Clara tengah melangkah menuju OK ketika dering ponsel menyapanya. Ia merogoh saku snelli, mengambil ponsel itu dan memeriksa kira-kira siapa yang mengirimkan pesan kepadanya itu? Sejawat residen? Atau salah satu konsulen? Wajah Clara sontak berubah masam, ketika di layar itu tampak potongan pesan terpampang jelas, berikut nama si pengirim pesan.
‘Kutunggu di apartemen, aku rindu aroma tubuhmu!’
Clara menghela nafas panjang, ia segera memasukkan ponsel itu ke dalam saku snelli. Lantas melanjutkan langkahnya menuju OK. Dia tidak perlu membuka pesan itu, karena tanpa membukanya, Clara sudah tahu apa isi dari pesan yang dikirimkan Arga Yoga Saputra, seorang kardiolog yang juga bekerja di rumah sakit ini, menantu dari pemilik rumah sakit dan suami dari Indira Yustina Pramudita, seorang pediatric yang merupakan anak bungsu profesor Dicky Pramudita.
Kenapa laki-laki itu mengirimkan pesan bernada mesum kepada Clara? Rasanya tidak perlu dijelaskan dengan detail apa alasannya, karena tanpa perlu dijelaskan, semua orang sudah tahu apa maksud dan ada apa di balik pesan yang masuk ke dalam ponsel Clara itu.
Ia terus melangkah, pikirannya melayang pada saat itu, saat di mana dia harus rela terjerumus dalam hubungan toxic ini.
“Sampai kapanpun, aku cuma cinta kamu, Ra! Cuma kamu meskipun aku harus menikahi dia.”
Clara menghapus air matanya, saat itu dia tengah duduk di mobil bersama sosok itu, sosok laki-laki yang sudah dipacarinya sejak dia menjalani pendidikan koas. Yoga meremas lembut tangan Clara, membuat hati Clara makin pedih.
“Kamu harus lupakan semua tentang kita, Ga. Besok kamu sudah menikah dan tidak pantas laki-laki yang sudah beristri masih menyimpan perasaan cinta pada wanita lain.” Clara menatap manik yang berurai air mata itu dengan pedih, mau bagaimana lagi? Memang Clara bisa apa?
Arga sontak menggeleng cepat, mengangkat tangan Clara dalam genggamannya dan mengecup lembut telapak tangan itu. Tampak Arga begitu terpukul, syok dan entah apa lagi. Clara bisa melihat semua itu dari paras laki-laki yang sudah hampir tiga tahun dikenalnya ini.
“Tidak, Ra! Di hatiku cuma ada kamu, aku cuma cinta kamu dan tidak ada satu pun orang di dunia ini yang mampu melarangku untuk tidak mencintaimu, memaksaku membunuh cintaku padamu, tidak ada yang bisa!”
Hati Clara mencelos, hari ini harusnya Arga berada di rumah. Ada serentetan acara untuk pernikahannya besok pagi, dan nyatanya sekarang dia malah duduk berdua bersama Clara dalam mobilnya, terparkir di sebuah taman dengan kaca sedikit dibuka, membicarakan hal yang sebenarnya sudah tidak perlu dibicarakan lagi.
“Yang berhak atas kamu adalah isterimu, Ga. Bukan aku.” Clara masih mencoba tegar, masih mencoba kuat walaupun dia sendiri hancur, dia sendiri rapuh dan terluka atas takdir yang begitu kejam memisahkan dia dari kekasihnya ini.
“Ra, please! Kita tetap seperti ini, ku mohon!”
Clara sontak terkejut. Tetap seperti ini? Seperti ini yang bagaimana? Arga ingin Clara menjadi wanita simpanan Arga? Menjadi kekasih gelap dari laki-laki yang sudah beristri? Yang benar saja!
Clara sontak menggeleng, membuat Arga menatap nanar wanita cantik dengan lesung pipit yang begitu manis itu. “Nggak, aku nggak bisa, Ga. Lebih baik kita-.”
“NGGAK!” potong Arga keras, “Sampai kapanpun kamu tetap jadi milikku, Ra! Sampai kapanpun!”
Clara membeku, menatap Arga yang wajah dan matanya nampak memerah itu. Tetap jadi miliknya? Kenapa Arga begitu egois? Bisa habis Clara kalau sampai keluarga Arga dan isterinya tahu perihal hubungan antara mereka! Clara bukan siapa-siapa, dan kalau harus melawan orang-orang itu, tentu Clara tidak akan bisa.
“Ga, ini nggak benar!” Clara mencoba menolak, mencoba berpikir jernih dan waras menghadapi masalahnya ini.
Pacarnya direbut, dipaksa menikah dengan wanita lain oleh orang tuanya. Clara memang hancur, tapi itu tidak lantas membuat Clara harus kehilangan akal sehat dengan setuju pada kemauan Arga. Semua itu tidak benar!
“Mereka memaksaku menikahi wanita yang tidak aku cintai, apakah itu benar, Ra?” suara Arga meninggi, wajahnya merah padam, membuat rasa takut itu sedikit mencengkeram hati Clara.
“Tapi mereka orang tuamu, mereka ingin yang terbaik buat kamu, Ga.”
Kini Arga melepaskan genggaman tangan mereka, menggeleng cepat dan menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Clara bisa melihat dengan jelas air mata itu menitik membasahi pipi laki-laki itu, membuat air matanya ikut menitik.
Bukan salah Clara kalau dia tidak lahir dari sperma dan rahim seorang dokter. Kalau bisa meminta, dia juga ingin seperti sejawatnya yang berasal dari golongan darah biru! Dia ingin punya privilege sepanjang pendidikan dan kariernya, tapi apa ada? Tuhan menakdirkan Clara dari sperma dan rahim pasangan suami-isteri yang biasa-biasa saja. Hal yang kemudian membuat kekasihnya harus dipaksa menikahi gadis pilihan orang tuanya.
“Mereka hanya ingin yang terbaik untuk finansial mereka, Ra. Ini semua cuma pernikahan bisnis.” desis Arga lirih.
Clara membisu, memang Clara harus bilang apa lagi? Tidak perlu Arga jelaskan, Clara sudah tahu semua itu. Sudah mengerti apa alasan orang tua dari sang kekasih menjodohkan Arga dengan wanita lain. Rasanya semuanya sudah cukup dan Clara harus tahu diri. Dia tidak diinginkan dan oleh karena itu dia harus segera pergi. Membiarkan Arga menjalani kehidupan barunya.
“Tolong, aku harap ini terakhir kali kita bertemu, Ga. Aku tidak ingin menyakiti isterimu.” Clara memaksakan diri tersenyum, membuka seat belt-nya lalu melangkah turun. Diam-diam dia sudah pesan ojek online, sang driver tampak mencari dirinya, membuat Clara cepat-cepat melangkah naik dalam boncengan motor matic berwarna hitam itu.
Arga terpekur di tempatnya duduk, memandangi gadisnya pergi dengan membonceng motor tanpa menoleh lagi ke arahnya. Terakhir kalinya mereka bertemu? Arga tersenyum sinis, jangan harap Arga akan mengabulkan permintaan itu, karena dia akan melakukan apapun agar tetap bisa memiliki gadis yang begitu ia cintai itu.
“Kau tidak akan bisa kemana-mana Clarabella Sutomo, tidak akan bisa!”
Arga tidak peduli dengan perubahan statusnya esok pagi. Dia tidak peduli dengan wanita yang besok akan duduk bersamanya di depan penghulu. Arga memang akan melakukan semua itu, hanya demi membuat kedua orang tuanya senang. Dan apa yang akan Arga lakukan kemudian, adalah bayaran atas apa yang sudah Arga lakukan demi menyenangkan kedua orang tuanya.
“Kau pikir bisa lari dariku? Aku hanya ingin kamu, Ra. Dan aku tidak akan pernah biarkan laki-laki lain memilikimu.” Suara Arga begitu dingin, sedingin angin malam yang membelainya dalam kesendirian.
“Jika kedua orang tuaku bisa memaksaku melakukan apa yang mereka mau, maka aku pun bisa memaksamu untuk melakukan apa yang aku mau, Ra.”
Clara menjatuhkan diri ke atas kasur. Air matanya masih menganak sungai sejak dia masih di mobil Arga tadi. Sebuah takdir yang begitu epic, bukan?Banyak mimpi yang sudah Clara rajut bersama Arga selama ini. Tentang jenjang karier mereka di masa depan, keluarga kecil yang begitu mereka idamkan, dan sekarang? Semua musnah, hancur oleh kenyataan bahwa sang kekasih yang selama ini menjadi teman suka-duka berjuangnya sudah dijodohkan dengan gadis lain oleh orang tuanya.“Ikhlas, Ra! Ikhlas!” Clara bangkit, duduk di atas kasurnya dan mencoba menenangkan diri.Siapa yang tidak hancur? Siapa yang tidak syok dan terpukul jika kisah yang selama ini dirajut harus kandas seperti ini?Clara menghela nafas panjang, berusaha tetap kuat meskipun saat ini dia hancur. Clara sudah bertekad bahwa mulai hari ini hubungan dia dengan sosok Arga Yoga Saputra sudah berakhir. Apapun itu tidak ada lagi hubungan yang terjalin di antara mereka, kecuali hubungan
Ketika bibir itu terlepas dari bibirnya, Clara sampai lupa akan niatnya untuk berteriak minta tolong. Dia sudah terlanjur lemas, hampir kehabisan oksigen sepanjang bibir itu melumat bibirnya tanpa ampun. Terlebih sakit yang teramat sangat di organ intimnya itu membuat Clara lupa tentang perlawaannya. Semua sudah terjadi, entah siapa laki-laki yang berhasil merusak dan mengagahinya malam ini, dia tidak tahu.Namun jika dilihat dari betapa manis ciuman bibir beraroma alkohol itu ... betapa besar dan kokoh lengan laki-laki yang kini tengah memacu tubunya, Clara langsung teringat pada seseorang. Tapi apakah mungkin?“A-Arga ...,” rintih Clara lirih, apakah mungkin mantan kekasihnya yang memperkosa dia malam ini? Tapi bukankah dia seharusnya menikmati malam ini bersama isterinya, bukan malam memaksakan kehendaknya pada Clara seperti ini?“Ah ... ya Sayang, ini aku!”Suara itu!Clara sontak membelalakkan matanya, namun hanya seben
Clara melepas handscoon dan nurse cap-nya, sepanjang operasi tadi ingatan Clara malah kembali pada malam yang kemudian menjebak Clara dalam hubungan terlarang dengan mantan kekasihnya itu. Hubungan yang sudah berlangsung hampir dua tahun.Sejak malam itu, Clara dipaksa dan lebih tepatnya lagi terpaksa pindah ke sebuah apartemen yang Arga belikan untuknya lengkap dengan sebuah mobil. Di sanalah dosa itu terus mereka lakukan. Arga datang kapanpun dia mau tanpa bisa Clara tolak, bahkan jangan lupakan bahwa Clara bisa lanjut pendidikan spesialis ini karena uang dari Arga juga yang per tahun kemarin sudah lulus dari pendidikan spesialisnya.“Ra, mau kemana setelah ini?”Clara menoleh, menatap chief residen bedah berwajah agak kebule-bulean itu tersenyum setelah melepas maskernya. Namanya Adrian, berdarah Jerman karena ibunya adalah orang Jerman, sedangkan sang ayah Indonesia asli.“Pulang, Dok. Rasanya capek banget.” J
Clara mencengkeram kuat-kuat sprei dan bantalnya, kalau boleh jujur, selama dua tahun menjadi pelayan Arga, tidak selalu Clara mencapai klimaks-nya ketika disentuh Arga seperti ini. Bukan karena Arga tidak pandai foreplay guna memanaskan dirinya, tetapi karena perasaan bersalah dan berdosa yang Clara miliki pada isteri dari laki-laki yang tengah menindih tubuhnya malam ini yang membuat Clara begitu tertekan dan hanya setengah hati dan tidak menikmati pergumulan mereka.Beberapa menit berlalu, Clara dapat merasakan tubuh Arga menegang, deru nafas Arga makin memburu. Dia sudah hampir sampai, bukan? Agaknya pelayanan Clara malam ini begitu memuaskan sosok itu, terbukti dengan ekspresi sensual yang Arga tunjukkan.Clara memejamkan matanya erat-erat, dan tidak perlu waktu lama ia merasakan cairan hangat itu menyembur dan memenuhi rahimnya. Arga memekik keras, mengeram panjang dengan nafas tersenggal-senggal, mendekatkan bibirnya di telinga Clara dan berbisik dengan
Clara menyingkirkan lengan kokoh itu dari atas tubuhnya. Tampak wajah itu begitu pulas tertidur. Agaknya pelayanan Clara semalam sangat memuaskan dirinya. Terbukti laki-laki itu sekarang tidur begitu pulas macam bayi baru lahir.Clara berusaha bangkit, pangkal pahanya terasa begitu pedih. Bagaimana tidak? Arga tidak hanya minta satu kali, entah berapa kali semalam ia harus menjadi budak pemuas laki-laki itu, Clara sampai tidak mau menghitungnya.“Ga, kamu nggak pulang?” sekali lagi sebuah bahasa pengusiran, kalau Arga mau sedikit saja sadar diri, namun Arga terkesan masa bodoh dan tidak peduli.Tubuh itu tidak bereaksi, membuat Clara lantas mengguncang lengan kokoh itu agar mau bangun dan segera pulang. Sebodoh amat apartemen ini dia yang membelikan, toh Clara tidak meminta Arga membelikan dia apartemen, bukan?“Ga ... ini sudah pagi, kamu tidak pulang?” kembali hal itu yang Clara tanyakan. Kali ini lebih keras dan dengan guncangan
Clara melangkah ke kantin, baru beberapa langkah masuk, matanya menatap sosok itu duduk bersama beberapa sejawat di sebuah meja. Matanya menatap Clara, Clara pun sama menatap mata itu lantas masuk ke dalam tanpa berkata-kata. Memang begini kamuflase mereka, ketika di rumah sakit, mereka sama sekali tidak berinteraksi. Beradu pandang pun hanya sebentar, lalu fokus pada kegiatan masing-masing tanpa saling bertegur sapa. Tidak heran sampai sekarang tidak ada satu pun orang yang tahu bangkai apa yang mereka sembunyikan selama ini. Tidak dengan dokter Indira sekalipun. “Boleh gabung di sini?” tanya Clara ramah pada beberapa anak koas, lebih tepatnya koas perempuan karena sosok itu meskipun terlihat cuek, selalu mengamati gerak-gerik Clara dengan detail. “Oh iya boleh, Dokter.” Mereka kompak tersenyum, beberapa menggeser duduknya, memberi tempat untuk residen anestesi itu duduk di bangku kantin. “Kok sendirian, Dok?” tanya salah seorang mereka yang langsung
Morgan Alvaro, pengusaha importir mobil mewah itu sontak langsung keluar dari mobilnya begitu mobil yang dia hantam terseret dan menabrak water separator. Emosinya membuncah, bagaimana tidak? Mobil mini berwarna merah itu nekat melaju meskipun lampu sudah berubah merah, yang mana membuat Ferrari 488 Pista-nya ringsek di bagian depan.“Woy, turun lu!” Morgan tidak peduli dengan klakson-klakson yang ditekan efek ia menghentikan Ferrari-nya di tengah jalan, yang ia pedulikan hanyalah menghajar orang yang sudah membuat mobil kesayangannya itu ringsek.Morgan tertegun ketika mendapati seorang wanita yang menjadi sopir mobil itu terkulai tidak sadarkan diri di jok kemudi, hal yang membuat dia lantas panik dan berteriak pada beberapa polisi yang mendekat ke arahnya.“Pak, tolongin itu yang di dalam pingsan, Pak!” Morgan lupa pada amarahnya, fokusnya pada wajah cantik dengan darah segar yang mengucur dari dahinya, Morgan benar-benar pani
Arga turun dari taxi online yang dia pesan, dengan tubuh sempoyongan dia menerjang pintu depan rumah mewah hadiah dari mertuanya. Melesat naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Yang harus dia temui sekarang ini adalah sang isteri.BRAKKPintu kamar itu terhempas, menampakkan Indira yang tengah menyusut air matanya. Wanita itu menoleh, menatap Arga dengan wajah kaku berhias linangan air mata.“Oh ... kau pulang juga rupanya?” tanya Indira sambil tersenyum sinis.Arga kembali membanting pintu, membuat pintu itu tertutup rapat seketika. Dengan sisa-sisa kesadarannya ia melangkah mendekati sang isteri, menatapnya dengan tatapan tajam.“Jangan pernah kau campuri urusanku, In! Bukankah sudah berulang kali aku peringatkan?” ancam Arga sambil melotot tajam.Tawa Indira pecah, ia balas menatap tajam sorot mata sang suami.“Aku sudah cukup muak, Mas!” desis Indira pelan, “Sudah saatnya ak
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la