Clara menyandarkan tubuhnya di jok mobil, air matanya masih menitik. Dia dengar semuanya tadi. Karena kelemahan Clara yang tidak bisa menolak permintaan Arga, Indira harus menjadi korban. Wanita itu tidak tahu apa-apa, tidak memiliki salah apapun pada Clara, tetapi dia harus menderita karena permainan gilanya bersama Arga.
"Gara-gara aku semuanya jadi kayak gini! Bodoh kamu, Ra! Bodoh!" Clara memaki dirinya sendiri.
Kalau ditanya, jujur Clara juga tidak mau hidup seperti ini. Memangnya enak hidup jadi simpanan suami orang? Kalau bagi wanita lain itu enak, bagi Clara itu sama sekali tidak enak! Terlebih dia harus berada satu tempat dengan Indira di rumah sakit, sering bertemu dan saling tegur sapa, tentu itu membuat tekanan Clara makin berat.
Clara tengah mengutuk dirinya sendiri ketika dering ponsel itu mengejutkan dirinya. Clara menyeka air mata yang menitik, siapa lagi sih? Semoga bukan on call. Clara rasanya ingin segera pulang dan mengunci
Clara membelalakkan mata ketika membaca tag harga di baju itu. Enam ratus empat puluh dollar? Baju kayak gini hampir sembilan juta lebih? Clara mengerutkan keningnya, rasa-rasanya dia pernah melihat orang pakai baju ini, siapa ya? Clara berpikir keras, sampai akhirnya dia ingat siapa yang pernah dia lihat! Baju ini sama dengan baju yang dipakai Nagita Slavina!"Astaga! Duit segini banyak cuma buat beli baju sepotong?" Clara memekik, ah dia lupa kalau orang satu itu duitnya ada banyak, beda dengan dokter yang masih harus pendidikan macam dia ini. Kalau hanya uang sembilan juta untuk beli baju, itu tidak akan mengurangi jumlah kekayaan yang Morgan miliki."Ah ... bodo amat! Kapan lagi pakai baju Sultan!" Clara menyampirkan baju itu di pundak, membuka satu lagi paper bag yang tadi disodorkan Rudi kepadanya.Kembali Clara merasa kepalanya begitu pusing ketika membaca label harga sepatu hak tujuh centi berwarna hitam itu. Mimpi apa dia semalam
Morgan terpukau dengan sosok yang kini berdiri di depan pintu apartemen itu. Baju yang dia pilihkan begitu pas dan membentuk lekuk tubuh Clara dengan begitu indah. Pantas saja dokter itu sampai melakukan segala cara untuk menjerat Clara dalam dekapannya, Clara seindah ini! Dia begitu luar biasa. High heels tujuh centi itu membungkus kaki Clara dengan begitu cantik. Rambut panjangnya yang lurus kinj berubah ikal di ujung. Wajahnya tersapu make-up simple namun membuat penampilan Clara makin mempesona. Intinya wanita satu ini memang luar biasa indah, Morgan akui itu. "Gan? Kenapa?" Morgan tergagap, tersenyum kikuk ketika Clara memergoki dirinya tengah termenung menatap keindahan yang melekat pada diri Clara. "Eh ... nggak, aku nggak apa-apa." Morgan nyengir lebar, memamerkan giginya yang begitu rapi dan bersih. "Sudah siap, kan?" Tampak Clara tersenyum malu-malu, mengangguk pelan menjawab pertanyaan yang Morgan tujukan kepadanya. "K
"Gan, kamu sakit?"Morgan yang tengah fokus pada setir mobilnya sontak menoleh, menatap Clara dengan mata menyipit. Sakit? paa yang membuat dokter cantik itu menduga bahwa dia tengah sakit?"Aku baik-baik saja, Ra. Dari mana kamu menyimpulkan bahwa aku sedang sakit?" Morgan terkekeh, apa yang membuat Clara berpikiran bahwa Morgan sedang sakit?"Kamu tampak aneh sejak tadi datang, Gan."Kembali Morgan terkekeh, jadi karena itu? Tidak tahukah Clara bahwa Morgan jadi seperti ini karena Clara? Karena dia terpesona oleh penampilan Clara yang begitu memukau?"Mau tahu apa yang membuatku jadi seperti ini, Ra?"Clara menoleh, menatap sosok yang hari ini begitu formal dengan kemeja lengan panjang dan celana bahannya. Apa yang membuat Morgan jadi tampak aneh hari ini?"Karena aku ...," Morgan sengaja tidak melanjutkan kalimatnya."Kenapa?" Clara tampak risau, kenapa lagi sih?"Karena aku terpesona dengan kecantikan kamu hari ini,
"Semua sehat Pa! Sehat, baik dan normal."Indira sedikit menekan kalimatnya dan Arga tahu betul apa tujuan Indira melakukan itu. Tentu ingin menegaskan bahwa dia normal, sehat dan bukan dia yang menjadi penyebab kenapa sampai sekarang dia tidak kunjung hamil.Arga menahan semua gejolak itu di dalam dirinya. Arga harus puas hari ini menjadi kambing hitam di mana-mana. Dia harus puas menjadi terduga penyebab kenapa Indira tidak kunjung hamil setelah dia nikahi. Walaupun sebenarnya dia juga yang menjadi membuat masalah ini, bukan?"Ah ... begitu? Syukurlah. Berarti kamu tidak bermasalah, In." Dicky meletakkan kertas itu di pangkuan, menatap putrinya dengan tatapan penuh kasih sayang.'Sialan, jadi mereka pikir aku yang bermasalah?' Arga memaki di dalam hati, 'Tidak kah mereka tahu bahwa mereka lah yang bermasalah, mempunyai masalah dengan diriku?'Arga benar-benar tidak tahan, namun demi suksesnya rencana yang sudah dia susun matang-matang, dia
Indira akhirnya pasrah, membiarkan laki-laki itu melakukan apa yang dia mau. Indira memejamkan matanya, membiarkan air mata menitik sambil mencoba mensugesti dirinya agar menolak sentuhan-sentuhan Arga yang jujur mulai membakar tubuhnya dengan begitu luar biasa. Indira benci situasi macan ini. Di mana otaknya menolak dan mengutuk keras tindakan ini, namun tubuhnya malah merespon dan menikmati tiap sentuhan yang Arga luncurkan kepadanya? "Kau sedang subur, bukan? Jadi ini sungguh waktu yang tepat untuk membuktikan ke semua orang bahwa aku bukan laki-laki sampah, In!" suara Arga begitu lirih, suara serak yang sialnya terdengar begitu indah di telinga Indira. "Kenapa bukan gundikmu yang kau hamili?" Indira membuka mata, menatap tajam Arga yang sudah polos mendindih tubuhnya. "Kau isteriku, In. Dan bukankah aku sudah bilang kalau dia menolak hamil selama belum aku nikahi?" 'Bajingan!' Indira mengumpat, sekarang saja dia men
Morgan mematikan mesin Pista kesayangannya, menatap Clara yang bergegas melepas seat belt. Clara hendak turun ketika kemudian Morgan mencekal tangan Clara, membuat Clara sontak menoleh dan menatap Morgan dengan seksama."Kenapa?" tanya Clara sambil mengerutkan kening."Yakin mau turun?" sungguh Morgan tidak tenang jika membawa Clara ke dalam sana, bukan apa-apa, di matanya Clara perempuan baik-baik, tidak pantas berada di sana."Tentu!" Clara tertawa, "Ayolah, jangan khawatir seperti itu, bukankah kita pergi berdua?" Clara kembali hendak turun, namun tangan Morgan kembali menarik Clara duduk di jok mobil."Bisa minum memang?" tujuan Morgan tentu hendak minum, dia sudah request beberapa wine dan whiskey pada Armando, jadi sia-sia, kan, kalau dia tidak bisa minum hanya karena sibuk menjaga Clara?"Kalau itu, kamu yang tahu jawabannya, Gan." Clara tersenyum, melepaskan tangan Morgan dari tangannya.Morgan mel
"Mau turun?" tawar Morgan yang tahu betul Clara sedikit perlu adaptasi dengan tempat barunya ini."APA?" wanita itu menoleh, setengah berteriak kepadanya, membuat Morgan lantas mendekatkan wajah.Wajah mereka begitu dekat, sangat dekat bahkan Clara bisa merasakan hembusan nafas laki-laki itu. Morgan tersenyum, mendekatkan bibirnya ke telinga Clara dan bergumam sedikit keras."MAU TURUN?"Clara sontak menggeleng cepat, balas mendekatkan wajahnya dan balik berteriak."NGGAK MAU!"Tawa Morgan pecah, mereka tampak terkekeh bersama hingga kemudian sosok dengan rambut agak kecokelatan itu mendekat ke meja mereka."Gue pikir lu nggak dateng, Man!" laki-laki itu langsung memberi salam hangat kepada Morgan, tangannya menjabat tangan Morgan dan saling menimpuk satu sama lain."Gila! Keren banget sumpah!" Morgan geleng-geleng kepala sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Gue bakal rekomendasiin ni
"RA, STOP!" Morgan mencekal tangan itu, Clara sudah cukup banyak minum di percobaannya yang pertama, dan itu tidak bagus.Tampak mata sayu dengan wajah memerah itu menatap Morgan sambil tersenyum, membuat Morgan sontak sakit kepala seketika. Morgan baru tidak banyak minum malam ini, ada Clara yang harus dia jaga, sedangkan wanita itu malah ... ah! Morgan meletakkan kembali gelas itu, bangkit lalu menarik tangan Clara dengan kasar."SAKIT!" Clara mengibaskan tangan Morgan, menatap tak suka pada Morgan yang melotot berdiri di hadapannya.Tanpa banyak bicara, Morgan kembali memaksa CLara bangun, dia harus segera dibawa pulang. Ini sudah diluar kendali. Tubuh itu akhirnya pasrah dengan tarikan Morgan, dua tangan Morgan mencengkeram bahu Clara, mendorongnya melesat keluar."ET, LU MAU KEMANA?"Morgan mendengus, ia tidak menjawab pertanyaan yang meluncur dari mulut Radit. Satu tangan Morgan menjabat tangan Radit, lantas kembali mendorong tubuh Clara kelu
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la