“Hei, tunggu Shine sayang,” ucap Vivian sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang yang sedang ditodong.
“Jes! Kamu di mana?” teriaknya.Segera, seseorang dari dalam rumah berlari keluar. “Apa?” tanyanya dengan nada tinggi seperti yang Vivian lakukan.Namun, seketika dia ikut menelan ludah saat melihat anak laki-laki berusia lima tahun itu menodongkan sebuah pisau berlumuran darah ke arah Vivian.“Shine, Sayang ... turunkan pisau itu, kita bicarakan baik-baik, Sayang,” bujuk Jessy dengan suara lembut.Jelas bukan Shine namanya kalau bisa dibujuk dengan mudah. “Apa yang mau kamu lakukan, Je?” tanyanya sambil berganti menodongkan pisau tersebut ke arah Jessy. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja pintu di belakang Vivian diketuk.“Paket!” teriak orang yang ada di luar.Seketika Vivian pun langsung berbalik dan membuka pintu tersebut. “Kenapa kamu lama sekali,” gerutunya sambil menarik tangan orang yang baru saja mengetuk pintu tersebut.Orang tersebut langsung mengikuti tarikan Vivian sambil menjawab, “Hei, ini baru terlambat tiga jam. Kamu tahu sendiri bagaima—“ Kalimatnya terhenti ketika melihat Shine.“Shine sayang, lihatlah ini Paman Sam yang datang membawakan hadiah ulang tahun yang kamu minta,” ujar Vivian sambil mendorong Samuel, si pengantar barang-barang ilegal itu dengan pelan.Setelah maju beberapa langkah karena dorongan Vivian, kemudian laki-laki 30 tahunan bernama Samuel itu langsung tersenyum canggung.“Ah, ini ternyata hadiah ulang tahun kamu Shine,” ujarnya sambil mengangkat paket yang dibawanya. “Maaf, tadi paketnya datang terlambat,” ujarnya dengan tangan gemetar menyodorkan paket tersebut.Tiba-tiba Shine menjatuhkan kedua pisau di tangannya dan dengan cepat mengambil paket tersebut. “Terima kasih, Paman,” ujarnya sambil membungkukkan tubuhnya.Samuel pun langsung tertawa hambar dan menggaruk-garuk tengkuknya. “Iya, Shine. Ya sudah kalau begitu Paman pergi dulu ya.”“Paman tidak ikut makan malam dengan kami, aku baru saja memotong kelinci. Kata Bibi Je, dia akan membuat sup kelinci,” tawar Shine dengan sopan.Langsung saja Samuel menelan ludahnya.“Maaf, aku alergi kelinci!” teriak Samuel sambil berlari meninggalkan rumah itu.Ketiga orang yang ada di dalam rumah tersebut pun langsung bengong melihat tingkah Samuel.“Bukankah waktu itu Paman Sam suka kelinci,” seloroh Shine dengan ekspresi polosnya.Jessy yang ada di belakang Shine pun langsung memeluknya. “Alergi itu bisa muncul tiba-tiba,” ujarnya sambil membawa anak laki-laki tersebut sedikit menjauh dari pisau yang dijatuhkannya tadi.“Aku pikir itu karena masakanmu tidak enak Je,” tukas Shine dengan santainya.Jessy pun tersenyum sambil menahan kesal. “Apakah masakanku setidak enak itu?”“Tidak juga,” sahut Shine ringan.“Oh, ya?” Wajah Jessy berbinar.“Ya. Setidaknya masih bisa dimakan,” jawab Shine dengan tenang.“Akhhh!” Jessy dengan gemas mencubit pipi chubby Shine.Vivian yang ada di dekat mereka pun terkekeh sembari mengambil pisau dapur yang digunakan anaknya tadi. Dia terdiam sejenak ketika melihat darah yang ada di pisau itu, entah kenapa tiba-tiba saja dia teringat pada Raven.‘Dia tidak boleh tahu jika aku punya Shine,’ batin Vivian sambil menggenggam erat pegangan pisau tersebut. Tiga jam lebih mereka sibuk merayakan ulang tahun Shine yang kelima, hingga akhirnya Shine pun tertidur di pangkuan Vivian karena terlalu lelah hari itu.“Dia sudah waktunya sekolah, bagaimana kamu akan menyembunyikannya?” tanya Jessy ketika Vivian baru saja keluar dari kamar Shine.Vivian dengan pelan menutup pintu kamar tersebut dan menjawab, “Aku akan membawanya pindah dari negara ini setelah berhasil mencuri black swan.”“Vi, dia mulai menanyakan ayahnya,” ujar Jessy sambil mengikuti langkah Vivian. “Apa kamu yakin dia tidak akan menemukan Raven?”Vivian berhenti melangkah ketika mendengar pertanyaan sahabatnya itu. “Aku tidak tahu Jes,” jawabnya.“Apa kamu tidak berfikir untuk memberitahu Shine tentang Raven? Bagaimanapun juga dia berhak tahu tentang ayahnya,” saran Jessy.Vivian terdiam.“Vi, aku harap kamu tidak membuat Shine merasa rendah diri karena tidak pernah tahu tentang ayahnya,” ujar Jessy mengingatkan.Mendengar hal itu Vivian pun kembali melangkah dan duduk di sofa yang ada di dekat mereka. “Jes, kamu tahu sendiri bagaimana Raven. Jika dia tahu aku melahirkan Shine, dia pasti tidak akan melepaskan kami berdua,” ujar Vivian sambil mengusap-usap wajahnya.Jessy pun segera duduk di dekat sahabatnya itu dan menghembus napas panjang sebelum kembali bicara. “Sebenarnya aku heran pada kamu. Jika aku jadi kamu, aku akan memilih menyerahkan diri pada Raven. Dia adalah pemilik perusahaan HM, jika bersama dia maka kamu tidak perlu mencuri berlian lagi untuk bisa menghasilkan uang.”“Kamu tidak akan mengerti Je,” sahut Vivian sambil mengusap-usap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.“Baiklah, tenanglah. Lupakan apa yang aku katakan, anggap saja aku tidak pernah bicara apa pun," cicit Jessy mencoba sambil menepuk lembut punggung sahabatnya itu.Sesaat kemudian Vivian menyenderkan tubuhnya di sofa yang didudukinya degan posisi kepala menhadap ke atas, dia memandangi langit-langit ruangan itu. “Kamu percaya padaku kan Jes? Aku ini sangat menyayangi Shine, aku tidak ingin membuatnya merasa rendah diri.”“Aku percaya Vi. Tenanglah,” sahut Jessy. “Baiklah kalau begitu, mari kita berpindah ke hal lain. Bagaimana, apa kamu sudah mendapat informasi tentang black swan?”“Benda itu memang ada di perusahaan, di tempat yang berisi semua perhiasan lainnya. Satu lagi, tempat itu hanya bisa dimasuki oleh Raven,” terang Vivian yang kembali bersemangat.Jessy pun manggut-manggut mendengar hal itu. “Yang hanya bisa dimasuki presdir ya,” gumamnya.Seketika ruangan itu berubah hening, mereka berdua sama-sama masuk ke dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat. Hingga ....“Ya, brangkas!” teriak mereka secara bersamaan dengan wajah yang seolah baru mendapat pencerahan.“Kalau begitu ayo kita undi, siapa yang akan menyelinap ke sana malam ini,” usul Jessy sambil mengangkat tangannya karena biasanya mereka akan suit untuk menentukan hal itu.“Tidak perlu,” tukas Vivian sambil menarik tangan Jessy turun. “Lebih aman jika aku yang ke sana karena mereka sudah mengenaliku sebagai asisten pribadi Raven.“Ya-ya-ya, aku setuju.”“Jelas saja kamu setuju,” sahut Vivian sambil mencubit pipi sahabatnya itu. Setelah melakukan beberapa persiapan, kemudian Vivian pun segera berangkat ke perusahaan menggunakan pakaian yang lebih santai. Dia memilih datang ke sana menggunakan motor maticnya agar aktingnya terlihat lebih natural.“Ada apa Nona?” tanya satpam ketika Vivian memarkirkan sepeda motornya di dekat pintu masuk gedung perusahaan.“Huf ....” Vivian menghela napas sambil menyeka keringatnya. “Itu Pak, saya ingin mengambil beberapa berkas milik saya yang ketinggalan.”Satpam tersebut pun langsung menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Ah iya,” ucap Vivian sambil menunjukkan kartu identitasnya. “Maaf saya berpakaian kurang rapi karena saya baru saja membereskan rumah dan tiba-tiba teringat berkas itu,” bebernya.“Ah, iya Nona Heta tidak masalah,” jawab Satpam tersebut setelah membaca kartu identitas Vivian.Setelah itu Vivian pun melenggang masuk ke dalam gedung perusahaan dengan bebas. Dia segera menggunakan lift biasa untuk pergi ke lantai 35.Dia dengan tergesa-gesa masuk ke dalam ruangannya karena tahu kalau ada beberapa CCTV di lantai itu.“Jes, kacaukan CCTV-nya sekarang,” ucap Vivian sambil terus bergerak seolah sedang mencari sesuatu di ruangannya.“Selesai,” ucap Jessy di dalam panggilan tersebut.Vivian pun bergerak dengan cepat, dia segera masuk ke dalam ruangan Raven yang memang berada di dekat ruangannya.“Di mana tempatnya,” gumam Vivian sembari mencari di bawah lukisan-lukisan yang ada di sana karena biasanya bos-bos perusahaan di negara itu akan menyimpan sandi atau benda yang berhubungan dengan brangkas di tempat tersembunyi di ruangan kerjanya.Setelah memeriksa semua barang di dinding dan tidak menemukan sesuatu, akhirnya Vivian menatap ke arah meja kerja Raven. ‘Atau di lacinya,’ pikir Vivian sembari melangkah ke arah meja Raven. Namun ketika baru saja memegang laci meja, tiba-tiba ....“Ehem!” Sebuah deheman keras muncul di ruangan itu.Mata Vivian terbelalak mendengar suara tersebut. ‘Bagaimana ini,’ batin Vivian sembari menjauhkan tangannya dari laci meja perlahan.Suara langkah kaki yang terdengar pelan itu kini semakin mendekat ke arah Vivian.Keringat dingin mulai membasahi kening Vivian, hingga ....“Nona Heta,” panggil seseorang yang saat ini berjalan dengan santai ke arah Vivian.Tanpa menoleh pun Vivian bisa tahu siapa orang di belakangnya. Jantungnya berdegup kencang mendengar langkah kaki laki-laki di belakangnya tiba-tiba berhenti. ‘Dia di belakangku,’ batin Vivian.“Apa yang sedang kamu lakukan di ruanganku, Nona?” tanya Raven dengan tenang.Vivian pun menoleh dan dengan cepat berdiri. “Maafkan saya Tuan, saya sedang mencari benda milik saya yang hilang,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah kalung yang baru dia tarik dari lehernya sesaat yang lalu.“Oh ya?” Terlihat jelas keraguan dari ekspresi wajah Raven.“Benar Tuan. Saya baru menyadari kalau kalung ini hilang ketika akan tidur, jadi saya terburu-buru kemari,” jawabnya sambil menunjukkan piyama yang saat ini dipakainya.Raven pun manggut-manggut seolah percaya. “Jadi seperti itu.”“Tadi saya juga mencari di ruangan saya, tapi kalung ini tidak ada. Jadi saya terpaksa mencarinya di sini, Tuan,” terangnya lebih lanjut.“Oke,
Empat jam lebih berlalu, akhirnya Vivian pun bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya karena merasa pandangannya sedikit buram.‘Di mana ini?’ batin Vivian sembari memijat keningnya yang terasa masih sedikit pusing akibat hantaman di kepalanya tadi.Setelah pandangannya terasa lebih baik, akhirnya Vivian pun menatap sekitar dan melihat dekorasi mewah yang terasa tak asing baginya, hingga ....“Dia!” pekiknya yang terkejut ketika melihat seorang laki-laki tampan yang kini berbaring di sampingnya.“Kenapa berisik sekali?” tanya laki-laki yang ada di sampingnya itu sembari bangun dan mengusap-ngusap wajahnya.“Kamu, kamu kenapa di sini?” tanya Vivian.“Aku? Ini rumahku,” jawab laki-laki tersebut dengan santai.Tiba-tiba Vivian tersadar akan sikapnya yang salah. ‘Kamu harus berpura-pura Vi, siapa tahu dia masih bisa ditipu,’ pikirnya.“Tuan sa—““Apa kamu masih mencoba untuk menipuku?” tanya Raven yang saat ini menatap Vivian dengan ekspresi malas yang tercetak jelas di wajahnya.“Menipu
Ia benar-benar terkejut saat Raven mengusap bibirnya yang tentu saja sedang belepotan dengan makanan. ‘Kenapa dia tidak marah,’ geram Vivian di dalam hati. Rasa kesal Vivian pun semakin bertambah, ingin rasanya ia melempar makanan yang ada di piringnya ke wajah mantan suaminya itu. Namun, ia masih cukup sadar karena ia pasti tak akan bisa menganggung kemarahan Raven, jika ia melakukan hal seperti itu.“Kamu mendengar aku atau tidak?” tanya Vivian sekali lagi. “Di mana motorku, aku ingin pergi.”“Aku akan menyuruh orang untuk menyiapkan motormu,” jawab Raven dengan tenang.“Hiss,” desis Vivian sambil melengos karena semakin kesal melihat ketenangan yang terpancar dari wajah Raven.‘Dia pasti melakukan semuanya karena ingin membalasku,’ pikir Raven sembari terus bersikap santai. ‘Tapi kamu harus tahu Vi, aku bukanlah orang yang sama. Tidak akan ada sedikit pun kesempatanmu untuk kabur kali ini,’ imbuhnya di dalam hati sembari menyesap teh di cangkirnya. Lebih dari sepuluh men
“Nyonya, kami di sini meminta keterangan Anda untuk masalah kematian Tuan Grek,” ucap salah satu laki-laki tersebut.“Baik-baik silahkan masuk. Tapi tolong sedikit dipercepat ya Pak, karena saya harus mendaftarkan anak saya sekolah serta berangkat kerja pagi ini,” ucap Vivian dengan sopan sambil membuka lebar pintu tersebut.Setelah itu tiga orang polisi itu pun masuk ke dalam rumah itu seperti yang seharusnya. Mereka pun berbicara panjang lebar, hingga akhirnya sebuah pertanyaan mengejutkan Vivian.“Kami mendengar dari saksi kalau Anda dan Tuan Grek masuk ke dalam restoran tersebut hanya berselisih satu menit, apa itu benar?” tanya salah satu Polisi sembari menatap Vivian dengan penuh perhatian.‘Sial, mereka mencoba menjebakku,’ batin Vivian yang langsung menangkap ada hal yang aneh dari pertanyaan tersebut.Vivian langsung mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah jam dinding yang ada di ruangan itu. “Waktu itu aku datang ke sana sekitar jam setengah tiga, tapi aku tidak tahu tepat
Vivian pun dengan cepat melempar pisau lipat tersebut ke semak-semak ketika ia berbalik. Namun, ketika ia benar-benar berbalik, betapa terkejutnya dia ketika melihat laki-laki di belakangnya itu adalah orang yang dikenalnya di masa lalu.“Vivian,” ucap laki-laki di belakangnya tersebut.‘Sial, kenapa aku harus bertemu dia,’ batin Vivian sembari berekspresi aneh.“Maaf Tuan, saya bukan Vivian,” jawabnya dengan tenang.“Tidak mungkin, kamu pasti Vivian ‘kan?” tanya laki-laki tersebut sembari mencengkeram kuat lengan Vivian.“Sungguh Tuan, saya bukan Vivian,” jawab Vivian sekali lagi sembari mengeluarkan kartu pegawai dari dalam sakunya. “Tolong Anda baca, nama saya Heta,” imbuhnya sembari mengangkat kartu karyawannya tersebut.Lalu laki-laki di depannya tersebut mengamati dengan teliti nama dan juga foto di dalam kartu karyawan tersebut. “Kamu bukan Vivian?” tanyanya sekali lagi. ‘Apa-apaan Rain ini, kenapa dia sulit sekali percaya,’ batin Vivian yang cukup kesal karena pertanyaan yan
Sean tiba-tiba saja ditabrak oleh seseorang yang baru saja berlari masuk ke ruang itu.Mereka berdua pun jatuh bersamaan dengan posisi Sean berada di bawah. Sean pun langsung berdesis ketika kepalanya terbentur lantai sekaligus berbenturan dengan kepala wanita yang menabraknya.“Belum selesai?” tanya Raven dengan volume suara tinggi.Seketika Sean langsung membuka matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya agar bisa melihat dengan jelas siapa wanita yang berada di atas tubuhnya itu. “Kamu!” pekiknya yang dengan cepat mendorong tubuh wanita di atasnya itu hingga membuat wanita tersebut terjerembab di lantai.“Hei!” teriak wanita tersebut sembari masih memijat-mijat keningnya.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Sean sembari menatap ke arah wanita yang baru saja menabraknya itu. Wanita tersebut pun bangun dengan pelan sembari menjawab, “Tentu saja karena aku ini asisten pribadinya. Apa kamu lupa, bukankah kamu sendiri yang mengatakan hal itu kemarin.”Sean mengangkat alisnya mendengar ha
“Aku ingin menolong seorang wanita cantik yang terlihat kelelahan,” jawab laki-laki di depan Vivian tersebut.Langsung saja Vivian kembali menatap ke arah laki-laki di depannya itu dengan ekspresi terkejut. ‘Cih, bisa-bisanya dia ingin menggombal di pertemuan kedua. Dasar Playboy cap kadal,’ batinnya namun terus menunjukkan ekspresi terkejut dan seolah sedang terpesona.“Kamu tidak apa-apa kan Nona Heta?” tanya laki-laki tersebut sembari meraih tangan Vivian dan dengan lembut membantu Vivian berdiri.Langsung saja Vivian menundukkan wajahnya, bertingkah seolah sedang tersipu malu. “Terima kasih, Tuan Rain,” ucapnya.“Iya, sama-sama,” sahut Rain sembari tersenyum hangat menatap Vivian yang masih berpura-pura malu.Sedangkan laki-laki yang datang terakhir pun langsung berekspresi aneh melihat kejadian itu. ‘Mual rasanya melihat ekspresi wanita iblis ini. Aku pernasaran, apa yang sebenarnya membuat Raven tergila-gila pada dia,’ batinnya.Sesaat kemudian Vivian berganti menoleh ke arah
“Aku di sini karena ingin membicarakan proyek kerjasama untuk pameran di Itali,” ujar Rain sembari duduk di sofa yang ada di dalam ruangan Raven tersebut “Bagaimana menurut kamu, apakah kamu tertarik?”“Maksud kamu pameran yang proposalnya diajukan beberapa hari yang lalu?” Raven memperjelas apa yang sedang dibicarakan oleh sepupunya tersebut.Tentu saja Raven tidak akan menyambut baik perihal proyek yang sedang dibicarakan oleh Rain tersebut. Ia tahu dengan jelas jika akan ada sesuatu yang akan merugikan perusahaanya jika ia setuju dengan proyek itu, karena selama ini perusahaan miliknya dan perusahaan pamannya adalah saingan.“Benar. Kerjasama ini akan menguntungkan perusahaan kita,” bujuk Rain.“Tapi aku tidak berpikir seperti itu,” tukas Raven. “Dari proposal yang diajukan kemarin, ada beberapa kerugian yang akan kami miliki jika alu menyetujui hal ini.”Langsung saja Rain tersenyum mendengar tanggapan tentang proposal yang diajukan kemarin. ‘Padahal aku sudah sangat hati-hati,’ b
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap