku bisa tunggu kamu di sini, teman lama," ujar Sakti mengangkat satu alisnya. Selama 40 menit Sakti harus menunggu Arya, jika saja ini bukan karena Gendis mungkin sudah dia tinggalkan lelaki yang menjadi rival nya selama ini. "Maaf menunggu," ujar Arya. "Jadi makan siang dimana kita?" Arya mengikuti langkah Sakti keluar dari lo
"Pagi, Pak." Suara bariton lelaki bertubuh tegap memasuki ruangan Satyo Anggara pagi itu. "Pagi, silahkan." Satyo mempersembahkan lelaki itu duduk tepat berada di hadapannya. "Apa yang kamu dapat?" tanya Satyo menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi empuk itu. "Beberapa poto yabg berhasil kami ambil," ujar lelaki tadi memberikan poto Gendis keluar dari tempatnya bekerja dan beberapa lagi aktivitas gadis itu di sekitar kostnya. "Dia bekerja di salah satu hotel ternama, di Jogja sebagai junior akuntansi, baru dua bulan belakangan ini. Sementara orang tuanya tinggal di desa, saya masih menyelidiki dimana mereka tinggal, belum ada informasi tambahan tentang kedua orangtuanya. Dan, ini—" Lelaki itu kembali memberikan tiga lembar poto pada Satyo. "Tari? ngapain dia?" Satyo mengerutkan keningnya, karena setahu Satyo anak angkatnya itu berada di panti asuhan selama libur semester. "Anak angkat Bapak berada di satu hotel yang sama dengan gadis bernama Gendis itu. Hanya saja dari yang
"Han ... Hanna," panggil Satyo saat memasuki kediamannya. Hanna keluar dari kamarnya yang berada di lantai satu, menatap heran pada suaminya. "Bilang ke aku, jujur! Kemana anak angkat kamu itu pergi?!" "Kamu pulang marah-marah terus tiba-tiba nanya kemana Tari pergi, kamu kenapa?" "Jawab aja," ujar Satyo menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang tengah. "Tari pulang ke panti asuhan, dia bilang di sana sedang tidak da tenaga pembantu untuk mengurus adik-adik asuhnya, kenapa sih, ada apa?" Hanna ikut duduk di sebelah suaminya. "Jangan bohong, Han. Aku tau kamu pasti tau kemana Tari pergi, ya kan?" "Apa sih, Mas ... aku nggak ngerti deh." "Tari ke Jogja, iya kan? jawab!" Satyo menatap mata istrinya tajam. Sebenarnya Hanna yang mendukung Tari dan Sakti dalam mencari Gendis. Tujuan Hanna hanya satu, dia ingin Sakti hidup lebih baik lagi. Karena selama melihat Sakti bersama Gendis, anak lelakinya itu terlihat lebih bahagia. Bukan semata-mata di dunia ini hanya Gendis seorang yang bisa me
Lelaki berumur kepala lima itu berjalan menuju ruangan VIP sebuah restoran yang berada di salah satu tempat bermain golf di Ibukota Jakarta. Di dalam ruangan itu sudah menunggu seorang ayah dan anak perempuannya. "Hei, Sat ... silahkan," ujar Billy berdiri dari tempat duduknya, tersenyum sumringah menyambut kedatangan Satyo. "Hai, Om ... apa kabar?" "Baik, May," jawab Satyo lalu duduk di kursi berhadapan dengan bapak dan anak itu. Matanya menatap tajam ke dua orang di hadapannya, bahkan kancing kemeja Maya yang terbuka sampai ke dada itu pun tak luput dari tatapannya. "Gimana, Om? Sakti sudah beberapa minggu belakangan susah sekali di temui, semenjak pertemuan terakhir saat dia resign dari perusahaan, Om." "Anak kamu itu memang luar biasa, Sat. Menurut informasi yang aku dapat, sepak terjangnya patut di acungi jempol, meski klien dia dari pengusaha menengah ke atas tapi aku salut perjuangannya dalam kurun waktu singkat namanya sebagai konsultan bisnis mulai menggema." "Anak itu c
"Sentuh aku, sentuh dimana pun kamu mau, Sayang," bisik Maya merdu di telinga Sakti. Sakti mendorong kasar tubuh Maya ke atas sofa. Matanya menatap sendu lekuk tubuh wanita yang sudah setengah telanjang itu. Senyum memikat Maya memancingnya untuk semakin mendekat. Sakti mengukung tubuh itu, menatapnya dalam dan penuh keliaran. "Kamu mau yang seperti apa?" Sakti berbisik lembut membuat tubuh Maya menegang dan membusungkan dadanya. "Seperti ini?" Tangan Sakti mengitari jahitan kain yang melingkar di bawah perut Maya menutupi bagian sensitifnya. Desah Maya semakin menjadi, tangannya membelai lembut rambut-rambut halus di bagian belakang kepala Sakti. "Come on, Sakti. Jangan ragu-ragu," ucap Maya, satu tangannya sudah mengitari pilinan boxer Sakti. Sensasi itu menjalar di tubuh Maya kala Sakti menempelkan tubuhnya pada wanita itu. Sesuatu yang menegang di bawah sana begitu terasa. "Sakti ...." Maya memberikan tempat leluasa bagi Sakti untuk menciumi leher jenjangnya. "Aku suka cara