Share

62. Tetap Salah

Penulis: Chida
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-30 17:23:50
"Mbak pinjam motornya ya, Bay." Motor Bayu berhenti di depan rumah Arya setelah mereka menghabiskan waktu mencari kebutuhan yang akan Bayu bawa besok pulang ke Gunung Kidul.

"Bawa aja Mbak, nanti Bayu yang bilang sama Mas Arya kalo motor di bawa Mbak Gendis."

"Kalo gitu Mbak langsung pulang aja ya, udah malem. Mas Arya juga belum pulang sepertinya." Gendis menyalakan mesin motor matic berwarna hitam itu.

"Iya, hati-hati Mbak."

"Sampaikan salam Mbak buat bapak sama ibu, mudah-mudahan minggu depan Mbak pulang," ujar Gendis menutup kaca helm-nya.

"Iya, hati-hati Mbak," seru Bayu melepas kepergian sang kakak.

*****

Pagi itu Gendis agak telat sampai ke kantornya. Kira-kira 15 menit dia terlambat karena motor Bayu yang tiba-tiba pecah ban.

"Selamat pagi," sapa Gendis pada teman satu ruangannya.

"Pagi Gendis." Bowo Manager keuangan yang membawahi Gendis keluar dari ruangannya.

"Pagi, Pak Bowo."

"Gendis kamu hari ini ikut meeting ya, bawa laporan bulanan dan laporan pajak sekalian.
Chida

Enjoy reading 😘

| 3
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (10)
goodnovel comment avatar
Yanti Aching
moga cpt ketemu ya mas sakti.. rindu itu berat kata dilan.. pasti mas sakti jg setuju ...
goodnovel comment avatar
Siti Kotijah
semoga bertemu sekian lama disaat gendis lagi kecewa dgn diriny kamu DTG mas sakti ayoo bisa yukk
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
semoga menginap di hotel tempat gendis kerja...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Jerat Casanova Insaf   63. Menemukanmu

    Tepat pukul 11 lebih sedikit, Sakti tiba di Bandar Udara Internasional Yogyakarta. Lelaki dengan setelan celana panjang chinos berwarna biru tua dan kemeja slim fit berwarna putih menaiki mobil yang sudah Norman sediakan untuk menjemputnya di bandara. "Kita langsung ke hotel atau langsung ke tempat yang Bapak ingin datangi?" tanya supir itu. "Kita langsung ke Gunung Kidul saja," ujar Sakti. "Baik, Pak." Perjalanan tiga jam lebih akhirnya membawa Sakti ke kabupaten yang terletak di atas bukit itu. Sepanjang perjalanan Sakti di suguhi pemandangan alam yang indah. "Kita sudah sampai di desanya, Pak." "Oh begitu, kalo kita ke kantor kelurahannya kira-kira jam segini masih buka tidak ya?" Sakti melirik jam tangannya, sudah pukul setengah dua siang. "Kita coba saja, Pak." Supir itu lalu mengarahkan perjalanan mereka ke kantor kelurahan. "Sepi, Mas," ujar Sakti. "Coba saya tanya dulu, Pak." Supir pun keluar dari mobil dan bertanya pada penjaga warung yang tidak jauh dari tempat merek

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Jerat Casanova Insaf   64. Mogok

    "Maaf, Mbak," ujar Sakti pada gadis resepsionis tadi. "Iya Bapak, ada yang bisa kami bantu?" "Iya," jawab Sakti lantang. "Mbak tau gadis tadi, yang berbicara dengan lelaki dengan kemeja marun tadi?" "Oh, Mbak Gendis. Dia staf keuangan di sini," jawab resepsionis itu. "Tau rumahnya? Mm ... maksud saya, tau alamat dia tinggal?" "Bapak kenal?" Resepsionis balik bertanya. "Apakah harus saya jawab?" Sakti mengeluarkan beberapa uang seratus ribu dari dalam dompetnya. "Tip buat kamu, kalo kamu kasih saya info lebih detail," ujar Sakti membelakangi kamera cctv. "Gimana, Rita?" Sakti mendapati nama resepsionis pada name tag di dada gadis itu. Rita menelan ludahnya kasar, melihat ke kiri dan kanan, dia berusaha sedikit menjauh dari sisi partnership nya. "Saya nggak tau dimana alamat rumah atau kost nya, tapi kalo Bapak mau menunggu biasanya sebentar lagi staf kantor pasti pulang," ujar Rita melirik jam tangannya. "Dimana kantornya?" "Bapak tunggu di luar sebelah parkir samping, nanti a

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • Jerat Casanova Insaf   65. Aku Kangen

    Suara yang sudah lama sekali tidak pernah dia dengar itu berhasil membuatnya menoleh ke belakang. Tubuh jangkung lelaki yang berada di hadapannya itu membuat matanya terbelalak. Mimpi apa Gendis berhadapan lagi dengan lelaki yang selama ini dia rindukan. Bahkan harum tubuh itu masih sangat hapal di penciumannya. Ya ini nyata, nyata sekali ... Sakti berdiri di hadapannya, tersenyum dengan rambut-rambut halus yang menghiasi rahang tegas lelaki itu. "Motor kalo udah rusak jangan di pake lagi, kan bikin susah diri sendiri," ujar Sakti. Sakti berusaha menutupi rasa bahagianya melihat kembali wajah gadis kesayangannya itu. Sakti berusaha menahan dirinya untuk tidak memeluk Gendis saat itu juga, dia berusaha terlihat biasa saja. Dia ingin membuat Gendis terkesima dengan kehadirannya di sana. "Aku coba hidupin manual dulu," kata Sakti tanpa menatap mata Gendis yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Beberapa kali Sakti mencoba menghidupkan motor itu secara manual, hing

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • Jerat Casanova Insaf   66. Kerinduan

    'Aku kangen," bisik Sakti lembut. Hembusan napas lelaki itu begitu lembut menerpa wajah Gendis. Mata yang bersitatap seakan mencari ruang rindu yang sudah lama tak saling mengunjungi. Sakti mengusap pipi itu dengan begitu lembut, bahkan jari jemarinya dia biarkan menyentuh bibir yang sudah lama tak dia sesap itu. Gendis menunduk, dia menolak saat Sakti hampir mendekati wajahnya. "Sebaiknya kamu pulang, ini sudah terlalu malam untuk lelaki berkunjung ke kost-an," kata Gendis menyingkirkan tangan Sakti dari lengannya. "Kalo gitu kita pulang ke hotel," ujar Sakti. "Masih banyak yang harus kita bicarakan, Gendis." "Sudah nggak ada yang harus kita bicarakan, semua sudah selesai," ujar Gendis membelakangi Sakti. "Selesai? bahkan kita belum memulainya," ujar Sakti. "Pulanglah," ujar Gendis. "Aku nggak akan pulang." Kali ini Sakti berbaring di tempat tidur berukuran single itu. "Aku tetap di sini, sampai kamu bilang kenapa kita selesai," ujarnya melipat kedua tangannya. "Tolong ngerti

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Jerat Casanova Insaf   67. Semalam Bersamamu

    "Kangen, ya?" "Banget," jawab Gendis menangis rindu. "Siapa suruh kabur," kekeh Sakti. "Nyebelin," cebik Gendis merajuk. "Aku lebih kangen kamu, Gendis. Setiap menit waktuku habis untuk mencari dan memikirkan kamu." Sakti merapikan rambut-rambut halus Gendis, menyematkan helaian rambut kekasihnya itu dibalik telinga lalu mencium pipi Gendis, rahang Gendis, lalu turun menyusuri leher jenjang kekasihnya itu. Gendis menutup matanya menikmati setiap sentuhan Gendis melenguh saat tangan Sakti meremas lembut dadanya. Gadis itu membuka matanya memandangi wajah Sakti dengan segala pesonanya. Gendis menyusuri wajah itu dengan jemari tangannya, mengusap bibir Sakti lalu jemarinya berhenti tepat di tengah-tengah bibir itu. Sakti mengecupi setiap jari jemari Gendis, merasai sentuhan gadis yang benar-benar dia cintai. Sorot mata yang sudah terlihat sendu turun tertuju pada tangan yang meremas lembut dada Gendis, membuka satu demi satu kancing kemeja Gendis. Dan saat kemeja itu mulai tersib

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Jerat Casanova Insaf   68. Maafku Setulus Hati

    Daun pintu berwarna putih itu perlahan terbuka, Arya berdiri membelakanginya. "Mas Arya," sapa Gendis. Lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih itu pun membalikkan tubuhnya. "Kamu udah siap? tadi aku di hubungi Bayu, kita harus—" "Kita berangkat sekarang," ujar Sakti keluar dari kamar membawa ransel milik Gendis. Arya tercekat, matanya menatap bergantian antara Gendis dan Sakti. Lelaki yang selama ini menjadi saingannya mendapatkan hari Gendis berada tepat di depannya. "Gendis," ucap Sakti sambil meraih tangan Gendis. "Kita berangkat sekarang, Pak Slamet sebentar lagi sampai," kata Sakti lagi. "Gendis biar pulang sama aku," kata Arya. "Bayu meminta aku yang menjemput Gendis," ujar Arya tak mau kalah. "Tidak usah berdebat, Gendis harus segera tiba di sana. Kalo kamu mau, kita bisa pakai satu mobil," ujar Sakti semakin mengeratkan genggamannya. "Sebaiknya kita sama-sama kesana, Mas. Ini juga sudah malam dan hujan," ujar Gendis. Arya terdiam, suasana hatinya sudah tidak lagi b

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-04
  • Jerat Casanova Insaf   69. Case Close

    Gendis tertidur di pangkuan Sakti, sepasang kekasih ini semalaman menunggu di ruang tunggu pasien. Pemandangan seperti ini tak luput dari perhatian Arya, meski hatinya perih namun dia mencoba untuk menghadapi kenyataan. "Sakti." Arya membangunkan Sakti perlahan. Lelaki berjambang itu perlahan membuka matanya. Masih dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, Sakti memicingkan matanya. "Jam berapa ini?" tanya Sakti pada Arya, lalu dia mengusap lembut kening Gendis yang masih tertidur di pangkuannya. "Setengah tujuh," ujar Arya. "Kopi." Arya menyodorkan satu cangkir plastik berisi kopi hitam. "Makasih," ucap Sakti. "Bapak sudah sadar?" "Belum, sepertinya masih dalam pengaruh obat," kata Arya yang mengambil posisi duduk di samping Sakti. "Oh, semoga secepatnya kembali pulih," ujar Sakti diikuti anggukan kepala Arya. "Capek banget kayaknya," ujar Arya menatap Gendis yang masih terpejam. "Iya, karena kemarin sore juga Gendis dorong motor karena mogok." Sakti tersenyum kecil

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-05
  • Jerat Casanova Insaf   70. Kesempatan Kedua

    Ketukan di pintu memaksa tiga orang di ruangan yang beraroma obat-obatan itu harus menoleh ke arah suara. "Selamat pagi," sapa Sakti. "Pagi," jawab Wati. Sementara Bayu berpura-pura tidak melihat lelaki berwajah tampan itu. "Bagaimana keadaan Bapak, Bu?" tanya Sakti yang langsung menundukkan kepalanya hormat pada lelaki paruh baya yang masih terbaring lemah di ranjang itu. "Masih lemas, 15 menit yang lalu Bapak sudah bangun. Minta air putih, ini mau ibu coba suapkan bubur sedikit-sedikit," kata Wati. "Gendis dimana?" "Bersama Arya di ruang tunggu," jawab Sakti. "Apa yang di rasa, Pak?" tanya Sakti mendekat ke sisi tempat tidur. Lelaki berumur kepala lima itu hanya diam, menatap Sakti hanya sekilas. Sakti tahu betul, rasa hati lelaki itu belum sepenuhnya baik mengingat perlakuan Satyo tempo hari. "Biarkan Bapak istirahat dulu, dokter bilang nggak boleh mikir yang berat-berat," ujar Bayu dengan nada sinis. "Baik kalo begitu. Ibu, kita bisa bicara berdua?" pinta Sakti. Seakan me

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-05

Bab terbaru

  • Jerat Casanova Insaf   Extra Part

    Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S

  • Jerat Casanova Insaf   117. Anugerah Itu Datang Kembali (TAMAT)

    Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n

  • Jerat Casanova Insaf   116. Porsi Bahagia

    Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja

  • Jerat Casanova Insaf   115. Mahendra Abimanyu

    Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya

  • Jerat Casanova Insaf   114. Semua Panik

    Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua

  • Jerat Casanova Insaf   113. Kecemasan Sakti

    Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a

  • Jerat Casanova Insaf   112. Arya dan Ami

    Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin

  • Jerat Casanova Insaf   111. Nengokin Anak

    Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w

  • Jerat Casanova Insaf   110. Rujak Serut

    Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status