"Jangan berisik!" sergah Raven.
“Hais … sebagai seorang mantan tentara berbintang banyak dan suaminya, bagaimana kamu menilai hal ini?" tanyanya sembari menonton Vivian yang hanya menangis dan berteriak minta tolong ketika dua laki-laki yang dikirimnya itu berhasil membully Vivian dengan mudah.Sedangkan Raven hanya diam saja sambil terus menatap layar laptopnya. Dia bukanlah Sean yang mudah ditipu oleh Vivian. Dia hafal setiap inci tubuh Vivian, begitu juga dengan isi pikiran wanita yang pernah membuatnya jatuh dalam perasaan cinta buta itu.‘Dia masih tajam,’ batinnya yang bisa menebak kalau Vivian sebenarnya sudah menyadari jika dua laki-laki itu adalah kiriman mereka.“Rav, bagaimana menurutmu?” tanya Sean sekali lagi sambil menepuk pundak Raven yang hanya diam saja.Raven pun menoleh. “Menurutku kamu bodoh,” jawabnya berubah santai.“Hah?” Sean terkejut mendapat komentar seperti itu.Lalu Raven dengan cepat menutup laptopnya. “Cepat selesaikan kekacauan ini. Aku tidak ingin orang tua itu mendegar ada hal yang seperti ini di perusahaanya!" perintahnya.Sean pun mengerutkan keningnya. “Apa kamu percaya kalau dia bukan Vivian?” tanyanya sekali lagi.“Jika dia bukan Vivian, dia tetap harus menjadi Vivian.”Jawaban ambigu tersebut langsung membuat Sean memijat keningnya. “Ah, terserah kamu,” sahutnya sambil berjalan meninggalkan ruangan itu. Lima belas menit pun berlalu dengan sunyi. Dan tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu masuk ruangan itu.“Masuk!” ucap Raven.Kemudian masuklah seorang wanita yang sudah ditunggunya sedari tadi. Raven menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, terlihat plaster di lututnya dan juga luka lebam di sudut bibir wanita yang kini sedang menatapnya dengan sendu.“Selamat siang Tuan Raven, maafkan keterlambatan saya,” ucap wanita tersebut dengan kepala yang kini tertunduk.“Nona Heta, apa kamu ingin mempermalukanku dengan berpakaian seperti itu?” Raven berkomentar layaknya seorang bos.Vivian pun langsung terisak. “Ma-ma-maafkan saya Tuan, saya baru saja mengalami kejadian buruk,” ujarnya sambil menggenggam erat ujung kemeja yang digunakannya. Vivian berusaha memperlihatkan bahwa dirinya sedang merasa tertekan saat ini.“Di sini tempat kerja, bukan kantor polisi,” sahut Raven sambil mengambil kartu ATM dan melemparkannya ke dada Vivian dan akhirnya benda tersebut pun jatuh ke lantai. “Ambil itu, pakai untuk membeli baju! Setelah itu kamu kembali ke sini untuk tanda tangan kontrak!” titahnya.Vivian mengepalkan tangannya kuat dan kemudian berjongkok untuk memungut kartu ATM milik Raven. ‘Sialan, dia masih saja bossy seperti dulu,’ batinnya sambil kembali berdiri tegap.“Baik Tuan, terima kasih,” ujarnya dan kemudian pergi meninggalkan ruangan itu secepat yang ia bisa.“Vivian, apa kamu pikir kamu bisa menipuku hanya dengan mengubah tingkahmu,” gumam Raven sambil menatap ke arah pintu yang baru saja dilewati oleh Vivian. “Kamu harus membayar semuanya Vi, harus.”**Sore harinya. Seperti yang sudah ditentukan, sore itu Vivian pulang bersama Yana. Mereka terus mengobrol, membicarakan kejadian yang menimpa Vivian di toilet tadi.“Huf ... sungguh beruntung nasibku tadi Yan. Untunglah baberapa karyawan masuk ke toilet saat itu. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi padaku tadi,” ucap Vivian sambil mengelus dadanya beberapa kali.“Ini keterlaluan Het,” geram Yana.Vivian lalu menoleh ke arah wanita yang sedang menyetir di sampingnya itu. “Apa semua laki-laki di perusahaan seperti itu? Aku belum banyak bertemu orang di perusahaan, tapi beberapa laki-laki yang kutemui hari ini adalah hidung belang semua," ujarnya dengan nada bicara dan ekspresi yang menunjukkan kegelisahan.“Jangan menyamaratakan, ada banyak laki-laki yang baik di perusahaan. Kamu tenang saja,” sahut Yana dengan lebih santai, mencoba menghibur Vivian.“Syukurlah kalau begitu,” ucap Vivian seolah benar-benar bersyukur dengan hal itu.Kemudian mereka pun kembali mengobrol seputar masalah perusahaan, hingga sebuah pertanyaan muncul dari Vivian.“Ah iya, aku dengar kalau ada pameran yang sedang perusahaan persiapkan, kapan itu?” tanyanya.“Kenapa, apa Tuan Raven menyinggung masalah ini?” tanya Yana balik sembari melirik ke arah Vivian.“Em ... tadi Tuan Raven memang sedikit menyinggungnya. Sebenarnya aku ingin menyusun jadwalnya sampai hari itu, tapi tidak enak jika harus banyak bertanya padanya,” terang Vivian.“Dua bulan lagi,” jawab Yana. “Ck, tapi kami masih kesulitan membuat desainnya,” imbuhnya. Vivian pun mengangguk-ngangguk. “Memang tidak ada temanya?”“Ada.”“Apa?”“Kesunyian,” jawab Yana singkat.Vivian langsung berekspresi aneh. “Apa Tuan Raven yang memberikan tema itu?” tanyanya.“Kamu tahu?” tanya Yana sambil melirik ke arah Vivian sekali lagi.“Ya ... aku hanya menebak saja.”‘Narsis sekali dia,’ batin Vivian mengomentari tentang Raven sembari menatap jalanan di depan mereka.“Awalnya temanya sungai,” ujar Yana lalu menghela napas dalam. “Kami sudah menyiapkannya lima puluh persen. Tapi saat dia datang, tiba-tiba dia merubah tema.”“Ck, sungguh seorang bos,” celetuk Vivian.Tiba-tiba Yana terkekeh mendengar hal itu. “Bukankah dia memang bos kita?”“Eh benar juga. Haruskah aku menyebutnya tirani?” sahut Vivian sambil ikut tertawa.“Oh iya, lalu katanya lagi akan ada kalung yang namanya ....” Vivian sengaja tak meneruskan kalimatnya untuk memancing tanggapan dari Yana.“Black swan?” Yana.“Benar, itu.” Vivian kembali menoleh. “Apa benar black swan itu ada?”“Ada,” sahut Yana. “Kami menyelesaikannya bulan lalu, itu akan menjadi pusat acara nantinya.”“Wah, pasti cantik. Kira-kira siapa yang mampu memilikinya, aku penasaran.”“Pasti bukan salah satu dari kita,” sahut Yana lalu kembali tertawa lepas. “Kamu pasti akan terpesona saat melihatnya nanti.”“Woah! Apa black swan ada di perusahaan? Jika ada, kira-kira apa aku punya kesempatan untuk melihatnya?”“Black swan memang ada di perusahaan, tapi itu diletakkan khusus bersama dengan perhiasan mahal lainnya. Tidak akan ada yang bisa masuk ke sana kecuali Presdir,” terang Yana.“Presdir ya ...,” gumam Vivian sambil manggut-manggut. “Sepertinya aku tidak punya harapan,” imbuhnya sambil tersenyum pahit.“Tenang saja, kamu juga akan melihatnya dua bulan lagi.”“Benar juga.” Vivian menghela napas panjang dan menunjukkan kekecewaan di wajahnya. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka pun sampai di depan rumah Vivian. Vivian pun berterima kasih dan berbasa-basi sebentar dengan Yana, hingga akhirnya ia dengan cepat masuk ke dalam rumah berlantai satu tersebut.Namun ketika baru saja membuka pintu rumah, tiba-tiba sebuah tatapan tajam menyapanya.“Nyonya Vivian Marquis, kamu lupa ini hari apa?” tekan seorang anak laki-laki dengan dua pisau berlumur darah di tangannya.Seketika Vivian menelan ludahnya.“Ah, itu ....”“Di mana barangnya?” Anak laki-laki itu bertanya sambil mengacungkan pisau di tangan kanannya.“Hei, tunggu Shine sayang,” ucap Vivian sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang yang sedang ditodong.“Jes! Kamu di mana?” teriaknya.Segera, seseorang dari dalam rumah berlari keluar. “Apa?” tanyanya dengan nada tinggi seperti yang Vivian lakukan.Namun, seketika dia ikut menelan ludah saat melihat anak laki-laki berusia lima tahun itu menodongkan sebuah pisau berlumuran darah ke arah Vivian.“Shine, Sayang ... turunkan pisau itu, kita bicarakan baik-baik, Sayang,” bujuk Jessy dengan suara lembut.Jelas bukan Shine namanya kalau bisa dibujuk dengan mudah. “Apa yang mau kamu lakukan, Je?” tanyanya sambil berganti menodongkan pisau tersebut ke arah Jessy. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja pintu di belakang Vivian diketuk.“Paket!” teriak orang yang ada di luar.Seketika Vivian pun langsung berbalik dan membuka pintu tersebut. “Kenapa kamu lama sekali,” gerutunya sambil menarik tangan orang yang baru saja mengetuk pintu tersebut.Orang tersebut langsung mengikuti tarikan Vivia
“Nona Heta,” panggil seseorang yang saat ini berjalan dengan santai ke arah Vivian.Tanpa menoleh pun Vivian bisa tahu siapa orang di belakangnya. Jantungnya berdegup kencang mendengar langkah kaki laki-laki di belakangnya tiba-tiba berhenti. ‘Dia di belakangku,’ batin Vivian.“Apa yang sedang kamu lakukan di ruanganku, Nona?” tanya Raven dengan tenang.Vivian pun menoleh dan dengan cepat berdiri. “Maafkan saya Tuan, saya sedang mencari benda milik saya yang hilang,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah kalung yang baru dia tarik dari lehernya sesaat yang lalu.“Oh ya?” Terlihat jelas keraguan dari ekspresi wajah Raven.“Benar Tuan. Saya baru menyadari kalau kalung ini hilang ketika akan tidur, jadi saya terburu-buru kemari,” jawabnya sambil menunjukkan piyama yang saat ini dipakainya.Raven pun manggut-manggut seolah percaya. “Jadi seperti itu.”“Tadi saya juga mencari di ruangan saya, tapi kalung ini tidak ada. Jadi saya terpaksa mencarinya di sini, Tuan,” terangnya lebih lanjut.“Oke,
Empat jam lebih berlalu, akhirnya Vivian pun bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya karena merasa pandangannya sedikit buram.‘Di mana ini?’ batin Vivian sembari memijat keningnya yang terasa masih sedikit pusing akibat hantaman di kepalanya tadi.Setelah pandangannya terasa lebih baik, akhirnya Vivian pun menatap sekitar dan melihat dekorasi mewah yang terasa tak asing baginya, hingga ....“Dia!” pekiknya yang terkejut ketika melihat seorang laki-laki tampan yang kini berbaring di sampingnya.“Kenapa berisik sekali?” tanya laki-laki yang ada di sampingnya itu sembari bangun dan mengusap-ngusap wajahnya.“Kamu, kamu kenapa di sini?” tanya Vivian.“Aku? Ini rumahku,” jawab laki-laki tersebut dengan santai.Tiba-tiba Vivian tersadar akan sikapnya yang salah. ‘Kamu harus berpura-pura Vi, siapa tahu dia masih bisa ditipu,’ pikirnya.“Tuan sa—““Apa kamu masih mencoba untuk menipuku?” tanya Raven yang saat ini menatap Vivian dengan ekspresi malas yang tercetak jelas di wajahnya.“Menipu
Ia benar-benar terkejut saat Raven mengusap bibirnya yang tentu saja sedang belepotan dengan makanan. ‘Kenapa dia tidak marah,’ geram Vivian di dalam hati. Rasa kesal Vivian pun semakin bertambah, ingin rasanya ia melempar makanan yang ada di piringnya ke wajah mantan suaminya itu. Namun, ia masih cukup sadar karena ia pasti tak akan bisa menganggung kemarahan Raven, jika ia melakukan hal seperti itu.“Kamu mendengar aku atau tidak?” tanya Vivian sekali lagi. “Di mana motorku, aku ingin pergi.”“Aku akan menyuruh orang untuk menyiapkan motormu,” jawab Raven dengan tenang.“Hiss,” desis Vivian sambil melengos karena semakin kesal melihat ketenangan yang terpancar dari wajah Raven.‘Dia pasti melakukan semuanya karena ingin membalasku,’ pikir Raven sembari terus bersikap santai. ‘Tapi kamu harus tahu Vi, aku bukanlah orang yang sama. Tidak akan ada sedikit pun kesempatanmu untuk kabur kali ini,’ imbuhnya di dalam hati sembari menyesap teh di cangkirnya. Lebih dari sepuluh men
“Nyonya, kami di sini meminta keterangan Anda untuk masalah kematian Tuan Grek,” ucap salah satu laki-laki tersebut.“Baik-baik silahkan masuk. Tapi tolong sedikit dipercepat ya Pak, karena saya harus mendaftarkan anak saya sekolah serta berangkat kerja pagi ini,” ucap Vivian dengan sopan sambil membuka lebar pintu tersebut.Setelah itu tiga orang polisi itu pun masuk ke dalam rumah itu seperti yang seharusnya. Mereka pun berbicara panjang lebar, hingga akhirnya sebuah pertanyaan mengejutkan Vivian.“Kami mendengar dari saksi kalau Anda dan Tuan Grek masuk ke dalam restoran tersebut hanya berselisih satu menit, apa itu benar?” tanya salah satu Polisi sembari menatap Vivian dengan penuh perhatian.‘Sial, mereka mencoba menjebakku,’ batin Vivian yang langsung menangkap ada hal yang aneh dari pertanyaan tersebut.Vivian langsung mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah jam dinding yang ada di ruangan itu. “Waktu itu aku datang ke sana sekitar jam setengah tiga, tapi aku tidak tahu tepat
Vivian pun dengan cepat melempar pisau lipat tersebut ke semak-semak ketika ia berbalik. Namun, ketika ia benar-benar berbalik, betapa terkejutnya dia ketika melihat laki-laki di belakangnya itu adalah orang yang dikenalnya di masa lalu.“Vivian,” ucap laki-laki di belakangnya tersebut.‘Sial, kenapa aku harus bertemu dia,’ batin Vivian sembari berekspresi aneh.“Maaf Tuan, saya bukan Vivian,” jawabnya dengan tenang.“Tidak mungkin, kamu pasti Vivian ‘kan?” tanya laki-laki tersebut sembari mencengkeram kuat lengan Vivian.“Sungguh Tuan, saya bukan Vivian,” jawab Vivian sekali lagi sembari mengeluarkan kartu pegawai dari dalam sakunya. “Tolong Anda baca, nama saya Heta,” imbuhnya sembari mengangkat kartu karyawannya tersebut.Lalu laki-laki di depannya tersebut mengamati dengan teliti nama dan juga foto di dalam kartu karyawan tersebut. “Kamu bukan Vivian?” tanyanya sekali lagi. ‘Apa-apaan Rain ini, kenapa dia sulit sekali percaya,’ batin Vivian yang cukup kesal karena pertanyaan yan
Sean tiba-tiba saja ditabrak oleh seseorang yang baru saja berlari masuk ke ruang itu.Mereka berdua pun jatuh bersamaan dengan posisi Sean berada di bawah. Sean pun langsung berdesis ketika kepalanya terbentur lantai sekaligus berbenturan dengan kepala wanita yang menabraknya.“Belum selesai?” tanya Raven dengan volume suara tinggi.Seketika Sean langsung membuka matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya agar bisa melihat dengan jelas siapa wanita yang berada di atas tubuhnya itu. “Kamu!” pekiknya yang dengan cepat mendorong tubuh wanita di atasnya itu hingga membuat wanita tersebut terjerembab di lantai.“Hei!” teriak wanita tersebut sembari masih memijat-mijat keningnya.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Sean sembari menatap ke arah wanita yang baru saja menabraknya itu. Wanita tersebut pun bangun dengan pelan sembari menjawab, “Tentu saja karena aku ini asisten pribadinya. Apa kamu lupa, bukankah kamu sendiri yang mengatakan hal itu kemarin.”Sean mengangkat alisnya mendengar ha
“Aku ingin menolong seorang wanita cantik yang terlihat kelelahan,” jawab laki-laki di depan Vivian tersebut.Langsung saja Vivian kembali menatap ke arah laki-laki di depannya itu dengan ekspresi terkejut. ‘Cih, bisa-bisanya dia ingin menggombal di pertemuan kedua. Dasar Playboy cap kadal,’ batinnya namun terus menunjukkan ekspresi terkejut dan seolah sedang terpesona.“Kamu tidak apa-apa kan Nona Heta?” tanya laki-laki tersebut sembari meraih tangan Vivian dan dengan lembut membantu Vivian berdiri.Langsung saja Vivian menundukkan wajahnya, bertingkah seolah sedang tersipu malu. “Terima kasih, Tuan Rain,” ucapnya.“Iya, sama-sama,” sahut Rain sembari tersenyum hangat menatap Vivian yang masih berpura-pura malu.Sedangkan laki-laki yang datang terakhir pun langsung berekspresi aneh melihat kejadian itu. ‘Mual rasanya melihat ekspresi wanita iblis ini. Aku pernasaran, apa yang sebenarnya membuat Raven tergila-gila pada dia,’ batinnya.Sesaat kemudian Vivian berganti menoleh ke arah
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap