Home / Romansa / Jerat Casanova Insaf / 56. Rayuan Candu

Share

56. Rayuan Candu

Author: Chida
last update Last Updated: 2022-06-23 23:19:50
Lelaki berumur kepala lima itu berjalan menuju ruangan VIP sebuah restoran yang berada di salah satu tempat bermain golf di Ibukota Jakarta. Di dalam ruangan itu sudah menunggu seorang ayah dan anak perempuannya.

"Hei, Sat ... silahkan," ujar Billy berdiri dari tempat duduknya, tersenyum sumringah menyambut kedatangan Satyo.

"Hai, Om ... apa kabar?"

"Baik, May," jawab Satyo lalu duduk di kursi berhadapan dengan bapak dan anak itu. Matanya menatap tajam ke dua orang di hadapannya, bahkan kancing kemeja Maya yang terbuka sampai ke dada itu pun tak luput dari tatapannya.

"Gimana, Om? Sakti sudah beberapa minggu belakangan susah sekali di temui, semenjak pertemuan terakhir saat dia resign dari perusahaan, Om."

"Anak kamu itu memang luar biasa, Sat. Menurut informasi yang aku dapat, sepak terjangnya patut di acungi jempol, meski klien dia dari pengusaha menengah ke atas tapi aku salut perjuangannya dalam kurun waktu singkat namanya sebagai konsultan bisnis mulai menggema."

"Anak itu c
Chida

Enjoy reading šŸ˜˜

| 3
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (15)
goodnovel comment avatar
Ismawati Romadon
kol aku takut ya
goodnovel comment avatar
vieta novie
semoga sakti sadar...ga sampe tergoda sama maya...
goodnovel comment avatar
Kus Hendarti
aduuh jangan tergoda sakti kamu kurang kuat imannya, semoga ada malaikat lewat jadi sakti sadar hadeuwwwwww
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 57. Hanya Membantu

    "Sentuh aku, sentuh dimana pun kamu mau, Sayang," bisik Maya merdu di telinga Sakti. Sakti mendorong kasar tubuh Maya ke atas sofa. Matanya menatap sendu lekuk tubuh wanita yang sudah setengah telanjang itu. Senyum memikat Maya memancingnya untuk semakin mendekat. Sakti mengukung tubuh itu, menatapnya dalam dan penuh keliaran. "Kamu mau yang seperti apa?" Sakti berbisik lembut membuat tubuh Maya menegang dan membusungkan dadanya. "Seperti ini?" Tangan Sakti mengitari jahitan kain yang melingkar di bawah perut Maya menutupi bagian sensitifnya. Desah Maya semakin menjadi, tangannya membelai lembut rambut-rambut halus di bagian belakang kepala Sakti. "Come on, Sakti. Jangan ragu-ragu," ucap Maya, satu tangannya sudah mengitari pilinan boxer Sakti. Sensasi itu menjalar di tubuh Maya kala Sakti menempelkan tubuhnya pada wanita itu. Sesuatu yang menegang di bawah sana begitu terasa. "Sakti ...." Maya memberikan tempat leluasa bagi Sakti untuk menciumi leher jenjangnya. "Aku suka cara

    Last Updated : 2022-06-24
  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 58. Masa Lalu Satyo

    Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, lampu di dalamnya pun hanya lampu tidur yang di nyalakan. Sebelum naik ke lantai atas untuk menemui istrinya, Satyo berpapasan dengan Tari di anak tangga. Gadis itu baru saja mengambil piring kotor bekas makan malam Hanna, Satyo duga pasti Hanna menghabiskan waktunya seharian di kamar, karena sejak kemarin wanita yang di nikahinya 30 tahun lalu itu tak mengeluarkan sepatah katapun usai mereka beradu mulut kemarin. "Han," panggil Satyo. Hanna berdiri di ambang pintu kaca menuju balkon kamarnya, menatap langit malam dan udara yang dingin. Baru saja hujan reda membasahi bumi malam itu. "Han." Satyo mengusap pundak Hanna dari belakang. "Udara dingin, ayo masuk," ajak Satyo. "Biarkan sebentar lagi," ujar Hanna singkat. "Aku minta maaf," bisik Satyo lalu memeluk istrinya dari belakang. "Maafkan kekhilafanku, selama ini. Aku terlalu egois, bodohnya aku nggak pernah sadar dengan tingkahku ini meski kamu berulang kali memperingatkannya. Aku minta maaf

