Morgan sontak berkeringat dingin. Harus jawab apa dia? Hilang kalau Clara selama ini tinggal di apartemen yang suami orang belikan untuk dia? Hah! Bisa serangan jantung papanya itu.
Morgan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, berusaha tetap tenang dan tidak membuat kesalahan melalui ucapan yang keluar dari mulutnya.
"Dia sewa apartemen, Pa. Semua tabungan dia selama bekerja sebagai dokter umum dia fokuskan untuk biaya pendidikan spesialisnya, Pa."
Tjandra menatap Morgan dengan seksama. Membuat jantung Morgan sontak berdegub dua kali lebih cepat. Apakah papanya percaya? Atau akan banyak kalimat tanya meluncur dari mulut lelaki itu?
"Sungguh wanita yang menakjubkan. Kapan dia akan lulus?"
Morgan langsung lega seketika begitu kalimat tanya itu meluncur keluar dari mulut sang papa. Tidak ada pertanyaan membahayakan yang keluar kembali dari sosok Tjandra untuknya.
"Dia baru dua tahun, Pa. Katanya beberapa tahun lagi
Arga mengepalkan tangannya kuat-kuat. Clara makin jauh darinya. Dia bahkan lebih jaga jarak dengannya ketika di rumah sakit dibandingkan dulu ketika masih bersamanya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Kenapa makin lama Clara semakin berjarak dengan dia?Arga tahu, dia tidak boleh diam saja jika ingin kembali mendapatkan Clara. Tapi melakukan perlawanan dan menabuh genderang perang di waktu dekat ini sama saja cari mati! Dia baru saja aman dari aib yang selama ini dia dia tutupi di depan mertuanya dan jangan lupa, Morgan Alvaro bukan orang yang bisa dengan mudah Arga remehkan! Dia tidak ada apa-apanya dengan Morgan!"Suatu saat nanti ...," Arga bergumam sendiri, memang suatu saat nanti dia akan merebut Clara-nya kembali. Dia akan lakukan apapun untuk kembali memiliki miliknya itu. "Tunggu dan lihat saja!"Morgan mempercepat langkahnya, dia begitu terbakar amarah hingga tidak sadar sosok tinggi dengan snelli lengan panjang itu melangkah bersama beberapa o
Indira bersiap hendak visit ke bangsal rawat inap ketika matanya menangkap sosok itu. Sosok tinggi, tegap dengan snelli lengan panjang yang masih tampak cemerlang itu benar-benar mencolok sekali di mata Indira. Dan jangan lupa, ini adalah kali pertama dia menjumpai sosok itu, bukan? Siapa dia?"Dokter, ada tujuh pasien yang harus Dokter kunjungi sore hari ini."Indira tersentak, ia mengangguk sambil mencoba mengabaikan pemandangan itu. Ditatapnya Deas, perawat yang hari ini bertugas menemani Indira visiting."Kita cuma berdua nih?" tentu itu yang Indira tanyakan, biasanya ada koas dan beberapa residen yang akan ikut visiting."Sebentar, Dok. Nanti ada yang ikut gabung."Indira membuatkan matanya, "Pada belum ready?" berani sekali mereka menyuruh dokter spesialis yang notabene anak pemilik rumah sakit menunggu mereka siap!"Itu mereka, Dok!"Indira hendak kembali buka suara ketika sosok yang yafi begitu mengganggu mat
"Lepas!" Clara berusaha melepaskan cengkeraman tangan yang menyeretnya dengan paksa.Lekaki itu adalah Arga, dan apa yang hendak Arga lakukan? Dia membawa dan menyeret Clara menuju parkiran. Membuat Clara sedikit ketakutan dengan hal apa-apa saja yang bisa saja dilakukan oleh pria nekat satu ini."Aku cuma mau ngomong beberapa hal saja, jadi tolong jang-.""LEPAS!"Clara bernafas lega ketika suara itu menyapa indera pendengarannya. Itu suara Morgan! Nampak Morgan mencengkeram tangan Arga dengan kuat, satu tangannya menarik tangan Clara lepas dari cengkeraman tangan Arga."Kau berusaha menantangku, Dok? Kau lupa dengan dokumen yang sudah dengan senang hati kau tanda tangani?" Morgan mengeram, matanya nampak bersorot tajam menatap Arga yang sedikit memucat.Arga mendengus kesal, dengan wajah pucat dan sorot mata tajam ia balas menatap Morgan yang tidak gentar dan takut sedikit pun."Aku bisa buka semu
"Jadi kapan?"Tjandra yang tengah sibuk dengan iPad-nya menoleh, mendapati Feni keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi ranjang. Tampak sang istri menatapnya dengan seksama, membuat Tjandra menghela napas panjang dan meletakkan benda itu di meja."Apanya yang kapan?" Tjandra balik bertanya, fokus menatap Feni yang sudah terindikasi hendak mengajaknya ribut."Morgan bawa calonnya, lah! Apa lagi sih memangnya?" Feni bersungut-sungut, membuat tawa Tjandra hampir pecah melihat berapa masam wajah sang istri."Ohh." Tjandra sudah menebak, pasti ini yang hendak Feni bahas. "Lusa, kemarin Morgan bilang lusa dia mau bawa Clara ke rumah."Feni menghela napas panjang. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur, menarik bedcover dan menutupi tubuhnya. Tjandra meraih kembali iPad yang tadi dia letakkan. Agaknya Feni tidak terlalu rewel malam ini. Ancamannya tadi benar-benar mampu membungkam sang istri yang biasanya ribut dan rewel setengah mati.&
"Morning!" Clara hampir berteriak ketika tangan kekar itu melingkar di pinggangnya, memeluknya dengan begitu erat.Clara tersenyum, mencubit lengan Morgan karena dia tahu di ruangan itu tidak hanya mereka berdua yang ada di sana, Mbok Sam pun ada, nampak menahan senyum sambil fokus memotong sayuran."Lepas!" bisik Clara setengah tersenyum ketika tangan itu malah semakin erat memeluk tubuhnya."Kenapa sih?" Morgan malah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Clara, membuat tubuh Clara meremang seketika."Ada Mbok Sam!" kembali Clara melotot, menatap Morgan yang nampak acuh dan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya.Morgan meraih pisau yang ada di tangan Clara, meletakkan benda itu di meja dan menarik Clara pergi dari dapur."Eh ... kemana? Aku mau bantuin Mbok Sam!" Clara mencoba mempertahankan diri, tentu dia tidak enak dengan wanita paruh baya yang bekerja di rumah Morgan. Kerja Mbok Sam jadi bertambah semen
“Kenapa ingin jadi pediatric?”Jimmy mengurungkan niatnya menyuapkan nasi itu. Ditatapnya Indira dengan saksama. Ah ... bahkan cara dia makan dan mengunyah makanan begitu mirip dengan Kirana. Apakah dia reinkarnasi dari Kirana? Tapi apakah betul reinkarnasi itu ada? Atau malah dia ini kembaran Kirana?“Sejak dulu, pertama kali koas di stase anak, saya sudah jatuh cinta dengan ilmu kesehatan anak, Dok.” Jawab Jimmy jujur apa adanya. Memang itu alasan dia masuk PPDS anak.Indira mengangguk, membuat Jimmy akhirnya bisa fokus pada nasi uduk yang ada di hadapannya. Apakah Indira memang seperti ini? Seperti ini dalam artian dia selalu ramah dan welcome kepada semua orang seperti saat ini dia memperlakukan Jimmy. Ataukah ... Ah! Jimmy membuang perasaan itu jauh-jauh. Kenapa dia bisa jadi GR begini?“Istri dokter juga?”Hampir saja Jimmy tersedak nasi yang memenuhi mulutnya, ia bergegas meraih botol air mineral dan meneg
Indira masih melamun dengan bayangan residen itu di kepalanya, ketika mendadak pintu ruang prakteknya terbuka dan sang suami muncul dari pintu itu.Wajah Arga nampak masam, melangkah tanpa banyak bicara lalu menjatuhkan diri di depan meja Indira. Indira mengubah posisi duduk santainya jadi serius, menatap lelaki itu dengan kening berkerut."Kau tidak coba mengagalkan spermaku membuahimu, kan, In?" Tanya Arga tanpa basa-basi."Apa maksudmu?" Indira terkejut, bukan apa-apa, hanya saja yang Arga tuduhkan itu ada benarnya! Diam-diam ketika sudah di rumah sakit, ia menenggak pil kontrasepsi darurat agar pergumulan terpaksa yang terjadi semalam tidak menghasilkan apapun meskipun Arga berkali-kali menumpahkan spermanya di dalam."Sudah cek ke obsgyn? Atau setidaknya pakai testpack?" Nampak Arga menyelidik, membuat Indira menghela napas panjang."Belum, kenapa?" Tanya Indira mencoba santai."Kenapa katamu?" Suara
"Temani saya nanti malam! Bisa?"Jantung Jimmy seperti hendak lompat dari tempatnya, dia tidak salah dengar, bukan? Apa yang Indira tadi katakan? Dia ingin Jimmy menemaninya nanti malam? Menemani yang seperti apa? Pikiran Jimmy sudah kemana-mana, dia hendak memperjelas apa maksud Indira, namun lidahnya mendadak kelu. Tidak ada suara yang keluar meskipun Jimmy sudah mati-matian mencoba bersuara."Saya tunggu di La Bella Resto, Jim. Jam tujuh tepat!" Indira lantas bangkit, menyunggingkan senyum manisnya lalu melangkah dengan begitu anggun meninggalkan Jimmy yang masih tertegun di tempatnya duduk.Sedetik dua detik otak Jimmy masih membeku, tidak bisa berpikir apapun. Tidak bisa mengirimkan sinyal perintah apapun ke organ tubuhnya!Hingga kemudian Jimmy lantas bisa berpikir dengan jernih ketika ia berhasil menguasai dirinya, ketika dia berhasil mengenyahkan pikiran-pikiran kotor itu dari dalam otaknya."Astaga! Kenapa pikiranku sampai sana
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la