Heiii apa kabaaaar?? Ketemu lagi sama Chida ya maafkan Chida nggak update satu Minggu lebih ya... Haduuhh Chida lagi banyak urusan, touring ke beberapa kota hihihi nggak ding... Tapi Chida makasih banyak ya sama temen-temen semua masih setia banget nungguin Sakti dan Gendis... Nuhun loooh 2 bab malam ini untuk kalian ya Enjoy reading kesayangan 😘
"Tari," sapa Sakti menghampiri Tari yang duduk di sudut kafe siang itu. "Mas," ujar Tari lalu berdiri dari tempat duduknya. "Duduk, Mas." Tari mempersilahkan kakak angkatnya itu duduk di sampingnya. "Makasih." Sakti menarik kursi di sebelah Tari, matanya mengedar mencari seseorang. "Andi?" "Dalam perjalanan, tadi dia harus pulang dulu." "Oh." "Mas ... Tari dengar dari ibu, Mas Sakti keluar dari perusahaan Pak Satyo? Kenapa?" "Aku sudah malas berhubungan dengan orang seperti mereka termasuk papa, Tar. Penat kepala aku, di pikiran papa hanya kekuasaan, kekayaan dan keegoisan saja." "Artinya, Mas Sakti menolak di jodohkan?" "Iya, apalagi itu ... mengada-ada. Memaksakan kehendak sendiri, belum lagi wanita yang di jodohkan ke aku ada aja ulahnya." "Ulah?" tanya Tari mengerutkan alisnya. "Biasalah, enggak harus aku jelasin kan." "Syukurlah kalo Mas Sakti menolak perjodohan itu. Tapi kasihan ibu, setiap hari ibu dan Pak Satyo selalu bersitegang. Di rumah sudah jarang sekali ibu dan
"Kenal Mas Arya dimana?" tanya Ami manager HRD tempat Gendis bekerja. Sore itu Ami menawarkan diri mengantarkan Gendis pulang ke kost nya. "Kami pernah satu tempat tinggal ... maksud aku tetangga sewaktu di Jakarta dulu," ujar Gendis. "Oh saat dia melanjutkan S2 ya?" "Iya, Mbak. Mbak Ami sendiri kenala dimana?" "Dikenalin teman, ketemu sewaktu gala dinner di perusahaan tempat Mas Arya kerja." "Oh." Gendis mengangguk-angguk. "Dis." "Ya, Mbak." Gendis menoleh ke arah Ami yang sedang mengemudikan mobilnya. "Mas Arya sudah punya pacar? Aku nggak berani nanya-nanya padahal kita udah dua bulan kenal." Ami tersenyum malu-malu. "Pacar?" Gendis merasa tak enak hati, seketika dia teringat saat dulu Arya menyatakan perasaannya dan sampai detik ini Arya masih menunggunya. "Iya, Mas Arya sudah punya pacar belum? Kamu kan dekat tuh sama dia, kali aja dia pernah cerita-cerita tentang seseorang spesial di hati dia." "Oh ... Em, setahu aku enggak ada Mbak," "Mau bantu aku?" tanya Ami kemb
"Man, cari tau tentang suami Ibu Soraya tadi, barangkali suatu saat kita membutuhkan dia," ujar Sakti. "Baik, Pak. Ini kita langsung ke bandara dua jam lagi adik Pak Sakti akan take off." Sakti mengangguk tanda setuju. Perjalanan menuju bandara di selingi kemacetan kota Jakarta siang itu memang cukup membosankan untungnya Sakti tepat waktu bertemu dengan Tari sebelum mereka masuk ke dalam. "Jadi, seperti yang aku bilang kemarin-kemarin, sekeci apapun informasi yang kalian temukan laporkan aja sama aku. Dan jika nanti di sana kalian menemukan Gendis jangan langsung kalian temui tapi lebih dulu kabari aku, aku usahakan untuk langsung terbang ke Jogja, paham kan maksud aku." Sakti menatap Andi dan Tari secara bergantian. "Iya, Mas ... kita pastikan Mas Sakti lebih dulu yang mendapatkan kabar dari kita." "Akomodasi dan fasilitas kalian selama di sana sudha semua kan di urus oleh Norman?" "Sudah, Mas. Terimakasih," kata Andi. "Jaga adik gue, jangan lo macem-macem in," tegas Sakti p
Sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah celah tirai berwarna abu-abu yang menutupi jendela kaca kamar kecil milik Gendis. Hari ini hari Minggu, sebenarnya Gendis mempunyai jadwal bahwa setiap dua minggu sekali Gendis akan menyempatkan pulang ke rumah orang tuanya di Gunung Kidul, dan seharusnya minggu ini Gendis akan pulang namun Gendis urungkan niatnya. Gadis itu merasa capek, selama lebih dari dua minggu bekerja dia merasa pekerjaannya selalu membutuhkan tenaga dan pikiran yang ekstra. Gendis meraih gawainya, mengirimkan pesan pada Bayu agar datang ke kost nya siang nanti. Sudah lama rasanya tidak bertemu adik satu-satunya itu. Setelah mendapatkan balasan Ok dari Bayu, Gendis bergerak membereskan kamarnya serta bersiap pergi mengajak Bayu sekedar menikmati waktu libur bersama. "Kamu pesan apa, Bay?" tanya Gendis memberikan daftar menu restoran cepat saji pada Bayu. "Chicken Cordon Blue itu yang kayak gimana, Mbak?" tanya Bayu penasaran. "Haha, mana Mbak tau. Pesen aja,
"Siapa sangka kita bertemu di sini," ujar Sakti tersenyum sinis namun dia tetap mengulurkan tangannya pada Arya. "Iya, siapa sangka," jawab Arya. "Apa kabar?" "Seperti yang kamu lihat, enggak ada yang berubah ...." Arya mengangguk angguk. "Betul tidak ada yang berubah, masih sama ... penuh kharisma." Arya tersenyum kecil. "Seperti itulah ... mungkin kita bisa makan siang bersama?" tanya Sakti. Sepertinya Arya harus bersiap dengan berbagai kemungkinan, alih-alih pertanyaan menjebak Sakti bisa mengacaukan semuanya. "Dengan senang hati, tapi sepertinya kamu harus menunggu beberapa waktu karena ada yang harus saya selesaikan terlebih dahulu." "Silahkan ... aku bisa tunggu kamu di sini, teman lama," ujar Sakti mengangkat satu alisnya. Selama 40 menit Sakti harus menunggu Arya, jika saja ini bukan karena Gendis mungkin sudah dia tinggalkan lelaki yang menjadi rival nya selama ini. "Maaf menunggu," ujar Arya. "Jadi makan siang dimana kita?" Arya mengikuti langkah Sakti keluar dari lo
"Pagi, Pak." Suara bariton lelaki bertubuh tegap memasuki ruangan Satyo Anggara pagi itu. "Pagi, silahkan." Satyo mempersembahkan lelaki itu duduk tepat berada di hadapannya. "Apa yang kamu dapat?" tanya Satyo menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi empuk itu. "Beberapa poto yabg berhasil kami ambil," ujar lelaki tadi memberikan poto Gendis keluar dari tempatnya bekerja dan beberapa lagi aktivitas gadis itu di sekitar kostnya. "Dia bekerja di salah satu hotel ternama, di Jogja sebagai junior akuntansi, baru dua bulan belakangan ini. Sementara orang tuanya tinggal di desa, saya masih menyelidiki dimana mereka tinggal, belum ada informasi tambahan tentang kedua orangtuanya. Dan, ini—" Lelaki itu kembali memberikan tiga lembar poto pada Satyo. "Tari? ngapain dia?" Satyo mengerutkan keningnya, karena setahu Satyo anak angkatnya itu berada di panti asuhan selama libur semester. "Anak angkat Bapak berada di satu hotel yang sama dengan gadis bernama Gendis itu. Hanya saja dari yang
"Han ... Hanna," panggil Satyo saat memasuki kediamannya. Hanna keluar dari kamarnya yang berada di lantai satu, menatap heran pada suaminya. "Bilang ke aku, jujur! Kemana anak angkat kamu itu pergi?!" "Kamu pulang marah-marah terus tiba-tiba nanya kemana Tari pergi, kamu kenapa?" "Jawab aja," ujar Satyo menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang tengah. "Tari pulang ke panti asuhan, dia bilang di sana sedang tidak da tenaga pembantu untuk mengurus adik-adik asuhnya, kenapa sih, ada apa?" Hanna ikut duduk di sebelah suaminya. "Jangan bohong, Han. Aku tau kamu pasti tau kemana Tari pergi, ya kan?" "Apa sih, Mas ... aku nggak ngerti deh." "Tari ke Jogja, iya kan? jawab!" Satyo menatap mata istrinya tajam. Sebenarnya Hanna yang mendukung Tari dan Sakti dalam mencari Gendis. Tujuan Hanna hanya satu, dia ingin Sakti hidup lebih baik lagi. Karena selama melihat Sakti bersama Gendis, anak lelakinya itu terlihat lebih bahagia. Bukan semata-mata di dunia ini hanya Gendis seorang yang bisa me
Lelaki berumur kepala lima itu berjalan menuju ruangan VIP sebuah restoran yang berada di salah satu tempat bermain golf di Ibukota Jakarta. Di dalam ruangan itu sudah menunggu seorang ayah dan anak perempuannya. "Hei, Sat ... silahkan," ujar Billy berdiri dari tempat duduknya, tersenyum sumringah menyambut kedatangan Satyo. "Hai, Om ... apa kabar?" "Baik, May," jawab Satyo lalu duduk di kursi berhadapan dengan bapak dan anak itu. Matanya menatap tajam ke dua orang di hadapannya, bahkan kancing kemeja Maya yang terbuka sampai ke dada itu pun tak luput dari tatapannya. "Gimana, Om? Sakti sudah beberapa minggu belakangan susah sekali di temui, semenjak pertemuan terakhir saat dia resign dari perusahaan, Om." "Anak kamu itu memang luar biasa, Sat. Menurut informasi yang aku dapat, sepak terjangnya patut di acungi jempol, meski klien dia dari pengusaha menengah ke atas tapi aku salut perjuangannya dalam kurun waktu singkat namanya sebagai konsultan bisnis mulai menggema." "Anak itu c
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a
Ami mematut dirinya di depan cermin, satu per satu dia lepaskan aksesoris rambut yang berada di pucuk kepalanya. Setelah selesai Ami mulai membersihkan wajahnya, menghabiskan banyak kapas untuk membersihkan ukiran-ukiran Paes di dahinya. Arya membuka pintu kamar perlahan saat Ami akan melepaskan lilitan kain di tubuhnya. "Perlu bantuan aku?" tanya Arya dari balik tubuh Ami. Hembusan hangat menerpa pundak polosnya, tubuh wanita itu menegang. Sentuhan tangan Arya di lengannya membuat desiran darah itu seakan mengalir lebih cepat dari biasanya, bahkan denyut jantung itu berdebar kencang. Bukan kali pertama dua sejoli ini berada di satu kamar, namun baru kali ini mereka berada di satu kamar tapi untuk bersiap melakukan sesuatu yang lebih intim lagi. "Kainnya melilit hingga berlapis, Mas," ujar Ami. "Kamu diam aja, biar aku yang memutar kainnya," kata Arya, sebelumnya Arya melepaskan aksesoris yang melekat di tubuhnya dan meletakkannya di atas nakas. Lelaki yang akhirnya melabuhkan cin
Gendis melangkah memasuki ballroom hotel malam itu berjalan bersisian dengan Sakti. Dia mengenakan gaun panjang dengan belahan samping hingga ke paha. Model dress dengan lengan balon dan leher berbentuk V hingga belahan dada yang sedikit terbuka itu membuat Gendis terlihat cantik, seksi dan elegan. Wanita berbadan dua itu melingkarkan tangannya pada lengan sang suami, perutnya yang sudah terlihat buncit membuat auranya semakin berbeda. "Aku nggak salah pilih punya istri kamu," bisik Sakti. "Kenapa?""Semua mata menatap kamu, Sayang. Cantik, elegan dan ...." Mata Sakti mengarah pada dada Gendis. "Seksi ... rasa ingin aku bawa naik lagi ke lantai tujuh, diem di kamar aja nggak usah kemana-mana." Sakti tertawa kecil. "Kebiasaan." Gendis menempelkan bibirnya pada pundak Sakti, tubuh lelaki itu berbalut setelan jas berwarna hitam. Acara pernikahan Ami dan Arya kental dengan budaya Jawa. Kedua mempelai berdiri di pelaminan dengan baju adat bak Raja dan Ratu Keraton. Senyum mengembang di w
Usia kandungan Gendis berjalan empat bulan, selama empat bulan pula Gendis meminta Satyo menjemputnya bekerja yang herannya lelaki yang sebentar lagi menjadi kakek ini pun menyanggupinya. Entah, mungkin ini cara Satyo memperbaiki kesalahannya dulu pada Gendis dan Sakti. Belum lagi seringnya Satyo mengajak Hendro menikmati sore hari meski hanya sekedar menikmati secangkir kopi di teras depan rumah Sakti. "Papa sekarang banyak berubah," ujar Sakti pada Hanna sore itu kala Hanna dan Satyo berkunjung ke rumah mereka. "Biarkan saja, mungkin papa merasa bersalah dulu sudah menyakiti perasaan keluarga istri kamu," jawab Hanna memberikan potongan semangka pada Sakti. "Gendis dimana?" "Di kamar, Ma. Dari siang tadi lagi bad mood karena aku bilang dia semakin berisi." "Gendis itu semakin hari semakin ada aja tingkahnya, Mbak." Wati datang dari arah dapur membawa pisang goreng untuk para kakek di teras. "Mungkin bawaan bayi, Mbak. Selagi normal-normal aja, biarin lah ... saya dulu juga gitu