    Last Updated : 2022-06-25
  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 59. Sakit Tapi Tak Berdarah

    "Maksud kamu, sekarang kamu udah di Jakarta?" Suara Sakti meninggi saat tahu jika Tari sudah berada di Jakarta selama dua hari. "Ya ampun, Tar. Kok bisa? aku itu minta tolong kamu untuk bantu aku mencari dimana keberadaan Gendis, ini kamu malah pulang." Sakti mengepalkan telapak tangannya kesal. "Tari minta maaf, Mas. Tari diminta pulang oleh bapak, bapak bilang kalo Tari nggak pulang bapak bakal pulangin Tari ke panti asuhan," ujar Tari meremas ujung bajunya padahal dia berada di sambungan telepon tapi tetap saja dia merasa takut pada Sakti. "Terus kamu percaya? kenapa nggak bilang sama aku? Papa memang benar-benar, aku pulang sekarang!" ujar Sakti. "Jangan dulu, Mas. Bapak sama ibu sedang dalam masa tidak baik-baik saja. Mereka sedang tidak banyak bicara semenjak hari itu." Tari pelan-pelan memberitahukan keadaan rumah saat itu. "Mereka bertengkar?" "Aduh ...." Tari merasa bersalah sudah memberitahukan semua pada Sakti. "Bukan bertengkar, Mas. Hanya saling diam," ujar Tari memp

    Last Updated : 2022-06-27
  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 60. Mencoba Melupakan

    Gendis menarik dirinya, merutuki kebodohan yang telah dia lakukan. Gadis itu menunduk dengan wajah merona menahan malu. Apa yang dipikirkannya saat ini, bukannya membantu Ami malah dia sendiri yang jatuh pada kata-kata Arya. "Mas, maaf seharusnya kitaā€”" Gendis masih menahan dada Arya sebagai jarak antara mereka. "Kita bisa kalo kita mencobanya, Dis." Gendis menggeleng, meyakinkan dirinya jika dia hanya terbawa suasana. "Enggak Mas, maaf aku nggak bisa. Harusnya aku nggak sebodoh ini," kata Gendis lalu melihat langit-langit malam di luar kaca mobil. "Hujannya sudah reda, terimakasih sudah mengantarkan aku pulang," ujar Gendis membuka sabuk pengamannya. "Dis, tunggu ...." Arya menahan tangan Gendis. "Aku minta maaf kalo aku lancang, aku minta maaf jika terlalu memaksakan kamu, aku minta maaf karena sudah membuat hubungan kita malah jadi seperti ini, tapi setidaknya terima aku, kita coba untuk menjalaninya dulu. Aku tunggu kamu sampai kamu bisa menerima dan membuka hati kamu untuk ak

    Last Updated : 2022-06-28
  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 61. Bertepuk Sebelah Tangan

    "Selamat pagi." Ami tersenyum di ambang pintu rumah Arya. Matanya sekilas menatap pada Gendis, lalu beralih mengarah pada Arya. "Ami?" Arya beranjak dari tempat duduknya. "Mari, masuk." Lelaki itu mempersilahkan Ami untuk masuk dengan suara yang sedikit canggung. "Aku ganggu ya?" tanya wanita yang mengenakan kemeja oversize berwarna abu tua di padu padankan dengan jeans yang sobek di bagian lututnya. "Oh, nggak. Kebetulan kita sedang sarapan bareng. Duduk, Mi," pinta Arya. "Siapa Mbak?" tanya Bayu berbisik pada Gendis yang melanjutkan merapikan tempat makan mereka. "Teman Mbak eh maksud Mbak, teman Mas Arya," ujar Gendis melirik ke arah Ami. "Oh, cantik ya," kata Bayu pelan. "Suka sama Mas Arya?" tanyanya lagi dan Gendis mengangguk. "Terus Mbak Gendis?" "Ck, Bayu!" Mata Gendis membesar. "Cuci mangkuknya, Mbak mau buatin teh," ujar Gendis melangkah ke dapur. Mata Ami mengamati ke seluruh ruangan, lalu memperhatikan Gendis yang sedang berbincang dengan lelaki yang lebih muda dari

    Last Updated : 2022-06-29
  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 62. Tetap Salah

    "Mbak pinjam motornya ya, Bay." Motor Bayu berhenti di depan rumah Arya setelah mereka menghabiskan waktu mencari kebutuhan yang akan Bayu bawa besok pulang ke Gunung Kidul. "Bawa aja Mbak, nanti Bayu yang bilang sama Mas Arya kalo motor di bawa Mbak Gendis." "Kalo gitu Mbak langsung pulang aja ya, udah malem. Mas Arya juga belum pulang sepertinya." Gendis menyalakan mesin motor matic berwarna hitam itu. "Iya, hati-hati Mbak." "Sampaikan salam Mbak buat bapak sama ibu, mudah-mudahan minggu depan Mbak pulang," ujar Gendis menutup kaca helm-nya. "Iya, hati-hati Mbak," seru Bayu melepas kepergian sang kakak. ***** Pagi itu Gendis agak telat sampai ke kantornya. Kira-kira 15 menit dia terlambat karena motor Bayu yang tiba-tiba pecah ban. "Selamat pagi," sapa Gendis pada teman satu ruangannya. "Pagi Gendis." Bowo Manager keuangan yang membawahi Gendis keluar dari ruangannya. "Pagi, Pak Bowo." "Gendis kamu hari ini ikut meeting ya, bawa laporan bulanan dan laporan pajak sekalian.

    Last Updated : 2022-06-30
  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 63. Menemukanmu

    Tepat pukul 11 lebih sedikit, Sakti tiba di Bandar Udara Internasional Yogyakarta. Lelaki dengan setelan celana panjang chinos berwarna biru tua dan kemeja slim fit berwarna putih menaiki mobil yang sudah Norman sediakan untuk menjemputnya di bandara. "Kita langsung ke hotel atau langsung ke tempat yang Bapak ingin datangi?" tanya supir itu. "Kita langsung ke Gunung Kidul saja," ujar Sakti. "Baik, Pak." Perjalanan tiga jam lebih akhirnya membawa Sakti ke kabupaten yang terletak di atas bukit itu. Sepanjang perjalanan Sakti di suguhi pemandangan alam yang indah. "Kita sudah sampai di desanya, Pak." "Oh begitu, kalo kita ke kantor kelurahannya kira-kira jam segini masih buka tidak ya?" Sakti melirik jam tangannya, sudah pukul setengah dua siang. "Kita coba saja, Pak." Supir itu lalu mengarahkan perjalanan mereka ke kantor kelurahan. "Sepi, Mas," ujar Sakti. "Coba saya tanya dulu, Pak." Supir pun keluar dari mobil dan bertanya pada penjaga warung yang tidak jauh dari tempat merek

    Last Updated : 2022-06-30
  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 64. Mogok

    "Maaf, Mbak," ujar Sakti pada gadis resepsionis tadi. "Iya Bapak, ada yang bisa kami bantu?" "Iya," jawab Sakti lantang. "Mbak tau gadis tadi, yang berbicara dengan lelaki dengan kemeja marun tadi?" "Oh, Mbak Gendis. Dia staf keuangan di sini," jawab resepsionis itu. "Tau rumahnya? Mm ... maksud saya, tau alamat dia tinggal?" "Bapak kenal?" Resepsionis balik bertanya. "Apakah harus saya jawab?" Sakti mengeluarkan beberapa uang seratus ribu dari dalam dompetnya. "Tip buat kamu, kalo kamu kasih saya info lebih detail," ujar Sakti membelakangi kamera cctv. "Gimana, Rita?" Sakti mendapati nama resepsionis pada name tag di dada gadis itu. Rita menelan ludahnya kasar, melihat ke kiri dan kanan, dia berusaha sedikit menjauh dari sisi partnership nya. "Saya nggak tau dimana alamat rumah atau kost nya, tapi kalo Bapak mau menunggu biasanya sebentar lagi staf kantor pasti pulang," ujar Rita melirik jam tangannya. "Dimana kantornya?" "Bapak tunggu di luar sebelah parkir samping, nanti a

    Last Updated : 2022-07-01

Latest chapter

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā Extra Part

    Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 117. Anugerah Itu Datang Kembali (TAMAT)

    Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 116. Porsi Bahagia

    Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 115. Mahendra Abimanyu

    Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 114. Semua Panik

    Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 113. Kecemasan Sakti

    Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 112. Arya dan Ami

    Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 111. Nengokin Anak

    Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w

  • Jerat Casanova InsafĀ Ā Ā 110. Rujak Serut

    Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status