"BRAKKK!!"
Pintu unit apartemen Clara terhempas dengan begitu kasar, Clara sampai tersedak teh yang tengah dia nikmati. Tampak Arga dengan wajah dan mata memerah mendekati dirinya, meraih cangkir di tangan Clara, melemparkan cangkir itu ke tembok hingga pecah berkeping-keping.
"Ah!" Clara memekik, wajahnya memucat.
Arga menatapnya dengan sorot mata tajam, menariknya bangun dari sofa lantas melayangkan tangannya tinggi-tinggi.
"PLAKKK!!!"
Tamparan keras itu mendarat di pipi sebelah kanan Clara, begitu keras hingga Clara terhuyung hampir jatuh kalau saja Arga tidak menarik tangannya.
"BARU DUA HARI AKU TIDAK MENGUNJUNGIMU, KAMU SUDAH HAMPIR MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI LAIN? DASAR MURAHAN!"
"PLAKKK!"
Kembali Arga menampar pipi Clara, sebuah tamparan yang langsung membekas merah di pipi Clara. Clara kembali terhuyung, kali ini dia jatuh di sofa, meringis kesakitan sambil memegang pipinya yang terasa panas dan m
"Nggak mungkin, In! Kamu jangan terlalu gampang percaya sama gosip!" wajah Dicky menegang, ia menatap anak perempuannya yang sedang menangis tersedu-sedu dalam pelukannya."Tapi ini bukan cuma gosip, Pa. Temen aku lihat Mas Arga sering ke apartemen itu! Bahkan sampai malam, posisi dia izin ada cito ke rumah sakit, apa coba namanya?" kembali tangis Indira pecah, membuat wajah Dicky makin kaku dan tampak marah.Dicky mengelus lembut kepala Indira yang dibenamkan di dadanya, benarkah apa yang Indira katakan? Bahwa menantu sempurnanya, menantu kebanggaan dan kesayangan Dicky menyeleweng dan menyelingkuhi anak gadisnya ini? Kalau benar, itu sangat keterlaluan!"Kau tahu dimana apartemen itu, In?" tanya Dicky dengan suara dingin."Tentu tahu, Pa! Saat ini bahkan Mas Arga di sana!" Indira melepaskan pelukannya, menatap sang papa dengan mata berlinang.Dicky mengeram, wajah dan matanya memerah luar biasa. Kurang ajar! Arga ber
"Tok ... tok ... tok!!"Arga yang hendak mengayunkan tangan guna menghajar Morgan sontak mengurungkan niatnya. Ketukan itu begitu keras dan mengejutkan mereka. Membuat suasana panas mereka sontak menghentikan ketegangan di antara mereka.Arga menatap tajam ke arah Morgan yang tampak tengah membetulkan kerah kemejanya, ia melangkah menuju pintu, menekan knop pintu itu dan terkejut luar biasa melihat siapa yang muncul di sana."Nah, ketahuan kan, kamu? Mau ngeles apa lagi sekarang?" semprot Indira yang langsung mendorong Arga mundur ke belakang."Eh, apa maksudnya, In?" Arga pucat pasi, dari mana Indira bisa tahu lokasi apartemen ini? Darimana dia tahu kalau Arga di sini?"Mana gundik kamu itu, mana? Sini biar aku-." Indira sontak melepaskan cengkraman tanganya, ia nampak sangat terkejut melihat Morgan, membuat Arga menghela nafas lega. Setidaknya bukan Clara yang dilihat Indira dan sang papa mertua."Loh, ini kan
Arga mengeram dalam diam, ia tengah menantikan saat di mana dia bisa mencecar lelaki itu dan menghajarnya sampai babak-belur. Agaknya lelaki itu benar-benar mencari masalah dengan dirinya dan Arga perlu memberinya pelajaran karena sudah berani menantang Arga!Pintu apartemen di ketuk, dengan begitu percaya diri dan tenang, Morgan bangkit melangkah ke arah pintu. Menekan knop pintu dan membukanya. Nampak lelaki tinggi tegap itu datang membawa tas hitam. Menunduk di hadapan Morgan lantas masuk ke dalam.Ah! Agaknya Arga salah sudah meremehkan lelaki ini! Dia lupa kekayaan yang Morgan miliki luar biasa banyak! Dan dia bahkan sudah mempersiapkan satu unit Ferrari untuk dirinya? Apakah Ferrari itu yang tadi di maksud Arga sebuah penawaran? Penawaran yang tadi dia tawarkan untuk Arga?"Berkas sudah siap semua, kan?" Morgan buka suara, menatap lelaki itu dengan seksama."Tentu siap, Bos!" lelaki itu mengangguk pelan, membuka tas dan menge
Morgan melambaikan tangan ketika mobil itu meninggalkan area parkir. Senyumnya luar biasa merekah dengan begitu indah di wajah itu. Dia menang telak malam ini! Tidak apa mengikhlaskan satu unit mobil sport itu, yang jelas per malam ini, Clara menjadi milikinya.Ia masih menatap mobil itu sambil melipat tangan di dada ketika kemudian Rudi menyenggol lengannya perlahan."Bos?"Morgan awalnya tidak terlalu memperhatikan, fokus pada euforia kemenangannya. Tetapi Rudi terus mencolek lengannya, membuat Morgan sontak menoleh dan menatap gemas ke arah Rudi."Apaan sih, Rud? Ganggu orang seneng aja sih?" salak Morgan tidak suka.Rudi menghela nafas panjang, "Saya tau Bos lagi seneng, tapi saya cuma mau tanya, dokter Clara-nya di mana?"Morgan sontak melotot mendengar kalimat itu, tanpa banyak bicara, Morgan berlari meninggalkan area parkir. Masuk ke dalam dan menekan tombol lift dengan begitu panik.Kenapa dia bis
"Berapa usia kandungannya, Dok?"Dokter tersebut nampak menghela nafas panjang, membuat setiap detik yang Morgan rasakan seolah berjalan lebih dan sangat lambat."Tiga minggu, masih sangat rentan sekali. Kami menduga tindak kekerasan dan pemerkosaan yang dialami pasien, menyebabkan hal tersebut terjadi."Morgan mengeram, tiga minggu? Fix, itu anak Arga! Tampak tangan Morgan mengepal. Rasanya ia ingin berlari menghampiri lelaki itu di rumahnya kemudian menghajar bajingan itu sampai babak belur. Tapi kalau itu dia lakukan, rasanya drama dan akting apik yang tadi mereka semua tampilkan akan sia-sia. Semuanya akan berantakan dan jangan lupa bahwa Clara bisa menjadi korban dari semua ini."Kami akan buatkan surat dan keterangan visum dari rumah sakit untuk melaporkan tindak kejahatan ini kepada pihak yang berwajib, Pak." ujar dokter tersebut yang sontak membuat Morgan terkejut dari lamunannya. "Akan kami bu-.""Tunggu, Dok!" Morgan mencekal
"Sebenarnya apa rencanamu?" Morgan menoleh, menatap Indira yang kini duduk di sampingnya.Mereka duduk di bangku yang ada di depan OK, suasana cukup ramai malam ini, entah mengapa banyak sekali orang yang mendadak perlu tindakan darurat hingga mereka perlu dibawa ke sini saat ini juga."Menyiksa jiwanya perlahan-lahan. Seperti apa yang selama ini dia lakukan kepadaku!" jawab Indira datar. Matanya menatap ke depan, lantas menoleh dan menatap Morgan yang jujur belum terima dengan permintaan Indira yang memohon agar Morgan tidak melaporkan Arga ke polisi.Morgan sedikit meremang melihat sorot mata itu, sebuah sorot mata yang begitu berbahaya! Ya ... Morgan dapat merasakannya. Indira hendak membuat suaminya gila? Atau ini adalah dampak dari apa yang selama ini Arga lakukan terhadap sang isteri?"Ka-kau ...," Morgan sampai tidak bisa berkata-kata, ia benar-benar merinding dan seperti dibungkam oleh sorot mata Indira."Aku p
"Bagaimana reaksinya?"Indira menatap Morgan dengan seksama, lelaki itu tampak masih memperhatikan layar ponsel yang ada di tangan. Sedetik kemudian Morgan mengangkat wajahnya, menatap Indira sambil tersenyum sinis."Tiba-tiba suaranya hilang," ponsel itu kembali dia masukkan dalam saku. "Pulanglah, takutnya dia pingsan."Sontak wajah Indira terkejut, "Jangan serangan jantung dulu! Aku belum puas menyiksa dia, Gan!" tentu, kematian mendadak macam itu sangat menyenangkan bagi Arga, dia tidak perlu merasakan stress dan depresi berkepanjangan macam Indira dulu.Morgan terbahak, "Kalau begitu pulanglah, pastikan dia tidak mati mendadak agar kau bisa menyiksanya sampai puas."Indira bangkit dari kursi, mengulurkan tangannya pada Morgan yang langsung mendapat balasan jabatan tangan dari Morgan."Senang berbinis denganmu, Bro! Saling berkabar, ya?""Tentu, kabari aku kalau dia sudah positif skizofrenia."Kembali tawa
Clara mengerjapkan mata, tubuhnya terasa begitu kaku dan sakit. Bahkan sakit itu dia rasakan menjalar sampai ke seluruh tubuh, terlebih pada perut dan organ intimnya. Clara berusaha membuka ke dua matanya, saat dia berhasil melakukan itu, ia sedikit terkejut melihat tempat dia mana dia bangun itu.Bukankah tadi ...Bayangan bagaimana Arga 'menunjukkan' rasa cinta dan kasihnya pada Clara tadi sontak kembali terbayang. Pipi Clara bahkan kembali terasa panas dan pedih ketika ingatan bagaimana keras Arga menamparnya tadi kembali terngiang.Dan jangan lupa punggung, organ intim dan ... ah! Clara bahkan sampai tidak bisa lagi berkata-kata. Rasa sakitnya terlampau luar biasa!Clara tersenyum ketika melihat sosok itu tidur sambil menggenggam tangannya. Pasti Morgan yang membawanya ke sini, bukan? Sedetik kemudian senyum Clara lenyap. Tapi bagaimana caranya Morgan bisa membawanya kemari? Bukankah tadi dia di apartemen bersama Arga? Dan kena
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la