Share

66. Kerinduan

Author: Chida
last update Last Updated: 2022-07-03 18:00:06
'Aku kangen," bisik Sakti lembut.

Hembusan napas lelaki itu begitu lembut menerpa wajah Gendis. Mata yang bersitatap seakan mencari ruang rindu yang sudah lama tak saling mengunjungi.

Sakti mengusap pipi itu dengan begitu lembut, bahkan jari jemarinya dia biarkan menyentuh bibir yang sudah lama tak dia sesap itu. Gendis menunduk, dia menolak saat Sakti hampir mendekati wajahnya.

"Sebaiknya kamu pulang, ini sudah terlalu malam untuk lelaki berkunjung ke kost-an," kata Gendis menyingkirkan tangan Sakti dari lengannya.

"Kalo gitu kita pulang ke hotel," ujar Sakti. "Masih banyak yang harus kita bicarakan, Gendis."

"Sudah nggak ada yang harus kita bicarakan, semua sudah selesai," ujar Gendis membelakangi Sakti.

"Selesai? bahkan kita belum memulainya," ujar Sakti.

"Pulanglah," ujar Gendis.

"Aku nggak akan pulang." Kali ini Sakti berbaring di tempat tidur berukuran single itu. "Aku tetap di sini, sampai kamu bilang kenapa kita selesai," ujarnya melipat kedua tangannya.

"Tolong ngerti
Chida

Enjoy reading 😘

| 4
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App
Comments (12)
goodnovel comment avatar
Indarini Rini
kangen huhuhuhu...... sdh pernah merasakan kangen yg peserta gendhis rasakan, nyesek thor
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
wihhh yang lagi kangen - kangenan...
goodnovel comment avatar
Siti Kotijah
si sweet aku juga kangen ayang mau dikecup2 mesra
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Jerat Casanova Insaf   67. Semalam Bersamamu

    "Kangen, ya?" "Banget," jawab Gendis menangis rindu. "Siapa suruh kabur," kekeh Sakti. "Nyebelin," cebik Gendis merajuk. "Aku lebih kangen kamu, Gendis. Setiap menit waktuku habis untuk mencari dan memikirkan kamu." Sakti merapikan rambut-rambut halus Gendis, menyematkan helaian rambut kekasihnya itu dibalik telinga lalu mencium pipi Gendis, rahang Gendis, lalu turun menyusuri leher jenjang kekasihnya itu. Gendis menutup matanya menikmati setiap sentuhan Gendis melenguh saat tangan Sakti meremas lembut dadanya. Gadis itu membuka matanya memandangi wajah Sakti dengan segala pesonanya. Gendis menyusuri wajah itu dengan jemari tangannya, mengusap bibir Sakti lalu jemarinya berhenti tepat di tengah-tengah bibir itu. Sakti mengecupi setiap jari jemari Gendis, merasai sentuhan gadis yang benar-benar dia cintai. Sorot mata yang sudah terlihat sendu turun tertuju pada tangan yang meremas lembut dada Gendis, membuka satu demi satu kancing kemeja Gendis. Dan saat kemeja itu mulai tersib

    Last Updated : 2022-07-03
  • Jerat Casanova Insaf   68. Maafku Setulus Hati

    Daun pintu berwarna putih itu perlahan terbuka, Arya berdiri membelakanginya. "Mas Arya," sapa Gendis. Lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih itu pun membalikkan tubuhnya. "Kamu udah siap? tadi aku di hubungi Bayu, kita harus—" "Kita berangkat sekarang," ujar Sakti keluar dari kamar membawa ransel milik Gendis. Arya tercekat, matanya menatap bergantian antara Gendis dan Sakti. Lelaki yang selama ini menjadi saingannya mendapatkan hari Gendis berada tepat di depannya. "Gendis," ucap Sakti sambil meraih tangan Gendis. "Kita berangkat sekarang, Pak Slamet sebentar lagi sampai," kata Sakti lagi. "Gendis biar pulang sama aku," kata Arya. "Bayu meminta aku yang menjemput Gendis," ujar Arya tak mau kalah. "Tidak usah berdebat, Gendis harus segera tiba di sana. Kalo kamu mau, kita bisa pakai satu mobil," ujar Sakti semakin mengeratkan genggamannya. "Sebaiknya kita sama-sama kesana, Mas. Ini juga sudah malam dan hujan," ujar Gendis. Arya terdiam, suasana hatinya sudah tidak lagi b

    Last Updated : 2022-07-04
  • Jerat Casanova Insaf   69. Case Close

    Gendis tertidur di pangkuan Sakti, sepasang kekasih ini semalaman menunggu di ruang tunggu pasien. Pemandangan seperti ini tak luput dari perhatian Arya, meski hatinya perih namun dia mencoba untuk menghadapi kenyataan. "Sakti." Arya membangunkan Sakti perlahan. Lelaki berjambang itu perlahan membuka matanya. Masih dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, Sakti memicingkan matanya. "Jam berapa ini?" tanya Sakti pada Arya, lalu dia mengusap lembut kening Gendis yang masih tertidur di pangkuannya. "Setengah tujuh," ujar Arya. "Kopi." Arya menyodorkan satu cangkir plastik berisi kopi hitam. "Makasih," ucap Sakti. "Bapak sudah sadar?" "Belum, sepertinya masih dalam pengaruh obat," kata Arya yang mengambil posisi duduk di samping Sakti. "Oh, semoga secepatnya kembali pulih," ujar Sakti diikuti anggukan kepala Arya. "Capek banget kayaknya," ujar Arya menatap Gendis yang masih terpejam. "Iya, karena kemarin sore juga Gendis dorong motor karena mogok." Sakti tersenyum kecil

    Last Updated : 2022-07-05
  • Jerat Casanova Insaf   70. Kesempatan Kedua

    Ketukan di pintu memaksa tiga orang di ruangan yang beraroma obat-obatan itu harus menoleh ke arah suara. "Selamat pagi," sapa Sakti. "Pagi," jawab Wati. Sementara Bayu berpura-pura tidak melihat lelaki berwajah tampan itu. "Bagaimana keadaan Bapak, Bu?" tanya Sakti yang langsung menundukkan kepalanya hormat pada lelaki paruh baya yang masih terbaring lemah di ranjang itu. "Masih lemas, 15 menit yang lalu Bapak sudah bangun. Minta air putih, ini mau ibu coba suapkan bubur sedikit-sedikit," kata Wati. "Gendis dimana?" "Bersama Arya di ruang tunggu," jawab Sakti. "Apa yang di rasa, Pak?" tanya Sakti mendekat ke sisi tempat tidur. Lelaki berumur kepala lima itu hanya diam, menatap Sakti hanya sekilas. Sakti tahu betul, rasa hati lelaki itu belum sepenuhnya baik mengingat perlakuan Satyo tempo hari. "Biarkan Bapak istirahat dulu, dokter bilang nggak boleh mikir yang berat-berat," ujar Bayu dengan nada sinis. "Baik kalo begitu. Ibu, kita bisa bicara berdua?" pinta Sakti. Seakan me

    Last Updated : 2022-07-05
  • Jerat Casanova Insaf   71. Saya Serius

    "Mbak," panggil Bayu. Lelaki yang baru beranjak dewasa itu menemukan Sakti dan Gendis di sudut koridor rumah sakit. "Bayu." "Mbak dicari bapak," ujar Bayu. "Bapak sudah bangun?" "Sudah. Kata bapak, bapak mau ngomong sama Mbak," ujar Bayu melirik Sakti. "Kalo gitu aku masuk dulu, ya," ujar Gendis melepaskan genggaman tangan Sakti dan melangkah cepat. "Bapak," panggil Gendis yang tiba di ambang pintu. Hendro tersenyum ringkih, wajahnya masih nampak lemah. Tubuhnya belum sepenuhnya normal, tapi sebisa mungkin dia tidak ingin membuat Gendis terlalu khawatir. "Kamu jadi nggak kerja," lirih Hendro. "Enggak apa-apa, Gendis sudah izin. Bapak gimana? udah enakan?" "Masih nyeri sedikit," kata Hendro pelan. "Bapak jadi nggak enak, Nak Arya juga jadi libur kerja." Hendro tersenyum pada Arya yang berdiri di ujung tempat tidur. "Bapak nggak usah terlalu banyak berpikir," ujar Arya. Hendro mengangguk, lalu matanya mencari-cari sesuatu. "Bapak cari siapa?" tanya Gendis. "Nak Sakti pula

    Last Updated : 2022-07-06
  • Jerat Casanova Insaf   72. Rencana

    Wati sudah menunggu di meja makan malam itu. Setengah jam yang lalu Sakti dan Gendis baru saja tiba dari rumah sakit bergantian gan Arya. Arya menepati janjinya untuk menjaga Pak Hendro bersama Bayu. "Dis, ajak Nak Sakti makan dulu," panggil Wati. "Iya, Bu. Sebentar." Gendis muncul dari dalam kamar membawakan beberapa baju dan handuk untuk Sakti yang masih di dalam kamar mandi. "Dia mandi atau berendam sih?" tanya Wati. "Berendam kayaknya, Bu." Gendis tertawa, sudah lebih dari 15 menit Sakti berada di dalam kamar mandi rumah Gendis yang berada di ruang belakang. Jarak kamar mandi dengan rumah itu terpisah sekitar 10 meter lebih. Kamar mandi yang terbagi menjadi dua itu jelas membuat Sakti bingung saat pertama kali melihatnya. "Kenapa kamar mandi nya ada dua? Sebelahan lagi," tanya Sakti bingung. "Yang ini untuk mandi, yang sebelah situ buat buang air besar," jelas Gendis. "Ribet bener tukangnya kasih pembatas ya," kekeh Sakti. "Berisik buruan mandi, biar gantian," ujar Gendis

    Last Updated : 2022-07-06
  • Jerat Casanova Insaf   73. Sapi dan Kambing

    "Gimana, Man? Beres?" tanya Sakti pada Norman asistennya. "Mereka sudah ok, Pak. Projek ini akan kita mulai minggu depan. Tapi itu artinya staf kita akan memantau di sini selama seminggu ke depan," jawab Norman di seberang sana. "Bagus, kamu urus saja semua keperluannya. Saya kembali ke Jogja kemungkinan lusa, nanti kita sama-sama bertemu lagi dengan mereka. Saya urus dulu masalah pribadi saya dulu di sini." "Baik, Pak." Sakti mengakhiri sambungan telepon itu. Ini adalah hari kedua Sakti berada di Gunung Kidul. Hendro sudah mulai terlihat membaik, hasil pemeriksaan pagi tadi, dokter mengatakan jika tidak ada lagi yang serius lusa Hendro bisa pulang ke rumah. "Sibuk, ya? Harusnya kamu bertemu klien, malahan ikut-ikutan tinggal di sini." Gendis sudah berdiri di belakang tubuh Sakti. "Udah beres kok, kan ada Norman. Urusan perusahaan kalo sudah dia yang handle aku udah tenang, anak itu cepat belajar," ujar Sakti. "Bapak sudah makan?" "Baru selesai, lagi ngobrol sama ibu dan Mas Ar

    Last Updated : 2022-07-07
  • Jerat Casanova Insaf   74. Gagal Lagi

    Hendro terkejut ketika melihat poto yang diperlihatkan oleh Gendis malam itu. Kandang ternaknya sudah terisi kembali, Sakti juga membayar orang untuk menjaga dan merawat hewan-hewan itu. "Ya ampun, Bapak terimakasih sekali, Nak Sakti," ujar Hendro. "Sudah kewajiban saya, Pak. Jadi sekarang Bapak nggak usah mikir apa-apa lagi. Keluar dari rumah sakit Bapak sudah bisa beraktivitas kembali, tapi ... dokter tadi bilang Bapak belum boleh mencari rumput di ladang untuk makan sapi dan kambing." "Lalu gimana hewan-hewan itu makan kalo Bapak nggak nyari rumput," ujar Hendro. "Sudah ada yang mengerjakan, Pak. Bapak hanya memantau saja, nggak usah susah-susah lagi," kata Gendis tersenyum lalu merangkul Wati yang berdiri di sebelahnya. "Aduh, Bapak udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi ini, Bu. Anakmu ini memang selalu penuh kejutan." Mata Hendro berkaca-kaca. "Makasih, Nak Sakti," ucapnya lagi. "Sama-sama, Pak. Selagi masih di sini, rencana saya besok akan kembali ke Jogja. Gendis juga kemba

    Last Updated : 2022-07-07

Latest chapter

  • Jerat Casanova Insaf   Extra Part

    Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S

  • Jerat Casanova Insaf   117. Anugerah Itu Datang Kembali (TAMAT)

    Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n

  • Jerat Casanova Insaf   116. Porsi Bahagia

    Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja

  • Jerat Casanova Insaf   115. Mahendra Abimanyu

    Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya

  • Jerat Casanova Insaf   114. Semua Panik

    Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua

  • Jerat Casanova Insaf   113. Kecemasan Sakti

    Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a

  • Jerat Casanova Insaf   112. Arya dan Ami

    Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin

  • Jerat Casanova Insaf   111. Nengokin Anak

    Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w

  • Jerat Casanova Insaf   110. Rujak Serut

    Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status