“Val!”Megan menyambut Valerie dengan senyum lebar, matanya berbinar saat melihat sahabatnya memasuki ruangan pengantin. Valerie tersenyum, melangkah mendekat dengan terburu-buru. “Wah, kau cantik sekali!” katanya.Ruangan pengantin itu dihiasi dengan dominasi warna putih dan emas, bunga-bunga mawar dan lili yang segar menghiasi sudut-sudut ruangan, memberikan aroma yang lembut dan menenangkan. Sebuah cermin besar berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh lampu kecil yang memberikan kesan hangat dan elegan. Meja rias di sebelahnya penuh dengan perhiasan dan kosmetik, sementara beberapa bridesmaid lainnya sibuk mengatur gaun Megan.Megan sendiri tampak luar biasa dalam gaun pengantin putih gadingnya. Gaun itu berpotongan klasik dengan aksen renda yang melingkari bahunya, menjuntai anggun hingga menyentuh lantai. Rambutnya disanggul rapi dengan beberapa helai yang dibiarkan terurai lembut, dihiasi tiara berlian kecil. Senyum Megan yang lembut semakin memperkuat aura kecantikan dan
“Apa yang dia bicarakan?” Valerie berbisik pelan di dekat telinga Aldrich, meskipun senyumnya tetap terjaga untuk menyembunyikan kebingungannya.“Entahlah. Kita tersenyum saja,” Aldrich menjawab sambil mencondongkan sedikit kepalanya ke Valerie, suaranya rendah dan lembut.Valerie menghela napas pendek, merasa ada yang aneh, tetapi memutuskan untuk mengikuti saran Aldrich.“Sepertinya aku harus keluar sebentar,” kata Aldrich tiba-tiba, memecah suasana.Semua yang ada di ruangan, termasuk Megan, Luna, dan Hanna, langsung menoleh ke arahnya. Valerie juga memandang pria itu dengan tatapan bertanya.Aldrich hanya tersenyum kecil, tatapannya melembut ketika bertemu dengan mata Valerie. Ia tahu Valerie butuh waktu untuk bercengkrama dengan teman-temannya tanpa kehadiran dirinya yang mungkin terasa mengintimidasi.“Baiklah,” Megan akhirnya angkat bicara, mengangguk setuju.Aldrich berbalik ke arah Valerie, matanya penuh perhatian. “Aku menunggu di luar. Nikmati waktu kalian,” ucapnya pelan,
“Pengantin wanita telah tiba!”Semua tamu berdiri, berbalik menatap ke arah pintu utama gereja yang megah. Megan muncul, melangkah perlahan dengan anggun, tangan lembutnya menggenggam erat lengan sang ayah. Gaun pengantinnya tampak seperti karya seni, putih bersih dengan renda berkilauan yang memantulkan cahaya redup dari lilin di dalam gereja. Kerudung tipisnya bergerak halus mengikuti langkahnya, memberikan kesan misterius yang memikat.Altar yang dihias dengan bunga mawar putih dan peach menjadi latar sempurna, membuat kehadiran Megan seolah berasal dari surga. Buket bunga mawar dalam genggamannya melengkapi penampilan yang nyaris tanpa cela.Sang ayah, yang mengenakan tuxedo hitam klasik, berjalan dengan langkah mantap namun penuh emosi. Sorot bangga dan haru terpancar jelas dari matanya. “Kau luar biasa cantik, nak,” bisiknya pelan sebelum mereka melangkah lebih jauh.Di belakang mereka, Valerie, Hanna, dan Luna berjalan sebagai Bridesmaids. Valerie terlihat anggun dalam gaun
“Val, ayo!”Luna menarik tangan Valerie yang masih asyik menghabiskan suapan terakhir pasta seafood yang lezat. Hidangan itu disajikan dengan gaya mewah, lengkap dengan udang jumbo, kerang, cumi, dan saus krim putih yang lembut. Di piringnya juga terlihat taburan parsley segar, potongan lemon, dan roti panggang bermentega sebagai pelengkap. Aroma pasta itu masih menggoda, membuat Valerie enggan meninggalkannya begitu saja.Di sekitarnya, tamu-tamu lainnya menikmati hidangan prasmanan yang tak kalah mewah. Ada steak wagyu dengan saus jamur, salmon panggang dengan glasir madu, salad dengan aneka dressing, dan deretan dessert mulai dari tart buah hingga mousse cokelat yang disajikan dalam gelas-gelas kristal kecil. Semuanya diatur dengan indah di meja panjang berhias kain satin putih dan lilin-lilin kecil yang menyala temaram.Pesta resepsi Megan sendiri diadakan di taman gereja tempat pemberkatan tadi pagi. Taman itu berubah menjadi tempat yang memukau, dihiasi lampu-lampu gantung ya
“Kau tidak pulang hari ini?” tanya Aldrich, suaranya tenang seperti biasanya. Tangan kirinya memegang kemudi dengan santai, sementara tangan kanannya bertumpu di dekat tuas transmisi. Kemeja putihnya dilipat rapi hingga siku, memperlihatkan lengan yang berotot dan mengencang setiap kali ia memutar setir. Cahaya lampu jalanan yang masuk ke dalam mobil memantulkan garis tegas di wajahnya, menambah aura cool yang begitu khas darinya.Valerie, yang duduk di kursi penumpang dengan kepala bersandar ke jendela, mendesah lelah. “Sejak kapan mansionmu menjadi rumah kita?” balasnya, nada suaranya terdengar sedikit sengit meski lebih karena kelelahan.Aldrich terkekeh pelan, senyum tipis bermain di sudut bibirnya. Ia melirik Valerie sekilas, namun cukup cepat kembali memusatkan perhatian pada jalan. “Aku ingin ke apartemen saja,” lanjut Valerie, tangannya mengusap pelipisnya. “Tenagaku sudah terkuras hari ini. Dan besok masih harus bekerja.”Setelah acara pelemparan buket, Valerie hampir tak
Ketika mobil berhenti di depan apartemen Valerie, Aldrich langsung bergegas keluar untuk membukakan pintu penumpang. Valerie menatap heran ke arah pria itu untuk beberapa saat, sebelum segera turun, memegang pintu mobil sebagai penyangga sambil mencoba menyeimbangkan tubuhnya.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Valerie, menatap Aldrich dengan senyum kecil.Aldrich mengangguk, “Kau yakin tidak ingin aku menunggu sampai kau masuk ke dalam?” tanyanya, suaranya terdengar tulus.Valerie menggeleng cepat. “Aku bukan anak kecil, Aldrich. Lagipula, kau juga pasti lelah.”Aldrich menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Baiklah. Istirahatlah. Dan jika besok kau memutuskan untuk libur, beri tahu aku.”Valerie tersenyum tipis sebelum melangkah menuju pintu gedung apartemennya. Namun, saat ia hampir masuk, Aldrich memanggilnya.“Valerie!”Wanita itu berbalik. “Ya?”Aldrich berdiri di sisi mobil, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya tajam namun lembut. “Tidur yang nyenyak. Kau tel
"Oke, minta perhatian semuanya. Perkenalkan, ini Dina. Rekan baru kita di tim Product Development sebagai Lead UI/UX Designer," suara Pak Hartono menggema di ruangan kantor yang luas.Valerie, yang sedang berjalan menuju pantry, menghentikan langkahnya tanpa sengaja. Ia menangkap pengumuman itu sambil memperhatikan wanita yang berdiri di samping Pak Hartono.“Oh, itu wanita tadi,” gumam Valerie pelan, mengingat tabrakan kecil di depan lift pagi tadi.Dina, yang tengah mendengarkan Pak Hartono dengan anggun, tampak percaya diri dalam balutan pakaian formal. Blus putihnya rapi dipadukan dengan rok pensil hitam, rambut pendeknya tertata sempurna, menciptakan kesan profesional yang kuat. Saat Dina melayangkan pandangan ke sekeliling, matanya bertemu dengan Valerie. Ia tersenyum tipis, sopan, seolah mengenali Valerie.Valerie, yang sedikit terkejut, membalas senyum itu sekilas sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju pantry. Ia punya tugas penting: membuat kopi untuk Aldrich atas per
“Berhenti memanggilku ‘babe’, Aldrich. Kita ini sedang di kantor. Kalau ada yang dengar, bagaimana?” keluh Valerie sambil menyandarkan punggungnya di sofa.Aldrich hanya tersenyum santai. “Aku hanya terbiasa. Lagi pula, hanya ada kita di sini,” kerlingnya dengan nada menggoda.Valerie mendecak pelan. Ia mengambil salah satu cookies dalam paper bag yang Aldrich sodorkan. Membuka bungkusnya perlahan, aroma cokelat pekat segera menyeruak, memikat indera penciumannya. Valerie ingin segera menggigitnya, tetapi ia menahan diri agar tidak memperlihatkan ketertarikan berlebihan di depan Aldrich.“Aku tidak menyangka kau begitu perhatian,” gumam Valerie datar sebelum akhirnya menggigit cookies tersebut.Aldrich menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Valerie dengan intens. “Bagaimana? Apa itu enak?” tanyanya, suaranya terdengar rendah namun penuh perhatian.Rasa manis cokelat langsung meledak di lidah Valerie, diikuti oleh tekstur lembut yang lumer seketika. Perpaduan rasa pahit dan manisnya be
Tok. Tok.Ketukan lembut terdengar di pintu kamar Valerie. Suaranya disusul suara lembut yang tak pernah gagal membuat Valerie merasa seperti anak kecil lagi.“Sayang, Bunda boleh masuk?”Valerie yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, memeluk bantal sambil memandangi jendela, menunggu pesan dari Aldrich, menoleh pelan. Ia mengangguk meski tahu sang bunda tak bisa melihatnya.Pintu terbuka perlahan. Wanita elegan dengan balutan blouse biru pastel itu melangkah masuk, menenteng secangkir susu hangat. Senyum hangatnya muncul lebih dulu, sebelum ia duduk di sisi tempat tidur Valerie.“Apa kamu merasa nyaman?” tanya Bunda, mengusap pelan tangan Valerie.Valerie mengangguk kecil. “Nyaman, Bun. Lebih dari nyaman.”Tapi bundanya tahu, di balik senyuman itu, ada hal-hal yang masih mengganjal di hati putrinya.Sambil menyerahkan cangkir susu, Bunda menarik napas panjang. “Kamu tahu, waktu Bunda hamil kamu dulu, Bunda juga sering menangis diam-diam.”Valerie menoleh cepat, kaget.“Bunda?”
Ruang interogasi siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada dua penyidik, satu pengacara pendamping dari pihak kepolisian, dan Aldrich yang duduk dengan ekspresi tegas di sisi kanan meja.Jennifer duduk di seberang, tangannya terikat borgol, tapi senyumnya masih setengah mengejek seperti biasa. Rambutnya diikat asal, dan tatapannya tajam menusuk ke arah Aldrich.“Jadi,” ujar penyidik, membuka catatan. “Kita ingin memastikan, benar bahwa semua rencana penjebakan, pengawasan, penyebaran video tak senonoh itu berasal dari Anda?”Jennifer menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menarik napas panjang, lalu melirik Aldrich sejenak. Bibirnya terangkat dalam senyum malas.“Ya,” katanya enteng. “Itu semua ideku.”Ruangan mendadak sunyi.Aldrich hanya memiringkan kepala sedikit, menatapnya lebih dalam. “Kenapa, Jennifer?”Jennifer mendecakkan lidah pelan. “Kenapa? Serius nanya begitu?”Ia mengangkat alis, lalu melipat tangan di atas meja. “Kau tahu, dulunya aku dan Valerie itu sahabat. Bestie, begitu
“Karena… kamu sangat cantik pagi ini. Dan aku butuh waktu untuk menikmati itu tanpa disela siapa pun,” jawabnya jujur, dengan suara rendah dan dalam.Valerie tertawa kecil, menunduk menahan senyum. “Gombal!”“Tidak.” Aldrich melangkah mendekat. “Kamu makin bersinar sejak hamil. Kulitmu, matamu, senyummu… aku bahkan tidak yakin bisa berkonsentrasi bekerja hari ini.”Valerie menegakkan dagunya, pura-pura berani. “Berarti salahku kamu jadi malas kerja?”“Tentu.” Aldrich menatap mata Valerie begitu dekat sekarang. “Dan karena itu…”Tiba-tiba, ia mencondongkan tubuhnya cepat dan mencuri satu kecupan ringan di bibir Valerie, hanya sekelebat, nyaris tak tersentuh angin.Valerie terkejut. “Aldrich!”Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Aldrich sudah menjauh setengah langkah dengan senyum tak berdosa. “Apa? Aku hanya mengambil hakku sebagai tunangan.”“Kalau dilihat Bunda, aku bisa dikunci di kamar sebulan!” Valerie menepuk dada Aldrich dengan gemas, tapi rona merah sudah merayap sampai
Suara bel utama mansion menggema lembut ke seluruh penjuru rumah, membuyarkan tawa keluarga kecil itu di ruang makan.Salah satu maid segera berjalan cepat menuju pintu depan. Tak lama, ia kembali sambil tersenyum, membungkuk sedikit kepada Valerie.“Maaf, Nona Valerie… ada tamu. Tuan Aldrich sudah tiba.”Wajah Valerie seketika berubah. Matanya membulat kecil. “Ha? Aldrich?”Sebelum ia bisa berdiri dari kursinya, langkah-langkah mantap terdengar mendekat. Di ambang ruang makan yang luas dan berlapis marmer itu, Aldrich muncul, membawa sebuket bunga peony berwarna putih kekuningan yang indah, dengan satu kantong kertas berisi botol minuman herbal yang tampaknya dikemas dengan cantik.“Pagi semuanya.” Suaranya rendah dan tenang, tapi senyumnya penuh kelembutan, terarah hanya pada satu orang—Valerie.Valerie yang semula bersandar santai kini duduk lebih tegak. Wajahnya langsung merona. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang terasa hangat, lalu menatap Aldrich dengan cemberut malu-malu
Begitu ia menginjak lantai marmer utama, aroma masakan segar langsung menyergap lebih kuat. Valerie menuju ruang makan, dan saat pintu geser dibuka oleh seorang pelayan lain, matanya langsung dimanjakan oleh pemandangan yang menggugah selera.Ruang makan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan lampu kristal utama bergaya baroque menggantung anggun di tengah ruangan. Meja makan panjang dari kayu walnut mengkilat ditata sempurna dengan taplak putih bersih dan peralatan makan perak. Di tengah meja, berjejer aneka masakan yang menggoda. Omelette keju, salmon panggang, salad buah segar, aneka roti dan croissant hangat, potongan alpukat dan telur rebus, bubur ayam kampung, serta teh melati dan kopi hitam yang masih mengepul.Di ujung meja, sang ayah, Bastian, sudah duduk santai dengan koran pagi terbuka di depan wajahnya, namun begitu Valerie masuk, ia menurunkannya dan langsung tersenyum lebar.“Lihat siapa yang akhirnya bangun!” serunya sambil berdiri. “Nak, daddymu curiga, bundamu s
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai kamar Valerie, menyapu lembut wajahnya yang tenang dan sedikit mengantuk. Kulitnya tampak lebih bercahaya dari biasanya, dengan pipi yang merona alami, sebuah pesona baru yang muncul sejak ia mengandung. Rambutnya yang sedikit berantakan justru membingkai wajah ovalnya dengan manis, membuatnya terlihat semakin menawan meski baru saja terbangun.Ia mengenakan daster satin berwarna lembut—biru muda dengan renda tipis di bagian lengan dan kerah. Bahannya yang jatuh mengikuti lekuk tubuh membuatnya tampak anggun meski dalam kesederhanaan. Valerie menggeliat pelan di atas ranjang, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.Senyuman tipis langsung mengembang di wajahnya begitu layar menyala, ada notifikasi dari Aldrich.Aldrich [07.02 AM]:Pagi, sayang. Sudah bangun?Valerie mengetik dengan cepat, senyumnya makin lebar.Valerie [07.03 AM]:Sudah. Tapi belum mandi. Masih mager di kasur.Kenapa tidak bangunkan aku langsung saja?
Malam telah turun dengan damai, membungkus mansion megah milik keluarga Bastian dalam kehangatan yang elegan. Di ruang makan utama, cahaya lampu gantung berkilau keemasan, memantulkan bayangan hangat di dinding-dinding tinggi yang dihiasi lukisan klasik.Di meja makan panjang yang ditata rapi dengan peralatan makan mewah berlapis emas, duduklah Valerie, Aldrich, Bastian, dan sang Bunda. Wanita anggun itu mengenakan blus sutra krem yang memancarkan ketenangan, duduk di samping suaminya dengan tatapan penuh cinta pada anak semata wayangnya.Makan malam berlangsung dalam obrolan ringan dan senyum yang tak putus-putus. Sampai akhirnya Valerie meletakkan garpunya perlahan, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi hangat yang terselip gugup.“Ayah, Bunda…” ucap Valerie lirih. “Aku ingin memberitahu sesuatu.”Bunda Valerie segera menatap putrinya itu dengan lembut. “Apa, sayang?”Valerie meraih tangan ibunya, lalu melirik Aldrich yang duduk di sebelahnya, memberi anggukan kecil penuh duku
Langit mulai beranjak senja saat rombongan mobil hitam mewah memasuki gerbang besar bergaya klasik Eropa yang berdiri megah di ujung jalan pribadi sepanjang hampir satu kilometer. Pagar besi berornamen emas terbuka perlahan, menampilkan pemandangan mansion Bastian yang seperti diambil dari halaman majalah arsitektur kelas dunia.Mansion itu berdiri tiga lantai dengan dominasi marmer putih krem, jendela-jendela tinggi berbingkai emas matte, dan pilar-pilar kokoh menjulang. Air mancur dengan patung kuda berlapis perunggu menjadi pusat taman depan, dengan rumput yang dipangkas sempurna dan lampu-lampu taman mulai menyala hangat seiring langit menggelap.Saat mobil berhenti, beberapa bodyguard berbadan tegap segera membuka pintu. Valerie turun terlebih dahulu, mengenakan dress soft pink selutut yang membentuk tubuh rampingnya. Flat shoes putihnya menyentuh marmer dengan langkah anggun. Di belakangnya, Aldrich turun dengan gaya khasnya—jas casual warna arang, kemeja putih berpotongan pas
Suasana lorong rumah sakit yang tadinya hanya dipenuhi langkah tenang dan percakapan pelan berubah dalam sekejap. Seorang wanita dengan balutan blouse ketat berwarna merah marun dan rok pensil hitam selutut berjalan mendekat. Tubuhnya tinggi, lekuknya jelas, dan aroma parfum mahal yang menyengat langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Sepasang stilettosnya berdetak nyaring di lantai, membuat beberapa kepala menoleh.Tatapannya langsung tertuju pada Aldrich, seperti sasarannya sudah terkunci sejak awal.“Hai,” ujarnya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”Tanpa memperdulikan Valerie, wanita itu dengan santainya meraih lengan Aldrich. Bahkan, saat Valerie hendak bicara, wanita itu mendorong bahunya perlahan ke samping sambil menambahkan.“Adik manis, kau minggir dulu.”Sentuhan itu tak keras, tapi cukup membuat Valerie sedikit terkejut dan melangkah setengah mundur. Aldrich yang menyadari gerakan itu langsung menoleh cepat ke arah Valerie, dan sa