Kai baru saja sampai rumah bersama Eve. Dia terlihat sangat senang saat naik ke ranjang untuk tidur siang.“Papi Kaivan baik ‘kan, Mami. Dia mau tukar jadi papi Kai, kalau Kai mau,” celoteh Kai sambil berbaring.Eve diam.“Mami nggak cuka, ya?” tanya Kai dengan wajah sedih saat melihat maminya hanya diam.Eve menatap pada Kai, lalu mencoba tersenyum.“Kenapa Kai tiba-tiba minta Paman Kaivan buat gantiin jadi papi?” tanya Eve penasaran.Kai memainkan kedua telunjuk, lalu membalas, “Kai nggak pernah lihat Papi. Teruc Papi Kaivan baik cekali, makanya Kai maunya papi Kai ya Papi Kaivan. Pas Kai bilang boleh tukar papi, Papi Kaivan bolehin.”Eve tersenyum getir, lalu mengusap lembut kening Kai.“Sudah, Kai tidak usah berpikir aneh-aneh. Mami tidak marah, selama Paman Kaivan tidak keberatan, tidak apa-apa,” ujar Eve pada akhirnya.Eve tidak ingin menambah kesedihan Kai jika melarang memanggil Kaivan dengan sebutan ‘papi’. Dia menyadari jika tidak bisa memberikan sosok ayah pada Kai, sehingg
“Kok pada diam? Kai tahu apa?” tanya Kai masih menuntut jawaban dari para orang tua.“Ah … itu, Kai sudah tahu kalau mau makan malam sama Paman Kaivan,” jawab Eve sambil tersenyum canggung.“Oh ….” Kai berlarian lagi setelah membentuk huruf ‘O’ dengan bibirnya.Eve bernapas lega, lalu memandang pada Alana dan Bram.“Kenapa tidak jujur saja, Eve?” tanya Alana dengan suara pelan, takut Kai mendengar lagi.Mereka sadar, Kai terlalu cerdas, kadang setiap kalimat yang masuk ke telinga bocah itu, bisa langsung masuk dan dicerna otak.“Aku hanya merasa belum ada waktu yang tepat,” ujar Eve.“Tidak ada waktu yang tepat, kalau kamu sendiri tidak berkeinginan melakukannya,” ucap Bram menasihati, “ya sudah, kalau memang mau diajak makan malam, kita siap-siap dulu,” kata Bram lalu berjalan menuju kamar.**Eve dan yang lain sudah siap untuk pergi makan malam. Saat akan keluar dari pintu, mereka terkejut melihat sopir Kaivan sudah menunggu di depan.“Saya pikir kalian masih lama, saya datang hanya
Di private room. Eve melanjutkan makan bersama Alana.Alana menatap Eve yang makan dengan tenang, hingga tiba-tiba bertanya, “Sepertinya pria itu sangat serius padamu sampai mengajak kita makan malam di sini. Apa kamu yakin masih ragu padanya, Eve?”Eve berhenti mengunyah. Dia menatap pada sang kakak ipar yang menunggu jawaban darinya. Eve tertunduk sebentar, lalu tersenyum tipis.“Entahlah, Kak.” Alana melihat tatapan lain di mata Eve. Dia memegang tangan Eve dan bertanya, “Apa ada masalah sampai membuatmu ragu?”Eve menarik napas dalam-dalam, lalu membalas, “Sebenarnya ada hal yang tidak pernah aku ceritakan pada kalian, Kak.”Alana terkejut. “Apa?”Eve menceritakan soal Grisel dan Damian dulu, tentu saja Alana terkejut karena tak menyangka hal itu. Alana sampai tak bisa berkata-kata.“Bagaimana bisa Grisel sekejam itu padamu? Padahal kalian berteman lama. Pantas saja Grisel tidak pernah main ke rumah dan kalian tidak pernah pergi bersama,” ucap Alana benar-benar syok.“Jangan ceri
Kaivan menatap Kai yang diam. Kecemasan menyeruak di dada, mungkin benar yang dikatakan Eve, seharusnya dia bersabar sampai mendapat waktu yang tepat bicara pada Kai soal kebenaran tentang siapa Kaivan. Kali ini Kaivan terlalu terburu-buru.Kaivan menatap Kai yang masih diam, lalu tiba-tiba bocah kecil itu bertanya.“Maksudnya, Papi Kaivan, papinya Kai?” tanya Kai sambil menatap Kaivan dengan serius.“I ….” Kaivan baru saja mau menjawab, tapi lebih dulu terkejut melihat Kai melompat dengan kedua tangan terangkat ke atas. Apa maksudnya ini?“Beneran papinya Kai?” tanya Kai dengan senyum merekah di wajah.Melihat ekspresi wajah Kai, Kaivan yakin jika bocah itu tidak marah.“Iya, apa Kai marah?” tanya Kaivan memastikan.“Yei!” Kai berteriak sambil melompat beberapa kali. “Kai tidak marah, Kai cuka kalau Papi Kaivan itu papinya Kai.”Kai melebarkan senyum penuh kebahagiaan.Kaivan terkesiap. Rasanya ada yang menggelitik di rongga dada saat melihat Kai senang dan mau mengakuinya.“Kai tida
Kaivan menghentikan laju mobilnya tepat di bahu jalan depan kafe milik Eve. Dia menoleh pada Eve yang sedang melepas seat belt lalu berkata, “Siang ini tidak usah menyusul Kai ke kantor, aku yang akan mengantarnya ke sini.”Eve menoleh, lalu membalas dengan sebuah anggukan. Dia segera turun, tapi dia bicara lebih dulu dengan Kai sebelum ke kafe.“Kai, ingat pesan mami,” ucap Eve sambil menatap Kai yang duduk di kursi belakang.“Iya, Mami.” Kai mengangguk patuh.Eve tersenyum, lalu melambai pada Kai.Kaivan kembali melajukan mobil menuju perusahaan. Dia merasa lega hari ini Eve tidak mengatakan sesuatu untuk mencegahnya mengajak Kai.“Kai.” Kaivan memanggil lalu memandang bayangan Kai dari pantulan spion.“Iya.”“Kamu suka belanja?” tanya Kaivan.“Yang belanja ‘kan Mami,” jawab Kai.“Belanja baju, tas, sepatu?” tanya Kaivan lagi.Kai melebarkan senyum, lalu membalas, “Mami juga. Kai tinggal pakai.”“Kalau begitu, hari ini Kai harus memilih barang milik Kai sendiri, bagaimana?”Kai terk
Eve melakukan persiapan untuk soft opening besok. Dia mengecek kesiapan dapur dan yang lainnya.“Mungkin tidak akan terlalu ramai, tapi harus yakin dulu,” ucap Eve pada karyawannya.“Siap, Bu.” Semua terdengar bersemangat.Saat Eve baru saja akan mengecek ponsel setelah selesai briefing dengan karyawan, dia sudah lebih dulu mendapat panggilan dari Brian.“Hai.” Eve langsung menjawab panggilan itu.“Bagaimana persiapan untuk besok?” tanya Brian dari seberang panggilan.“Sudah selesai. Besok tinggal soft opening, aku juga sudah menyebar beberapa brosur, semoga itu menarik pelanggan,” jawab Eve meski diri sendiri kurang yakin.“Pasti menarik,” balas Brian.“Andai kamu bisa di sini. Aku tidak akan segugup ini,” ucap Eve dengan tatapan penuh harap.“Aku di sini.”Eve mengerutkan alis, lalu tertawa kecil.“Di sini di mana? Iya di sini, di sana maksudnya,” ujar Eve lalu tertawa kecil.“Serius, aku di depan kafemu.”Eve terkejut sampai berdiri. Dia memandang ke luar, benar saja ada Brian di d
Eve mengajak Kaivan ke ruang kerjanya agar Kai tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Saat Eve baru saja membalikkan badan untuk menghadap pada Kaivan lalu mulai bicara, tapi ternyata Kaivan sudah lebih dulu bicara.“Ada hubungan apa kamu dengannya?”Pertanyaan Kaivan membuat Eve terkejut.“Seharusnya saya bertanya dulu, apa maksud Kai bilang kalau Anda membelikan banyak barang?” Eve tidak mau menjawab pertanyaan Kaivan langsung.“Apa kamu tidak bisa bicara denganku secara non formal? Kamu, wanita yang melahirkan anakku, haruskah ada saya dan Anda di sini?” Kaivan kesal karena Eve bisa bicara santai dan tertawa dengan pria lain, tapi tidak dengannya.Eve terkejut. Kenapa malah membahas ke sana?“Kenapa Anda harus semarah ini untuk hal sepele?” tanya Eve menatap tak percaya.Kaivan kesal karena bukannya mengindahkan ucapannya, Eve malah balik bertanya.“Apa pria itu yang membuatmu ragu untuk menerimaku meski aku ini ayah Kai?” tanya Kaivan dengan dahi berkerut.Eve semakin pusing. K
Eve menatap Kaivan yang sedang menuntut jawaban darinya. Pria itu menatapnya begitu dalam, sampai-sampai Eve menahan napas karena begitu tegang. Belum lagi jarak wajah mereka semakin dekat, seolah Kaivan sedang mencoba mengikis jarak di antara mereka.“Aku sedang mencoba,” ucap Eve setelah mendapat tatapan intimidasi dari Kaivan.“Mencoba apa?” tanya Kaivan menuntut penjelasan sejelas-jelasnya.Eve mengulum bibir, lalu menjawab, “Mencoba menerima Anda. Kai tidak bisa lepas dari ayah biologisnya, jadi aku akan mencoba menerima Anda.”Kaivan terhenyak. Bukankah ini yang dia inginkan, tapi kenapa Kaivan begitu terkejut.“Kamu memberiku kesempatan?” tanya Kaivan memastikan.“Ya, jika Anda menginginkan itu,” jawab Eve dengan sikap tenang.“Bisa memanggilku dengan sebutan ‘kamu’ saja?” tanya Kaivan menuntut.Eve mengulum bibir, lalu menjawab, “Akan aku coba.”Senyum tipis terbit di wajah Kaivan. Dia melepas Eve dan sedikit memberikan jarak di antara mereka.“Jadi, bagaimana kesimpulannya?”
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar
Eve dan Kaivan masih duduk berdua di samping rumah setelah semua orang pulang. Kaivan menggenggam erat telapak tangan Eve seperti tak berniat melepas.“Kamu dan Damian benar-benar sudah berbaikan?” tanya Eve memastikan.“Ya, anggap saja begitu. Tapi aku akan tetap memantaunya, meski bisa dibilang kalau dia sudah berumur, tapi Damian itu masih labil.”Eve terkekeh pelan mendengar ucapan Kaivan.“Kenapa malah tertawa?” tanya Kaivan dengan dahi berkerut halus.“Ya, labil sepertimu tampaknya,” balas Eve sambil melirik Kaivan.“Siapa bilang aku labil?” Kaivan tidak terima Eve mengatainya seperti itu.Eve menahan tawa. Dia menggeser posisi hingga menatap pada Kaivan lalu menjelaskan, “Jika kamu tidak labil, kamu pasti akan segera menikahi Grisel waktu itu.”Kaivan terkesiap, lalu mengelak, “Itu bukan labil, tapi hanya belum yakin.”“Aku memang berjanji akan menikahi, tapi itu untuk wanita yang aku tiduri. Dan saat Grisel mengakuinya, entah kenapa ada yang janggal, karena itu aku tidak seger
Malam itu. Kaivan dan yang lain makan malam bersama di rumah Maria. Ada Bram dan Alana juga yang diundang ke rumah.“Kalian jangan sungkan, ya. Makan saja apa yang kalian suka, kalau mau memilih menu lain yang tidak ada di meja, bilang saja. Tidak usah malu-malu, anggap rumah sendiri,” ucap Maria pada Bram dan Alana.Bram dan Alana mengangguk. Mereka benar-benar canggung diajak makan malam di rumah Maria.Saat mereka sedang makan malam, pelayan datang menemui Maria.“Itu, Bu. Pak Damian dan Mbak Dania datang,” kata pelayan.“Oh, suruh masuk saja. Aku yang mengundang mereka untuk makan malam bersama,” balas Maria.Pelayan itu mengangguk lalu segera pergi ke depan untuk mempersilakan Damian dan Dania masuk.Eve menoleh pada Kaivan. Dia melihat pria itu memasang wajah datar dan tak senang. Eve memilih diam dan tak berkomentar sama sekali.Damian dan Dania masuk. Dania langsung menyapa Maria dan yang lain, sedangkan Damian menatap pada Kaivan yang tak memandang ke arahnya sama sekali.“Ay
Bram buru-buru turun dari mobil saat sampai di rumah Kaivan. Dia dijemput sopir Kaivan karena sangat mencemaskan Eve ketika tadi menghubungi.“Bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu tidak segera menghubungiku?” tanya Bram langsung mengecek apakah Eve terluka atau tidak.“Aku baik-baik saja, Kak. Kak Bram tidak perlu mencemaskanku seperti ini,” ucap Eve mencoba menenangkan.Bram menatap sendu, lalu menghela napas pelan.Eve mengajak Bram duduk lebih dulu, kemudian menceritakan yang terjadi dan kondisi Grisel saat ini.Bram menghela napas kasar, baru kemudian berkomentar.“Dia punya pilihan agar hidupnya lebih baik, tapi dia malah memilih cara yang salah dan memaksakan sesuatu yang seharusnya tak dia miliki,” ujar Bram, “ya sudahlah, terpenting kamu baik-baik saja.”Bram menatap Eve penuh kelegaan.Eve mengangguk-angguk sambil memulas senyum agar Bram lega.**Setelah Eve merasa lebih baik, dia dan Kaivan pergi mengunjungi Grisel ke rumah sakit untuk melihat perkembangan dan laporan medis dar
Eve mengajak Kaivan menemui ibu Grisel. Bagaimanapun mereka harus memberitahu kondisi Grisel pada wanita itu. Eve sendiri juga tidak bisa merasa tenang begitu saja karena secara langsung atau tidak, Eve juga memperburuk depresi Grisel.“Pak.” Wanita tua itu langsung sedikit membungkuk saat melihat Kaivan di belakang dan menemuinya.Eve langsung merangkul pundak wanita tua itu, kemudian berkata, “Bibi ada yang mau aku bicarakan.”Wanita itu terkejut, bahkan terlihat takut.“Apa saya membuat kesalahan?” tanya wanita tua itu.“Tidak, Bi. Bibi tidak berbuat salah, hanya saja ada yang memang harus kami bicarakan dengan Bibi,” ucap Eve mencoba tenang meski takut dengan reaksi ibu Grisel.“Duduklah, Bi.” Kaivan bicara dengan tegas agar wanita itu tidak kebingungan.Eve mengajak ibu Grisel duduk, begitu juga dengan Eve dan Kaivan yang duduk berhadapan dengan wanita itu.Wanita itu terlihat gemetar, bahkan jemarinya saling meremas sambil menatap pada Eve dan Kaivan secara bergantian.Eve ingin
Kaivan pergi ke rumah sakit setelah Eve agak tenang. Dia juga sudah berpesan pada Maria untuk menjaga Eve.Sesampainya di rumah sakit, Kaivan menemui Hendry yang ada di depan ruang inap bersama pengacara yang ditunjuk untuk menangani kasus itu, hanya berjaga-jaga jika Grisel tiba-tiba menuntut Eve.“Bagaimana?” tanya Kaivan begitu sudah berada di hadapan Hendry dan pengacara.Hendry dan pengacara itu menatap aneh pada Kaivan, membuat Kaivan mengerutkan alis.“Ada apa? Grisel ingin menuntut Eve, atau dia membuat onar lagi?” tanya Kaivan menaruh curiga.“Bukan,” jawab Hendry sambil menggeleng.“Lalu?” tanya Kaivan dengan satu sudut alis tertarik ke atas.“Lebih baik Anda lihat sendiri, dokter juga ada di dalam,” kata Hendry.Kaivan tentunya semakin penasaran, ada apa sebenarnya sampai Hendry tak menjelaskan langsung padanya. Dia akhirnya masuk ke ruang inap, lalu melihat sendiri apa yang terjadi pada Grisel.Dokter masih mengecek kondisi Grisel bersama dua perawat, bahkan kini Grisel ha
Eve dan Kaivan masih menunggu sampai Grisel selesai CT-Scan, saat itu Hendry datang setelah mengecek kamera Cctv di apartemen.“Bagaimana?” tanya Kaivan.“Saya mendapat salinannya, Pak. Sebentar saya kirim ke Anda,” kata Hendry.Hendry mengirimkan video rekaman Cctv ke ponsel Kaivan, lalu menjelaskan, “Semua murni karena kesalahan Grisel yang menyerang Eve dulu, Pak. Bahkan jatuhnya Grisel sebenarnya tidak sepenuhnya salah Eve karena seperti yang terlihat di rekaman itu, kaki Grisel tersandung kakinya sendiri yang membuatnya jatuh ke belakang dan kepalanya langsung menghantam cermin.”Eve dan Kaivan mengamati rekaman itu, ternyata benar jika kejadian yang menimpa Grisel sepenuhnya bukan salah Eve.“Tapi tetap saja, dia terluka karena aku mendorongnya lebih dulu,” ucap Eve tetap cemas. Dia bisa terlibat dengan hukum karena masalah ini.Kaivan menggenggam erat tangan Eve, lalu berkata, “Kamu tenang saja. Biar pengacaraku yang mengurus semuanya. Ada bukti yang kita pegang juga ada saksi,
Eve terus mempertahankan cincinnya. Dia takkan mengalah lagi dari Grisel setelah apa yang Grisel lakukan padanya selama ini.“Kamu tidak layak memakai cincin ini. Ini seharusnya menjadi milikku!” teriak Grisel terus mencoba melepas cincin dari jari Eve.Eve terus mempertahankan cincin itu, begitu tangannya bisa lepas dari genggaman Grisel, Eve langsung mendorong Grisel agar menjauh darinya.Namun nahas, Grisel terdorong cukup kuat, hingga mundur sebelum akhirnya menabrak cermin yang terpajang di dinding dekat lift. Kaca itu pecah seiring Grisel yang terjatuh berlumuran darah karena luka akibat benturan cukup keras.Eve sangat syok. Dia tak berniat mencelakai Grisel, tapi ternyata Grisel malah terluka karena perbuatannya.Semua yang di sana juga terkejut, apalagi Grisel langsung tak sadarkan diri.Eve gemetar karena panik.Grisel dibawa ke rumah sakit. Eve juga ikut karena merasa harus bertanggung jawab. Dia sudah menghubungi Kaivan karena ketakutan, Eve juga tidak mungkin menghubungi