Enjoy reading 😘
"Sebentar," ujar Gendis menyahuti ketukan pintu kamar kost-nya. "Siapa, sih?" Waktu menunjukkan jam sembilan malam saat itu, siapa tamu yang datang malam-malam begini. Gendis membuka pintu perlahan. "Hai," sapa lelaki tersenyum, dia masih mengenakan pakaian kantor siang tadi. "Sakti? Astaga ... kok nggak bilang kalo mau ke Jogja," ujar Gendis kegirangan. "Surprise," ucapnya. "Sengaja nggak kasih tau kamu, tadi dari sidang kasus papa aku langsung ke bandara. Aku nggak di suruh masuk?" Sakti memasang wajah memelas. "Sudah jam sembilan, enggak enak sama yang lain," ujar Gendis. "Tapi yang lain enak-enak aja sama kamu," kekeh Sakti sambil melirik sepasang kekasih yang baru saja memasuki gerbang kost Gendis. "Sebentar tapi," ujar Gendis. "Hhmm ...." Sakti memasuki kamar yang ukurannya hanya setengah dari kamarnya itu,. "Aku buatin kamu kopi, mau?" tanya Gendis. "Enggak usah. Sini ... pacarnya dateng bukannya di manja," goda Sakti. "Gimana sidangnya?" tanya Gendis, duduk di sisi
Sakti duduk di kursi taman tidak jauh dari kantor Gendis berada. Sudah 15 menit dia berada di sana menunggu Gendis keluar dari kantornya. Tak lama kemudian seperti perkiraan Sakti gadis itu muncul di antara beberapa orang yang juga keluar dari pintu itu. Gendis melambaikan tangan padanya, hingga Sakti melihat sosok lain juga datang menghampiri kekasihnya itu. "Mas Arya," ucap Gendis terkejut melihat kehadiran Arya di sana. Pandangan mata Gendis beralih pada Sakti yabg berjalan menuju tempat dia berdiri. "Aduh," batin Gendis. "Hai, Dis," sapa Arya. Gendis melemparkan senyum tipis pada lelaki itu. "Pulang?" "Iya, Mas. Mas Arya—" "Sayang," panggil Sakti yang berjalan santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya. Arya ikut menoleh ke asal suara, tak di sangkanya Sakti juga berada di sana. "Sudah siap?" tanya Sakti. "Hei, Arya," sapa Sakti basa basi. "Apa kabar?" "Baik," ucap Arya. "Ada di Jogja?" "Iya, biasalah. Hubungan jarak jauh ini harus sering-sering di tengok.
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kayu. Di luar sana sudah terdengar suara Bapak dan Sakti sedang berbincang. Hari ini rencananya Sakti meminta izin kepada orang tua Gendis untuk membawa Gendis ke Jakarta beberapa hari. "Jadi gabah ini atau bulir padi ini sebelum di giling yan harus di jemur dulu," ujar Hendro. "Oh gitu. Saya kira Gunung Kidul itu daerah yang gersang, Pak. Selain di kelilingi pantai kata supir saya di sini rawan air." "Iya dulunya, air bersih susah sekali di sini. Sampai sekarang pun meski mengalir setiap hari tapi tetap harus di endapkan karena mengandung banyak kapur,"ujar Hendro sambil menebar gabah memenuhi terpal untuk di jemur. "Kalo sawah, kebetulan ada yang masih bisa di garap." "Bapak senang banget tinggal di sini, ya." "Iya, tapi masa saat merantau di Jakarta itu masa paling yang tidak bisa Bapak lupakan. Bertemu dengan berbagai macam orang dan watak. Melihat dunia ternyata tidak itu-itu saja. Kalo di desa seperti ini kan
Sakti mengendap-endap ke ruang tengah dimana kamar tamu berada. Saat itu pukul satu malam, ini hari kedua Gendis menginap di kediaman Anggara dan selama dua hari pula Gendis hanya milik Hanna dan Tari. Kemanapun ibunya pergi Gendis selalu diminta untuk ikut, ada baiknya juga karena Hanna kembali seperti sediakala. Hanya saja, hati Sakti yang tak menentu menahan rindu meski saling bertemu. Beberapa kali ketukan di pintu akhirnya menyadarkan Gendis. Meski berat membuka matanya, gadis yang mengenakan piyama di tas lutut itu pun melangkah menuju pintu kamar. "Sayang," sapa Sakti sambil tersenyum. "Eh, ngapain?" tanya Gendis menahan tubuh Sakti yang akan masuk ke dalam kamarnya. "Mau tidur sama kamu," ujar Sakti melepaskan tangan Gendis. "Sakti, jangan gila! Kalo mama kamu liat gimana?"Gendis buru-buru menutup pintu kamarnya. "Kalo liat berarti bakal cepet di nikahin," kata Sakti menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. "Sini," ujarnya menepuk sisi tempat tidur. "Udah sini, aku ng
"Pulang sekarang?" tanya Arya pada Ami. Mereka semakin dekat setelah rencana konyol yang tiba-tiba Ami utarakan saat itu pada Gendis dan Sakti untuk makan malam bersama satu minggu yang lalu. "Makasih udah nyempetin jemput aku," ucap Ami. "Enggak masalah, lagian hujan kamu juga nggak bawa mobil. Jadi nggak ada salahnya aku jemput." Arya menoleh sebentar pada lawan bicaranya. "Banyak banget kerjaan sampe harus lembur?" tanya Arya yang melihat wajah kelelahan Ami. "Biasalah ada beberapa kontrak baru dengan perusahaan outsourcing yang menaungi sebagian karyawan yang belum diangkat sebagai permanen staf." "Meeting?" "Iya, lama belum lagi pembahasan dengan owner hotel," ujar Ami sambil memijat keningnya. "Gendis ada?" tanya Arya tanpa sadar membuat ekspresi wajah Ami berubah. "Maksud aku Gendis juga ikut meeting?" "Hanya level manager ke atas," jawab Ami kali ini datar. "Oh." Arya semakin merasa bersalah, dia merasa tak enak hati pada gadis itu karena masih sering menanyakan Gendi
Sakti dan Hanna duduk di kursi panjang ruangan itu, sementara Satyo duduk di antara tim pengacaranya. Mereka menunggu ketuk palu Hakim untuk memberikan keputusan atas perkara yang di tuntutkan oelh Billy pada Satyo. "Maka dengan ini, Saudara Satyo Anggara dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan penipuan maupun pencemaran nama baik. Bukti-bukti yang dijadikan acuan tuntutan Saudara penuntut tidak dapat menjerat Saudara Satyo Anggara di mata hukum. Dengan ini sidang saya nyatakan di tutup." Ketukan palu sebanyak tiga kali itupun akhirnya mampu membuat Satyo Anggara bernapas lega. Setelah menjalani persidangan sebanyak tiga kali dan di akhiri dengan gebrakan dari pengacara muda yang tidak pernah dia sangka-sangka. "Selamat, Pak Satyo," ujar Windu menjabat tangan Satyo. "Sama-sama, terimakasih atas kerjasamanya," jawab Satyo. "Untuk kasus ini apa kita akan menuntut balik?" tanya Windu. "Tidak usah, kalaupun mereka ingin mengajukan banding. Entah apalagi yang ak
Acara hari ini berjalan sesuai dengan harapan Sakti dan Gendis, meski senyum sangat jarang menghiasi wajah Satyo. Lelaki itu memang belum sepenuhnya menerima Gendis namun karena harus menepati janjinya pada Sakti, mau tak mau dia harus melakukannya. "Jadi, rencana setelah ini apa?" tanya Hanna pada Gendis sebelum mereka pulang ke Jogja. "Sakti bilang, aku harus ikut dia ke Jakarta, Tante," jawab Gendis. "Bolehkan, Bu?" tanya Gendis pada ibunya. "Tapi memang seharusnya gitu Mbak Wati, biar nggak ada celah yang aneh-aneh," kata Hanna. "Kalo saya ini sebenarnya terserah aja, Mbak Hanna. Asal Gendis merasa nyaman, di sana nanti kerja lagi, Dis?" "Iya, Bu. Rencananya di perusahaan Sakti yang baru di kembangkan." Gendis malu-malu menatap Hanna. "Nah itu lebih baik, Mama setuju," ucap Hanna. "Tari panggil Mas-mu kemari," titah Hanna pada Tari. Sakti yang duduk bersama Hendro dan Satyo di teras depan akhirnya ikut masuk ketika Tari memintanya untuk masuk ke dalam. "Kenapa?" tanya Sakti
Gendis melenggang masuk ke kantor pagi itu, masih sama dengan hari-hari sebelumnya dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Hari ini adalah hari terakhir Gendis bekerja, entah mengapa lebih dari hampir enam bulan dia bekerja di hotel ini rasanya begitu nyaman. "Pak Bowo," ucap Gendis di depan pintu ruangan atasannya. "Hei Gendis, masuk," ujar Bowo lelaki feminim itu. "Duduk." Bowo mempersilahkan Gendis untuk duduk. "Gimana? Apa yang bisa aku bantu?" "Mm ... mengenai surat pengunduran diri saya. Pak Bowo sudah terima dan ini hari terakhir saya bekerja di hotel ini," kata Gendis. " Pekerjaan-pekerjaan saya sudah saya selesaikan. Terimakasih atas bimbingan Bapak selama saya bekerja di sini sudah sangat membantu sekali." "Sama-sama Gendis, semoga kamu semakin sukses, lancar acaranya. Tapi serius, saya kaget saat tau kalo ternyata kamu calon mantu salah satu orang terkaya di Indonesia." "Bapak bisa aja." Gendis tersenyum. "Saya jadi inget sama salah satu pepatah, jodoh itu emang ngg
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu