Enjoy reading 😘
"Gimana, Man? Beres?" tanya Sakti pada Norman asistennya. "Mereka sudah ok, Pak. Projek ini akan kita mulai minggu depan. Tapi itu artinya staf kita akan memantau di sini selama seminggu ke depan," jawab Norman di seberang sana. "Bagus, kamu urus saja semua keperluannya. Saya kembali ke Jogja kemungkinan lusa, nanti kita sama-sama bertemu lagi dengan mereka. Saya urus dulu masalah pribadi saya dulu di sini." "Baik, Pak." Sakti mengakhiri sambungan telepon itu. Ini adalah hari kedua Sakti berada di Gunung Kidul. Hendro sudah mulai terlihat membaik, hasil pemeriksaan pagi tadi, dokter mengatakan jika tidak ada lagi yang serius lusa Hendro bisa pulang ke rumah. "Sibuk, ya? Harusnya kamu bertemu klien, malahan ikut-ikutan tinggal di sini." Gendis sudah berdiri di belakang tubuh Sakti. "Udah beres kok, kan ada Norman. Urusan perusahaan kalo sudah dia yang handle aku udah tenang, anak itu cepat belajar," ujar Sakti. "Bapak sudah makan?" "Baru selesai, lagi ngobrol sama ibu dan Mas Ar
Hendro terkejut ketika melihat poto yang diperlihatkan oleh Gendis malam itu. Kandang ternaknya sudah terisi kembali, Sakti juga membayar orang untuk menjaga dan merawat hewan-hewan itu. "Ya ampun, Bapak terimakasih sekali, Nak Sakti," ujar Hendro. "Sudah kewajiban saya, Pak. Jadi sekarang Bapak nggak usah mikir apa-apa lagi. Keluar dari rumah sakit Bapak sudah bisa beraktivitas kembali, tapi ... dokter tadi bilang Bapak belum boleh mencari rumput di ladang untuk makan sapi dan kambing." "Lalu gimana hewan-hewan itu makan kalo Bapak nggak nyari rumput," ujar Hendro. "Sudah ada yang mengerjakan, Pak. Bapak hanya memantau saja, nggak usah susah-susah lagi," kata Gendis tersenyum lalu merangkul Wati yang berdiri di sebelahnya. "Aduh, Bapak udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi ini, Bu. Anakmu ini memang selalu penuh kejutan." Mata Hendro berkaca-kaca. "Makasih, Nak Sakti," ucapnya lagi. "Sama-sama, Pak. Selagi masih di sini, rencana saya besok akan kembali ke Jogja. Gendis juga kemba
"Pagi," sapa Gendis pada beberapa teman satu ruangannya. "Pagi, Dis." Bowo berjalann di belakang Gendis. "Eh, Pak Bowo. Maaf," ucap Gendis sambil tersenyum. "Diantar siapa, Dis?" tanya lelaki itu. 'Oh itu—" "Bapak kamu gimana? Sudah baikan?" tanya Bowo lagi. "Sudah, Pak. Sudah sehat." Gendis menarik kursi kerjanya. "Ok, selamat bekerja, semua." Bowo memasuki ruangannya. Gendis menggulir layar gawainya, ada beberapa pesan masuk diantaranya Arya dan Sakti. Pesan dari Arya menanyakan apakah Gendis sudah sampai dan mulai bekerja. Sedangkan pesan masuk dari Sakti, Sakti meminta Gendis untuk menemuinya di kamar hotel saat jam makan siang. "Dasar." Gendis menarik sudut bibirnya, dia membalas pesan itu pada Sakti. Saat jam makan siang, Gendis melintas melewati ruangan Ami. Gendis hanya melihat sekilas ke dalam ruangan gadis itu. Tatapan mereka beradu, Gendis mencoba melemparkan senyum pada Ami. Bukan membalas senyum Gendis, gadis itu memalingkan wajahnya ke tempat lain. Gendis hanya
Matahari pagi bersinar cerah, halaman kecil itu terlihat begitu indah dengan hamparan rumput hijau dan tanaman yang menghiasi. Siraman pagi itu belum juga kering ketika langkah kaki wanita itu memasuki pekarangan rumah. "Pagi." Sapaan Ami membuat Arya menoleh. "Hei, pagi," jawab Arya. Matanya mengedar ke belakang. "Sama siapa?" tanya Arya. "Sendirian. Ini, aku bawain sarapan buat kamu." Ami memberikan bingkisan berwarna putih itu pada Arya. "Motornya masih mogok?" "Oh, nggak. Sudah di servis kemarin di bengkel, sempat mogok saat Gendis pake. Tapi ini udah oke kok." Arya membersihkan tangannya lalu mengambil bingkisan yang Ami berikan. "Kamu repot-repot, masuk yuk." Untuk seorang laki-laki yang tinggal sendiri dan tanpa ada orang lain yang membantu membersihkan rumahnya, rumah ini selalu saja rapi dan bersih. "Sarapan bareng, Mi," seru Arya dari ruang makan. Ami melangkah mendekati Arya yang sedang membuka bungkus lontong sayur itu. "Satu buat kamu, satu buat aku. Kamu mau kopi
"Ma," panggil Sakti. Pelan dia membuka pintu kamar Hanna, wanita yang melahirkannya itu terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. "Ma," ucap Sakti lagi, namun Hanna masih belum menjawab. "Mama sakit sudah dua hari ini." Suara Tari membuat Sakti menoleh. Gadis itu membawakan bubur dan juga teh hangat untuk Hanna. Belakangan ini, Tari memutuskan untuk memanggil Hanna dengan sebutan mama dan bukan ibu lagi. "Sakit apa?" Sakti duduk di sisi tempat tidur. "Mama bilang nggak enak badan. Ma ... bangun yuk, makan dulu." "Papa?" tanya Sakti pada Tari. "Papa seminggu terakhir sibuk mengurus pembatalan penanaman modal di perusahaan— siapa Mas, itu yang kemarin mau di jodohkan sama Mas Sakti." "Oh, ya sudah nanti kita ngobrol lagi. Ma, bangun dulu." Sakti menggerakkan lengan Hanna dan berhasil membuat wanita paruh baya itu membuka matanya. "Kamu udah pulang," lirih Hanna. "Kapan? gimana Jogja?" Hanna pelan menggerakkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya di sand
Jakarta dengan kemacetannya pagi itu, membawa Sakti mengarahkan laju mobilnya menuju kantor pusat milik Satyo Anggara. Pembicaraannya dengan Hanna kemarin membuatnya berpikir siapa lagi yang akan berpihak pada Satyo kalau bukan dia. Hanya untuk kepentingan perusahaan, ini juga demi Hanna. Beberapa pasang mata memandangnya dengan tatapan intimidasi, sebagian lagi seperti merasa lega akan kehadiran Sakti. Setidaknya Sakti hadir untuk membantu Satyo dalam melawan Billy yang mengajukan gugatan pencemaran nama baik dan penipuan. "Pagi, Pa." Sakti memasuki ruangan itu. Satyo mengangkat wajahnya, ada semburat senyum menghiasi wajahnya pagi itu. Satyo yakin jika Sakti cepat atau lambat akan menemuinya. "Kapan pulang?" tanya Satyo. "Kemarin lusa," jawab Sakti lalu melangkah dan menempati sofa ruangan itu. "Mama nggak cerita?" "Papa pulang mama kamu sudah tidur, tadi pagi-pagi sekali Papa juga sudah berangkat," ujar Satyo beranjak dari tempat duduknya menghampiri Sakti. "Kemarin mama ceri
Sakti memasuki ruang sidang, sidang itu sudah berjalan setengah jam yang lalu. Dia sedikit telat karena menyelesaikan meeting terlebih dahulu dan tidak bisa dia tinggal. Mendengarkan jaksa penuntut dan para pengacara yang saling adu debat sebenarnya sedikit membuat Sakti pusing. Apalagi Billy yang mengiba menuntut haknya karena sudah merasa di rugikan. Di pojok ruangan, mata Sakti bersitatap dengan wanita yang beberapa waktu lalu memintanya untuk menikahi dengan alasan agar perusahaan mereka semakin berkembang pesat. Maya terduduk diam di sana, dia langsung menunduk saat sadar matanya bersitatap dengan Sakti. Seorang anak perempuan yang menginginkan segala sesuatu yang terbaik bagi keluarganya hingga tanpa sadar melakukan dan mendukung cara yang salah. "Berdasarkan bukti yang kami punya, jelas di sini klien kami tidak dapat mengabulkan permintaan dari saudara penuntut. Bukti tanda tangan serta perjanjian pun belum menorehkan tanda tangan pemegang saham terbesar yaitu istri dari kli
"Sebentar," ujar Gendis menyahuti ketukan pintu kamar kost-nya. "Siapa, sih?" Waktu menunjukkan jam sembilan malam saat itu, siapa tamu yang datang malam-malam begini. Gendis membuka pintu perlahan. "Hai," sapa lelaki tersenyum, dia masih mengenakan pakaian kantor siang tadi. "Sakti? Astaga ... kok nggak bilang kalo mau ke Jogja," ujar Gendis kegirangan. "Surprise," ucapnya. "Sengaja nggak kasih tau kamu, tadi dari sidang kasus papa aku langsung ke bandara. Aku nggak di suruh masuk?" Sakti memasang wajah memelas. "Sudah jam sembilan, enggak enak sama yang lain," ujar Gendis. "Tapi yang lain enak-enak aja sama kamu," kekeh Sakti sambil melirik sepasang kekasih yang baru saja memasuki gerbang kost Gendis. "Sebentar tapi," ujar Gendis. "Hhmm ...." Sakti memasuki kamar yang ukurannya hanya setengah dari kamarnya itu,. "Aku buatin kamu kopi, mau?" tanya Gendis. "Enggak usah. Sini ... pacarnya dateng bukannya di manja," goda Sakti. "Gimana sidangnya?" tanya Gendis, duduk di sisi
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu