(1/5) sorry kelamaan... kasian si Elvan dari kemaren nunggu di sana.. wkwkwkw... selamat pagi... semangat menjalani hari ini...
Diva lalu melihat Prisya yang saat ini tersenyum melihatnya. “Terima kasih?” tanya Diva pada Elvan, “memangnya kamu ngehubungin Prisya tadi?” “Tentu saja, karena calon istriku ini tidak bisa dihubungi, maka aku akan menghubungi keluarganya saja. Seharusnya aku mau menghubungi ayahmu, tapi aku tidak mau kamu marah-marah.” Elvan berkata sambil berjalan merangkul Diva menuju mobil yang dia parkirkan. “Kamu ke sini gak sama Pak Andi?” tanya Diva saat di luar ketika melihat mobil Elvan buka seperti yang biasanya. “Andi harus mengerjakan sesuatu, jadi aku mengemudi sendiri ke rumah calon istriku ini.” Elvan berkata seraya membukakan pintu mobil untuk Diva dan meletakkan tangannya di atas untuk melindungi kepala Diva saat masuk. “Terima kasih, Van.” Diva lalu masuk ke mobil. Mata Diva tak lepas menatap Elvan yang saat ini sedang memutari mobil dan ketika dia sudah ada di kursi pengemudi pun Diva tetap terus melihatnya. “Ada apa?” tanya Elvan heran. Diva hanya menggeleng lalu tersenyum,
Diva tercekat dengan ucapan Elvan barusan. Apa pria ini sedang melamarnya sekarang? Diva masih diam, dia tidak tahu bagaimana harus meresponnya saat ini.“Van, apa kamu sadar apa yang baru saja kamu ucapkan?” tanya Diva dengan hati-hati, sembari menatap lekat ke arah pria itu.Elvan mengangguk, “Ya, aku sadar sepenuhnya. Aku sadar sepenuhnya kalau aku hanya inginkan kamu.” Elvan berkata dengan tegas.Diva masih diam, otaknya berpikir banyak hal yang menurutnya sangat tidak masuk akal, dan dia sebenarnya ada rasa tidak terima begitu saja degan Elvan yang sedang melamarnya dengan cara seperti ini.“Tapi ….” Diva tidak melanjutkan kalimatnya.“Kenapa? Apa ini berhubungan dengan orang tuamu? Atau karena kamu sebenarnya masih ragu dengan kesungguhanku?” tanya Elvan dengan suara yang mengalun lembut, suara yang sangat disukai oleh Diva.Diva menggelengkan kepalanya.“Lantas? Apa yang membuatmu ragu?” tanya Elvan padanya.Diva mengerucutkan bibirnya lalu berkata, “Aku tidak percaya dan tidak
Ucapan dan tingkah Elvan ini membuat Diva berpikir, ‘Benar saja! Pria ini tidak mau kalah dariku,’Diva mengernyitkan dahinya, tak tahan dan sangat penasaran dengan ucapan Elvan. “Maksudmu?”Kembali Elvan diam dan menatap ke arah Diva.“Mau tahu?” tanya Elvan padanya.Jelas Diva mengangguk cepat.“Kamu … apa tidak berniat untuk pura-pura tidak mau tahu dulu?” tanya Elvan lagi.“Ih, ngapain aku gengsi untuk pura-pura tidak mau tahu, aku makin penasaran aja, apa ada kejutan lainnya? Kamu mengajakku ke sini bukan hanya mau sarapan aja, kan?” tanya Diva dengan memberondong pertanyaan pada Elvan, dia juga membuat puppy eyes di depan Elvan membuat Pria itu tidak tahan untuk menggeleng-gelengkan kepalanya dan terkekeh ringan melihat tingkah Diva yang memang kebanyakan tidak bisa ditebak ini.“Ayolah, apa maksudnya? Bikin aku penasaran aja deh!” Diva berkata dengan suara manja dan mengerucutkan bibirnya.Elvan malah senang melihatnya seperti ini. Pria itu meletakkan kotak cincin itu di atas d
Elvan tersenyum melihat wajah Diva yang terkejut itu. “Kamu sudah menyiapkan sebelumnya?” tanya Diva dengan membelalakan mata. “Menurutmu?” Elvan kembali tidak menjawab, melainkan membuat pertanyaan balik untuk Diva. “Iih, kamu ini suka bikin aku makin ….” Diva menggantung kalimatnya. “Makin apa?” tanya Elvan. “Adalah pokoknya!” ucap Diva padanya, padahal dia ingin bilang kalau, “Elvan makin membuatnya jatuh hati!” tapi hal itu tidak diteruskan olehnya karena bisa jadi membuat harga dirinya sudah tergadai sepenuhnya! Diva makin terkejut saat mereka sudah ada di lantai atas. Di sana hanya ada beberapa orang saja dan semuanya dia mengenalnya kecuali ... satu orang wanita cantik yang saat ini sedang ngobrol asyik dengan Alisha. 'Siapa dia ya?' tanya Diva dalam hati, namun fokusnya pecah saat Anita melambaikan tangannya pada mereka berdua, Diva lalu membalasnya dengan tersenyum lebar dari kejauhan. “Van, kamu menyewa semua tempat di atas ini?” tanya Diva dengan berbisik. Alih-ali
