Enjoy reading š
Gendis melenggang masuk ke kantor pagi itu, masih sama dengan hari-hari sebelumnya dia melakukan pekerjaannya seperti biasa. Hari ini adalah hari terakhir Gendis bekerja, entah mengapa lebih dari hampir enam bulan dia bekerja di hotel ini rasanya begitu nyaman. "Pak Bowo," ucap Gendis di depan pintu ruangan atasannya. "Hei Gendis, masuk," ujar Bowo lelaki feminim itu. "Duduk." Bowo mempersilahkan Gendis untuk duduk. "Gimana? Apa yang bisa aku bantu?" "Mm ... mengenai surat pengunduran diri saya. Pak Bowo sudah terima dan ini hari terakhir saya bekerja di hotel ini," kata Gendis. " Pekerjaan-pekerjaan saya sudah saya selesaikan. Terimakasih atas bimbingan Bapak selama saya bekerja di sini sudah sangat membantu sekali." "Sama-sama Gendis, semoga kamu semakin sukses, lancar acaranya. Tapi serius, saya kaget saat tau kalo ternyata kamu calon mantu salah satu orang terkaya di Indonesia." "Bapak bisa aja." Gendis tersenyum. "Saya jadi inget sama salah satu pepatah, jodoh itu emang ngg
Gendis bersusah payah menggeret koper berukuran besar keluar dari area kedatangan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sementara Sakti menunggunya di luar dengan kedua tangan berada di saku celananya sambil tersenyum geli. "Bantuin," kata Gendis tanpa suara, Sakti hanya menggeleng. "Ish, jahat." Wajah Gendis berubah kesal. Tiba saat Gendis berada di hadapan Sakti, gadis itu mengusap peluh. "Capek ya?" tanya Sakti tanpa dosa. "Sini, aku bawa in," katanya sambil tertawa kecil. "Enggak usah, aku masih mampu," sungut gadis itu. "Nyesel aku," gerutunya. "Hah? Gimana?" Sakti mengambil alih koper Gendis. "Nyesel?" "Iya, nyebelin. Kesel!" umpat Gendis. Dengan cepat Sakti merengkuh pinggang Gendis. "Gita aja ngambek, aku kan cuma bercanda tadi." "Enggak lucu," ujar Gendis. "Sini," katanya sambil menarik pegangan koper besar itu. "Gitu, ngambek. Tambah cantik kalo ngambek," goda Sakti menjawil ujung hidung Gendis. "Kita kesana yuk. Nunggu mobil," ajak Sakti menggandeng tangan Gendis
Gendis tergopoh-gopoh turun dari lantai dua mendengar suara bel berbunyi berkali-kali. Bik Sumi, pembantu rumahtangga yang diserahkan tanggung jawab oleh Sakti mengurus rumah ini sedang pergi membeli buah di depan gerbang komplek.Dengan rambut di balut oleh handuk dan menggunakan pakaian seadanya, Gendis membuka pintu rumah."Sakti ada?" tanya Satyo sambil masuk ke ruang tamu rumah itu."Sakti belum pulang, Pa. Biasanya sebentar lagi," jawab Gendis."Tinggal di sini dia?" Satyo duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya."Oh enggak, Pa. Biasanya kalo malam pulang, karena pasti makan malam di rumah."Gendis masih berdiri seperti seorang bawahan yang sedang berhadapan dengan atasannya. Sementara Satyo, sedari tadi mengamati rumah Sakti yang baru kali ini dia kunjungi. Suara mobil di luar membuat Gendis menarik sudut bibirnya. Dalam hati gadis itu dia dapat bernapas lega, Sakti akhirnya datang."Bik Sumi?" Gendis mendapati Bik Sumi datang bersama Sakti."Tadi ketemu di jalan, Mbak," ujar
Sepatu hitam berhak tinggi tujuh sentimeter berbunyi nyaring menuruni anak tangga pagi itu. Rok span berwarna hitam di padukan dengan kemeja baby pink dan tas kerja yang kemarin dibelikan oleh Sakti berada di pundak Gendis. Gadis itu terlihat anggun, pintar dan mandiri. Sakti yang menunggunya di ruang tamu melihat ke arah Gendis, ingin rasanya lelaki itu membawa kembali Gendis ke kamar dan menghabiskan waktu berdua walau hanya sekedar berbincang. Rasanya Sakti tak rela banyak pasang mata yang akan menatap kagum pada tunangannya itu. "Berangkat sekarang?" tanya Gendis menepiskan tangannya pada kemeja Sakti lalu merapikannya kembali. "Enggak jadi aja, gimana?" "Loh, kok nggak jadi? Kemarin kamu yang semangat minta aku kerja di kantor papa." "Aku nggak rela." Sakti meraih tas di pundak Gendis. "Enggak rela?" tanya Gendis bingung. "Nanti kamu banyak yang liatin." "Emang aku barang antik?" Gendis tertawa. "Kamu ada-ada aja. Ayo, nanti telat nggak enak sama papa dan staf yang lain."
Ketukan di pintu ruang kerja Agus membuat Gendis menghentikan pekerjaannya. Agus yang baru saja pergi bersama Satyo mengunjungi proyek terbaru mereka di bidang property meninggalkan Gendis dengan setumpuk pekerjaan di hari pertama dia bekerja. "Masih banyak kerjaannya?" tanya Sakti masuk lalu menutup pintu itu rapat. Sakti tahu betul jika Gendis masih menyimpan marah padanya. Dia menyandarkan bokongnya pada sisi meja kerja Gendis. "Masih," jawab Gendis singkat. "Mau aku bantuin biar cepat selesai?" "Enggak usah, aku bisa kok." Gendis masih pokus dengan pekerjaannya. "Maaf kalo masa lalu aku mengganggu kamuā" "Enggak usah di bahas, aku maklum, aku yang salah," ujar Gendis namun matanya masih menatap layar monitor. "Dari awal aku bilang, aku mau berubah, sampai kita berada di tahap sekarang pun itu karena aku serius," ujar Sakti pelan. "Aku tau ... jadi nggak usah di bahas. Mungkin mood aku yang enggak baik. Risih aja setiap kali ada yang ngomongin masa lalu kamu," ujar Gendis ka
Ami baru saja keluar dari kamar mandi ketika Mbok Sari masuk ke kamarnya. Pengasuhnya sejak kecil itu tersenyum padanya, Ami malah heran melihat wanita tua itu tersenyum sumringah. "Kenapa, Mbok?" tanya Ami sambil mengibaskan rambutnya yang basah dengan handuk. "Niku wonten sing madosi, kadose dereng pernah teng mriki. Ganteng ... Mbok ngantos kesupen, nek Mbok sampun sepuh." (Itu ada yang cari, kayaknya belum pernah datang kesini. Ganteng ... Mbok sampe lupa kalo diri Mbok sudah tua.) Mbok Sari tersenyum malu. "Siapa sih?" Ami penasaran. "Ndak tau, lagi ngobrol sama ayahnya Mbak Ami di teras," ujar Mbok Sari khas dengan logat Jawa nya. Ami cepat-cepat berpakaian, lelaki mana tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa memberi kabar terlebih dahulu, mana lagi sampai bisa ngobrol dengan ayahnya, itu suatu hal yang sangat jarang terjadi. Ami keluar dari kamarnya, melangkah menuju teras rumah. Sayup terdengar tawa sang ayah begitu renyah, gadis itu semakin mengerutkan keningnya. Siapa lelak
Gendis memasuki ruang kerja Satyo, hari ini terhitung sudah tiga hari Gendis bekerja di perusahaan itu. Perusahaan yang tadinya hanya bergerak di bidang batu bara seiring waktu berjalan merambah hingga bidang lainnya. "Ada beberapa kata yang masih harus kamu revisi, selebihnya sudah bagus. Kamu belajr cepat juga ternyata," ujar Satyo sambil memberikan beberapa berkas yang sudah di tanda tangani dan beberapa lagi harus di perbaiki oleh Gendis. "Ini vitaminnya dan ini obatnya, kemarin obatnya tidak Bapak minum. Jadi sekarang saya pastikan Bapak harus meminumnya sebelum saya tinggal pergi." Gendis menyodorkan mangkuk kecil berisi beberapa suplemen, vitamin dan obat jantung serta tekanan darah tinggi yang harus Satyo minum setiap hari. "Sakti tau?" tanya Satyo. "Tidak, Pak. Hanya saya dan Pak Agus yang tau." "Saya minta kamu merahasiakan ini dari keluarga saya." Satyo meneguk satu kapsul terakhir. "Saya nggak mau membuat mereka khawatir, terlebih istri saya." "Baik, Pak." Gendis m
Sakti dan Satyo sedang berbincang di taman samping rumahnya setelah makan malam bersama Gendis, Hanna dan Tari. Obrolan malam itu mengenai undangan Satyo untuk mendatangkan keluarga Gendis ke Jakarta. "Kabari keluarganya, minta datang kemari. Papa nggak mau terlalu lama kalian berpacaran. Nanti malah yang pengennya kamu," ujar Satyo melirik sinis pada Sakti. "Jus nya, Pa." Gendis datang membawa dua gelas berisi jus strawberry yang di minta oleh Satyo tadi. "Makasih," jawab Satyo. "Sayang, kita harus kabari ibu sama bapak untuk datang ke Jakarta. Papa minta kita segera menikah," ujar Sakti tersenyum bahagia. "Secepatnya?" "Iya, kenapa? jangan bilang kalian mau memundurkan jadwalnya." Satyo meletakkan gelas jus ke atas meja di sampingnya. "Oh nggak, Pa. Bukan begitu," kata Gendis kelabakan. "Maksudnya, nanti Gendis minta bapak sama ibu datang." Tangan gadis itu begitu dingin, berbicara dengan Satyo di rumah dengan di kantor menurutnya lebih membuat jantung berdebar jika berbicara
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu