"Aww! Maaf-maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita cantik sambil membungkukkan tubuhnya.Wanita yang diketahui memiliki nama lengkap Yuriko, beberapa kali membungkukkan tubuhnya berusaha meminta maaf pada seseorang yang tidak sengaja ia tabrak. Kemudian, ia memunguti barangnya yang jatuh berserakan di lantai. Tanpa melihat sosok yang ia tabrak, Yuriko bergegas pergi dengan langkah terburu-buru."Siapa wanita itu? Kenapa aku baru melihatnya? Apa dia karyawan baru di sini? Bukankah sudah lama perusahaan ini tidak membuka lowongan pekerjaan?" tanya pria yang tidak sengaja Yuriko tabrak.Pria itu adalah Wolf Lundmark Antariksa Phoenix pemilik sekaligus pemimpin perusahaan PT. Griant Phoenix. Pria dengan tubuh tegap dan tinggi semampai. Rahang yang tegas dan bulu-bulu tipis yang menghiasi wajahnya itu, kini menjadi penasaran terhadap wanita. Padahal seumur hidupnya, ia tidak pernah peduli dengan wanita mana pun kecuali pada Theona, sang pujaan hati. "Apa alasan wanita itu terlihat sa
"Maksud Pak Wolf apa?" tanya Yuriko sambil menatap punggung kokoh pria itu.Wolf membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekat. "Kau sudah membacanya bukan? Jadi, itu maksudku memanggilmu," jelasnya datar."Tapi, bagaimana bisa? Bahkan kita baru pertama kalinya bertemu. Bagaimana bisa Pak Wolf mengajak saya nikah kontrak?" tanya Yuriko tidak habis pikir.Di perusahaan itu, Yuriko hanya pegawai biasa. Ia tidak pernah mengikuti rapat yang dihadiri oleh Wolf dan selama tiga tahun bekerja di sana, ia tidak pernah sekalipun bertemu atau sekedar berpapasan dengan Wolf."Kata siapa? Sebelumnya kita pernah bertemu dan sepertinya kau tidak menyadarinya." Ikosagon menghempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya."Kalaupun iya, kenapa? Saya bukan tipe wanita yang bisa diajak nikah kontrak dengan Pak Wolf. Bukankah di perusahaan ini banyak wanita cantik? Saya juga yakin, di luaran sana banyak sekali wanita cantik yang tergila-gila dengan Anda dan saya yakin mereka akan sangat bersedia jika menikah kont
"Apa kencan butamu lebih penting daripada aku? Bukankah tujuanmu hanya satu yaitu menikah demi menyenangkan nenekmu? Lalu, untuk apa kau melakukan kencan buta?" tanya Wolf sambil melangkah ke depan.Sontak, Yuriko melangkah mundur hingga tubuhnya mengenai daun pintu. Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Apa yang Wolf katakan memang benar, tetapi ia paling tidak menyukai pria tampan. Jika ia menyukai pria tampan, maka ia sudah menikah tidak lama setelah neneknya memintanya untuk menikah. "Maaf, Pak. Pekerjaan saya hari ini sangat banyak. Jadi, saya izin undur diri." Yuriko memutar kenop pintu dan bergegas keluar.Wanita itu menutup pintu dengan tergesa. Kemudian, ia berlarian menuju lift takut Wolf akan mengejarnya. Bahkan setelah berada di dalam lift, ia terus menekan tombol agar pintu segera tertutup."Selamat-selamat," lirih Yuriko sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang. Kemudian dalam sekejap, pintu lift terbuka. Ia bergegas keluar dan pergi ke ruangannya.Baru sampai di ruang
"A-apa?"Yuriko begitu terkejut mendengar jawaban laki-laki itu. Dibayar mahal pun ia tidak sudi, apalagi kalau sampai digagahi secara cuma-cuma."Lepas, lepaskan saya! Saya mohon, Tuan. Di bar ini masih banyak wanita cantik dan biarkan wanita pas-pasan ini pergi," mohon wanita itu berusaha membujuk."Kalau sudah tahu wajahmu pas-pasan, kenapa kau mencari masalah denganku? Seharusnya kau terima saja tawaranku sebelumnya. Jadi, aku tidak perlu bersikap kasar seperti ini," sanggah laki-laki itu malas.Laki-laki itu terus menarik tangan Yuriko. Tidak peduli seberapa keras Yuriko berusaha melepaskan diri dan berontak karena tujuannya hanya satu yaitu membawanya ke kamar dan menyelesaikan rencananya."Tidak, Tuan. Lepaskan saya, saya mohon!" ujar Yuriko memohon dengan air mata yang sudah bercucuran deras membasahi wajahnya.Di sisi lain, Wolf sedang duduk bersandar di sofa sambil melipat kakinya. Beberapa jam yang lalu, Reza melaporkan tentang Yuriko yang mendapatkan pekerjaan di sebuah cl
Yuriko menunduk menatap tubuhnya yang berbalut jas. "Ti-tidak, Pak. Saya akan masuk ke dalam mobil sekarang juga," balas Yuriko bergegas beranjak.Ia tahu maksud Wolf baik. Di tengah malam begini, tidak aman baginya untuk naik kendaraan umum. Lagi pula, tidak ada kendaraan umum di pukul satu malam. Yang ada hanya berandalan yang akan mengganggunya di jalan."Tunggu! Bisakah saya duduk di samping Pak Reza saja?" bisik Yuriko meminta. Ia benar-benar takut jika harus duduk di samping Wolf."Tidak bisa, Nona," tolak Reza menggeleng pelan."Baiklah," ujar Yuriko pasrah. Sambil menghembuskan nafas berat, wanita itu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Wolf. Ia tidak bisa terlalu dekat dengan atasannya dan memilih memberingsut ke pintu."Cih! Kemarin kau begitu berani meninggalkanku di tengah pembicaraan yang sangat penting," batin Wolf tersenyum menyeringai melihat kaki Yuriko bergetar.Merasa ada yang memperhatikan, Yuriko melirik dan tatapan matanya bertemu dengan tatapan tajam Wolf
"Alasan kenapa kau bekerja paruh waktu di bar karena kau butuh uang untuk biaya rumah sakit. Benar bukan?" Wolf beranjak berdiri dan berjalan memutari meja mendekat ke arah Yuriko, "Aku akan menanggung seluruh biaya rumah sakit sampai nenekmu sembuh, asalkan kau mau menandatangani perjanjian kontrak pernikahan denganku. Bukankah sekali mendayung dua pulau langsung terlampaui?"Maksud dari ucapan Wolf adalah Yuriko bisa mengabulkan permintaan neneknya dengan menikahi Wolf dan ia juga bisa membiayai proses penyembuhan neneknya di rumah sakit.Mendengar ucapan Wolf, Yuriko mengangkat kepalanya menatap tajam manik mata pria itu. Lalu, ia beranjak berdiri dengan terburu-buru. Bukankah pria itu terlalu ikut campur urusan pribadinya? Apalagi sampai mengorek informasi pribadinya sampai sejauh itu."Saya memang butuh banyak uang untuk membiayai pengobatan nenek saya di rumah sakit, tapi sampai kapan pun saya tidak akan pernah menandatangani perjanjian kontrak pernikahan ini," balas Yuriko nyal
Dunia Yuriko seolah runtuh detik itu juga. Tulang-tulang di seluruh tubuhnya seakan berubah menjadi jelly. Meluruh begitu saja dan terduduk di lantai. Air matanya sudah menganak sungai membanjiri wajahnya.["Datanglah ke rumah sakit dan dokter yang akan menjelaskannya."Dengan tubuh yang terasa sangat berat, Yuriko beranjak berdiri. Meraih tasnya dan melangkah dengan langkah terseok-seok keluar dari ruangannya. Menyapu pipinya yang basah akan air mata. Masuk ke dalam lift dan keluar berpapasan dengan Wolf. Bahkan ia kembali menabrak pria itu. Bedanya, ia sama sekali tidak meminta maaf dan menimbulkan banyak pertanyaan di kepala Wolf."Yuri kenapa? Kok, dia menangis," bisik Wolf dalam hati."Nona Yuriko kenapa ya, Pak? Menabrak Anda, tetapi tidak meminta maaf. Matanya merah dan wajahnya juga basah seperti sedang menangis," tanya Reza sambil menatap punggung Yuriko yang kian menjauh."Ikuti Yuri, Za!" ujar Wolf memerintah. Entah mengapa perasaannya berubah tidak enak. Dan, janjinya unt
Sementara Wolf terus bertanya-tanya, kakinya terus melangkah mengikuti Yuriko. Ia tidak mempedulikan para karyawan berlalu-lalang mulai kembali ke ruangannya masing-masing. Ia bahkan mengabaikan sapaan bawahannya dan terus menatap punggung Yuriko yang kian menjauh."Sepertinya rencanaku mengubah beberapa poin di surat perjanjian nikah kontrak memang benar," bisik Wolf sambil menahan senyumnya.Tidak jauh dari lift, Yuriko nampak ragu-ragu. Wanita itu ingin langsung pergi ke ruangan Wolf, tetapi tidak tahu harus mengatakan apa nantinya. Akhirnya, ia masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka tiga puluh satu."Aku harus sampai ruanganku lebih dulu," bisik Wolf lekas berlari setelah melihat lift yang Yuriko naiki menuju ke lantai tiga puluh satu di mana ruangannya berada.Pria itu masuk ke dalam lift khusus direktur. Memencet tombol dengan tidak sabaran. Berjalan ke sana kemari memikirkan Yuriko keluar lift lebih dulu. Benar saja apa yang ia pikirkan. Ketika lift terbuka, ia melihat Yu
"Anak kita laki-laki, Mas," kata Yuriko mengingat sang suami belum tahu."Jangan bercanda, Yuri! Hal seperti ini tidak bisa kau jadikan sebagai candaan," protes Wolf tidak suka."Aku serius, Mas. Kalau tidak percaya, kau bisa lihat di papan nama. Bahkan nama putra kita belum ditulis," ujar Yuriko menjelaskan.Sontak, Wolf langsung berjongkok dan memeriksa papan nama. Di sana terlihat jelas di bagian nama kosong dan di bagian jenis kelamin menunjukkan tulisan laki-laki."Astaga!" Wolf terlihat seperti orang yang sedang melihat hantu. Manik mata dan mulutnya terbuka lebar. Ia sampai jatuh terjengkang ke belakang karena terlalu terkejut melihat bayinya berjenis kelamin laki-laki."Bagaimana bisa?" Wolf menyentuh kepalanya dan sedikit mencengkeram rambutnya.Beruntung waktu itu tidak hanya membeli pakaian berwarna pink saja, tetapi ada warna ungu juga. Jadi saat ini, bayi laki-laki itu memakai pakaian berwarna ungu. Tidak masalah jika anak laki-laki memakai pakaian warna itu."Maaf, Mas.
"A-apa? Ha-hamil?" Manik mata Wolf terbelalak dengan senyum yang mengembang, "Apa kau sungguh hamil, Sayang?" imbuhnya bertanya pada sang istri."Aku tidak tahu, Mas," sahut Yuriko menggeleng bingung.Selama ini, ia hanya menikmati kehidupan rumah tangganya dengan Wolf. Ia bahkan tidak sadar akhir-akhir ini sering sekali makan. Porsinya masih normal, tetapi ia sering menikmati camilan. Baik ketika di rumah maupun di perusahaan."Coba kau beli test pack di apotik. Kalau tidak, panggil dokter keluarga kita ke rumah," kata Grizeljoy menyarankan."Nah iya, Benar. Kalau bisa, panggil dokter kandungan saja ke rumah biar lebih pasti," timpal Antariksa ikut menyarankan.Rupanya selain Wolf, dan Grizeljoy yang terlihat bersemangat, Antariksa pun jauh lebih bersemangat daripada mereka berdua. Namun alih-alih meminta putra San menantunya pergi ke rumah sakit, ia justru berkata untuk membawa dokter spesialis kandungan ke rumah."Bagaimana kalau test pack saja? Nanti kalau positif, Yuri sama Mas W
"Kita sudah menikah, tapi hanya sedikit orang yang tahu. Menurutmu, apa kita perlu membuat perayaan untuk mengumumkan pernikahan kita?" Satu bulan berlalu setelah drama merajuk yang Wolf buat. Kini, pria itu sedang bermanja-manja dengan Yuriko di dalam selimut. Mereka baru saja menyelesaikan ritual percobaan pembuatan anak yang entah sudah berapa puluh atau mungkin berapa ratus kali."Siapa bilang sedikit? Semua karyawan di perusahaan tahu tentang status kita. Jadi aku pikir, kita tidak perlu merayakannya. Itu hanya akan buang-buang waktu dan uang saja," tolak Yuriko.Tidak peduli mau seberapa banyak orang yang tahu tentang pernikahannya. Yang paling penting sekarang hidupnya sudah bahagia. Tanpa ada yang ditutup-tutupi dan saling terbuka satu sama lain meski hanya hal kecil sekalipun."Tidak, Sayang. Untuk hal seperti ini tidak bisa dibilang sebagai buang-buang uang." Wolf menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan pemikiran sang istri.Selain karyawan di perusahaan, Wolf ingin men
Yuriko menatap manik mata Wolf yang terlihat berkaca-kaca. Terlihat sekali bahwa pria itu sudah terlalu putus asa. Tidak tahu harus melakukan apa dan dengan cara apa agar Yuriko mau memiliki anak dengannya."Kenapa? Apa masih belum cukup?" tanya Wolf nyalang. Rasa-rasanya, kesabarannya sudah habis tak bersisa."Tidak. Aku setuju untuk memiliki anak," sahut Yuriko sedikit menyusutkan tubuhnya. Sebelumnya memang Wolf pernah marah, tetapi kali ini berbeda. Tatapan matanya menunjukkan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, dan perasaan lainnya yang tercampur menjadi satu membuat Yuriko kesulitan sekedar untuk bernafas."Hah? Apa? Aku tidak salah dengar, 'kan?" tanya Wolf terkejut.Baru saja ia pasrah atas penolakan yang akan Yuriko lontarkan. Namun ternyata, ia mendengar jawaban yang sangat ingin ia dengar. Bahkan ia sampai tidak bisa mempercayai pendengarannya."Sama sekali tidak. Jadi, kau menginginkan berapa anak? Satu, dua, atau tiga?" sahut Yuriko mantap."A-apa?" Wolf kembali dikejutkan
"M-mas?" Yuriko langsung menjauhkan tubuhnya dengan raut bingung."Kenapa? Tidak bisa? Mau kembali sama Devon? Ya sudah, sana." Wolf melebarkan matanya dan berkata dengan nada malas. Lalu, ia melangkah ke arah meja kerjanya berusaha mengabaikan Yuriko.Terlihat, Yuriko sedang mengigiti kuku jari tangannya. Menatap Wolf dengan raut keragu-raguan. Haruskah ia mengatakan alasannya?"Bu-bukannya aku tidak mau. Aku hanya ..." Yuriko sengaja menggantung kalimatnya membuat Wolf penasaran."Hanya apa? Hanya karena kau belum mempercayaiku?" tanya Wolf berbalik dan menatap wanita itu sinis."Tidak, bukan karena itu. Aku hanya ... Takut, Mas," sahut Yuriko sambil menundukkan kepalanya.Mendengar kata takut terlontar, sontak membuat Wolf mengurungkan niatnya untuk duduk. Ia kembali mendekat ke arah Yuriko dan menyentuh bahunya."Tatap aku, Yuri!" pinta Wolf.Melihat bagaimana kondisi sang istri saat ini membuat Wolf tidak tega. Sebenarnya, ia tidak bisa jauh meski hanya sebentar. Namun, ia terpak
"Itu tidak benar, Mas. Hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dia." Yuriko menyentuh lengan Wolf dan tangisnya semakin pecah."Turun!" seru Wolf."Tidak, Mas. Aku tidak akan turun sebelum kau mempercayai kata-kataku," tolak Yuriko sambil menggeleng cepat.Wolf menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar. Ia pikir, Yuriko tidak akan pernah mau mendengarkan ucapannya. Jadi, ia memutuskan untuk keluar dan menurunkan semua barang belanjaan di depan lobby apartemen. Setelah itu, ia menarik tangan Yuriko agar turun dari mobil."Mas, aku mohon! Kali ini saja percaya padaku. Semua yang aku katakan benar. Aku tidak sengaja bertemu dengannya dan aku tidak ingin memiliki anak bukan karena dia." Yuriko berjalan mengikuti Wolf yang hendak masuk ke dalam mobil."Minggir!" seru Wolf ketika Yuriko menghalangi jalannya."Mas, aku mohon!" lirih Yuriko. Namun sayangnya, sang suami sama sekali tidak peduli dengan permohonannya.Wolf menyentuh bahu Yuriko dan mendorongnya ke samping. La
"Tidak, Mas, jangan dengarkan dia. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk kembali bersamanya, bahkan meski aku mati sekalipun," sergah Yuriko menimpali.Sumpah demi apa pun, kali ini Yuriko benar-benar takut Wolf akan salah paham. Apalagi sang suami memergokinya berpelukan dengan Devon meski bukan atas dasar keinginannya."Ayo kita pulang!" Wolf mengabaikan uluran tangan Devon dan menunjukkan raut dingin. "Mas? Kau percaya padaku, 'kan?" tanya Yuriko dengan raut khawatir."Aku bilang pulang," balas Wolf dingin.Ia menatap Yuriko dengan manik mata membola. Bagaimana bisa sang istri sulit sekali untuk diajak bicara? Bahkan ini yang kedua kalinya Yuriko tidak mau mendengar ucapannya."Iya kita akan pulang, tapi aku ambil belanjaan kita dulu sebentar," ujar Yuriko sambil menunjuk ke arah meja di mana barang belanjaannya berada.Wolf melepaskan tangannya dan membiarkan sang istri mengambil barang belanjaan. Kemudian, ia berjalan lebih dulu tanpa berniat untuk mengambil alih belanjaan itu.
"Aku bilang aku akan mengeluarkannya di luar," ujar Wolf lebih dingin dari sebelumnya. Tangannya mencengkeram setir mobil kuat-kuat agar amarahnya tidak terlampiaskan pada Yuriko."I-iya, Mas." Yuriko melirik sekilas dan melihat betapa dingin ekspresi wajah Wolf saat ini. Meskipun demikian, ia bersikap seolah tidak tahu. Meremas jemarinya dan membuang pandangan ke arah samping.Selama perjalanan setelah pembahasan mengenai pengaman, tidak ada sepatah kata pun yang terlontar. Namun setelah sampai di rumah, Wolf kembali bersikap seperti biasa. Ia sedikit merasa bersalah karena sudah bersikap dingin pada Yuriko."Mau mandi bersama? Aku janji tidak akan macam-macam," tawar Wolf.Sebesar itu cinta Wolf pada Yuriko. Jika pria lain di luaran sana, mungkin akan mendiamkan Yuriko atas apa yang telah wanita itu lakukan. Meminta anak langsung ditolak dan diminta memakai pengaman ketika melakukan hubungan intim."Mau," balas Yuriko mengangguk dengan seulas senyuman.Kini, mereka berdua berjalan
"Tidak, Sayang. Berdua tidak cukup dan kita perlu adanya anak untuk melengkapi keluarga kita. Setidaknya, kita harus memiliki satu agar hidup kita terasa lebih lengkap," balas Wolf sambil menjauhkan tubuhnya dan duduk.Jujur, ia sangat terkejut mendengar jawaban Yuriko. Tidak pernah terpikir sebelumnya kalau Yuriko akan menolak memiliki anak dengannya. Meskipun demikian, hal itu tidak membuat rasa cintanya terhadap sang istri berubah. Ia hanya perlu membujuknya agar mau memiliki anak.Yuriko membuat posisi duduk. "Maaf, aku tidak bisa. Aku sudah merasa cukup hanya dengan kita berdua saja," ujar Yuriko bersikeras."Baiklah. Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu tidak ingin memiliki anak? Kau ... Bukan karena kau masih meragukanku 'kan, Yuri?" tanya Wolf ragu."Tidak, Mas, bukan." Yuriko meraih tangan Wolf, "Aku sama sekali tidak meragukanmu. Apalagi setelah apa yang kau lakukan barusan," lanjutnya sambil menggeleng cepat.Untuk saat ini, Yuriko memang tidak meragukan kesetiaan Wolf. Han