Diva langsung meneguk air liurnya, karena terkejut dengan hal barusan. Dia tahu dia akan diperkenalkan oleh Elvan pada keluarganya, tapi dia tidak menyangka secepat ini dan … entah kenapa sekarang ini terasa sangat sakral untuknya.Elvan meraih tangan Diva dan menggenggamnya dengan lembut di atas meja, membuat laju darah di tubuh Diva kian deras. Apalagi perlakuan Elvan jelas dilihat oleh anggota keluarganya semua. Sekarang, Elvan pasti merasakan keringat dingin yang keluar di telapak tangannya itu.‘Ya Tuhan, dia memang benar-benar serius,’ batin Diva.Mengingat hal sebelumnya, Nico juga pernah memperkenalkan dia pada keluarganya, tapi sambutannya cukup dingin, apalagi saat mereka tahu Diva ini bukan siapa-siapa. Tidak berasal dari kalangan kelas atas dan juga hanya pegawai biasa yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Nico.‘Tenang Diva, itu dulu.’ ucap Diva dalam hati menyemangati dirinya sendiri. ‘Ini keluarga Elvan, mereka tidak seperti itu, kemarin saja sambutan mereka cukup
Mendengar ucapan Elvan yang cukup serius itu membuat yang ada di sana saling lempar pandang lalu detik berikutnya Anita berkata dengan santai, “Elvan, kamu serius sekali. Apa kita di sini ada yang protes siapa orang yang kamu bawa? Tidak ada kan? Kita seneng-seneng aja kok, apalagi Diva ini anak gadis dari keluarga baik-baik, yang kita khawatirkan itu kamu.” Elvan hanya diam. Diva mengerutkan keningnya mencoba untuk memahami kalimat yang dilontarkan oleh Anita.“Kita hanya ingin memastikan saja, karena memutuskan untuk menikah itu, tidak mungkin secepat itu, apalagi kamu bilang akan membuat persiapan secepat kilat! No! Jelas mama tidak setuju dengan ucapanmu itu!” Anita berkata dengan tegas.Pernyataan barusan juga membuat Diva makin tidak mengerti, apa maksudnya? Apa dia direstui atau tidak? Hal ini benar-benar membingungkan.Wajah Diva yang bingung ini membuat Anita akhirnya menepuk perlahan pundak Diva. “Diva, sekarang mama tanya, apa kamu mau menikah dengan Elvan hanya dengan acar
Ucapan Darma barusan tidak seperti sedang merendahkan anaknya, tetapi dia terdengar berkata dengan sungguh-sungguh untuk membantu Elvan. Namun, saat mendengar hal seperti itu Elvan merasa kalau ayahnya mungkin sedang meremehknnya.“Kenapa aku harus ditemani? Aku bukan seperti Aldo yang masih anak-anak.” Elvan berkata dengan sedikit kesal sambil melihat ke arah keponakannya yang saat ini sedang makan buah apel. Anak ini berhenti mengunyah saat Elvan menyebut namanya.“Ow-om panggil Aldo?” Anak itu melihat ke arah Elvan dengan mata hitam bulatnya itu.“Ah, tidak anak kecil, ini hanya perumpamaan orang dewasa saja.” Elvan menjawab pertanyaan anak itu dengan wajah datarnya, hal itu membuat Diva yang melirik ke arah Elvan.“Diva, katakan padaku, apa Elvan ini berlaku baik padamu?” tanya Arkam padanya, dia berusaha untuk membuat suasana menjadi cair.Diva hanya menjawab dengan mengangguk, karena untuk mengeluarkan suara sekarang ini masih memerlukan energi yang cukup besar.“Apa dia akan min
Beberapa saat sebelumnya. “Kita lihat saja nanti apakah anakmu itu benar-benar tidak main-main atau tidak.” Hartono berkata dengan Darma saat mereka semua sedang berkumpul menunggu kedatangan Elvan. “Aku hanya ragu dengan Elvan, menurutku tidak mungkin hubungan mereka bisa berjalan secepat itu, ditambah lagi … Elvan ini orang yang cukup ambisius, Yah.” Darma berkata dengan suara rendah pada Hartono. “Tapi menurutku, Sayang, anak kita itu benar-benar serius. Lagipula, dia bahkan sampai masuk rumah sakit karena …." Anita menghela napas sejenak, "maksudku, dia bahkan rela melakukan apapun demi Diva, kan?” Anita membantah argumen Darma tentang perasaan Elvan. “Ya, tapi apa kamu lupa, Ma, dia adalah Elvan, kadang kita tidak tahu mana yang benar-benar serius dan tidak darinya, bahkan satu tahun lalu sebelum ini, dia nyaris menyetujui lamaran dari anak teman kamu itu, karena dia ingin mengakuisisi perusahaan orang tuanya. Apa kamu yakin secepat itu dia menemukan Diva ini?" Darma berka
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Pagi itu terasa istimewa. Rumah Elvan dan Diva dipenuhi dengan dekorasi lembut berwarna pastel—biru muda dan merah muda menyelimuti ruang tamu, balon-balon cantik tergantung di setiap sudut. Sebuah spanduk besar terbentang di tengah ruangan dengan tulisan “Selamat Datang, Claudia Cantika Wongso”.Ini adalah hari dimana pesta penyambutan bayi perempuan mereka yang baru lahir, Claudia Cantika Wongso. Sebuah momen yang sudah lama mereka nantikan dan kini mereka sudah bersiap untuk merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka bersama orang-orang terdekat.Diva berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, warna pastel lembut yang menonjolkan kesan anggun. Di sebelahnya, Elvan sedang menggendong Claudia yang terlelap dalam balutan selimut bayi berwarna merah muda. Auranya makin terpancar saat pria itu menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, menatap putri mereka dengan tatapan lembut.“Van,
Malam ini sungguh terasa berbeda. Diva terbangun di tengah malam dengan perasaan aneh yang tak bisa ia abaikan. Sudah sembilan bulan sejak mereka pertama kali mendengar kabar bahwa ia hamil, dan kini momen yang telah mereka tunggu-tunggu hampir tiba. Diva merasakan kontraksi yang semakin intens, dan kali ini berbeda dari yang sebelumnya—lebih kuat dan cukup teratur. Diva berpikir mungkin ini sudah saatnya. Saat dimana dia akan melahirkan hampir tiba.Elvan terbangun ketika Diva menggeliat di sampingnya, wajahnya langsung dipenuhi kekhawatiran. “Diva, kamu baik-baik saja, hehm?” tanyanya dengan suara serak, matanya masih setengah tertutup karena kantuk.Diva menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun rasa sakit semakin jelas terasa. “Elvan… aku pikir ini saatnya. Kontraksinya … semakin kuat.” Diva berkata dengan suara bergetar, wajahnya terlihat berkeringat.Elvan langsung terjaga sepenuhnya dan segera bangkit dari tidurnya. “Kamu yakin?” Matanya terbuka lebar, panik dan
Kehamilan Diva sudah memasuki trimester kedua, meskipun mereka dipenuhi kebahagiaan karena kabar tersebut, tidak semuanya berjalan mulus. Beberapa minggu terakhir, Diva masih tetap merasakan berbagai tantangan fisik yang sebelumnya. Seperti mual setiap pagi dan rasa ingin muntah saat mengunyah makanan, tetapi kelelahan yang tidak bisa dijelaskan tetap ada, serta perubahan suasana hati yang terkadang membuatnya merasa tidak terkendali, tetap menjadi rutinitasnya.Di sisi lain, Elvan terus belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan mendukung, meskipun tantangan itu juga mulai memengaruhi dinamika hubungan mereka.Pagi itu, Diva duduk di meja makan, berusaha menghabiskan sedikit sarapannya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, mual datang begitu saja tanpa peringatan. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, meninggalkan Elvan yang masih menikmati sarapannya.“Diva!” Elvan langsung berlari mengikuti istrinya, wajahnya penuh kecemasan.Diva duduk di lantai kamar mandi, menarik
Beberapa minggu setelah kabar bahagia itu, kehidupan Diva dan Elvan berubah secara drastis. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut bayi mereka, meskipun kehamilan Diva masih dalam tahap awal. Setiap malam, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa depan dengan penuh semangat. Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap akan datang pula tantangan baru yang harus mereka hadapi.Pagi ini, Diva duduk di meja makan dengan secangkir air putih hangat di depannya. Sejak tahu dirinya hamil, ia mulai lebih berhati-hati, bahkan mengganti minuman coklat kesukaannya dengan air putih hangat. Meski bahagia, perasaan cemas tidak sepenuhnya hilang dari hatinya.Elvan datang dari ruang kerja dengan laptop di tangan, meletakkannya di atas meja sambil memandangi istrinya dengan senyum. “Kamu terlihat sedikit lebih tenang hari ini. Bagaimana perasaanmu? Apa masih merasakan mual dan tidak nafsu untuk makan?”Diva tersenyum lembut, meskipun ada sedikit kekhawatiran di m
Setelah pulang dari liburan mereka melakukan aktivitas seperti biasa, masalah kehadiran buah hati tidak lagi menjadi sebuah penghalang besar untuk keduanya. Mereka juga sudah menjalankan program kehamilan dari dokter, walau sudah tiga bulan masih belum menunjukkan hasilnya, keduanya tetap saling memberikan dukungan satu sama lain.Hingga suatu pagi. Diva bangun dengan perasaan sedikit mual yang sudah ia rasakan selama beberapa hari terakhir. Dia berusaha mengabaikannya, berpikir itu mungkin hanya karena perubahan pola makan sejak kembali dari liburan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang mengusik—sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya.Elvan sudah berangkat lebih awal ke kantor. Diva berencana untuk menghabiskan hari dengan bekerja dari rumah. Tetapi, mual yang semakin kuat membuatnya sulit berkonsentrasi. Setelah sarapan, ia kembali merasa perutnya bergejolak, dan kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Diva menunduk di depan wastafel, napa
Pagi hari di resort terasa lebih segar dan tenang. Diva memandang ombak yang bergulung pelan dari teras vila mereka. Ia mendekap secangkir teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Liburan ini memang seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk beristirahat, tapi di dalam hati Diva, rasa cemas belum juga hilang.Elvan keluar dari kamar, rambutnya masih sedikit acak-acakan, tapi wajahnya jauh lebih segar daripada beberapa hari sebelumnya. “Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanyanya sambil berjalan mendekat.Diva menoleh dan tersenyum tipis. “Baru saja.”Elvan duduk di kursi di sampingnya, menarik napas panjang sambil menatap laut. “Liburan ini benar-benar membuatku sadar betapa kita jarang meluangkan waktu seperti ini. Rasanya... aneh, tapi juga menyenangkan.”Diva memandang suaminya dan berkata, "Ya, aku juga merasa seperti itu. Ini... mungkin apa yang kita butuhkan.”Elvan tersenyum lembut, matanya menatap Diva dalam-dalam lalu berbisik lembut di
Pagi harinya Diva sudah melihat Prisya sibuk di dapur dengan pelayan yang ada di rumah mereka, dia terlihat mengatur makanan untuk sarapan mereka.“Wah, Kak Diva sudah bangun?” Prisya berkata dengan penuh semangat.“Kamu sibuk banget,” ucap Diva.“Iya dong, eh, Kakak ipar sudah bangun?” tanya Prisya lagi.“Pastinya dia sebentar lagi turun kok harusnya.” Diva menjawab santai.Tidak lama berselang Elvan ada di antara mereka.“Sudah sibuk sekali pagi ini.” Elvan berkata santai, dia terlihat dengan pakaian formalnya dan siap untuk ke kantor.“Kakak Ipar mau ke kantor?” tanya Prisya.“Ya, tentu saja, masih ada yang harus aku urus dengan Miko, tetapi tidak lama, tenang saja.” Elvan berkata pada mereka.“Ya, harusnya serahkan saja pada Miko, tenang saja, aku akan membantumu untuk memantaunya.” Prisya tertawa setelah mengatakan hal itu.Pagi ini setelah Elvan pergi ke kantor Prisya membantu kakaknya menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa untuk pergi berlibur. Keduanya sangat antusias
“Hasil untuk Nyonya Elvan tidak ada yang diragukan, semuanya baik dan juga untuk Tuan Elvan, tidak ada masalah.” Dokter itu berkata dengan tersenyum pada keduanya. Ucapan ini bagaikan sebuah oase di tengah gurun pasir.Artinya tidak ada yang salah dari keduanya, lantas kenapa sampai saat ini masih belum ada juga? Hal ini membuat Elvan langsung bertanya, “Lalu, kenapa masih belum juga sampai sekarang, Dok?” tanya Elvan, dia juga tahu, saat ini Diva juga ingin bertanya hal demikian.“Ini banyak faktor, Tuan Elvan. Salah satunya karena kelelahan dan pikiran.” Dokter berkata dengan suara lembut.Elvan lalu melihat ke arah Diva.“Saya akan memberikan obat pada Nyonya untuk meminumnya, nanti akan ada obat penyubur, jika masih datang bulan untuk bulan depan, hari pertama haid Nyonya dan Tuan datang kembali untuk kita melakukan serangkaian pemeriksaan lagi.” Dokter berkata pada keduanya.“Baik, Dok, kami mengerti.” Setelah melewati sesi konsultasi mereka kembali ke rumah. Walaupun mereka cuk