Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan bulan-bulan berikutnya, aku menunggu seperti orang yang patah hati. Aku tak ingin mengakuinya, Raffa orang yang membuatku tertarik dan aku merindukannya. Kami memang hanya bertemu beberapa kali atau bisa dikatakan hanya tiga kali. Tapi dia mengetuk rasa penasaran milikku, sungguh tak biasa berbeda rasanya dibandingkan bang Dika. Eh, aku tak ingin terburu-buru.
“Ai sedang memikirkan apa?” tanya Kayla yang baru datang ke ruang dokter.
“Raffa,” jawabku singkat. Lebih baik jujur daripada dia bersikeras mengorekku nanti.
Kayla menatapku penuh curiga “Laki-laki yang ngasih hadiah itu kan?”
Aku mengangguk sebagai jawaban kali ini.
“Bukannya kau masih mendapatkannya?”
Aku mengangguk lagi “Seminggu dua kali seperti jadwal jaga malam kita.”
“Terus apa masalahnya?”
“Biasanya dia masih menghubungiku tapi kali ini tidak, hanya ada notes di setiap bingkisan”, terangku menunjukkan beberapa notes yang telah kuterima “dia seperti pengagum rahasia sekarang.”
Kayla tertawa renyah “Mungkin dia ingin mengubah metode PDKT-nya.”
Aku ikut tertawa “Setelah berjanji mengajakku berkencan ups,” mulut sialan.
“Eh, maksudnya bukan kencan juga sih. Dia hanya sedikit berjanji untuk menghubungiku,” koreksiku.
Kayla menatapku penuh selidik “Kau selalu seperti ini, melewatkan orang yang mampir,” sarkasnya.
“Kay,” rengekku “aku hanya tak ingin salah paham dan kecewa. Cukup satu kali dan itu terlihat sangat bodoh.”
Kayla meraih salah satu notes diatas meja “Ini bukti dia bukan seperti bang Dika, tolong Ai peka sedikit.”
“Kay, haruskah aku menghubunginya?”
“Tidak”, Kayla membuatku tambah tak semangat “Kita selidiki dulu, tangkap sumber dari notes ini. Setelah itu baru kita serang dia,” sarannya menaik-turunkan alis terawat miliknya.
“Sumber?”
“Kurirnya,” jawab Kayla cepat “aku pernah melihat orang yang sering membawakan ini ke resepsionis di loby.”
“Benarkah? Tidak salah orangkan?”
Kayla menggeleng dengan pasti “Tidak, ayo kita mulai pengintaian,” ajaknya penuh semangat.
Kayla sekali ini, aku ingin mempercayai metode darimu. Aku berharap hasil yang baik, tidak mengecewakan seperti yang lalu. Dia menghilang begitu saja saat aku mulai mempercayainya, para lelaki buaya.
.
.
Kami bertanya dengan staff yang berjaga di lobi depan, tidak ada jawaban yang pasti. Ada yang menjawab sekitar jam makan siang dan ada juga yang menjawab sekitaran waktu ashar, tidak ada yang pasti. Aku dan Kayla akhirnya memutuskan untuk menyempatkan diri berada di dekat lobi pada waktu-waktu itu.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu, dan sebulan. Satupun dari kami tidak ada yang tepat waktu. Terkadang bingkisan itu sudah ada ataupun bingkisan itu belum datang. Aku sangat penasaran, itu dari Raffa atau orang lain. Meski jauh di dalam diriku sangat mempercayai bahwa itu semua dari Raffa. Kenapa juga aku harus jatuh pada hubungan seperti ini? Aku yang terlalu bodoh atau mudah terbawa suasana?
Ponselku bergetar membuyarkan pemikiran negatif milikku “Assalamualaikum Kay,”
“Ketemu Ai, ke kantin depan sekarang!”
Sambungan itu terputus begitu saja tanpa ada balasan dariku. Aku melihat jam pada ponsel, masih ada waktu 20 menit untuk berjaga kembali. Poli Obgyn ke kantin depan itu tidak terlalu jauh, sedikit berjalan cepat tak butuh waktu 5 menit.
“Dokter Alia,” suara Kayla memanggilku ditengah keramaian kantin, ini jam makan siang.
Aku menghampiri mereka, ada laki-laki di depan Kayla. Wajahnya yang tak terlihat membuat rasa penasaranku memuncak. Siapa dia? Apa aku mengenalnya? Tapi rasanya aku pernah bertemu dengan laki-laki itu.
“Kay, dia—
Perkataanku terputus saja saat melihat siapa orang yang ada disana. Chandra.
“Apa kabar Alia?” sapanya dengan wajah yang sedikit tegang.
“Pak Chandra,” ujarku sedikit terkejut.
“Sudah kuduga kau mengenalnya Ai,” seru Kayla cepat “dia yang membawa bingkisan tempo hari, se-mu-a-nya. Dan kau tau Ai, Raffa memang dengan sengaja mendiamkanmu. Aku sangat kesal sekarang!”
Chandra tersenyum kikuk “Tidak semua, beberapa Raffa ketika sempat. Soal sikap Raffa, dia hanya terlalu sibuk,” pembelaan darinya.
Mendiamkan, dengan sengaja. Muncul banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Mengapa juga aku harus merasa sedikit kecewa. Aku mengambil tempat kosong di samping Kayla. Menghela nafas sejenak sebelum kecewa kembali. “Kenapa?” dari semua pertanyaan hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Itu em ... permintaan seorang sahabat,” jawab Chandra sedikit ambigu.
Sahabat? Alasan yang sangat umum, mudah ditebak, dan menyebalkan.
“Dimana sahabatmu itu? Kenapa tidak dia sendiri yang membawakannya?” kali ini Kayla yang sedikit tidak sabar.
Chandra melirik ke arah lain, ciri-ciri orang yang mencari alasan untuk menutupi kesalahan “Dia tak bisa datang sendiri, dia di Jakarta mungkin.”
“Jakarta?” Kayla melirik kepadaku meminta penjelasan.
“Mungkin?” selaku.
Chandra menutup mulutnya “Alia, Raffa mempersiapkan semuanya ketika berada disini lalu menitipkannya padaku. Hanya itu Alia, dia bahkan tak pernah memberitahuku dia dimana. Aku hanya menerima pesan seperti ini.” Dia menunjukkan pesan dari Raffa, hampir dua bulan yang lalu.
“Bukannya kalian satu kantor?” tanyaku sedikit kesal.
Chandra mengulang hal yang sama, berbohong “Dia posisinya di atas dariku, kantor pusat lebih sering menugaskan dia keliling cabang perusahaan. Dia tak pernah menetap cukup lama di suatu daerah Alia.”
Alasan logis untuk sebuah kebohongan yang sempurna. Kayla terlihat sangat marah dengan penjelasan dari Chandra. Aku akan kena ceramah hari ini.
“Alia, Raffa bukan orang yang seperti kalian pikirkan. Dia hanya–
“Hanya seoranga pria dewasa yang tidak bertanggung jawab,” sela Kayla dengan menggebu-gebu.
“Tidak seperti itu,” sanggah Chandra seolah berusaha tak terjebak dengan situasi.
Aku menghela nafas sejenak, terlalu rumit. Aku tak bisa berpikir dengan jernih. Entah Raffa yang salah atau aku yang terlalu terbawa suasana. Aku yang terlalu percaya. Aku yang terlalu cepat terpesona dan berharap.
“Alia,” panggil Kayla sedikit menyenggol lenganku. Menyadarkanku dari semua kata-kata ‘aku yang’ menyebalkan.
“Tanyalah sesuatu,” bisik Kayla dengan sangat pelan.
Aku menatap Chandra, matanya seakan mengatakan ‘Tanyakan saja apa yang ingin aku tahu’ tapi, tak dapat dipercaya. Bukan, aku yang tidak mempercayainya. “Bisakah Pak Chandra menghubunginya?”
“Mungkin,” jawaban meyebalkan. Aku menyesali pilihan pertanyaanku.
“Alia, dia sedang sibuk sekarang. Perusahaan sedikit krisis tahun ini,” terang Chandra meyakinkanku. Sungguh, aku sedang tidak mempercayai apapun yang dikatakannya. Aku hanya ingin menyampaikan suatu hal penting. Dia–Pak Chandra bisa menjadi kurir maka dia juga bisa menjadi pengantar pesan.
Lagi-lagi kuhela nafasku, kali ini sedikit lebih panjang. “Pak, tolong sampaikan kepada Pak Raffa. Bisakah berhenti untuk mengirimi bingkisan? Apapun jenisnya itu,” tegasku.
“Lalu bagaimana dengan ini?” tanya Chandra memperlihatkan sebuah foto bingkisan lain yang belum pernah aku lihat.
“Simpan saja untukknya,” jawabku tanpa basa-basi. Aku langsung menarik Kayla menjauh, terlalu lama di sana hanya membuang waktu saja.
“Ai, jangan percaya,” bisik Kayla.
Aku mengangguk dan tersenyum simpul. Tanpa peringatan dari Kayla pun aku tak akan mempercayai apapun yang telah dikatakan Chandra. Hari yang indah untuk hal-hal yang membuat kecewa.
.
.
Raffa.
Nama yang terngiang sejak kejadian siang tadi. Aku membuka ponsel dan mencari ruang obrolan miliknya, hampir enam bulan dari pesan terakhir darinya. Itupun bukan hal yang sangat penting.
“Raffa bukan orang yang seperti kalian pikirkan.”
Memangnya apa yang aku pikirkan tentang Raffa, Pak Chandra? Aku bahkan belum menerka apapun, hanya bingung dengan situasi ini. Aku tertarik padanya dan sepertinya dia juga. Dia meminta lampu hijau dan menghilang. Sesuatu yang pernah aku rasakan bersama seseorang yang sangat aku sukai dengan serius untuk pertama kalinya. Seseorang yang bukan hanya sebagai cinta monyet anak remaja. Seseorang yang pernah aku percayai dan harapkan di masa depan akan terus melihatnya, bersama menikmati setiap tahunnya.
“Saya janji tidak akan melakukannya.”
Anda menjanjikan apa Pak Raffa? Apa yang tidak akan anda lakukan? Anda telah melakukannya. Memberikan sebuah hadiah bukan menjadi solusi janji anda. Memangnya anda tahu apa perbuatannya?
Terkadang aku berpikir makhluk bernama laki-laki itu sama, tanpa terkecuali. Kakakku sendiri pun tidak bisa dipercaya dengan hal-hal yang dinamakan hubungan percintaan. Aku pernah melihat seorang perempuan menangis di depan rumah karena Kak Tama. Dan Kak Tama–sang pemeran utama prianya terlihat tanpa beban saat masuk kembali ke rumah.
‘Raffa,’ gumamku entah yang keberapakali. ‘Laki-laki seperti hujan atau angin yang bisa datang dan pergi sesuka hatinya. Kau termasuk yang mana Raffa?’
Haruskah aku menanti untuk menyimpanmu seperti petrichor atau membiarkanmu lewat dan berharap pelangi datang dibaliknya. Aku tidak tau keputusan yang tepat, haruskah aku mengulang cerita yang sama? Percaya bahwa engkau adalah seseorang yang tepat dan menghilang bagai ditelan bumi. Aku akan memastikannya, sebuah harapan tinggi yang harus siap akan jatuh.
To: Pak Raffa
Bisakah kita bertemu?
Angin bertiup selalu menandakan akan turunnya hujan, musim penghujan sudah mulai sejak bulan lalu. Oktober, tepat setahun yang lalu aku bertemu dengannya, Raffa. Laki-laki yang membuatku tertarik dalam sekejap dan menghilang begitu saja, ternyata dia hanya angin lewat. Setelah kejadian tertangkap basah Pak Chandra, tidak ada lagi kabar darinya. Bahkan pesan yang hampir satu semester lalu aku kirimkan. Jangankan dibalas, dibaca pun belum pesan itu. Kesal, sangat kesal!Jika aku bisa bertemu dengannya aku ingin meluapkannya. Tidak perduli dengan perbedaan usia dan tata krama terhadap yang lebih tua, aku akan memarahinya. “Aila!” Panggilan menyebalkan, kenapa di bulan-bulan terakhir koas-ku dia datang bergabung bersama kami. Namanya Dimas, laki-laki berjas putih yang sedang berjalan kearahku dengan melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang selalu menimbulkan kesalahpahaman sejak bangku menengah atas. “Baby, kita makan siang di kantin yuk,” ajaknya dengan meran
“Halo, dengan keluarga Sohbi Pratama Habib? Sohbi sedang berada di IGD, kami terlibat kecelakaan kecil tadi, bisa anda kesini?” … Aku tak perduli lagi, yang kutahu pergi secepatnya menuju ke rumah sakit. Tempat Kak Tama berada. Rumahsakit dekat bandara, 30 menit dari tempatku sekarang. Masa bodoh dengan teriakan senior saat aku akan naik ojek terdekat. Aku hanya ingin cepat sampai, melihat separah apa luka kak Tama. Disini lah aku, depan IGD dan masih menggunakan helm. “Kak, helmnya,” tegur tukang ojek yang mengantarku. Aku melepas helm dengan tergesa dan memberikannya ke tukang ojek “Maaf bang, terimakasih.” Kakiku masih terasa lemas, terasa berat untuk melangkah memasuki IGD yang cukup besar ini. Rupaku terpantul di kaca bening pintu IGD, masih menggunakan jas putih kebanggaan. Sial, tidak ada bagusnya sama sekali, berantakan. Aku melepasnya sebelum masuk, atau orang akan bingung dengan identitasku. Huft.
+628xxxxxxxxxx Walaikumsalam, lusa ya ambil ke bengkel yang ada di dekat RS kemarin. Setelah makan siang kita ketemuan. +628xxxxxxxxxxs hare location. . . Kering sudah menunggu, ini sudah 2 jam berlalu dari jam janji pak Raffa. Waktu liburku yang berharga berkurang sia-sia. “Maaf saya terlambat,” ungkap Raffa sedikit terengah, baru datang. Aku menatapnya tajam “Saya menunggu selama dua jam, bapak tau bagi saya hari libur itu sangat berarti,” omelku meluapkan kekesalan padanya. “Tapi bapak membohongi saya perihal motor kakak saya. Itu sudah diambil kemarin sore!” Raffa terlihat sedikit bingung dengan perkataanku. Dia tidak tau atau hanya pura-pura tidak tau? Aku tambah kesal melihatnya. “Maaf Alia, saya tidak tau,” Raffa menyanggah dengan lembut. “Karena bapak sudah datang, saya sudah menepati janji untuk datang kesini. Permisi!” pamitku beranjak meninggalkannya
Pak Raffa Siang Alia, sudah makan hari ini? Saya mengirimkan sesuatu di loby rumah sakit, ambil ya. Pesan itu lagi, sejak ajakan makan malam tempo hari Pak Raffa seakan menerorku. Setiap harinya dia akan menanyakan jawaban perihal makan malam. Belum lagi pesan-pesan penuh perhatian yang sangat menganggu. Aku tidak selalu memegang ponsel dan sekalinya memegang ponsel spam pesan darinya membuatku sakit kepala. Materi dan praktek ko-as saja sudah membuat kepalaku sakit ditambah pesan-pesan menyebalkan darinya. Aku sedikit menghela nafas, dia bertanya soal makan maka, hari ini dia pasti mengirimkan bingkisan makanan yang akan sampai di lobi rumah sakit. Soal bingkisan, itu dimulai dari minggu lalu. Saat aku total mengabaikan pesan-pesan darinya. Pertama sekali bingkisan-bingkisan seperti ini datang ke rumah. Namun, setelah dia ‘tahu’ jika rumah jarang dihuni, dia mengirimkannya ke rumah sakit. Pri
Aku keluar dari kamar dengan sedikit panik. Bagaimana tidak, sebelum jam 7 malam sudah dijemput. Salah juga aku yang tak mengecek kotak pipih berlabel smartphone itu. Alia ceroboh. Aku tak tau apakah penampilanku rapi ataupun tidak, sekiranya rapi terakhir mengeceknya di depan cermin sebelum keluar. Huft. “Akhirnya tuan putri selesai dandannya,” ejek kak Tama setelah melihatku sekilas “ayo berangkat,” ajaknya menarik Chandra keluar dari rumah. Raffa? Dia berdiri ditempatnya, jadi patung. Patung yang sangat tampan dengan pakaian yang lebih santai. Seperti patung manequin di mall, yang tingginya tidak realistis. Aku jadi penasaran berapa sebenarnya tinggi si Pak Raffa ini. Dia terus memandangiku, apa ada yang salah? Apa hijabku berantakan? Apa aku terlihat sangat jelek? Ya Tuhan, Alia! “Pak Raffa, kita jadi berangkat?” tanyaku mencoba menyadarkannya. Raffa terlihat terkejut ditempatnya, sungguh ingin aku tertawa t
Angin bertiup selalu menandakan akan turunnya hujan, musim penghujan sudah mulai sejak bulan lalu. Oktober, tepat setahun yang lalu aku bertemu dengannya, Raffa. Laki-laki yang membuatku tertarik dalam sekejap dan menghilang begitu saja, ternyata dia hanya angin lewat. Setelah kejadian tertangkap basah Pak Chandra, tidak ada lagi kabar darinya. Bahkan pesan yang hampir satu semester lalu aku kirimkan. Jangankan dibalas, dibaca pun belum pesan itu. Kesal, sangat kesal!Jika aku bisa bertemu dengannya aku ingin meluapkannya. Tidak perduli dengan perbedaan usia dan tata krama terhadap yang lebih tua, aku akan memarahinya. “Aila!” Panggilan menyebalkan, kenapa di bulan-bulan terakhir koas-ku dia datang bergabung bersama kami. Namanya Dimas, laki-laki berjas putih yang sedang berjalan kearahku dengan melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang selalu menimbulkan kesalahpahaman sejak bangku menengah atas. “Baby, kita makan siang di kantin yuk,” ajaknya dengan meran
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan bulan-bulan berikutnya, aku menunggu seperti orang yang patah hati. Aku tak ingin mengakuinya, Raffa orang yang membuatku tertarik dan aku merindukannya. Kami memang hanya bertemu beberapa kali atau bisa dikatakan hanya tiga kali. Tapi dia mengetuk rasa penasaran milikku, sungguh tak biasa berbeda rasanya dibandingkan bang Dika. Eh, aku tak ingin terburu-buru. “Ai sedang memikirkan apa?” tanya Kayla yang baru datang ke ruang dokter. “Raffa,” jawabku singkat. Lebih baik jujur daripada dia bersikeras mengorekku nanti. Kayla menatapku penuh curiga “Laki-laki yang ngasih hadiah itu kan?” Aku mengangguk sebagai jawaban kali ini. “Bukannya kau masih mendapatkannya?” Aku mengangguk lagi “Seminggu dua kali seperti jadwal jaga malam kita.” “Terus apa masalahnya?” “Biasanya dia masih menghubungiku tapi kali ini tidak, hanya ada notes di setiap bingkisan”, terangku menunjukkan beberapa notes yan
Aku keluar dari kamar dengan sedikit panik. Bagaimana tidak, sebelum jam 7 malam sudah dijemput. Salah juga aku yang tak mengecek kotak pipih berlabel smartphone itu. Alia ceroboh. Aku tak tau apakah penampilanku rapi ataupun tidak, sekiranya rapi terakhir mengeceknya di depan cermin sebelum keluar. Huft. “Akhirnya tuan putri selesai dandannya,” ejek kak Tama setelah melihatku sekilas “ayo berangkat,” ajaknya menarik Chandra keluar dari rumah. Raffa? Dia berdiri ditempatnya, jadi patung. Patung yang sangat tampan dengan pakaian yang lebih santai. Seperti patung manequin di mall, yang tingginya tidak realistis. Aku jadi penasaran berapa sebenarnya tinggi si Pak Raffa ini. Dia terus memandangiku, apa ada yang salah? Apa hijabku berantakan? Apa aku terlihat sangat jelek? Ya Tuhan, Alia! “Pak Raffa, kita jadi berangkat?” tanyaku mencoba menyadarkannya. Raffa terlihat terkejut ditempatnya, sungguh ingin aku tertawa t
Pak Raffa Siang Alia, sudah makan hari ini? Saya mengirimkan sesuatu di loby rumah sakit, ambil ya. Pesan itu lagi, sejak ajakan makan malam tempo hari Pak Raffa seakan menerorku. Setiap harinya dia akan menanyakan jawaban perihal makan malam. Belum lagi pesan-pesan penuh perhatian yang sangat menganggu. Aku tidak selalu memegang ponsel dan sekalinya memegang ponsel spam pesan darinya membuatku sakit kepala. Materi dan praktek ko-as saja sudah membuat kepalaku sakit ditambah pesan-pesan menyebalkan darinya. Aku sedikit menghela nafas, dia bertanya soal makan maka, hari ini dia pasti mengirimkan bingkisan makanan yang akan sampai di lobi rumah sakit. Soal bingkisan, itu dimulai dari minggu lalu. Saat aku total mengabaikan pesan-pesan darinya. Pertama sekali bingkisan-bingkisan seperti ini datang ke rumah. Namun, setelah dia ‘tahu’ jika rumah jarang dihuni, dia mengirimkannya ke rumah sakit. Pri
+628xxxxxxxxxx Walaikumsalam, lusa ya ambil ke bengkel yang ada di dekat RS kemarin. Setelah makan siang kita ketemuan. +628xxxxxxxxxxs hare location. . . Kering sudah menunggu, ini sudah 2 jam berlalu dari jam janji pak Raffa. Waktu liburku yang berharga berkurang sia-sia. “Maaf saya terlambat,” ungkap Raffa sedikit terengah, baru datang. Aku menatapnya tajam “Saya menunggu selama dua jam, bapak tau bagi saya hari libur itu sangat berarti,” omelku meluapkan kekesalan padanya. “Tapi bapak membohongi saya perihal motor kakak saya. Itu sudah diambil kemarin sore!” Raffa terlihat sedikit bingung dengan perkataanku. Dia tidak tau atau hanya pura-pura tidak tau? Aku tambah kesal melihatnya. “Maaf Alia, saya tidak tau,” Raffa menyanggah dengan lembut. “Karena bapak sudah datang, saya sudah menepati janji untuk datang kesini. Permisi!” pamitku beranjak meninggalkannya
“Halo, dengan keluarga Sohbi Pratama Habib? Sohbi sedang berada di IGD, kami terlibat kecelakaan kecil tadi, bisa anda kesini?” … Aku tak perduli lagi, yang kutahu pergi secepatnya menuju ke rumah sakit. Tempat Kak Tama berada. Rumahsakit dekat bandara, 30 menit dari tempatku sekarang. Masa bodoh dengan teriakan senior saat aku akan naik ojek terdekat. Aku hanya ingin cepat sampai, melihat separah apa luka kak Tama. Disini lah aku, depan IGD dan masih menggunakan helm. “Kak, helmnya,” tegur tukang ojek yang mengantarku. Aku melepas helm dengan tergesa dan memberikannya ke tukang ojek “Maaf bang, terimakasih.” Kakiku masih terasa lemas, terasa berat untuk melangkah memasuki IGD yang cukup besar ini. Rupaku terpantul di kaca bening pintu IGD, masih menggunakan jas putih kebanggaan. Sial, tidak ada bagusnya sama sekali, berantakan. Aku melepasnya sebelum masuk, atau orang akan bingung dengan identitasku. Huft.