Setelah mengantar Valerie pulang ke mansion, Aldrich turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu mobil. Ia membantu Valerie keluar dengan lembut, memastikan wanita itu tidak salah pijak. Valerie terlihat masih memeluk buket bunga pemberian Aldrich, matanya berbinar meski wajahnya lelah."Kau tidak masuk?" tanya Valerie pelan saat berdiri di depan pintu mansion.Aldrich tersenyum kecil dan menggeleng. "Ada urusan yang harus kuselesaikan sebentar. Istirahatlah, dan kalau butuh apa-apa, langsung hubungi aku."Valerie sempat ingin bertanya lebih jauh, tapi ia mengurungkan niatnya saat melihat ekspresi Aldrich yang berubah sedikit serius. Ia mengangguk pelan dan melangkah masuk, diiringi tatapan Aldrich yang mengawasi hingga pintu tertutup sepenuhnya.Begitu Valerie masuk, ekspresi lembut Aldrich memudar. Ia menarik napas panjang, memutar tubuh dan melangkah cepat ke mobil. Sesaat setelah duduk di balik kemudi, ponselnya kembali bergetar. Di layar tertera nama yang tadi juga sempat menghu
Ketika pintu mulai terbuka dan dua petugas masuk untuk menggiringnya kembali ke sel, Charlos mendengus tajam. Tatapan bencinya tertuju pada punggung Aldrich yang mulai berbalik pergi."Kau pikir kau menang, hah?!" teriak Charlos dengan suara serak namun penuh kemarahan. Petugas di sisi kirinya refleks menahan bahunya agar tetap duduk. "Aldrich, kau cuma pria tolol yang dibutakan cinta!"Aldrich tidak menoleh, tapi langkahnya terhenti."Valerie gak akan pernah bahagia bersamamu!" pekik Charlos lagi, suaranya naik satu oktaf. "Dia akan sadar suatu hari nanti… sadar kalau kau bukan pahlawan, tapi penjara lain dalam hidupnya!"Aldrich masih tak bergerak, namun rahangnya kembali mengencang. Suaranya rendah saat akhirnya ia bicara, masih membelakangi pria yang kini mengamuk dalam borgolnya."Kau sudah mengambil cukup banyak dari Valerie.""Tapi satu hal yang tak akan pernah bisa kau sentuh adalah hatinya… karena itu milikku. Dan akan tetap begitu."Charlos meronta. "SIALAN KAU, ALDRICH! DI
Pintu besi ruang interogasi itu terbuka dengan decitan kasar, diiringi langkah berat seorang petugas yang mengangguk sopan pada Aldrich."Tuan Aldrich, Anda boleh pergi sekarang. Terima kasih atas kerja samanya."Aldrich menghela napas panjang. Rasa sesak yang sejak tadi bersarang di dadanya perlahan luruh bersama udara malam yang menyambutnya saat melangkah keluar dari gedung tahanan.Langkahnya mantap, meski ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan di sorot matanya. Tangan kanannya merogoh ponsel dari saku jas, membuka layar—dan seperti yang ia duga, ada beberapa panggilan tak terjawab dari Valerie.Terselip pula satu pesan singkat."Kau di mana, Rich? Aku mulai khawatir."Aldrich terdiam sejenak, menatap layar itu sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Suara berdering hanya beberapa detik sebelum terdengar napas terengah dari seberang sana."Aldrich?!" suara Valerie langsung menyambar, terdengar panik dan nyaris lega bersamaan. "Kau di mana? Kenapa tak ada kabar?!""Maaf," ja
Aldrich mendesah berat. Ia menunduk, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah ingin menghapus beban dari pikirannya.“Aku tadi ke penjara, tempat Charlos ditahan…” katanya pelan, namun nada suaranya tak bisa menyembunyikan tekanan yang menghimpit dadanya. Ia berhenti sejenak, lalu menatap Valerie dengan sorot yang dalam dan jujur. “Tapi sebelum aku menceritakan tentang apa yang terjadi di sana, aku ingin jujur padamu dulu, Val.”Valerie menegang. Perutnya terasa mules mendadak, seperti dicengkeram rasa cemas yang tak bisa ia jelaskan. Pikirannya langsung melayang ke berbagai kemungkinan, dan semuanya tampak seperti pisau yang menggantung di atas kepalanya.“Jujur…?” ucapnya nyaris tak terdengar. Jemarinya meremas ujung gaunnya makin erat. Dadanya berdegup kencang. Ia tak tahu kejujuran seperti apa yang akan keluar dari mulut Aldrich, tapi hatinya mulai takut.Aldrich menatap matanya sejenak, lalu menunduk lagi. Seolah menimbang setiap kata yang akan ia ucapkan.“Waktu di P
Valerie tak langsung menjawab.Tubuhnya masih, wajahnya pucat, dan napasnya seolah tercekat di tenggorokan. Ia bahkan tak sadar kalau cangkir teh hangat di tangannya sudah mulai mendingin. Matanya menatap Aldrich, tapi seperti menembusnya… mencari kepastian dalam kerumitan yang tiba-tiba memenuhi kepalanya.Ia membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Tak ada satu pun kata yang sanggup ia ucapkan.Sementara hatinya… berdebar tak menentu.Bagaimana bisa seorang pria merencanakan semuanya begitu rapi? Bagaimana bisa ia jatuh pada seseorang yang diam-diam sudah mengenalnya bahkan sebelum pertemuan mereka yang ia pikir hanya sekadar kebetulan? Dan bagaimana bisa hatinya tidak marah, saat justru pengakuan itu terasa seperti sesuatu yang… manis sekaligus menyakitkan?“Valerie…”Suara Aldrich lembut, namun mengandung kekhawatiran. Ia bisa melihat sorot mata Valerie yang gamang, dan itu membuat jantungnya ikut nyeri.Valerie menggigit bibir bawahnya pelan. Matanya mulai memerah, tapi bukan ka
Sebuah gudang tua. Gelap. Sepi. Tapi terdengar suara—lirih, seperti tangisan.Rasa penasaran dan insting gilanya muncul. Ia mendekat, lalu mengintip lewat celah jendela dan melihat seorang anak lelaki yang disekap, wajahnya penuh luka, tapi tetap tampak… tampan. Bahkan dalam kondisi begitu, ada sesuatu dari bocah itu yang menggetarkan Valerie kecil.Tanpa pikir panjang, Valerie melempar batu ke kaca. Tak peduli jika ia akan dimarahi, ia hanya ingin menyelamatkan seseorang.Sayangnya, langkah heroiknya tak berjalan mulus. Mereka menangkapnya juga. Valerie kecil menjerit, tapi tetap mencoba menggigit tangan penculik yang membekapnya, sambil memegangi tangan bocah lelaki itu.Namun, sebelum semuanya bertambah buruk, dua pria bertubuh besar menerobos masuk—bodyguard Valerie. Mereka melumpuhkan para penculik dengan cepat. Tak lama kemudian, datang pula pria elegan dengan tatapan mengerikan yang disertai pasukan. Itu adalah Daddy dari bocah lelaki yang diselamatkannya.Valerie dan anak lel
Aldrich memandangi wajah Valerie yang begitu dekat dengannya, napasnya nyaris tercekat di tenggorokan. Cahaya lampu ruangan yang hangat membingkai wajah wanita itu dengan sempurna. Mata yang dulu pernah menatapnya penuh keberanian saat ia tersungkur dalam ketakutan, kini menatapnya penuh harap dan keraguan yang manis.Perlahan, Aldrich mengangkat tangan, menyentuh pipi Valerie. Sentuhan itu lembut, nyaris seperti menyentuh mimpi yang paling rapuh.“Aku mencintaimu, Valerie,” ucap Aldrich tiba-tiba. Suaranya dalam dan jujur, tak lagi terbebani. “Sejak dulu, rasa kagum itu tumbuh perlahan. Aku bahkan tak sadar kapan rasa itu berubah jadi cinta. Tapi yang jelas… bukan karena hubungan panas kita, bukan karena kedekatan fisik yang sering kita habiskan bersama.”Valerie menatapnya, mata membulat perlahan.Aldrich mengalihkan pandangannya ke lantai, seolah mencoba menyembunyikan perasaan yang mengalir terlalu deras. “Aku tahu, kau pasti tak mungkin mencintaiku. Bukan karena kau tak bisa, t
Pagi itu, matahari menyelinap lembut dari balik tirai tipis yang menari pelan tertiup angin. Cahaya keemasan membelai pelan kulit Valerie yang hangat dan bersinar alami. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia bangun dengan senyuman lebar tanpa alasan lain… selain bahagia.Tidak ada beban. Tidak ada rasa ragu. Tidak ada kebohongan.Hanya perasaan yang mengalir ringan seperti aliran udara pagi yang segar.Ia memiringkan tubuhnya perlahan, dan matanya segera jatuh pada sosok yang berbaring di sebelahnya. Aldrich.Pria itu masih terlelap, wajahnya damai, tanpa sedikit pun garis kekhawatiran seperti biasanya. Rambutnya berantakan dengan cara yang justru menambah pesonanya. Rahangnya yang tajam terlihat lebih santai dalam tidur, dan bibir tipisnya sedikit menganga, membuat Valerie tergoda untuk menempelkan ciuman kecil di sudutnya.Tapi bukan hanya wajahnya yang menarik perhatian.Selimut tipis yang menutupi tubuh Aldrich hanya sampai di pinggul, memperlihatkan sebagian bes
Pagi itu, matahari menyelinap lembut dari balik tirai tipis yang menari pelan tertiup angin. Cahaya keemasan membelai pelan kulit Valerie yang hangat dan bersinar alami. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia bangun dengan senyuman lebar tanpa alasan lain… selain bahagia.Tidak ada beban. Tidak ada rasa ragu. Tidak ada kebohongan.Hanya perasaan yang mengalir ringan seperti aliran udara pagi yang segar.Ia memiringkan tubuhnya perlahan, dan matanya segera jatuh pada sosok yang berbaring di sebelahnya. Aldrich.Pria itu masih terlelap, wajahnya damai, tanpa sedikit pun garis kekhawatiran seperti biasanya. Rambutnya berantakan dengan cara yang justru menambah pesonanya. Rahangnya yang tajam terlihat lebih santai dalam tidur, dan bibir tipisnya sedikit menganga, membuat Valerie tergoda untuk menempelkan ciuman kecil di sudutnya.Tapi bukan hanya wajahnya yang menarik perhatian.Selimut tipis yang menutupi tubuh Aldrich hanya sampai di pinggul, memperlihatkan sebagian bes
Aldrich memandangi wajah Valerie yang begitu dekat dengannya, napasnya nyaris tercekat di tenggorokan. Cahaya lampu ruangan yang hangat membingkai wajah wanita itu dengan sempurna. Mata yang dulu pernah menatapnya penuh keberanian saat ia tersungkur dalam ketakutan, kini menatapnya penuh harap dan keraguan yang manis.Perlahan, Aldrich mengangkat tangan, menyentuh pipi Valerie. Sentuhan itu lembut, nyaris seperti menyentuh mimpi yang paling rapuh.“Aku mencintaimu, Valerie,” ucap Aldrich tiba-tiba. Suaranya dalam dan jujur, tak lagi terbebani. “Sejak dulu, rasa kagum itu tumbuh perlahan. Aku bahkan tak sadar kapan rasa itu berubah jadi cinta. Tapi yang jelas… bukan karena hubungan panas kita, bukan karena kedekatan fisik yang sering kita habiskan bersama.”Valerie menatapnya, mata membulat perlahan.Aldrich mengalihkan pandangannya ke lantai, seolah mencoba menyembunyikan perasaan yang mengalir terlalu deras. “Aku tahu, kau pasti tak mungkin mencintaiku. Bukan karena kau tak bisa, t
Sebuah gudang tua. Gelap. Sepi. Tapi terdengar suara—lirih, seperti tangisan.Rasa penasaran dan insting gilanya muncul. Ia mendekat, lalu mengintip lewat celah jendela dan melihat seorang anak lelaki yang disekap, wajahnya penuh luka, tapi tetap tampak… tampan. Bahkan dalam kondisi begitu, ada sesuatu dari bocah itu yang menggetarkan Valerie kecil.Tanpa pikir panjang, Valerie melempar batu ke kaca. Tak peduli jika ia akan dimarahi, ia hanya ingin menyelamatkan seseorang.Sayangnya, langkah heroiknya tak berjalan mulus. Mereka menangkapnya juga. Valerie kecil menjerit, tapi tetap mencoba menggigit tangan penculik yang membekapnya, sambil memegangi tangan bocah lelaki itu.Namun, sebelum semuanya bertambah buruk, dua pria bertubuh besar menerobos masuk—bodyguard Valerie. Mereka melumpuhkan para penculik dengan cepat. Tak lama kemudian, datang pula pria elegan dengan tatapan mengerikan yang disertai pasukan. Itu adalah Daddy dari bocah lelaki yang diselamatkannya.Valerie dan anak lel
Valerie tak langsung menjawab.Tubuhnya masih, wajahnya pucat, dan napasnya seolah tercekat di tenggorokan. Ia bahkan tak sadar kalau cangkir teh hangat di tangannya sudah mulai mendingin. Matanya menatap Aldrich, tapi seperti menembusnya… mencari kepastian dalam kerumitan yang tiba-tiba memenuhi kepalanya.Ia membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Tak ada satu pun kata yang sanggup ia ucapkan.Sementara hatinya… berdebar tak menentu.Bagaimana bisa seorang pria merencanakan semuanya begitu rapi? Bagaimana bisa ia jatuh pada seseorang yang diam-diam sudah mengenalnya bahkan sebelum pertemuan mereka yang ia pikir hanya sekadar kebetulan? Dan bagaimana bisa hatinya tidak marah, saat justru pengakuan itu terasa seperti sesuatu yang… manis sekaligus menyakitkan?“Valerie…”Suara Aldrich lembut, namun mengandung kekhawatiran. Ia bisa melihat sorot mata Valerie yang gamang, dan itu membuat jantungnya ikut nyeri.Valerie menggigit bibir bawahnya pelan. Matanya mulai memerah, tapi bukan ka
Aldrich mendesah berat. Ia menunduk, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah ingin menghapus beban dari pikirannya.“Aku tadi ke penjara, tempat Charlos ditahan…” katanya pelan, namun nada suaranya tak bisa menyembunyikan tekanan yang menghimpit dadanya. Ia berhenti sejenak, lalu menatap Valerie dengan sorot yang dalam dan jujur. “Tapi sebelum aku menceritakan tentang apa yang terjadi di sana, aku ingin jujur padamu dulu, Val.”Valerie menegang. Perutnya terasa mules mendadak, seperti dicengkeram rasa cemas yang tak bisa ia jelaskan. Pikirannya langsung melayang ke berbagai kemungkinan, dan semuanya tampak seperti pisau yang menggantung di atas kepalanya.“Jujur…?” ucapnya nyaris tak terdengar. Jemarinya meremas ujung gaunnya makin erat. Dadanya berdegup kencang. Ia tak tahu kejujuran seperti apa yang akan keluar dari mulut Aldrich, tapi hatinya mulai takut.Aldrich menatap matanya sejenak, lalu menunduk lagi. Seolah menimbang setiap kata yang akan ia ucapkan.“Waktu di P
Pintu besi ruang interogasi itu terbuka dengan decitan kasar, diiringi langkah berat seorang petugas yang mengangguk sopan pada Aldrich."Tuan Aldrich, Anda boleh pergi sekarang. Terima kasih atas kerja samanya."Aldrich menghela napas panjang. Rasa sesak yang sejak tadi bersarang di dadanya perlahan luruh bersama udara malam yang menyambutnya saat melangkah keluar dari gedung tahanan.Langkahnya mantap, meski ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan di sorot matanya. Tangan kanannya merogoh ponsel dari saku jas, membuka layar—dan seperti yang ia duga, ada beberapa panggilan tak terjawab dari Valerie.Terselip pula satu pesan singkat."Kau di mana, Rich? Aku mulai khawatir."Aldrich terdiam sejenak, menatap layar itu sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Suara berdering hanya beberapa detik sebelum terdengar napas terengah dari seberang sana."Aldrich?!" suara Valerie langsung menyambar, terdengar panik dan nyaris lega bersamaan. "Kau di mana? Kenapa tak ada kabar?!""Maaf," ja
Ketika pintu mulai terbuka dan dua petugas masuk untuk menggiringnya kembali ke sel, Charlos mendengus tajam. Tatapan bencinya tertuju pada punggung Aldrich yang mulai berbalik pergi."Kau pikir kau menang, hah?!" teriak Charlos dengan suara serak namun penuh kemarahan. Petugas di sisi kirinya refleks menahan bahunya agar tetap duduk. "Aldrich, kau cuma pria tolol yang dibutakan cinta!"Aldrich tidak menoleh, tapi langkahnya terhenti."Valerie gak akan pernah bahagia bersamamu!" pekik Charlos lagi, suaranya naik satu oktaf. "Dia akan sadar suatu hari nanti… sadar kalau kau bukan pahlawan, tapi penjara lain dalam hidupnya!"Aldrich masih tak bergerak, namun rahangnya kembali mengencang. Suaranya rendah saat akhirnya ia bicara, masih membelakangi pria yang kini mengamuk dalam borgolnya."Kau sudah mengambil cukup banyak dari Valerie.""Tapi satu hal yang tak akan pernah bisa kau sentuh adalah hatinya… karena itu milikku. Dan akan tetap begitu."Charlos meronta. "SIALAN KAU, ALDRICH! DI
Setelah mengantar Valerie pulang ke mansion, Aldrich turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu mobil. Ia membantu Valerie keluar dengan lembut, memastikan wanita itu tidak salah pijak. Valerie terlihat masih memeluk buket bunga pemberian Aldrich, matanya berbinar meski wajahnya lelah."Kau tidak masuk?" tanya Valerie pelan saat berdiri di depan pintu mansion.Aldrich tersenyum kecil dan menggeleng. "Ada urusan yang harus kuselesaikan sebentar. Istirahatlah, dan kalau butuh apa-apa, langsung hubungi aku."Valerie sempat ingin bertanya lebih jauh, tapi ia mengurungkan niatnya saat melihat ekspresi Aldrich yang berubah sedikit serius. Ia mengangguk pelan dan melangkah masuk, diiringi tatapan Aldrich yang mengawasi hingga pintu tertutup sepenuhnya.Begitu Valerie masuk, ekspresi lembut Aldrich memudar. Ia menarik napas panjang, memutar tubuh dan melangkah cepat ke mobil. Sesaat setelah duduk di balik kemudi, ponselnya kembali bergetar. Di layar tertera nama yang tadi juga sempat menghu
Aldrich hanya tersenyum, tak menghiraukan wajah Valerie yang mulai merona.Si penjual bunga tertawa kecil. "Ah, pasti. Saya akan buatkan yang paling spesial untuk istri Anda, Nak."Pria tua itu dengan cekatan merangkai bunga, menggabungkan lili putih dan mawar merah dalam satu buket yang elegan. Tangannya terampil, membungkus bunga dengan kertas cokelat yang sederhana tetapi terlihat berkelas.Setelah selesai, ia menyerahkan buket itu pada Aldrich. "Ini, semoga istri Anda menyukainya."Aldrich menerima bunga itu dengan anggukan. "Terima kasih, Pak. Berapa harganya?"Si penjual menyebutkan harga, dan seperti sebelumnya, Aldrich mengulurkan uang lebih. "Ambil saja sisanya," katanya santai.Namun, pria tua itu tersenyum lembut. "Terima kasih, Nak. Tapi saya hanya mengambil yang sesuai harga saja. Sisanya mungkin bisa dipakai untuk membeli bunga lagi di lain waktu."Aldrich tercengang, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Baiklah, kalau begitu."Ia kemudian berbalik dan menyerahkan buket itu p