Saat siang hari, beberapa pengunjung mulai berdatangan setelah melihat promo menarik di kafe. Eve terlihat senang karena ada yang mampir untuk mencoba makanan dan minuman di kafe miliknya.Ketika jam makan siang tiba, Eve melihat beberapa karyawan berdatangan ke sana. Sudah bisa ditebak, jika mereka adalah staff perusahaan Kaivan.“Mereka benar-benar datang,” ucap Eve sambil menatap pada Kaivan.Kaivan mengedikkan kedua bahu sambil tersenyum.Tanpa sadar, Eve tersenyum lalu segera membantu karyawannya melayani tamu yang datang.“Ternyata kafe ini milikmu. Tidak sabar mencicipi menu di sini,” ucap salah satu staff yang mengenal Eve.“Bantu beri ulasan jika kalian suka, ya.” Eve bicara dengan sopan dan ramah.“Tentu saja, kamu jangan cemas.”Eve senang. Hingga dia melihat Dania datang dan langsung memeluknya.“Akhirnya kamu buka juga, aku tidak sabar makan di sini. Mulai hari ini, aku akan makan siang di sini. Kalau perlu makan malam pun di sini.” Dania bicara dengan penuh semangat untu
Kaivan langsung menatap tak senang saat melihat siapa yang datang. Bahkan Brian yang sejak tadi ada di belakang meja bartender, kini mendekat ke arah Eve.“Ternyata kalian berkumpul di sini,” ucap Damian sambil menatap satu persatu orang yang masih di kafe. “Bahkan adik kesayanganku ada di sini, kamu tidak mengajakku?” Damian menatap pada Dania yang juga terkejut karena kedatangan Damian.Eve terkejut mendengar Damian menyebut Dania adik. Membuatnya langsung menoleh Kaivan karena jika Dania adik Damian, sudah pasti sepupu Kaivan juga.Kaivan diam menatap tajam pada Damian. Urusan Brian belum selesai, kenapa muncul Damian.Brian berjalan di dekat Eve, tentu saja dia tak senang melihat kedatangan Damian karena sejak Eve hamil sampai melahirkan, Damian terus membayangi Eve.“Kenapa? Kenapa kalian menatapku seperti itu? Aku datang ke sini karena ingin memberi selamat atas pembukaan kafe Eve. Lihat, aku pesan karangan bunga.” Damian menunjuk ke luar, memperlihatkan karangan bunga selamat un
Dania mengajak Damian bicara di luar. Dia tahu Damian masih ingin mengejar Eve, sehingga Dania berusaha untuk menyadarkan kakaknya itu.“Mau bicara apa?” tanya Damian sambil menatap malas pada Dania.“Eve sudah bersama Kaivan sekarang, apalagi ada Kai di antara mereka, lebih baik kamu mundur saja, jangan membuat masalah lagi,” ucap Dania memperingatkan.Damian tersenyum miring mendengar ucapan Dania, lalu membalas, “Baru bersama, belum menikah. Lagian anak punya ayah tiri juga tidak masalah.”Dania melotot mendengar ucapan Damian, lalu membalas, “Apa tidak cukup dulu kamu menyakiti Eve? Apa lagi yang mau kamu buktikan? Seharusnya jika kamu menyesal, kamu bisa membiarkan Eve bahagia dengan pilihannya. Kecuali kamu memang punya maksud lain yang membuatmu kekeh ingin terus mendekati Eve.”Damian diam. Ekspresi wajahnya berubah saat mendengar kalimat terakhir yang Dania katakan.Dania menyadari itu, hingga keningnya berkerut halus.“Damian, kamu tidak punya maksud lain, kan?” tanya Dania
Kaivan mengantar Eve pulang saat kafe sudah tutup. Kai sudah pulang lebih dulu dengan Bram dan Alana, sehingga sekarang hanya ada Kaivan dan Eve di mobil.“Sebenarnya kamu mau upah apa? Kamu belum memberitahuku?” tanya Eve saat mobil mereka sampai di depan apartemen.Kaivan tersenyum kecil, lalu membalas, “Nanti, kalau sudah ada waktu yang pas, akan kuminta.”Eve mengerutkan kedua alis sampai bertautan, apa maksudnya itu?“Masuklah, sudah malam. Kamu pasti lelah setelah seharian mengurus kafe,” ujar Kaivan.Eve mengangguk. Sebelum dia turun, Eve berucap, “Terima kasih karena kamu sudah membantuku tadi.”“Kamu senang?” tanya Kaivan.Eve mengangguk.“Jadi tidak usah berterima kasih. Anggap aku sudah mendapat balasan dengan melihatmu senang.”Eve terkejut. Setulus itukah Kaivan? Bahkan dia tidak merasa rendah karena membantunya di kafe. Eve tersenyum begitu lega.“Ibu mengundangmu sarapan besok pagi, kamu mau datang, kan?” tanya Kaivan sebelum Eve keluar.“Tentu.” Eve menyetujui karena b
Keesokan harinya. Eve baru saja bangun dan keluar dari kamar. Saat pergi ke dapur, Eve melihat Alana di sana.“Kak, aku tidak sarapan di rumah pagi ini. Kaivan mengajakku makan di rumahnya atas permintaan ibunya,” ucap Eve sambil berjalan menghampiri Alana.“Sarapan? Sepertinya hubungan kalian semakin baik,” ucap Alana sambil menatap pada Eve. Alana lega jika memang Eve sudah bisa menerima Kaivan.Eve mengangguk-angguk mendengar ucapan Alana. “Aku mau siap-siap sebelum Sopir Kaivan datang menjemput,” ujar Eve lagi.Alana tersenyum sambil mengangguk.Eve kembali ke kamar lagi. Dia membangunkan Kai yang masih tertidur pulas.“Kai, bangun yuk!” ajak Eve sambil membelai pipi Kai.“Kai macih ngantuk, Mami.” Kai memeluk guling erat, enggan membuka mata karena masih ngantuk berat.Eve tersenyum, lalu berbisik, “Papi Kaivan ngajak sarapan bersama di rumahnya. Kai tidak mau ikut?”Seketika Kai langsung membuka mata.“Mau ke rumah Papi?” tanya Kai dengan wajah semringah padahal baru saja bangun
Eve terkejut sampai tersedak. Dia menatap pada Maria dan Kaivan secara bergantian.“Kamar?” Eve menatap tak percaya.“Iya, Kai punya kamar cendili. Banyak mainannya juga,” celoteh Kai.Eve sungguh tak percaya. Sejak kapan Kaivan menyiapkan semua itu?“Nanti aku ajak melihat kamarnya setelah selesai sarapan,” ujar Kaivan.Eve diam. Dia tidak menyangka kalau Kaivan melakukan banyak hal untuk Kai.Setelah sarapan. Kaivan mengajak Eve melihat kamar Kai, sedangkan Kai berada di luar bersama Maria.“Ini kamar Kai kalau nanti kalian tinggal di sini.Semua kebutuhannya sudah aku siapkan, pakaian, sepatu, dan yang lainnya sudah tertata rapi di lemari.” Kaivan memperlihatkan semuanya pada Eve.Eve benar-benar tak bisa berkata-kata. Kaivan begitu serius sampai sudah menyiapkan semua ini.“Jika kamu tidak keberatan dan ada waktu, sekali-kali menginaplah agar Kai bisa merasakan tidur di kamarnya. Atau, kamu mau kita langsung menikah agar bisa segera tinggal bersama?”Eve melotot mendengar ucapan Ka
Eve pergi ke kafe diantar Kaivan, sedangkan Kai ada di rumah bersama Maria."Kalau nanti sudah dapat informasi, aku akan segera mengabarimu," kata Kaivan saat mobil mereka hampir sampai di kafe Eve.Eve menganggukkan kepala. "Maaf kalau sampai merepotkanmu."Kaivan hanya mengangguk pelan.Mobil Kaivan akhirnya sampai di depan kafe. Eve segera turun karena sudah kesiangan."Kalau ada apa-apa segera hubungi aku," kata Kaivan sambil melongok Eve yang ada di luar."Iya, kamu tenang saja. Sudah sana ke kantor." Eve mengusir karena Kaivan sudah kesiangan ke kantor.Kaivan tersenyum. Dia kemudian memacu mobilnya meninggalkan area kafe Eve.Kafe Eve memang belum buka, tapi Eve datang lebih awal agar bisa membantu karyawannya.Saat Eve akan membuka pintu kafe, tiba-tiba lengannya ditarik, membuat Eve menghadap pada orang yang menariknya.“Kamu pasti sangat senang, kan?”Eve menatap datar pada Grisel yang kini menatap penuh amarah padanya.“Aku tidak ada urusan denganmu.” Eve ingin mengabaikan,
Grisel menatap mencibir pada Brian. Bukannya takut dengan ucapan Brian, Grisel malah terkesan menghina mantan sahabatnya itu.“Brian, Brian, sebenarnya kamu dapat untung apa dengan membela Eve? Dia tidak pernah tahu perasaanmu, tidak peduli dengan perasaanmu, tapi kamu masih saja membelanya padahal dia lebih memilih pria lain.” Grisel tersenyum mencibir setelah mengatakan itu.Brian mengepalkan telapak tangan erat mendengar semua ocehan Grisel.Sedangkan Eve langsung menatap pada Brian, melihat jika pria itu sangat emosi. Jadi, Brian benar-benar menaruh rasa pada Eve selama ini?“Lebih baik kamu diam, Gris! Ingatlah, semua yang kamu lakukan, pasti akan mendapat balasan!” Brian benar-benar kesal.Grisel membuang napas kasar, lalu membalas, “Ya sudah, aku hanya mau menyadarkanmu. Kamu itu hanya dimanfaatkan oleh Eve. Selain bantuanmu, Eve tidak pernah menghargaimu.”Setelah melontarkan kalimat provokasi, Grisel segera pergi meninggalkan Eve dan Brian.Eve menatap Brian yang tampak menah
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Perjuangan yang biasa dilakukan sendiri, sekarang banyak yang menemani.Selama kehamilannya, Eve benar-benar merasakan banyak perhatian banyak orang di sekitarnya, membuatnya bisa menikmati kehamilan dengan perasaan tenang dan bahagia.Pagi itu. Eve berjalan ke ruang ganti untuk menghampiri Kaivan. Usia kandungannya sudah sembilan bulan. Perutnya sudah besar dan Eve mulai kesusahan melakukan aktivitasnya.“Biar aku bantu pakaikan dasi,” ucap Eve saat menghampiri Kaivan.Kaivan menoleh. Dia melihat istrinya itu berjalan mendekat.“Kalau lelah duduklah saja, Eve.”Eve hanya tersenyum. Dia meraih dasi Kaivan dan kukuh ingin mengikat dasi.“Duduk terus juga capek,” balas Eve.Dia mengikat dasi dengan seksama.Kaivan memperhatikan Eve yang sedang mengikat. Semakin besar kandungan Eve, istrinya itu terlihat semakin cantik.“Sudah,” ucap Eve.“Terima kasih,” balas Kaivan diakhiri sebuah kecupan di kening.Perhatian Kaivan ke perut Eve. Dia mengusap lembut p
“Apa Dokter tidak salah memeriksa?”“Sudah dipastikan lagi?”Eve merasa kepalanya sangat berat. Samar-samar dia mendengar suara Kaivan dan Maria. Dia pun berusaha untuk membuka mata sampai akhirnya melihat dua orang itu berdiri di dekatnya dengan ekspresi wajah panik.“Sayang.” Eve memanggil dengan suara lirih.Kaivan menoleh ketika mendengar suara Eve. Dia segera menghampiri istrinya itu.“Bagaimana perasaanmu? Mana yang sakit?” tanya Kaivan sambil menggenggam telapak tangan Eve.Maria juga ikut mendekat ke ranjang karena sangat mencemaskan Eve.“Aku di mana?” tanya Eve dengan suara berat.“Di rumah sakit, tadi aku dihubungi kalau kamu pingsan, jadi aku membawamu ke sini,” jawab Kaivan.Eve mengangguk pelan. Dia memang masih merasa sakit kepala.Kaivan dan Maria menunggu dengan sabar sampai Eve sepenuhnya sadar. “Aku tidak tahu kenapa bisa pingsan, maaf sudah membuat kalian cemas,” ucap Eve lirih.“Untuk apa minta maaf. Kami malah cemas kalau terjadi sesuatu padamu, tapi untungnya ti
Setelah berjuang sendiri, sekarang ada tangan yang bisa Eve genggam erat. Dia bagai Cinderella yang akhirnya menemukan sang pangeran, diratukan dan dicintai begitu dalam oleh pria yang bahkan sekalipun tak pernah ada di dalam mimpinya.Pernikahan Eve dan Kaivan sudah satu tahun berjalan. Pagi itu Eve membantu pelayan di dapur menyiapkan sarapan, sudah menjadi kebiasaan meski para pelayan dulu sering melarang.“Ini sudah semuanya, ditata di meja, ya.” Eve memberi instruksi setelah selesai memasak.“Baik, Bu.”Eve meninggalkan dapur. Dia pergi memanggil Maria sebelum membangunkan Kai dan Kaivan.“Ibu sudah bangun?” Eve masuk kamar untuk mengecek Maria.“Sudah, Eve.” Suara Maria terdengar dari kamar mandi.“Sarapannya sudah siap, aku mau bangunin Kai dan Kaivan dulu,” ucap Eve.Setelah mendengar balasan Maria dari dalam kamar mandi. Eve segera keluar dari kamar sang mertua, lantas pergi ke lantai atas. Semalam Kai merengek ingin tidur bersama mereka, sehingga pagi ini putra mereka yang s
Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Eve yang berbaring memunggunginya. Apa Eve sudah tidur?Kaivan naik ke ranjang. Dia bergeser mendekat ke arah Eve berbaring, lantas menyentuh lengan wanita itu.“Eve, kamu sudah tidur?” tanya Kaivan. Dia bahkan sengaja meletakkan dagu di lengan Eve.Eve sebenarnya sangat panik dan gugup. Dia berpikir untuk tidur lebih dulu sebelum Kaivan selesai mandi, tapi kenyataannya dia hanya bisa memejamkan mata dan tidak bisa jatuh ke alam mimpi, membuatnya sekarang malah semakin cemas.Ini memang bukan malam pertama baginya, tapi lamanya waktu tidak pernah berhubungan seperti itu, tentu membuat Eve merasa ini seperti yang pertama baginya..“Kamu lelah, hm?” tanya Kaivan. Dia tahu Eve belum tidur karena kelopak mata Eve tampak bergerak.Kaivan terus meletakkan dagu di lengan Eve, dia menatap gemas pada Eve yang berpura-pura tidur. Sampai akhirnya dia melihat Eve membuka mata.“Apa kamu lapar?” tanya Eve seraya menatap pada Kaivan.Kaivan meng
“Kai mau pulang cama Mami dan Papi.”Kai bersidekap dada. Dia tidak mau beranjak dari kursinya saat Maria mengajak pulang.Maria, Bram, dan Alana saling tatap, bagaimana caranya membujuk Kai agar Kaivan dan Eve bisa menikmati malam pengantin.“Atau Kai mau tidur di rumah Paman?” tanya Bram membujuk.“Ih … Kai maunya cama Mami dan Papi.” Kai turun dari kursi. Dia berlari menghampiri Kaivan dan Eve yang sedang bicara dengan Dania.“Mami, Papi. Kai mau ikut kalian, tapi Nenek cama Paman malah mau ngajak pulang!” teriak Kai begitu keras.Kaivan dan Eve menoleh bersamaan, mereka terkejut melihat Kai berteriak-teriak seperti itu.“Kenapa, hm?” tanya Eve sedikit membungkuk agar bisa menatap sang putra.“Itu, macak Kai curuh pulang cama Nenek, Kai ‘kan maunya cama Mami dan Papi.” Kai mengadu sambil menunjuk ke Maria dan Bram yang sedang berjalan menghampiri.Kaivan menoleh ke Maria, tentu dia paham dengan niatan Maria mengajak Kai pulang.“Kai, nanti Mami dan Papi akan pulang, tapi setelah me
Pernikahan Kaivan dan Eve berjalan dengan sangat lancar. Mereka sudah sah menjadi suami istri, kini tradisi melempar bunga pun akan dilakukan.Beberapa karyawan lajang yang diundang ke pesta itu sudah bersiap di depan altar, begitu juga dengan Dania yang ikut bergabung untuk mendapatkan buket bunga milik Eve. Siapa tahu selanjutnya dia yang akan menikah.Eve tersenyum penuh kebahagiaan melihat orang-orang antusias ingin merebut buket bunganya. Dia melihat Dania yang memberi kode agar dilempar ke arah Dania, membuat Eve semakin menahan senyum.Eve memunggungi para wanita yang siap menerima buket miliknya. Master Ceremony mulai berhitung, lalu di hitungan ketiga, Eve melempar buket bunga miliknya.Buket itu terlempar cukup kuat. Dania begitu antusias ingin menangkap, tapi banyaknya wanita di sana, membuat buket itu terpental beberapa kali hingga akhirnya jatuh ke tangan seseorang.Semua wanita kini menatap pada orang yang memegang buket itu.“Brian.” Eve terkejut tapi juga merasa lucu ka
Eve berada di salah satu kamar yang terdapat di hotel tempat pesta pernikahan diadakan. Dia datang lebih awal karena harus dirias oleh MUA yang sudah ditunjuk oleh Kaivan.Alana menemani Eve di kamar. Dia terus memperhatikan Eve yang sedang dirias sampai akhirnya siap.“Kamu sangat cantik,” puji Alana seraya menghampiri Eve yang baru saja selesai dirias.Eve menatap Alana dari pantulan cermin. Dia tersenyum malu karena mendapat pujian dari kakak iparnya itu.Alana menatap cukup lama pada Eve, lalu mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang dibawanya.Eve memperhatikan. Tidak tahu apa yang akan diberikan oleh kakak iparnya itu.“Kakakmu dan aku sepakat memberikan ini sebagai hadiah pernikahanmu, memang tidak mewah dan mahal, tapi kami berharap ini cukup berkesan untukmu,” ujar Alana memberikan kalung dengan liontin berinisial E.Eve sangat terkejut. Dia sampai menggeleng kepala pelan karena tak bisa menerima hadiah itu. Dia tahu kondisi ekonomi kakak dan kakak iparnya sedang susah, tapi
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar