“Aku hanya memperingatkanmu. Kalau kau macam-macam, kau akan merasakan bagaimana rasanya bercinta sampai tak bisa berjalan. Paham?!” Rakhan berusaha membelokkan arah pemikiran Mentari.
Mentari mendelik. “Ancaman macam apa itu? Dasar sinting!”
“Atau kau ingin kutelanjangi sekarang dan merasakannya?” Rakhan kembali melontarkan intimidasinya.
Mentari menelan ludah dengan susah payah. Rakhan tampak serius dengan ucapannya. Mentari menarik wajahnya menjauh dari wajah Rakhan. Dari kemarin malam hingga sore ini, Rakhan sudah berkali-kali menciumnya. Bulu kuduknya meremang. Desir rasa takut kalau Rakhan akan menjadikan nyata ancamannya mengalir hingga ke seluruh pembuluh nadi.
“T-tidak mau ....” Mentari menggeleng. Napasnya s
Mentari merasakan bumi berguncang dan suara Rakhan yang memanggil namanya terdengar semakin nyata. Ia pikir sedang berada di tengah bencana alam yang sedang melanda. Namun, serpihan kesadarannya sedikit demi sedikit menyatu dan membuat Mentari terjaga. Mata Mentari terbelalak saat mendapati Rakhan sudah duduk di tepi tempat tidur sambil memandanginya. Ia segera bangkit untuk duduk.“Sedang apa kau?” Mentari bertanya kepada Rakhan dengan suara sedikit parau sambil beringsut ke punggung tempat tidur.Rakhan mengernyitkan dahi. Bukan karena merasa heran, melainkan Rakhan merasa terusik. Rakhan merasa Mentari sedang menuduhnya melakukan sesuatu yang buruk. Ia kemudian menatap Mentari dengan mata menyipit.“Sedang apa?!” Nada suara Rakhan menandaskan ketersinggungan. “Aku sedang
Mentari memalingkan pandangan ke jendela. Ia hanya mengungkapkan ganjalan di hatinya. Namun, ia tidak bisa memungkiri jika Rakhan punya akses untuk terhubung dengan orang-orang yang ahli di bidang itu dan mampu membayar mereka. Sampai bulan menggantikan matahari dan langit menjadi gelap, Rakhan masih belum menyerah untuk membuktikan usahanya kalau ia memang berniat mencari Arya. Terlepas dari benar atau tidaknya pria yang dilihat Mentari adalah Arya, ia sudah melakukan usaha terbaik versi dirinya. Beberapa hotel, dari yang berbintang hingga ke penginapan sekelas losmen, sudah mereka datangi. Namun, mereka masih harus bersabar. Beberapa pria bernama Arya yang sempat mereka temui pun, bukanlah Arya yang mereka maksud. Berupaya menemukan Arya di tengah kota asing bagai mencari jarum di tumpukan jerami. “Kita akan melanjutkan pencarian ini besok,” cetus Rakhan beberapa saat setelah laju mobil berhenti di parkir basemen hotel tempat mereka menginap.“Tidak perlu,” jawab Mentari pelan da
Mentari membiarkan suasana kamar gelap gulita. Rasa sedih yang terus mengancam kekuatannya, mencegah Mentari untuk beranjak dari peraduan. Mentari terpuruk dalam lemah di tengah derai air mata di atas ranjang sampai Rakhan masuk dan menyalakan lampu. Penasaran dengan suara isak tangis yang berdengung di telinga, Rakhan memberanikan diri melongok ke area tempat tidur. Ia sengaja tidak menyalakan lampu. Cahaya temaram cukup untuk matanya melihat Mentari yang sedang menangis. Rakhan memberanikan diri duduk di tepi ranjang memunggungi Mentari.“Kalau kau masih penasaran, kita akan mencari pacarmu lagi besok,” cetusnya.Beberapa saat Rakhan menunggu, tidak ada reaksi dari Mentari. Hanya suara tangis Mentari yang menjadi nada tunggu paling dramatis yang pernah ia dengar. Rakhan kemudian menoleh ke belakang. “Tari—““Aku jahat,” sela Mentari dengan suara sedikit serak. “Aku egois karena aku memaksanya menuruti semua kemauanku untuk kawin lari. Aku sudah mematahkan harapan seorang ibu yang be
Belum habis keterkejutannya akan perpindahan posisi tidur dan busana yang dikenakan Rakhan, Rakhan tiba-tiba membuka mata. Ia mengernyit sambil mengucek mata. “Sedang apa kau di sini?”Mentari menelan ludah. Ia sedikit gugup. “B-bukankah semalam aku yang tidur di sofa?”Rakhan bangkit. Ia menurunkan kaki ke lantai sementara punggungnya ia sandarkan ke punggung sofa. Kedua tangannya menggenggam kepalanya sendiri untuk melepas pusing efek beru bangun tidur. “Aku pulang, kau sudah tidur di ranjangku,” tutur Rakhan.“Oh, iya?”“Kau pikir aku kurang kerjaan memindahkanmu dari sofa ke ranjang? Siapa kau sampai aku harus melakukan itu?” sangkal Rakhan dengan nada pedas.Mentari memberengut. Mungkin ia yang lupa karena mustahil Rakhan bisa sebaik itu, memindahkannya dari sofa ke ranjang. Mentari berusaha memercayai keterangan Rakhan. “Cepat mandi sana! Perjalanan ke rumah orang tua pacarmu itu cukup memakan waktu.” Rakhan mengingatkan Mentari akan rencana mereka. “Iya!” Mentari membalas de
Mentari hampir tidak memercayai fakta yang ia dapatkan, tetapi kemungkinan besar cerita Pak RT itu benar. Ia tahu siapa ayahnya. Ayahnya bisa melakukan apa saja untuk terbebas dari segala tudingan. Cucuran air mata mengunci mulut Mentari di sepanjang perjalanan pulang. Duduk di sampingnya, Rakhan pun tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa memberikan tisu untuk menyeka air mata Mentari. Keinginannya untuk merengkuh Mentari dan membiarkan wanita itu menangis di pundaknya, dalam dekapan, terhalang oleh kekhawatiran yang begitu besar. Rakhan khawatir adanya penolakan. Rasa yang sangat tidak biasa. Ia tidak pernah membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa cemas menghadapi keinginan yang menggebu. Apa yang menjadi inginnya, akan ia lakukan tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Beberapa hari ini Mentari telah membuatnya menjadi lemah, penuh pertimbangan, dan bodoh. Rakhan merasa ia sedang dimanfaatkan Mentari untuk membantunya mencari Arya, tetapi Rakhan suka.Suka? Rakhan mengerjap menyad
Mentari tidak berniat kembali ke kamar Rakhan. Ia memutuskan tinggal di kamar lamanya dan tidak peduli lagi jika Handoko mengetahui hal itu. Semuanya sudah berakhir. Undangan rasa lapar dari perutnya pun tidak lagi menjadi target Mentari untuk segera bangkit dari tempat tidur dan turun ke ruang makan. Atau setidaknya, ia bisa memanggil salah satu ART di sana untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Tidak terbersit sedikit pun ide untuk mengisi perutnya. Mentari putus asa dan terlalu lelah. Ia memejam dan merilekskan tubuhnya.Sementara itu, Rakhan baru kembali hampir tengah malam. Seperti remaja yang baru patah hati, raut wajah Rakhan tampak kusut dan mood-nya untuk bicara lebih banyak dari biasanya menurun drastis. Ia nyaris tidak berbicara ketika ia nongkrong bersama teman-temannya di pub tadi. Ia kehilangan seler
Terbalut rasa sesal yang mendalam dan kekhawatiran, Mentari beringsut menjauh dari Rakhan. Punggungnya menekan punggung ranjang yang terbuat dari besi bermotif bunga. Mentari terus menekan selimut di dada untuk menutupi bagian depan tubuhnya. Sementara itu, seluruh wajah dan seputaran matanya tersengat rasa panas. Getaran di bibirnya mengindikasikan adanya kesedihan yang sedang ditahan.Rakhan berguling ke sisi lain, lalu menurunkan kakinya dari ranjang, dan segera mengenakan pakaian. Sekelumit rasa bersalah menghujam dadanya dengan kencang. Sekali lagi ia melakukan kebodohan yang sama. Ia memanfaatkan situasi. Perang di kepalanya kembali berkecamuk, tapi ia memutuskan untuk tidak meninggalkan Mentari. Rakhan mengancingkan kemejanya pelan-pelan sambil merangkai kata-kata. Ia duduk kembali di atas ranjang dengan posisi miring. Satu kakinya terlipat sementara kaki lainnya di biarkan menggantung dan bertumpu
Handoko hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku anak dan menantunya. Sulit untuk menyatukan dua hati yang bertentangan, pikirnya.“Tari!” Rakhan memegang lengan atas Mentari untuk menghentikan langkahnya. Ia kemudian bergerak ke hadapan Mentari. “Kau mau ke mana?”Mentari menatap Rakhan. Kilat matanya menajam seakan sedang mengancam. Namun, ia memalis sesaat kemudian.“Tari, aku tidak bermaksud merendahkan atau menghina ayahmu. Aku minta maaf—““Aku mau ke kampus,” potong Mentari mengabaikan permintaan maaf Rakhan. Ia menatap Rakhan sesaat, lalu mengalihkan lagi tatapannya ke arah lain.“Aku akan mengantarmu.”“Tidak perlu. Aku mau naik bus.”“Suka atau tidak, aku akan mengantarmu,” desis Rakhan. Rahangya masih mengeras dan dadanya masih berdebar kencang ketika ia menarik tangan Mentari untuk mengikuti langkahnya ke garasi. Kebisuan dan kesedihan yang terpancar dari mata Mentari memicu keheningan di sepanjang perjalanan. Perasaannya kembali tercabik-cabik pagi ini. Nam