Ia benar-benar terkejut saat Raven mengusap bibirnya yang tentu saja sedang belepotan dengan makanan. ‘Kenapa dia tidak marah,’ geram Vivian di dalam hati.
Rasa kesal Vivian pun semakin bertambah, ingin rasanya ia melempar makanan yang ada di piringnya ke wajah mantan suaminya itu. Namun, ia masih cukup sadar karena ia pasti tak akan bisa menganggung kemarahan Raven, jika ia melakukan hal seperti itu.“Kamu mendengar aku atau tidak?” tanya Vivian sekali lagi. “Di mana motorku, aku ingin pergi.”“Aku akan menyuruh orang untuk menyiapkan motormu,” jawab Raven dengan tenang.“Hiss,” desis Vivian sambil melengos karena semakin kesal melihat ketenangan yang terpancar dari wajah Raven.‘Dia pasti melakukan semuanya karena ingin membalasku,’ pikir Raven sembari terus bersikap santai. ‘Tapi kamu harus tahu Vi, aku bukanlah orang yang sama. Tidak akan ada sedikit pun kesempatanmu untuk kabur kali ini,’ imbuhnya di dalam hati sembari menyesap teh di cangkirnya. Lebih dari sepuluh menit, akhirnya Vivian pun selesai menghabiskan seluruh makanan yang ada di atas meja. Tak lupa dia pun bersendawa dengan keras dengan sengaja. Namun masih seperti sebelumnya, Raven tetap bersikap tenang saat melihat hal itu.‘Cih, kenapa dia tidak marah, apa kebiasaannya sudah berubah lima tahun ini,’ batin Vivian sembari menatap Raven dengan sebelah matanya.“Aku mau pulang,” ucap Vivian sambil melipat tangannya di depan dada.“Baik,” sahut Raven dengan santai, lalu menyesap teh yang ada di tangannya.‘Dia mengizinkanku begitu saja, sangat mencurigakan,’ batin Vivian yang terdiam selama beberapa saat.“Kenapa, atau kamu ingin menginap di sini sampai pagi?” Raven bertanya sembari meletakkan cangkir teh di atas meja di depannya.Langsung saja Vivian berdiri. “Tidak akan pernah,” ujarnya sembari melangkah ke arah pintu keluar ruangan itu. Hingga, tiba-tiba saja Raven mengatakan sesuatu yang membuatnya berhenti bergerak.“Apa kamu benar-benar tidak ingin menerima tawaranku?” tanya Raven.“Tawaran,” gumam Vivian sembari berbalik menatap ke arah Raven. “Tawaran yang mana?” tanyanya sembari menatap Raven dengan kening yang mengernyit.“Aku ingin kamu mencoba mencuri black swan, supaya aku tahu sistem keamanan perusahaan berjalan dengan maksimal atau tidak,” tawar Raven yang saat ini berdiri dari kursi yang didudukinya.‘Dari mana dia tahu kalau aku sedang mengincar black swan,’ batin Vivian yang merasa cukup penasaran karena hanya dirinya dan Jessilah yang tahu masalah ini.Vivian pun langsung melipat tangannya di depan dada dan menyahut, “Lalu apa untungnya untuk aku?” tanyanya.“Aku tahu kamu tidak akan mau rugi,” sahut Raven. “Kamu bisa memiliki black swan jika kamu bisa mendapatkannya,” imbuhnya.“Jangan terlalu meninggikan diri sendiri Tuan Raven, apa kamu lupa pertemuan kita terakhir kali? Aku bisa saja mempermalukanmu lebih dari waktu itu,” seloroh Vivian sembari tersenyum sinis.“Kamu bisa mencobanya jika kamu memang yakin dengan kemampuanmu,” sahut Raven yang masih saja bersikap sok santai.Ia tahu betul kalau wanita yang diajaknya bicara itu sangat menyukai tantangan dan tidak akan mau diremehkan begitu saja.Benar saja, Vivian pun langsung menerima tantangan tersebut. “Baik, tapi jangan sampai kamu putus asa seperti saat aku mati dulu,” ejeknya lalu terkekeh.Ia tahu dengan jelas bagaimana depresinya Raven setelah pemakamannya karena saat itu ia menyamar menjadi pelayan. Ia bahkan menyaksikan sendiri bagaimana marahnya Raven ketika menemukan kalau dirinya sudah keluar dari peti mati tersebut dan menjadi lelucon seisi Nothern City kala itu.“Tenang saja, hal seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi,” sahut Raven sembari tersenyum meremehkan.“Baik, kalau begitu jangan salahkan aku jika aku bisa mendapatkan lebih dari sekedar black swan.”“Silahkan saja, itu tidak masalah untukku, jika kamu mampu melakukannya,” sahut Raven sembari kembali mengangkat cangkirnya.Vivian yang merasa kemampuannya sangat direndahkan pun langsung mengepalkan tangannya. “Baik, aku terima kerja sama ini. Aku harap kamu tidak akan berlutut di depanku saat aku membuatmu bangkrut,” ujarnya sembari berbalik dan dengan cepat meninggalkan tempat itu.“Tuan, kenapa Anda membiarkan Nyonya pergi?” tanya Gustafo yang sedari tadi berdiri tak jauh dari Raven.“Biarkan saja dia bersenang-senang sebelum aku menangkapnya kembali,” jawab Raven dengan santai.“Anda sangat memanjakan Nyonya, Tuan,” komentar Gustafo, pelayan tua yang merupakan tangan kanan ayahnya ketika orang tuanya masih hidup beberapa tahun lalu.“Ya, aku memang selalu memanjakan dia,” sahut Raven sambil menatap pintu yang beberapa saat lalu baru saja dilewati oleh wanita yang mereka bicarakan itu.*Keesokan paginya. Vivian yang baru saja bangun pun langsung meregangkan tubuhnya seperti yang selalu ia lakukan. Namun sesaat kemudian ia langsung berjingkat, ketika ia membuka kelopak matanya.“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya pada pemilik sepasang iris berwarna keabu-abuan yang kini sedang duduk di hadapannya dan menatap tajam dirinya.“Kamu bermain dengan laki-laki mana semalam?” tanya Shine yang memiliki iris mata berwarna keabu-abuan persis seperti milik Raven.Vivian pun langsung tersenyum canggung saat mendengar pertanyaan anak kandungnya itu. “Jangan bicara sembarang pria kecil, aku semalam bekerja lembur,” jawabnya sembari mengacak-acak rambut Shine dengan gemas.Langsung saja anak laki-lakinya itu mencebik ke arahnya.“Kamu tidak percaya?” Vivian menahan kesal karena sikap Shine yang sering kali menjengkelkan.“Tidak,” jawab pria kecil kesayangan Vivian itu sembari turun dari ranjang. “Siapa yang akan percaya pada kamu, itu bodoh namanya,” selorohnya.“Hai pria kecil, aku ini mamamu!” seru Vivian yang benar-benar kesal.“Aku tahu itu, tidak perlu diingatkan,” sahut Shine sembari menutup pintu kamar tersebut dengan tenang.“Ini semua gara-gara kamu Raven, kenapa kamu harus menurunkan sifat seperti itu pada anak kamu,” geram Vivian sembari mengacak-acak rambutnya karena kesal. Beberapa saat berlalu, saat ini Vivian yang sudah selesai berdandan rapi pun segera keluar dari dalam kamarnya.“Di mana dia Jes?” tanya Vivian pada Jessi yang saat ini baru saja selesai meletakkan menu sarapan pagi mereka semua di atas meja makan.“Dia sedang berada di dalam kamarnya, baru saja selesai mandi,” jawabnya dengan tenang.Kemudian Vivian pun melangkah ke kamar Shine. “Shine, apa kamu perlu bantuan?” tanyanya sembari mengetuk pintu kamar anak laki-lakinya itu.Sesaat kemudian pintu tersebut terbuka.“Aku bukan anak kecil lagi,” sahut Shine yang kemudian keluar, lalu menutup pintu kamarnya lagi.“Hai, kamu itu belum genap lima tahun, kamu bisa minta bantuan pada Mama jika kamu tidak bisa melakukan sesuatu,” ucap Vivian sembari tersenyum canggung.“Apa yang kamu inginkan?” tanya Shine sembari menyipitkan matanya, seolah sedang mencurigai sesuatu.“Hei, aku ini Mamamu,” tandas Vivian.“Aku tahu itu, tidak perlu mengingatkan hal itu lagi,” sahut Shine sembari melangkah ke arah meja makan. “Antarkan saja aku kesekolahan hari ini, itu sudah cukup,” lanjutnya.“Iya-iya, Mama ingat kok kalau hari ini pendaftaran sekolah kamu.”“Bagus kalau begitu,” sahut Shine sembari mengambil sepiring nasi goreng buatan Jessi.“Anak ini ...,” geram Vivian.Tak lama kemudian, terdengar dering nyaring bel pintu utama rumah tersebut.“Iya, tunggu,” sahut Vivian sambil melangkah melewati beberapa ruangan Hingga sampai di pintu utama.Betapa terkejutnya Vivian ketika ia membuka pintu rumah itu, terlihat beberapa orang laki-laki beseragam berdiri di sana.“Ada apa ini?” tanya Vivian yang kini berpura-pura tetap tenang.“Nyonya, kami di sini untuk ....“Nyonya, kami di sini meminta keterangan Anda untuk masalah kematian Tuan Grek,” ucap salah satu laki-laki tersebut.“Baik-baik silahkan masuk. Tapi tolong sedikit dipercepat ya Pak, karena saya harus mendaftarkan anak saya sekolah serta berangkat kerja pagi ini,” ucap Vivian dengan sopan sambil membuka lebar pintu tersebut.Setelah itu tiga orang polisi itu pun masuk ke dalam rumah itu seperti yang seharusnya. Mereka pun berbicara panjang lebar, hingga akhirnya sebuah pertanyaan mengejutkan Vivian.“Kami mendengar dari saksi kalau Anda dan Tuan Grek masuk ke dalam restoran tersebut hanya berselisih satu menit, apa itu benar?” tanya salah satu Polisi sembari menatap Vivian dengan penuh perhatian.‘Sial, mereka mencoba menjebakku,’ batin Vivian yang langsung menangkap ada hal yang aneh dari pertanyaan tersebut.Vivian langsung mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah jam dinding yang ada di ruangan itu. “Waktu itu aku datang ke sana sekitar jam setengah tiga, tapi aku tidak tahu tepat
Vivian pun dengan cepat melempar pisau lipat tersebut ke semak-semak ketika ia berbalik. Namun, ketika ia benar-benar berbalik, betapa terkejutnya dia ketika melihat laki-laki di belakangnya itu adalah orang yang dikenalnya di masa lalu.“Vivian,” ucap laki-laki di belakangnya tersebut.‘Sial, kenapa aku harus bertemu dia,’ batin Vivian sembari berekspresi aneh.“Maaf Tuan, saya bukan Vivian,” jawabnya dengan tenang.“Tidak mungkin, kamu pasti Vivian ‘kan?” tanya laki-laki tersebut sembari mencengkeram kuat lengan Vivian.“Sungguh Tuan, saya bukan Vivian,” jawab Vivian sekali lagi sembari mengeluarkan kartu pegawai dari dalam sakunya. “Tolong Anda baca, nama saya Heta,” imbuhnya sembari mengangkat kartu karyawannya tersebut.Lalu laki-laki di depannya tersebut mengamati dengan teliti nama dan juga foto di dalam kartu karyawan tersebut. “Kamu bukan Vivian?” tanyanya sekali lagi. ‘Apa-apaan Rain ini, kenapa dia sulit sekali percaya,’ batin Vivian yang cukup kesal karena pertanyaan yan
Sean tiba-tiba saja ditabrak oleh seseorang yang baru saja berlari masuk ke ruang itu.Mereka berdua pun jatuh bersamaan dengan posisi Sean berada di bawah. Sean pun langsung berdesis ketika kepalanya terbentur lantai sekaligus berbenturan dengan kepala wanita yang menabraknya.“Belum selesai?” tanya Raven dengan volume suara tinggi.Seketika Sean langsung membuka matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya agar bisa melihat dengan jelas siapa wanita yang berada di atas tubuhnya itu. “Kamu!” pekiknya yang dengan cepat mendorong tubuh wanita di atasnya itu hingga membuat wanita tersebut terjerembab di lantai.“Hei!” teriak wanita tersebut sembari masih memijat-mijat keningnya.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Sean sembari menatap ke arah wanita yang baru saja menabraknya itu. Wanita tersebut pun bangun dengan pelan sembari menjawab, “Tentu saja karena aku ini asisten pribadinya. Apa kamu lupa, bukankah kamu sendiri yang mengatakan hal itu kemarin.”Sean mengangkat alisnya mendengar ha
“Aku ingin menolong seorang wanita cantik yang terlihat kelelahan,” jawab laki-laki di depan Vivian tersebut.Langsung saja Vivian kembali menatap ke arah laki-laki di depannya itu dengan ekspresi terkejut. ‘Cih, bisa-bisanya dia ingin menggombal di pertemuan kedua. Dasar Playboy cap kadal,’ batinnya namun terus menunjukkan ekspresi terkejut dan seolah sedang terpesona.“Kamu tidak apa-apa kan Nona Heta?” tanya laki-laki tersebut sembari meraih tangan Vivian dan dengan lembut membantu Vivian berdiri.Langsung saja Vivian menundukkan wajahnya, bertingkah seolah sedang tersipu malu. “Terima kasih, Tuan Rain,” ucapnya.“Iya, sama-sama,” sahut Rain sembari tersenyum hangat menatap Vivian yang masih berpura-pura malu.Sedangkan laki-laki yang datang terakhir pun langsung berekspresi aneh melihat kejadian itu. ‘Mual rasanya melihat ekspresi wanita iblis ini. Aku pernasaran, apa yang sebenarnya membuat Raven tergila-gila pada dia,’ batinnya.Sesaat kemudian Vivian berganti menoleh ke arah
“Aku di sini karena ingin membicarakan proyek kerjasama untuk pameran di Itali,” ujar Rain sembari duduk di sofa yang ada di dalam ruangan Raven tersebut “Bagaimana menurut kamu, apakah kamu tertarik?”“Maksud kamu pameran yang proposalnya diajukan beberapa hari yang lalu?” Raven memperjelas apa yang sedang dibicarakan oleh sepupunya tersebut.Tentu saja Raven tidak akan menyambut baik perihal proyek yang sedang dibicarakan oleh Rain tersebut. Ia tahu dengan jelas jika akan ada sesuatu yang akan merugikan perusahaanya jika ia setuju dengan proyek itu, karena selama ini perusahaan miliknya dan perusahaan pamannya adalah saingan.“Benar. Kerjasama ini akan menguntungkan perusahaan kita,” bujuk Rain.“Tapi aku tidak berpikir seperti itu,” tukas Raven. “Dari proposal yang diajukan kemarin, ada beberapa kerugian yang akan kami miliki jika alu menyetujui hal ini.”Langsung saja Rain tersenyum mendengar tanggapan tentang proposal yang diajukan kemarin. ‘Padahal aku sudah sangat hati-hati,’ b
Setelah cukup lama mendengarkan ceramah panjang orang yang ada di dalam panggilan tersebut, kemudian Raven pun berkata dengan tenang, “Sudah aku katakan, aku sudah memiliki orang lain.”“Aku tahu kamu selalu menipuku dengan gadis-gadis bayaran yang kamu kirim ke sini itu,” omel laki-laki yang ada di dalam panggilan tersebut. “Pokoknya nanti malam kamu harus datang ke restoran yang sudah Kakek atur, gadis itu gadis baik-baik dan dia itu cucu dari temanku, mengerti?” “Iya, aku mengerti,” jawab Raven dengan malas. “Baiklah kalau begitu aku akan rapat.” Kalimat terakhir itu sekaligus menjadi kalimat penutup sebelum akhirnya ia memutus panggilan tersebut secara sepihak.Sebuah hembusan panjang mewakili isi pikiran Raven yang tiba-tiba saja terasa penuh sesak.**Malam harinya. Setelah pulang bekerja, Raven dengan segala kekuasaannya akhirnya berhasil memaksa Vivian untuk menemani dirinya ke sebuah restoran
Pertanyaan Raven tersebut membuat Vivian langsung mendengus, “Jangan macam-macam, aku bisa ke toilet sendiri.”Bukannya diam atau merasa tersinggung karena nada bicara Vivian yang terdengar kasar, Raven justru menjawab dengan santai. “Kamu yakin tidak ingin aku temani? Apa kamu tahu sekitar restoran ini?”Rasa kesal pun semakin membakar hati Vivian. “Aku bukan orang jompo, aku bisa mencari tempatnya sendiri. Sekarang tolong jangan memperhatikanku, silakan kamu menemani nona Nora di sini,” ucap Vivian dengan penuh penekanan di setiap suku katanya.“Apa kamu cemburu?” tanya Raven tiba-tiba sembari menunjukkan senyum hangat di wajahnya.Vivian pun langsung membuka mulutnya lebar, ia tak bisa berkata-kata mendengar ucapan laki-laki di hadapannya itu. Akhirnya tanpa mengatakan apa pun, Vivian memilih untuk segera meninggalkan meja tersebut.“Dia memang lucu,” gumam Raven sembari terus menatap ke arah Vivian yang melangkah semakin ja
“Aku juga tidak tahu,” jawab Vivian dengan nada kasar. Vivian dan Nora pun terus memperhatikan Raven yang saat ini sedang duduk di bangku tempat mereka memesan makanan tadi dengan beberapa orang yang saat ini sedang menodongkan pisau di lehernya.“Apa kita harus ke sana Vi?” tanya Nora sembari menatap ke arah sekitar dan melihat para pengunjung restoran yang saat ini sedang berdiri di sudut lain ruangan tersebut dengan ekspresi wajah tertekan.“Kalau kamu mau menarik perhatian Raven maka kamu harus berani menyelamatkan dia, mengerti?” saran Vivian karena ia mengingat dari tadi Nora terus menanyakan tentang hal-hal yang bisa perhatian Raven.Sontak saja Nora tersentak mendengar hal itu. Apa yang Vivian katakan memang masuk akal, jika dirinya menyelamatkan Raven maka otomatis Raven akan berhutang budi padanya dan itu jelas akan menarik perhatian laki-laki yang diincarnya tersebut.Tapi sisi lain otaknya memikirkan tentang kemungk
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap