Clara melepas handscoon dan nurse cap-nya, sepanjang operasi tadi ingatan Clara malah kembali pada malam yang kemudian menjebak Clara dalam hubungan terlarang dengan mantan kekasihnya itu. Hubungan yang sudah berlangsung hampir dua tahun.
Sejak malam itu, Clara dipaksa dan lebih tepatnya lagi terpaksa pindah ke sebuah apartemen yang Arga belikan untuknya lengkap dengan sebuah mobil. Di sanalah dosa itu terus mereka lakukan. Arga datang kapanpun dia mau tanpa bisa Clara tolak, bahkan jangan lupakan bahwa Clara bisa lanjut pendidikan spesialis ini karena uang dari Arga juga yang per tahun kemarin sudah lulus dari pendidikan spesialisnya.
“Ra, mau kemana setelah ini?”
Clara menoleh, menatap chief residen bedah berwajah agak kebule-bulean itu tersenyum setelah melepas maskernya. Namanya Adrian, berdarah Jerman karena ibunya adalah orang Jerman, sedangkan sang ayah Indonesia asli.
“Pulang, Dok. Rasanya capek banget.” Jawab Clara berbohong.
Padahal setelah ini, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan lebih lelah lagi karena Arga sudah menantinya, hendak meminta jatah nikmat dunia yang selalu dia minta pada Clara.
“Nggak kepengen makan dulu? Saya traktir deh,” Adrian tersenyum, melangkah menjejeri Clara yang tengah menuju ruang ganti.
Clara tersenyum, sebenarnya dia tahu bahwa residen tahun terakhir ini menyimpan perasaan kepadanya, hanya saja Arga tidak akan pernah tinggal diam jika ada dokter atau laki-laki manapun yang mendekati Clara. Dan Clara tidak bisa berkutik sama sekali karena biaya hidup dan pendidikan residensinya bergantung pada sosok itu.
“Terima kasih banyak, Dok. Tapi lain kali saja.” Tolak Clara halus.
Tampak wajah tampan dengan mata cokelat itu kecewa, namun senyum itu masih bertengger di wajah Indo yang selalu sukses menjadi idola di rumah sakit itu.
“It`s okay, selamat beristirahat, Ra.”
Clara tersenyum dan mengangguk, sayang sekali dia sudah terikat dengan Arga, kalau tidak rasanya menerima niat baik sosok itu tidak ada salahnya, bukan? Tapi mau bagaimana lagi? Clara sudah terjebak dan terjepit dengan situasi yang cukup sulit. Dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Clara hendak mencuci tangannya, ketika kemudian ponselnya berdering, ia meraih benda itu, nampak nama Arga memanggil.
“Ya halo? Aku baru selesai, baru mau ganti baju, kenapa?” tanya Clara yang jujur sudah begitu bosan dan jenuh dengan kehidupan bebasnya bersama dokter jantung muda itu.
“Cepat pulang, aku punya mainan baru Sayang, dijamin kamu suka.”
Mainan baru? Clara menghela nafas panjang, entah apa lagi yang akan laki-laki itu lakukan kepadanya. Kenapa semakin lama Clara semakin muak? Dia mematikan sambungan telepon tanpa bersuara apapun, memejamkan mata guna mengurangi sesak di dadanya.
“Harus sampai kapan?”
***
Clara membuka pintu apartemennya, nampak sosok itu sudah duduk di sofa, membuat Clara rasanya sudah tidak sanggup lagi dengan segala macam hal yang harus dia jalani saat ini. Clara memaksakan diri tersenyum, melepas sepatunya lalu melangkah masuk.
“Kau tampak lelah, Sayang?”
Arga bangkit, menyongsong Clara dengan senyum manis. Ia merentangkan tangannya, mendekap tubuh itu erat-erat. Clara mendengus panjang, dibalik profesi yang di mata orang-orang begitu terhormat, ia harus rela menjadi simpanan suami orang. Sungguh ironis, bukan?
“Ku harap kamu masih punya tenaga untuk kita bersenang-senang malam ini, Sayangku.” Arga berbisik lirih, membawa tubuh Clara melangkah menuju sofa.
Clara hanya diam dan menurut, memang dia bisa apa? Melawan sosok ini sama saja dengan bunuh diri. Clara akan kehilangan semuanya. Kariernya, masa depan pekerjaannya, semua akan lenyap jika dia berani melawan laki-laki yang dulu begitu ia puja dan cintai.
“Kamu tidak pulang, Ga?” sebuah kalimat pengusiran yang begitu halus kalau Arga mau menyadarinya.
Laki-laki berbadan kekar itu malah melingkarkan tangannya makin erat, menghirup aroma tubuh Clara dalam-dalam. Membuat Clara mendesah kesal, bagaimana cara mengusir laki-laki ini pergi?
“Kamu lupa, Sayang? Ini rumahku juga.” Sebuah jawaban yang seolah menampar Clara dengan begitu keras. “Dan jangan lupa ... aku mau kamu malam ini, Sayang.”
Clara sontak lemas. Itu artinya Arga tidak akan pulang malam ini. Dia akan tetap di sini, menyesap habis nikmat tubuh Clara hingga dia lemas tidak berdaya. Membawa Clara kembali berkubang dalam dosa berkepanjangan yang entah mau sampai kapan menjerat Clara.
Clara hendak buka suara, namun Arga lebih cepat membungkam bibir Clara dengan bibirnya. Clara membeku, jika dulu ia begitu suka dan terpesona dengan bibir ini ketika menyapu bibirnya, namun sekarang tidak lagi! Clara sama sekali tidak menyukainya, tidak lagi mendewakan laki-laki ini.
Bagi Clara, Arga tidak lebih dari laki-laki berengsek. Dan jangang pernah tanyakan kenapa Clara masih bertahan, semua sudah jelas tertulis perihal alasan apa yang membuat Clara pasrah diperlakukan seperti ini oleh Arga.
“Jangan di sini, Ga!” Clara menarik wajahnya, melepaskan diri dari pagutan bibir itu.
Bisa Clara lihat sorot mata itu sudah begitu menginginkan dirinya. Deru nafas Arga sudah memburu, membuat Clara makin terpojok. Tidak ada lagi celah untuk dia lepas dari cengkeraman Arga, kecuali jika kardiolog ini mendapatkan telepon darurat dari rumah sakit.
“I see, lebih leluasa di dalam, bukan? Aku sudah tidak sabar, Sayang.”
“AAAA!” Clara memekik ketika Arga membawa tubuhnya dalam gendongan. Mata mereka beradu, mata Arga masih seperti dulu, makin menggairahkan malah kalau ia tengah seperti ini.
Namun mengingat apa yang sudah Arga lakukan kepadanya dahulu, bagaimana Arga menjadikan dia budak seperti ini, membuat Clara begitu muak dan benci pada laki-laki ini sebenarnya. Dan sekali lagi, laki-laki berengsek ini punya sejuta cara untuk merantainya dan membuat Clara bertahan meskipun Clara sudah begitu lelah dan ingin menyerah.
Dengan lembut Arga membaringkan tubuh Clara di atas ranjang. Tanpa diperintah, ia langsung melucuti pakaiannya sendiri, membuat Clara sontak memejamkan matanya sambil memijit pelipisnya perlahan.
Selang beberapa detik, Clara merasakan tubuh itu sudah mendarat di atas tubuhnya, menghimpit dan menindihnya tanpa ampun. Tangan kekar itu mulai melucuti pakaian yang Clara kenakan satu persatu, deru nafas itu makin memburu, Clara mendengarnya dengan jelas dan itu artinya, tidak ada lagi kesempatan lari untuk Clara, sama sekali tidak ada!
‘Tuhan, sampai kapan saya harus seperti ini?’
Sementara itu, Arga tidak memperdulikan apapun. Walau dia sebenarnya sudah merasa bahwa cinta itu tidak lagi ada, tapi Arga tidak peduli. Ia masih begitu mencintai Clara, tidak peduli bahwa Clara sekarang bahkan sudah banyak berubah.
Malam ini Arga tidak akan kemana-mana. Dia akan tetap di sini sampai pagi menjelang, menyesap habis madu itu dari tubuh wanita dambaannya. Dia tidak akan pulang, karena sebenarnya di sinilah tempatnya berada, bersama Clara, wanita yang begitu ia cintai sejak dulu kala, bukan di rumah mewahnya bersama wanita itu, wanita yang merupakan isteri pilihan orang tuanya.
Clara mencengkeram kuat-kuat sprei dan bantalnya, kalau boleh jujur, selama dua tahun menjadi pelayan Arga, tidak selalu Clara mencapai klimaks-nya ketika disentuh Arga seperti ini. Bukan karena Arga tidak pandai foreplay guna memanaskan dirinya, tetapi karena perasaan bersalah dan berdosa yang Clara miliki pada isteri dari laki-laki yang tengah menindih tubuhnya malam ini yang membuat Clara begitu tertekan dan hanya setengah hati dan tidak menikmati pergumulan mereka.Beberapa menit berlalu, Clara dapat merasakan tubuh Arga menegang, deru nafas Arga makin memburu. Dia sudah hampir sampai, bukan? Agaknya pelayanan Clara malam ini begitu memuaskan sosok itu, terbukti dengan ekspresi sensual yang Arga tunjukkan.Clara memejamkan matanya erat-erat, dan tidak perlu waktu lama ia merasakan cairan hangat itu menyembur dan memenuhi rahimnya. Arga memekik keras, mengeram panjang dengan nafas tersenggal-senggal, mendekatkan bibirnya di telinga Clara dan berbisik dengan
Clara menyingkirkan lengan kokoh itu dari atas tubuhnya. Tampak wajah itu begitu pulas tertidur. Agaknya pelayanan Clara semalam sangat memuaskan dirinya. Terbukti laki-laki itu sekarang tidur begitu pulas macam bayi baru lahir.Clara berusaha bangkit, pangkal pahanya terasa begitu pedih. Bagaimana tidak? Arga tidak hanya minta satu kali, entah berapa kali semalam ia harus menjadi budak pemuas laki-laki itu, Clara sampai tidak mau menghitungnya.“Ga, kamu nggak pulang?” sekali lagi sebuah bahasa pengusiran, kalau Arga mau sedikit saja sadar diri, namun Arga terkesan masa bodoh dan tidak peduli.Tubuh itu tidak bereaksi, membuat Clara lantas mengguncang lengan kokoh itu agar mau bangun dan segera pulang. Sebodoh amat apartemen ini dia yang membelikan, toh Clara tidak meminta Arga membelikan dia apartemen, bukan?“Ga ... ini sudah pagi, kamu tidak pulang?” kembali hal itu yang Clara tanyakan. Kali ini lebih keras dan dengan guncangan
Clara melangkah ke kantin, baru beberapa langkah masuk, matanya menatap sosok itu duduk bersama beberapa sejawat di sebuah meja. Matanya menatap Clara, Clara pun sama menatap mata itu lantas masuk ke dalam tanpa berkata-kata. Memang begini kamuflase mereka, ketika di rumah sakit, mereka sama sekali tidak berinteraksi. Beradu pandang pun hanya sebentar, lalu fokus pada kegiatan masing-masing tanpa saling bertegur sapa. Tidak heran sampai sekarang tidak ada satu pun orang yang tahu bangkai apa yang mereka sembunyikan selama ini. Tidak dengan dokter Indira sekalipun. “Boleh gabung di sini?” tanya Clara ramah pada beberapa anak koas, lebih tepatnya koas perempuan karena sosok itu meskipun terlihat cuek, selalu mengamati gerak-gerik Clara dengan detail. “Oh iya boleh, Dokter.” Mereka kompak tersenyum, beberapa menggeser duduknya, memberi tempat untuk residen anestesi itu duduk di bangku kantin. “Kok sendirian, Dok?” tanya salah seorang mereka yang langsung
Morgan Alvaro, pengusaha importir mobil mewah itu sontak langsung keluar dari mobilnya begitu mobil yang dia hantam terseret dan menabrak water separator. Emosinya membuncah, bagaimana tidak? Mobil mini berwarna merah itu nekat melaju meskipun lampu sudah berubah merah, yang mana membuat Ferrari 488 Pista-nya ringsek di bagian depan.“Woy, turun lu!” Morgan tidak peduli dengan klakson-klakson yang ditekan efek ia menghentikan Ferrari-nya di tengah jalan, yang ia pedulikan hanyalah menghajar orang yang sudah membuat mobil kesayangannya itu ringsek.Morgan tertegun ketika mendapati seorang wanita yang menjadi sopir mobil itu terkulai tidak sadarkan diri di jok kemudi, hal yang membuat dia lantas panik dan berteriak pada beberapa polisi yang mendekat ke arahnya.“Pak, tolongin itu yang di dalam pingsan, Pak!” Morgan lupa pada amarahnya, fokusnya pada wajah cantik dengan darah segar yang mengucur dari dahinya, Morgan benar-benar pani
Arga turun dari taxi online yang dia pesan, dengan tubuh sempoyongan dia menerjang pintu depan rumah mewah hadiah dari mertuanya. Melesat naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Yang harus dia temui sekarang ini adalah sang isteri.BRAKKPintu kamar itu terhempas, menampakkan Indira yang tengah menyusut air matanya. Wanita itu menoleh, menatap Arga dengan wajah kaku berhias linangan air mata.“Oh ... kau pulang juga rupanya?” tanya Indira sambil tersenyum sinis.Arga kembali membanting pintu, membuat pintu itu tertutup rapat seketika. Dengan sisa-sisa kesadarannya ia melangkah mendekati sang isteri, menatapnya dengan tatapan tajam.“Jangan pernah kau campuri urusanku, In! Bukankah sudah berulang kali aku peringatkan?” ancam Arga sambil melotot tajam.Tawa Indira pecah, ia balas menatap tajam sorot mata sang suami.“Aku sudah cukup muak, Mas!” desis Indira pelan, “Sudah saatnya ak
Clara mengerjapkan matanya perlahan-lahan, rasa pedih itu terasa begitu menusuk di dahi sebelah kirinya. Rasanya begitu pedih. Sorot lampu yang begitu terang sedikit menyakiti matanya, membuat matanya sontak kembali terpejam.“Dok, Dokter bisa dengar saya?”Suara asing itu tertangkap oleh telinga Clara. Darimana orang itu tahu kalau Clara seorang dokter? Ah dia lupa, bukankah identitasnya tertulis di atasan scrub yang dia pakai dinas hari ini?Clara mencoba kembali membuka matanya, kini matanya bisa beradaptasi dengan lampu terang yang begit benderang itu. Pandanganya mulai jelas, ia bisa menangkap sosok bersnelli lengan panjang dengan jilbab biru itu.“Saya di mana? Kok bisa di sini?” Clara benar-benar terkejut, ini IGD rumah sakit! Matanya mulai memandangi satu persatu wajah yang ada di hadapannya. Dokter dengan jilbab biru itu, seorang perawat dan seorang laki-laki yang ...“Dokter masih ingat kejadian sebe
Arga mencoba menetralkan nafasnya, tubuhnya terasa sangat lengket dan panas. Ia terengah dengan Indira yang terisak sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Permainan mereka sudah usai, Arga sudah mendapatkan apa yang dia cari, apa yang dia inginkan malam ini.Ia ingin Clara, namun dia tidak tahu sekarang dimana kekasihnya itu berada. Apakah benar dia tengah menonton film bersama residen bedah itu? Kalau benar, akan Arga patahkan leher laki-laki itu besok pagi.Suara isak tangis Indira terdengar begitu jelas setelah segala macam desahan, erangan dan irama penyatuan mereka lenyap menguar bersama sisa-sisa nikmat yang kini tengah Arga nikmati. Ia menoleh, tersenyum sinis menatap punggung yang membelakangi dirinya itu."Sudahlah, tidak usah menangis. Bukankah ini yang kamu minta tadi? Sudah aku berikan jadi diamlah!" Ejek Arga seraya mengusap keringat yang membasahi wajahnya.Indira menoleh, membalikkan tubuhnya dan menatap suaminya i
“Tidak diangkat?”Clara menoleh, tampak laki-laki itu tersenyum simpatik ketika melihat dirinya frustasi dengan ponsel dan panggilan-panggilan yang tadi dia layangkan. Clara hanya balas tersenyum sambil menggeleng perlahan. Tampak senyum laki-laki itu makin lebar, membuat Clara merasa aneh melihat senyum itu. Kenapa begitu manis?“Sudah lupakan dulu, istirahatlah. Nanti kalau dia sudah tidak sibuk pasti dia akan menghubungimu balik.”Ah ... betul juga! Tapi Arga sibuk apa? Sedang apa dia sampai-sampai Clara berkali-kali telepon dan dia abaikan? Kalaupun marah, Arga bukan tipe laki-laki yang ketika marah lantas mendiamkan dan mengabaikan pesan dan panggilan yang Clara layangkan.“Kok sedih? Siapa memangnya yang begitu ingin kamu telepon? Pacar?”Clara tergagap, siapa memangnya? Kalau bilang Arga pacarnya, Arga sendiri sudah punya isteri, kalau mau bilang Arga bukan siapa-siapa, mana ada laki-laki yang bukan siapa-
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la